Curug Cigamea terletak di Desa Gunungsari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Jarak tempuh yang tidak terlalu jauh dari ibukota Jakarta juga lokasinya yang masih cenderung jauh dari hiruk pikuk keramaian kota dan kemacetan (karena memang lokasinya berada di lereng kaki gunung Salak), membuat lokasi wisata ini menjadi salah satu destinasi yang sering dikunjungi oleh wisatawan. Terlebih jika di banding daerah puncak Bogor yang selalu macet dan sangat ramai.
Oke, kita mulai ulasannya.
Bila kita ingin menggunakan angkutan umum, maka dapat memulai perjalanan dari Terminal Baranangsiang dengan menaiki angkot 03 jurusan Bubulak, atau jika menggunakan kereta commuter line setelah turun di stasiun Bogor kita bisa langsung menaiki angkot 03 jurusan Bubulak, dilanjut lagi dengan angkot jurusan Leuwiliang.
Turun di pertigaan Cibatok, lalu naik angkot lagi jurusan Gunung Picung dan turun di perhentian terakhir. Dari sini, sebaiknya kita naik ojek karena dari sini sudah tak ada lagi angkutan umum menuju tempat wisata air terjun.
Atau jika menggunakan kendaraan pribadi, setelah sampai di Bogor (sebelum memasuki kota Bogor) kita ambil ke kanan ke arah Tanah Sareal, lurus terus menuju Dramaga, masih tetap lurus sampai pertigaan Leuwiliang, baru ambil kiri. Ikuti jalan itu terus sampai di gerbang Gunung Salak Endah (GSE)
Setelah sampai di gerbang Gunung Salak Endah, kita diwajibkan membayar restribusi sebesar Rp 15ribu/motor. Dan kekurangan dari penarikan ini adalah selain dinilai terlalu tinggi karena ini hanya memasuki kawasan GSE saja belum termasuk retribusi memasuki lokasi wisata. Dan lagi setelah membayar retribusi pengunjung tidak diberikan tanda bukti atau karcisnya, dan ini sangat rentan korupsi.
Setelah memasuki gerbang kawasan Gunung Salak Endah, perjalanan dilanjut kembali lurus mengikuti jalan, sekitar 300 meter baru kita akan menemui gang kecil menuju lokasi wisata Curug Cigamea.
Menurut informasi, jalur menuju curug Cigamea ini ada dua pintu masuk, selain yang kami lalui ini ada satu pintu masuk lagi yaitu masih lurus sekitar 500 meter lagi. Tapi menurut sumber yang kami tanya, dari pintu masuk yang kami lalui ini jalurnya cenderung landai.
Dan pintu masuk yang ini menurut saya pribadi kurang dikelola dengan baik, karena penjaga parkir akan langsung memungut biaya masuk wisata yaitu sebesar Rp 20 ribu (termasuk parkir dan biaya masuk lokasi wisata) dan petugas parkirnya pun tidak mengenakan seragam, hanya ibu-ibu gendut dengan kaos oblong yang terkesan urakan. Tapi yang lebih janggal adalah pengunjung tidak mendapat tiket atau karcis, selain pengunjung tidak memiliki tanda bukti masuk dan otomatis tidak mempunyai tanda klaim asuransi jika terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Juga hal ini sangat rawan untuk dikorupsi dari hasil retribusi tersebut, karena tidak ada catatan pembukuan dan data pengunjung yang pasti.
Benar saja, jalur yang kami lalui ini untuk menuju air terjun cenderung landai karena posisi pintu masuk dengan daerah aliran sungai hampir sejajar, jika dibanding jalur yang satunya, dari pintu masuk cenderung menuruni lembahan untuk menuju lokasi air terjun Cigamea ini. Dari pintu masuk pertama dan kedua, akan bertemu di satu titik yaitu komplek warung-warung wisata.
Setelah berjalan sekitar 10 menit kita akan ketemu kolam kecil dengan kondisi air yang mulai kotor, mungkin katena efek musim kemarau ini dan sedikit kurang terawat. Tetapi jika diperhatikan, kolam pemandian ini mirip pemandian para raja-raja dahulu karena selain artistik juga terdapat air terjun yang mengalir gemericik melewati tangga-tangga kecil.
Setelah melewati kolam pemandian kecil tersebut dari kejauhan akan terlihat air ternjun dan warung-warung wisata di sekitarnya. Pemandangan ini sangat mirip dengan pemukiman jaman dahulu kala, dimana sebuah pemukiman yang dikelilingi hutan belantara.
Tepat setelah keluar melewati lorong-lorong gang sempit warung-warung tersebut kita akan langsung di suguhi pemandangan dua air terjun yang sangat indah, dengan dikelilingi hutan yang masih asri.
Di area tempat wisata ini banyak terdapat tempat sampah dan plang peringatan agar membuang sampah pada tempatnya, tapi kenyataannya banyak sampah berserakan disepanjang jalur menuju air terjun. Entah team kebersihannya yang kurang rutin membersihkan atau kurangnya kepedulian dari pengunjung itu sendiri.
Kesimpulan:
~kelebihan~
* tempat wisata ini mudah diakses baik dari kendaraan pribadi maupun angkutan umum.
* di kawasan GSE ini banyak terdapat air terjun dan tempat wisata lain, jadi sekali jalan bisa mengunjungi beberapa tempat wisata sekaligus.
* kondisi hutan masih sangat terpelihara.
* udaranya sangat sejuk dan asri.
* jarak dari pintu masuk ke titik air terjun tidak terlalu melelahkan dan cenderung landai.
* walau musim kemarau panjang debit air masih cukup besar dan keadaan hutan sekitar tetap menghijau, otomatis jika musim penghujan pemandangan air terjun akan lebih indah.
~kekurangan~
* pengelolaannya kurang tertib dan terkesan tidak disiplin, dilihat dari petugas dan fasilitasnya yang kurang terawat.
* pengunjung tidak diberikan tiket walau sudah membayar restribusi, jadi seakan tidak ada asuransi yang menjamin pengunjung.
* tarif masuk yang relatif mahal jika dibanding dengan keadaan fasilitas disana.
* sampah berserakan dimana-mana terkesan tidak terurus.
* walau sudah membayar tiket masuk, untuk masuk ke toilet atau kamar mandi/bilas pengunjung masih dipungut biaya lagi.
* komplek warung cenderung terkesan kumuh.
* sebagai bahan perbandingan, untuk masalah fasilitas, kenyamanan dan tarif masuk, akan jauh lebih unggul Curug Bajing
Demikianlah ulasan kami tentang curug Cigamea, semoga bermanfaat.
Selamat bertualang...
===============================
Ahmad Pajali Binzah
September 21, 2015
New Google SEO
Bandung, IndonesiaOke, kita mulai ulasannya.
Bila kita ingin menggunakan angkutan umum, maka dapat memulai perjalanan dari Terminal Baranangsiang dengan menaiki angkot 03 jurusan Bubulak, atau jika menggunakan kereta commuter line setelah turun di stasiun Bogor kita bisa langsung menaiki angkot 03 jurusan Bubulak, dilanjut lagi dengan angkot jurusan Leuwiliang.
Turun di pertigaan Cibatok, lalu naik angkot lagi jurusan Gunung Picung dan turun di perhentian terakhir. Dari sini, sebaiknya kita naik ojek karena dari sini sudah tak ada lagi angkutan umum menuju tempat wisata air terjun.
Atau jika menggunakan kendaraan pribadi, setelah sampai di Bogor (sebelum memasuki kota Bogor) kita ambil ke kanan ke arah Tanah Sareal, lurus terus menuju Dramaga, masih tetap lurus sampai pertigaan Leuwiliang, baru ambil kiri. Ikuti jalan itu terus sampai di gerbang Gunung Salak Endah (GSE)
Keadaan jalan menuju Gunung Salak Endah (GSE) |
Gerbang GSE |
Setelah sampai di gerbang Gunung Salak Endah, kita diwajibkan membayar restribusi sebesar Rp 15ribu/motor. Dan kekurangan dari penarikan ini adalah selain dinilai terlalu tinggi karena ini hanya memasuki kawasan GSE saja belum termasuk retribusi memasuki lokasi wisata. Dan lagi setelah membayar retribusi pengunjung tidak diberikan tanda bukti atau karcisnya, dan ini sangat rentan korupsi.
Setelah memasuki gerbang kawasan Gunung Salak Endah, perjalanan dilanjut kembali lurus mengikuti jalan, sekitar 300 meter baru kita akan menemui gang kecil menuju lokasi wisata Curug Cigamea.
Menurut informasi, jalur menuju curug Cigamea ini ada dua pintu masuk, selain yang kami lalui ini ada satu pintu masuk lagi yaitu masih lurus sekitar 500 meter lagi. Tapi menurut sumber yang kami tanya, dari pintu masuk yang kami lalui ini jalurnya cenderung landai.
Dan pintu masuk yang ini menurut saya pribadi kurang dikelola dengan baik, karena penjaga parkir akan langsung memungut biaya masuk wisata yaitu sebesar Rp 20 ribu (termasuk parkir dan biaya masuk lokasi wisata) dan petugas parkirnya pun tidak mengenakan seragam, hanya ibu-ibu gendut dengan kaos oblong yang terkesan urakan. Tapi yang lebih janggal adalah pengunjung tidak mendapat tiket atau karcis, selain pengunjung tidak memiliki tanda bukti masuk dan otomatis tidak mempunyai tanda klaim asuransi jika terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Juga hal ini sangat rawan untuk dikorupsi dari hasil retribusi tersebut, karena tidak ada catatan pembukuan dan data pengunjung yang pasti.
Area parkir |
Di sekitar area parkir juga terdapat kolam terapi ikan |
Loket karcis, tapi jarang ada penjaganya, karena pengunjung sudah dipungut biaya masuk saat membayar parkir |
Fasilitas toilet, walau tidak terdapat penjaganya tapi anehnya saat kita selesai menggunakannya akan ada yang datang untuk meminta pembayaran. |
Saat petama masuk jalur cenderung landai |
Benar saja, jalur yang kami lalui ini untuk menuju air terjun cenderung landai karena posisi pintu masuk dengan daerah aliran sungai hampir sejajar, jika dibanding jalur yang satunya, dari pintu masuk cenderung menuruni lembahan untuk menuju lokasi air terjun Cigamea ini. Dari pintu masuk pertama dan kedua, akan bertemu di satu titik yaitu komplek warung-warung wisata.
Kondisi jalur menuju air terjun |
Jalur munurun tapi tetap landai |
Perjalanan sangat menyenangkan karena suasanya sangat asri dan sepi |
Hutan di sekitar jalur |
Hutan yang menghijau |
Setelah berjalan sekitar 5 menit jalur tetap landai |
Walau musim kemarau suasana tetap hijau |
Setelah berjalan sekitar 10 menit kita akan ketemu kolam kecil dengan kondisi air yang mulai kotor, mungkin katena efek musim kemarau ini dan sedikit kurang terawat. Tetapi jika diperhatikan, kolam pemandian ini mirip pemandian para raja-raja dahulu karena selain artistik juga terdapat air terjun yang mengalir gemericik melewati tangga-tangga kecil.
Kolam pemandian |
Komplek warung-warung wisata di sekitar air terjun |
Setelah mendekat, kita akan melewati gang kecil diantara warung |
Di area ini juga terdapat fasilitas toilet dan mushola |
Terdapat juga halaman untuk istirahat |
Tepat setelah keluar melewati lorong-lorong gang sempit warung-warung tersebut kita akan langsung di suguhi pemandangan dua air terjun yang sangat indah, dengan dikelilingi hutan yang masih asri.
Di curug Cigamea ini terdapat dua air terjun, dan yang ini anggap saja air terjun kanan. |
Air terjun kanan yang debit airnya mulai berkurang karena efek kemarau panjang |
Ujung air terjun kanan |
Yang ini anggap saja air terjun kiri |
Plang peringatan dengan background air terjun kiri |
Plang yang sama dengan background air terjun kanan |
Air terjun kiri yang airnya keliatan keruh, mungkin efek kemarau panjang |
Aliran air dari air terjun kanan, nampak lebih jernih namun debitnya lebih sedikit |
Air terjun kanan |
Saya, dengan background air terjun kiri |
Dan keunikan dari curug ini adalah disekitar air terjun masih terdapat kera-kera liar yang sering muncul. Namun kekurangannya, saat kera-kera tersebut main di tebing batu sangat membahayakan pengunjung dibawahnya karena batu dari tebing tersebut sering berjatuhan, jadi saat kera banyak beraksi diatas tebing pengunjung diharap menjauh dari lokasi tebing tersebut.
Saat kera berkeliaran disekitar tebing, pengunjung dihimbau menjauh dari tebing |
My coffe dengan bacground air terjun kiri |
My coffe dengan background air terjun kanan |
Santai sejenak menikmati sebatang rokok |
Ada pelangi di air terjun kanan |
Kera-kera berkeliaran |
Kera narsiZz |
Area dikuasai komplotan kera |
Sahabat saya, Ahmad Fauzi |
Di area tempat wisata ini banyak terdapat tempat sampah dan plang peringatan agar membuang sampah pada tempatnya, tapi kenyataannya banyak sampah berserakan disepanjang jalur menuju air terjun. Entah team kebersihannya yang kurang rutin membersihkan atau kurangnya kepedulian dari pengunjung itu sendiri.
Plang peringatan,namun dikelilingi banyak sampah |
Tumpukan sampah yang mengganggu pemandangan, jika diperhatikan sampah itu bukan hanya dari pengunjung, tapi juga sampah dari warung-warung disana karena terdapat cangkang-cangkang telur. |
Kesimpulan:
~kelebihan~
* tempat wisata ini mudah diakses baik dari kendaraan pribadi maupun angkutan umum.
* di kawasan GSE ini banyak terdapat air terjun dan tempat wisata lain, jadi sekali jalan bisa mengunjungi beberapa tempat wisata sekaligus.
* kondisi hutan masih sangat terpelihara.
* udaranya sangat sejuk dan asri.
* jarak dari pintu masuk ke titik air terjun tidak terlalu melelahkan dan cenderung landai.
* walau musim kemarau panjang debit air masih cukup besar dan keadaan hutan sekitar tetap menghijau, otomatis jika musim penghujan pemandangan air terjun akan lebih indah.
~kekurangan~
* pengelolaannya kurang tertib dan terkesan tidak disiplin, dilihat dari petugas dan fasilitasnya yang kurang terawat.
* pengunjung tidak diberikan tiket walau sudah membayar restribusi, jadi seakan tidak ada asuransi yang menjamin pengunjung.
* tarif masuk yang relatif mahal jika dibanding dengan keadaan fasilitas disana.
* sampah berserakan dimana-mana terkesan tidak terurus.
* walau sudah membayar tiket masuk, untuk masuk ke toilet atau kamar mandi/bilas pengunjung masih dipungut biaya lagi.
* komplek warung cenderung terkesan kumuh.
* sebagai bahan perbandingan, untuk masalah fasilitas, kenyamanan dan tarif masuk, akan jauh lebih unggul Curug Bajing
Demikianlah ulasan kami tentang curug Cigamea, semoga bermanfaat.
Selamat bertualang...
BACA JUGA:
Info Lengkap Curug Blanten, Pekalongan.
Info Lengkap Curug Lawe, Petungkriyono.
Info Lengkap Kedung Sipingit, Petungkriyono.
Info Lengkap Curug Lawe, Petungkriyono.
Info Lengkap Kedung Sipingit, Petungkriyono.
*****
Checklis Perlengkapan Mendaki Gunung
Pendakian Gunung Lawu
Pendakian Gunung Lembu
Pendakian Gunung Cikuray
Pendakian gunung Merbabu
Pendakian Gunung Papandayan
Pendakian Gunung Batu, Jonggol.
Pendakian Gunung Lawu
Pendakian Gunung Lembu
Pendakian Gunung Cikuray
Pendakian gunung Merbabu
Pendakian Gunung Papandayan
Pendakian Gunung Batu, Jonggol.
Pendakian Gunung Semeru via Watu Rejeng turun via Eyek-Eyek
Baca juga cerpen tentang petualangan:
[Cerpen] Situmbal
[Cerpen] Istri Muda
[Cerpen] Aku Benci Ibu
[Cerpen] Pohon Terakhir
[Cerpen] Edelweis di Pos 3
[Cerpen] Aku Pendaki Kartini
[Cerpen] Pendakian Terindah
[Cerpen] Kisah Cinta Sang Serdadu
[Cerpen] Pendakian Gunung Keramat
[Cerpen] Bunga Edelweis Untuk Pristy
[Cerpen] Tersesat di Jaman Majapahit
[Cerpen] Badai Senja di Lereng Merapi
[Cerpen] Tentang Cinta Yang Bertentangan
[Cerpen] Karena Batu Akik Aku Jadi Playboy
[Cerpen] Jangan Rebut Aku Dari Istriku
[Cerpen] Aku Hanya Pendaki Gunung Lawu
[Cerpen] Aku Tinggalkan Kekasihku Mati di Gunung
Baca juga cerpen tentang petualangan:
[Cerpen] Situmbal
[Cerpen] Istri Muda
[Cerpen] Aku Benci Ibu
[Cerpen] Pohon Terakhir
[Cerpen] Edelweis di Pos 3
[Cerpen] Aku Pendaki Kartini
[Cerpen] Pendakian Terindah
[Cerpen] Kisah Cinta Sang Serdadu
[Cerpen] Pendakian Gunung Keramat
[Cerpen] Bunga Edelweis Untuk Pristy
[Cerpen] Tersesat di Jaman Majapahit
[Cerpen] Badai Senja di Lereng Merapi
[Cerpen] Tentang Cinta Yang Bertentangan
[Cerpen] Karena Batu Akik Aku Jadi Playboy
[Cerpen] Jangan Rebut Aku Dari Istriku
[Cerpen] Aku Hanya Pendaki Gunung Lawu
[Cerpen] Aku Tinggalkan Kekasihku Mati di Gunung
Sendang Drajat, sumur keramat yang berada dipuncak gunung Lawu itu menjadi awal dari kisah kejadian-kejadian yang akan menimpa Satriyo.
Satriyo, pemuda paruh baya yang sudah tujuh hari berada disekitar sumur Sendang Drajat. Bukan untuk semedi atau ngalap berkah seperti para peziarah-peziarah pada umumnya. Tapi sekedar melepas penat dari hiruk pikuk kehidupan dunia.
Umur satriyo memang sudah tak muda lagi, bulan depan genap 37 tahun. Namun hidupnya sering dihabiskan untuk keluar masuk hutan, bahkan tak jarang dia tinggal di hutan berminggu-minggu lamanya.
Perawakannya yang tinggi proposional, dengan rambut gondrong ikal sebahu, kumis dan bewoknya yang dibiarkan tumbuh liar, tatapan matanya tanjam seperti elang, gaya pakaiannya pun mencerminkan seorang pendaki gunung pada umumnya, selalu mamakai kaos oblong dan celana belel yang membuat penampilannya nampak kumel, namun dengan pembawaan yang tenang, sabar dan berwibawa membuat teman-teman sesama pendaki selalu segan dan menghormatinya.
Turun naik gunung dan keluar masuk hutan sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya, tinggal di daerah-daerah pedalaman pun sudah terbiasa, tak jarang dia mengembara di pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dll. Tetapi dengan begitu bukan berarti dia tak punya anak istri, bukan pula berarti dia seorang pemalas yang tak punya pekerjaan. Walau penampilannya nampak kumuh dan urakan sebenarnya dia seorang pekerja keras, dia pengusaha yang cukup sukses di daerahnya. Peternakan sapi, butik, konveksi, rumah makan dan pabrik produksi tahu-tempe hanya sebagian dari usahanya, banyak lagi bisnis-bisnis lain yang ia geluti.
Semua bisnisnya dia serahkan pada istri, adik dan saudara-saudaranya, tapi dia selalu rutin memantau setiap perkembangannya, bahkan tak jarang saat salah satu bisnisnya mengalami masalah, dia turun langsung mengambil alih kepemimpinannya. Bisa dipastikan saat dia menangani masalah di bisnisnya baru beberapa hari saja bisnisnya langsung kembali stabil, karena keputusan-keputusannya selalu tepat mengenai sasaran. Begitu pula Satriyo mengatasi masalah pada bisnis-bisnisnya yang lain.
Bahkan dia selalu berkata pada adik-adiknya,
"Jangan kuatir bisnis-bisnis kita akan mengalami kemunduran, selama aku dan generasiku masih ada, maka selama itu pula bisnis kita akan selalu terus maju dan berkembang, karena jiwaku selalu bersama bisnis-bisnis itu...
Dan tugas kalian hanyalah menjalankannya...
Jika ada masalah, segera panggil aku... percayalah masalah itu akan takut melihat kehadiranku..."
Begitulah kata-kata yang selalu ditanamkan pada adik dan saudara-saudaranya
Satriyo memang sosok yang cerdas tapi pakem, dia jarang bicara tapi kecerdasannya sangat luar biasa.
Walau kekayaannya yang melimpah tidak membuat dia sombong atau angkuh, tetapi justru membuatnya lebih bersahaja, dermawan dan rendah hati. Bukan mobil mewah atau pakaian branded yang dia pakai, justru motor butut dan baju-baju kumel yang selalu ia kenakan.
Begitulah sosok Satriyo, sosok pengusaha sukses namun tetap bersahaja. Begitu pula saat dia mendaki gunung Lawu ini, dia hanya mengendarai motor Honda CB100 bersama adik sepupunya yang masih kuliah semester dua, Antok namanya.
***
Dan kali ini sudah tujuh hari dia berkutat di puncak gunung Lawu, mulai dari warung mbok Yem sampai warung pak Prapto ia tinggali. Meraka sudah seperti keluarganya sendiri. Bahkan tak jarang dia menyendiri di petilasan-petilasan yang ada di puncak Lawu ini.
Malam ini saat dia duduk menyendiri mencari ketenangan jiwa di pendopo yang terletak di samping sumur Sendang Drajat yang terkenal keramat itu.
Dengan ditemani segelas kopi dan sebatang rokok yang membuat mulutnya selalu mengebul bak cerobong kereta Tawang Jaya.
Tiba-tiba nuansa mistis begitu terasa, pekatnya malam menambah horor suasana, angin pun bertiup sangat kencang hingga menerbangkan dedaunan-dedaunan kering, dengan aroma dupa dan kemenyan khas Sendang Drajat, angin itu bertiup kencang seakan berbisik ke telinganya dan berkata,
"Sudah saatnya pulang Satriyo..."
Seketika Satriyo langsung terkejut dan bangun dari lelap lamunannya. Dilihatnya kanan kiri ke semua penjuru Sendang Drajat itu, seakan dia tak percaya atas apa yang dia dengar. Dan sekali lagi angin bertiup sangat kencang hingga menerbangkan dedaunan-dedaunan kering, dengan aroma dupa dan kemenyan khas Sendang Drajat, angin itu bertiup kencang seakan berbisik dengan suara mirip nenek tua, jelas sekali.
"Cepatlah pulang nak, aku akan menuntunmu dan menjagamu..."
Seketika Satriyo berdiri, dengan tatapan matanya mencari dari mana asal sosok suara itu. Dan suasana pun menjadi sangat mistis, apalagi aura keramat yang dipancarkan dari sumur Sendang Drajat makin menjadi-jadi.
Tak seperti biasanya, sosok Satriyo yang pemberani kini seperti ketakutan yang sangat-sangat, bahkan untuk memandang kearah Sendang Drajat pun dia tak tak punya nyali.
Satriyo segera bergegas menuju warung pak Prapto yang tak jauh dari situ, dibangunkannya Antok yang sedang tertidur pulas.
"Ayo Tok kita pulang...." ucap Satriyo agak tergesah sambil mengemas baju dan perlengkapannya kedalam rangsel.
"Masa' malem-malem koyo ngene arep bali kang...???" jawab Antok yang masih ngantuk dengan logat bahasa khas Pekalongan.
"Aku ada urusan, dan kita harus segera pulang..." jawabnya lagi sembari merapikan ranselnya.
"Yowes kalo begitu kang, tapi aku mau pipis dulu..." jawab Antok sembil melangkah keluar menuju kamar mandi yang ada di samping warung pak Prapto.
***
Malam itu pula mereka bergegas turun, tak lupa sebelumnya dia pamit dan itung-itungan membayar makanan pada pak Prapto.
Dengan langkah yang lebih cepat dan suasanya yang tak seperti biasa, bau-bau dupa dan kemenyan selalu semerbak sepanjang jalan membuat aura mistis semakin terasa, pancaran sinar rembulan yang mengintip dari sela-sela dedaunan atap hutan semakin membuat suasana semakin terasa angker.
Yaa, tak bisa dipungkiri bahwa gunung Lawu ini masih dianggap sakral oleh masyarakat Jawa, bahkan yang biasanya Antok berjalan di belakang kini dia meminta agar selalu didepan. Mereka berdua terus melangkah turun menyusuri jalur setapak di kegelapan hutan.
Tepat pukul 03.00wib mereka sampai di gapuro basecamp. Suasana yang sebelumnya terasa mencekap kini berubah menjadi tenang. Mereka pun langsung masuk ke basecamp dan istirahat.
Karena saking lelahnya, tak terasa mereka langsung terlelap dalam tidurnya.
***
Dan paginya, tepat pukul 07.00wib mereka terbangun dan bergegas melanjutkan perjalanan pulang.
Tas rengsel pun ditata di belakang motornya dan diikat dengan posisi dibelakang joknya, persis seperti para pemudik yang hendak mudik lebaran.
Setelah semua rapi mereka pun segera memacu motor bututnya dan seperti biasa Antok yang didepan, karena Satriyo lebih senang dibelakang menikmati pemandangan. Hanya sesekali saja saat Antok kelelahan baru Satriyo menggantikannya didepan.
Perjalanan menuruni lereng ke arah barat melewati Tawang Mangu, disinilah mata Satriyo berbinar menikmati jengkal demi jengkal keindahan lereng pegunungan. Dengan pemandangan ladang yang nenghijau juga hutan-hutan yang merimbun
Dan perjalanan terus ke arah barat menuju kota Solo lalu dilanjutkan ke Pekalongan.
Sesampainya di Solo mereka istirahat disekitar keraton untuk mencari makan. Setalah makan mereka istirahat di bawah pohon beringin yang rindang tepat disamping gerbang keraton Surakarta.
"Kang kenapa siih kita semalem terburu-buru turun, tapi setelah turun kita malah santai-santai disini, bukannya tetep tancep gas biar cepat sampai rumah..." tanya Antok heran.
"Hmm... gak ada apa-apa Tok, aku merasa sudah terlalu lama di puncak, jadi pingin segera turun aja... dan kenapa kita istirahat disini, karena perjalanan menggunakan motor itu maksimal 2 jam harus berhenti istirahat... sangat berbahaya jika kita memaksakan terus berjalan..." jawab Satriyo tenang sambil menghisap sebatang rokok lalu menyebulkan asapnya dengan santai melewati mulut dan hidungnya.
"Tapi kenapa kali ini kita pakai motor sii kang...??? Bukannya biasanya waktu ke Semeru, Arjuna dan gunung-gunung lainnya kita naik kereta...???" tanya Antok lagi.
"Yaa,,, karena naik motor kita lebih santai dan bisa jalan-jalan sesuka hati...
Tapi pendakian menggunakan motor itu tidak disarankan untuk jarak jauh luar propinsi...
Jarak yang terlalu jauh akan sangat berbahaya karena setelah mendaki biasanya tubuh kita mengalami kelelahan yang hebat..." jawabnya dengan nada tenang.
Karena bagaimana pun juga mendaki menggunakan sepeda motor tidak dianjurkan untuk jarak jauh diatas 200km.
***
Setelah istirahat cukup, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan kembali, melewati jalan protokol kearah barat. Dengan kecepatan sedang mereka melintasi jalan kota yang padat.
Ditengah perjalanaan, tiba-tiba.
"Braakk..." motor mereka kesrempet mobil dan terjatuh.
Sontak orang-orang yang ada disana langsung berbondong-bondong datang menolongnya. Satriyo yang terpelanting pun segera bangun, dia melihat adiknya terkapar di aspal ditengah jalan dan sedang dikerubuti orang-orang. Sontak Satrio berteriak sambil bangkit mendekat.
"Antok...!!!!" teriak Satriyo sambil mendekat kearah Antok yang masih digotong orang-orang yang ada disana.
Antok yang digotong lalu dibawa ke tepi jalan tepat di depan toko kelontong. dengan tangan yang berdarah-darah. Lalu tak berapa lama Satriyo mendekatinya.
"Kamu gak apa-apa kan Tok...???" tanya Satriyo panik.
"Aku rak popo kang..." jawab Antok sambil membersihkan darah yang ada dilengannya. Dan salah satu orang yang disana memberikan obat merah padanya.
"Iya mas dia gak apa-apa cuma lecet dikit aja tangannya, masalah motor masih bisa dibetulin dibengkel ntar, yang penting masih bisa buat jalan..." jawab salah satu warga disana.
"Syukurlah... makasih pak atas pertolongannya..." jawab Satriyo dengan menganggukkan kepalanya menandakan ia sangat berterimakasih yang mendalam.
"Oiya mas itu mobil yang nyrempet disana coba mas samperin, sebelum orangnya kabur..." ucap warga yang lain lagi.
Satriyo pun segera mendekati mobil yang berhenti sekitar jarak 10 meter. Nampak sang pemilik mobil sedang mengecek bodi mobilnya.
setelah Satriyo mendekat lalu mencoba berbicara pada sang pemilik mobil.
"Maaf bu gimana tadi kronologisnya, itu adik saya terluka..." ucap Satriyo membuka pembicaraan.
"Lhoo... apa urusannya dengan saya.. wong kami ndak salah kok... yaa gak tante...???" ucap laki-laki muda pemilik mobil dengan nada ketus. Sambil minta diiyakan oleh tantenya yang semobil.
Kedua pemilik mobil itu bukanya menanggapi baik-baik, tetapi malah pasang wajah angkuh dan sombong.
"Mas dan ibu ini seharusnya punya etika, seharusnya kalau terjadi kecelakaan setidaknya hampiri dulu korbannya, dan saya tidak suka anda berbicara dengan tangan bersila dada seperti itu..." jawab Satriyo kesal.
Lalu pemilik mobil itu menurunkan tangannya tapi masih tetap bergaya angkuh.
"Hee,,, jangan sembarangan dengan kami yaa... kami punya kenalan banyak anggota..." ucap ibu pemilik mobil dengan nada mengancam.
"Lha terus...???" jawab Satriyo tenang.
"Baik kami akan panggil anggota, kita urus di kantor..." ibu itu mengancam dengan mencoba menelpon seseorang. Bisa dipastikan ibu itu memang bukan orang sembarangan, penampilannya dengan rambut pirang dan kacamata yang selalu melingkari matanya, cincin dan jam tangan mewah, dan logat bahasanya yang selalu minta dihormati, persis seperti istri-istri pejabat dinegeri ini.
Satriyo lantas kembali ke tempat Antok yang sedari tadi duduk di tepi jalan, lalu dia memesan teh manis di warung angkringan tak jauh dari situ.
"Pie kang...???" tanya Antok sambil menahan rasa sakitnya.
"Ora popo, pemilik mobil itu wonge agak sombong, biarin aja kita ikuti maunya..." jawab Satriyo sambil melihat kedua pemilik mobil itu sibuk menelpon kesana kemari dan dengan wajah panik.
Sementara Satriyo dan Antok tetap santai menikmati teh manis dan gorengan di warung angkringan.
Dari sini kita dapat melihat, dimana seseorang yang terbiasa hidup terhomat akan sangat takut jika keluar dari lingkaran kehidupannya apalagi menghadapi masalah diluar, lalu dia pasti akan berusaha meminta bantuan dan mengerahkan segala kemampuannya.
Sementara itu kita juga dapat melihat dimana seseorang yang lebih bersahaja dan sederhana akan lebih tenang dalam menghadapi masalah yang menghadang.
***
Sekitar 20 menit telah berlalu, akhirnya mobil polisi datang ke TKP, lalu mengajak mereka menyelesaikan dikantor polisi terdekat.
Setelah sampai di kantor polisi mereka dipertemukan untuk didamaikan.
"Maaf sebelumnya, apa bisa diperkenalkan dulu nama anda-anda ini...???" ucap pak polisi membuka pembicaraan
"Saya ibu Tutwuri Setianingsih, dan ini keponakan saya Hendrik..." jawab ibu itu.
"Saya Satriyo pak, dan ini adik saya Antok..." jawab Satriyo tenang.
"Oke saya tanya sama saudara Antok dulu sebagai yang mengendarai sepeda motor, jadi bagaimana kronologisnya mas Antok...???" tanya polisi yang berbadan kurus.
"Begini pak, saya naik motor dari arah timur mau menyalip mobil ibu ini, tapi saat saya sudah hampir berada didepan, tapi mobil ibu ini tidak memberi saya jalan sama sekali, tetap melaju dengan kecepatannya. Otomatis keseimbangan motor saya tidak bisa dikendaliakan, dan terjadilah insiden itu..." Antok menjelaskan kronologi dengan bahasa yang agak ngedok Jawa.
"Apa benar seperti itu ibu Tutwuri...???" tanya polisi pada ibu pemilik.
"Yaa dia mau nyalip saya, tapi saya tidak tau kejadian pastinya karena semua terjadi begitu saja, tapi yang pasti mobil kami berjalan tidak dalam kecepatan tinggi..." ucap ibu Tutwuri.
"Jadi posisi ibu ada di sebelah kiri...???" tanya polisi berbadan kurus.
"Iya benar, tapi kami mengendari mobil kami dengan kecepan stabil..." jawab Hendrik agak ngotot.
"Walaupun kecepatan stabil seharusnya anda memberi jalan saat ada yang mau mendahului, kalau gak mau didahului yaa ambil jalur kanan... Jangan asal stabil aja masa bodoh ada yang mau nyalip atau nggak yang penting terjang terus...
Dan saya dalam posisi benar karena menyalip dari kanan..." Antok juga ngotot.
"Memang seharusnya mobil berada dijalur kanan kecuali kalau mau berhenti atau mau belok kiri saja..." ucap polisi berbadan kurus seakan membenarkan pihak Antok.
Saat polisi berbadan kurus itu mau melanjutkan pembicaraannya tiba-tiba datang polisi berbadan gendut dengan perut yang menyembul kedepan.
"Maaf kalo boleh tau gimana kronologisnya ini..." tanpa basa-basi polisi gendut memotong pembicaraan.
Setelah dijelaskan dari awal, lalu polisi gendut itu berbicara panjang lebar dan membawa-bawa pasal undang-undang seakan tidak memberi jeda bagi yang lain untuk berbicara.
"Menurut hemat saya, mobil memang seharusnya ada di jalur kanan, tapi untuk mobil yang kecepatan rendah juga tidak salah ada di jalur kiri... jadi ibu ini tetap tidak bisa diberatkan secara undang-undang, apa perlu saya bacakan pasalnya...???" ucap polisi gendut panjang lebar seakan sekuat tenaga membela ibu Tutwuri.
"Tidak perlu pak...!!!" jawab Satriyo singkat memotong pembicaraan.
"Jadi dalam kasus ini ibu Tutwuri tidak bisa disalahkan dalam hal hukum, tapi biasanya dalam hal ini kalau ibu Tutwuri memberi bantuan atau kebaikan gak ada salahnya, tapi sifatnya suka rela, gak ada paksaan dalam hukum..." ucap polisi gendut tetap membela. Namun nampak kedua polisi itu mengisyaratkan pada ibu Tutwuri untuk memberi bantuan pada korban.
"ini bukan kesalahan saya dan saya tidak bisa membantu apapun..." jawab ibu Tutwuri dan Hendrik pun juga mengiyakan dengan logat angkuh.
"Oke bu, kalau itu jalan pikiran ibu... tetapi logikanya jika mobil ibu dalam kecepatan rendah seharusnya mobil ibu mudah untuk didahului, tapi kenyataannya mobil ibu seakan tidak memberikan kesempatan pada kami untuk mendahului, warga disana sebagai saksinya...
Mungkin ibu tidak bisa disalahkan dalam hal hukum tetapi kami juga tidak dapat disalahkan dalam hal hukum juga, karena kami menyalip dari kanan...
Dan seharusnya dalam satu insiden yang kedua-duanya tidak bisa disalahkan, sementara ibu tak mengalami kerugian apa-apa, dan dipihak lain mengalami luka dan motornya juga rusak, apa ibu tak punya perasaan untuk sekedar peduli..." ucap Satriyo yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara.
"Dan ingat bu, waktu saya datang menghampiri ibu, apa yang saya ucapkan...???
Apakah saya menuntut anda...???
Apakah saya meminta bantuan kepada anda...???
Saya hanya datang menanyakan kepedulian ibu, seharusnya ibu punya etika saat terjadi insiden setidaknya ibu datang menjenguk keadaan kami yang terluka...
Bukan berhenti untuk mengecek mobil anda sendiri lalu berdiri dengan angkuhnya...
Bahkan warga dan orang-orang yang ada disana pun yang tak ada sangkutannya lebih peduli dan mau menolong kami...
Sementara anda yang bersangkutan hanya berdiri di mobil anda dengan kesombongan anda..." Satriyo menambahi.
Sejenak semua yang ada di sana terdiam.
Lalu ibu itu bicara lagi.
"Yang penting saya tidak bersalah dan sekali lagi, ini bukan kesalahan saya dan saya tidak bisa membantu apapun..."
"Saya ulangi, ini bukan kesalahan saya dan saya tidak bisa membantu apapun..." ibu Turwuri berbicara dengan angkuhnya.
"Iya memang dalam hal apapun ibu Tutwuri gak bisa dituntut sedikitpun..." ucap polisi gendut membela ibu itu.
"Maaf, dari awal siapa yang menuntut ibu, saya sama sekali tidak menuntut apapun...
Bahkan ibu sendiri yang sibuk menelpon kesana kemari melapor polisi...
Sementara kami hanya santai... kami hanya ingin etika dari ibu untuk datang ke kami menanyakan keadaan kami karena bagaimana pun juga kami sebagai korban..." jawab Satriyo tegas.
"Baik lah kalau begitu, karena ibu ini tetap teguh pada pendiriannya, jadi apakah mas-mas ini tidak keberatan...???" jawab polisi kurus mencoba menengahi.
"Dari awal saya tidak nenuntut apapun pak, cuma saya tidak suka dengan sikap ibu ini yang sangat keras hati..." jawab Satriyo.
"Yaa sudah... yang penting kita selesaikan dengan kekeluargaan... kita semua harus legowo..." ucap pak polisi kurus mendinginkan keadaan.
"Baik kalau begitu, saya minta dibuatkan surat pernyataan kalau kalian tidak akan menuntut kami..." ibu itu meminta polisi membuatkan surat pernyataan.
"Hhhmmm ibu masih takut kami menuntut...??? Nampak sekali ketakutan ibu yang seharusnya tak perlu ditakutkan... karena kami tak sejahat ibu..." jawab Satriyo santai dengan senyum khasnya seakan menertawakan sikap ibu itu.
Ibu itu lantas keluar bersama polisi gendut. Diluar nampak mereka asyik ngobrol sekaligus ingin menunjukan bahwa ibu itu mempunyai kedekatan dengan pejabat-pejabat kepolisian.
Benar saja, banyak anggota polisi yang datang langsung bersalaman dengan ibu Tutwuri, saking tunduknya pada ibu Tutwuri bersalaman pun seakan mereka seperti mau mencium tangannya.
Padahal sebagai aparat penegak hukum, tak sepantasnya menghormati seseorang terlalu berlebihan selain kepada atasan atau komandannya.
Tak seharusnya seorang penegak hukum menunjukkan kedekatannya dengan orang masih dalam kasus hukum.
Dan seharusnya, semua orang mempunyai kesetaraan yang sama dimata hukum.
Tapi inilah yang sering terjadi di negeri kita, orang yang mempunyai kekayaan dan kekuasaan akan cenderung kebal terhadap hukum.
***
Saat ibu Tutwuri diluar, sementara didalam kantor, nampak polisi sedang sibuk mengetik surat pernyataan, Satriyo menatap Hendrik dengan tajamnya. Dan Hendrik pun tak sengaja juga menatapnya. Nampak keduanya saling bertatapan sangat lama.
Dalam pandangan Hendrik yang melihat tatapan Satriyo yang sangat tajam itu, tiba-tiba dia melihat wajah Satriyo berubah menjadi sosok harimau dan mengaung tepat dihadapannya.
Seketika Hendrik berteriak ketakutan, seperti kesurupan.
"Haaahhh...!!! Haaahhh...!!! Haaahhh...!!!" teriak Hendrik histeris dengan kedua tangannya memegangi kepalanya.
Ibu Tutwuri langsung masuk mendekat pada Hendrik.
"Kamu kenapa Hen... kamu kenapa...???" ucap ibu itu ketakutan.
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang hingga menerbangkan dedaunan-dedaunan kering, dengan aroma dupa dan kemenyan khas Sendang Drajat, angin itu bertiup kencang, kencang sekali.
Setelah berapa lama suasana kembali tenang.
Satriyo dan Antok pergi meninggalkan kantor polisi itu.
Mengendarai motor antiknya lagi, dengan gaya gembel jalanan. Menerjang jalan menikmati sepoy angin yang menerpa tubuhnya disepanjang jalan.
Tak berapa lama nampak mobil mewah yang dikendarai Hendrik dan ibu Tutwuri itu melintas menyalip motor butut mereka berdua.
Hingga sampai di pertigaan jalan tol, mobil itu belok ke kanan menuju jalan tol ke arah Semarang, sementara Satriyo dan Antok tetap berjalan lurus menuju utara.
Dijalan tol tersebut ibu Tutwuri nampak kesal dan terus berbicara pada Hendrik keponakannya:
"Orang-orang kumel kaya' gitu harus diberi pelajaran... dari penampilannya saja mereka pasti pengangguran yang gak punya pekerjaan... mereka mungkin berniat mau memeras kita, dasar gembel...!!!" Ibu itu terus ngomel terus, sementara Hendrik tetap diam melamun sambil nyetir.
"Hen... hendrik... kamu kenapa gak biasa-biasanya melamun terus seperti itu... ada apa kamu Hen... lagian tadi kamu juga teriak-teriak histeri sendiri dikantor polisi... ada apa Hen...???" ibu itu mencoba mengintrogasi.
"Aku takut tante, aku takut...
Laki-laki tadi menurutku bukan manusia biasa... dia siluman harimau... aku melihat tatapan matanya tajam sekali, dan tiba-tiba wajahnya berubah menjadi Harimau yang menyeramkan... mengaum didepanku tante... aku takut tante, sampai sekarang wajah itu tetap terbayang diotakku tante..." ucap Hendrik panik.
Mobil mereka melaju dengan kencangnya di jalur tol, satu jam kemudian mereka mulai ambil kiri dan keluar dari jalan tol.
Tak berapa lama mereka keluar mereka melaju mengendarai mobilnya masih dalam kecepatan tinggi menuju jalan utama
Hendrik terus melamun terbayang sosok harimau itu, hingga tiba-tiba Hendrik melihat sosok harimau itu lagi mengaum tepat didepan matanya. Seketika Hendrik berteriak bak kesurupan.
"Haaahhh...!!! Haaahhh...!!! Haahhh...!!!" Hendrik berteriak histeris lagi sambil kedua tangannya memegangi kepalanya.
Mobil pun lepas kendali dan menabrak pohon di pinggir jalan...
"Brakkk...!!!" mobil itu menghantam keras sekali, bemper bagian depan ringsek dengan mesin yang mengepulkan asap yang tebal.
Nampak ibu Tutwuri dan Hendrik berlumuran darah didalam mobil itu.
"Hen, kamu gak apa-apa kan Hen..." ibu itu berucap sambil menggoyang-goyang tubuh Hendrik, tak berapa lama Hendrik tersadar.
"Iya tante aku gak apa-apa... tapi kakiku kejepit tante... aaahhh..." ucap hendrik sambil merintih.
"Toloongg...!!! Toloongg....!!!" ibu Tutwuri terus teriak minta tolong.
Mereka terjebak dalam mobil itu sangat lama, mobil-mobil yang lewat pun seakan tak menghiraukan mereka berdua, tak ada warga atau orang yang kebetulan lewat, karena keluar dari tol memang jarang terdapat rumah warga atau warung-warung pinggir jalan. Jalur ini jalur sepi.
Karena bisa dipastikan, setiap terjadi kecelakaan yang selalu sigap menolong adalah warga setempat atau pemotor yang kebetulan lewat, akan jarang terjadi pengendara mobil yang ikut berhenti, apalagi peduli.
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang hingga menerbangkan dedaunan-dedaunan kering, dengan aroma dupa dan kemenyan khas Sendang Drajat, angin itu bertiup kencang, kencang sekali.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba kebetulan ada motor yang lewat dan berhenti didepannya.
Pengendara motor itu berhenti dan turun dari motornya lalu mendekati mobil nahas tersebut yang dari jauh terdengar teriakan minta tolong. Dengan asap yang masih terus mengebul.
Setelah mendekat laki-laki itu berkata,
"Maaf bu, seperti yang ibu tadi katakan... ini bukan kesalahan saya dan saya tidak bisa membantu apapun...
Sekali lagi, ini bukan kesalahan saya dan saya tidak bisa membantu apapun..." laki-laki itu ternyata Satriyo yang berucap tenang sambil tersenyum.
"Dan semoga saja kenalan-kenalan ibu yang katanya pejabat dan aparat itu mau membantu ibu saat ini... semoga saja..." lalu Satrio melangkah dengan pelan dan gagahnya meninggalkan mobil itu dengan santainya, kakinya melangkah pasti menggenakan sepatu gunung dengan celana jeans rombeng dan jaket belel, gayanya persis seperti koboy yang berjalan di dataran kering di Amerika sana.
Satriyo bukan orang yang kejam, tapi dia hanya ingin memberi pelajaran pada orang-orang yang dianggapnya sombong melebihi batas kewajaran.
"Heeyy siapa sebenarnya dirimu...???" tanya ibu Tutwuri sambil menahan rasa sakitnya.
Seketika Satriyo menghentikan langkahnya dan berkata:
"Aku hanya pendaki gunung Lawu..."
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang hingga menerbangkan dedaunan-dedaunan kering, dengan aroma dupa dan kemenyan khas Sendang Drajat, angin itu bertiup kencang, kencang sekali.
============SEKIAN============
By: Ahmad Pajali Binzah
Foto: Chicco Jerikho
Baca juga cerpen tentang petualangan:
[Cerpen] Istri Muda
[Cerpen] Aku Benci Ibu
[Cerpen] Pohon Terakhir
[Cerpen] Aku Pendaki Kartini
[Cerpen] Istri Muda
[Cerpen] Aku Benci Ibu
[Cerpen] Pohon Terakhir
[Cerpen] Aku Pendaki Kartini
Tepat jam 7 pagi kami mulai bergegas meninggalkan pos Pangasinan ini, dengan diawali do'a dan semangat yang kembali membara setelah terlelap di bawah pohon Edelweis selama satu jam lebih.
Perjalanan menuruni sedikit lembahan yang dilanjutkan trek yang sangat terjal, disisi kiri-kanan jalur ditumbuhi edelweis yang saat ini sedang berbunga dan merekah. Membuat jalur yang curam pun terasa lebih menyenangkan.
Terlebih buat gue pribadi, dengan tangan yang selalu menggandeng Ayuni, apalagi saat ditanjakan yang curam, gue selalu menarik tangannya dari atas dan langsung memeluknya sesampainya dia berhasil sampai atas.
Puncak memang sudah terlihat sejak dari pos Pangasinan tadi, tapi saat dilalui ternyata begitu melelahkan, dan membutuhkan waktu hampir satu jam perjalanan.
Memang puncak Ciremai tidak bisa disepelekan.
Tetapi, setelah perjuangan yang begitu melelahkan, setelah pergulatan dengan debu dan keringat yang menjadi lumpur di kulit lalu mengering terpapar, setelah nafas yang menderu-deru yang mengiringi langkah demi langkah, akhirnya kini tepat jam 8 lebih 5 menit gue dan team berhasil menggapai puncak tertinggi gunung Ciremai.
Seketika kami berlima langsung sujud syukur di titik tertinggi di Jawa Barat ini. Setelah sujud dan mengucap Allahu Akbar sekenceng-kencengnya, kami saling berpelukan menandakan kebahagiaan setelah pergulatan lama dalam pencapaian ini.
Semua letih dan lelah terbayar sudah, keindahan yang tersaji mampu melunasi perih getir penggapaian puncak ini.
"Ini bener-bener pendakian terindah..." lagi-lagi hati gue berucap kata-kata itu.
"Yaa,,, pendakian terindah..." diulangi lagi.
Tak berapa lama bendera segera dikibarkan, bendera Merah Putih berada dititik tertinggi sementara bendera Binzah berkibar bersama dibawahnya. Dan tak lupa kami langsung berfoto bersama, Mengabadikan moment-moment yang sangat berharga ini.
Botol coca cola sebagai kuncian segera dibuka menandakan kesuksesan dalam pendakian.
Segar rasanya meneguk coca cola yang masih berbuih di ketinggian ini, tanpa sadar Ayuni terlupakan yang sedari tadi berdiri menyaksikan keindahan alam dari puncak gunung ini.
Lalu aku mendekatinya,
"Selamat yaa,,, sekarang kita sudah di puncak... dan kita telah berhasil..." ucap gue sembari menyodorkan botol coca cola untuk Ayuni.
"Makasih mas Ambonk, gue bener-bener terharu, seneng banget bisa berdiri disini... ini yang pertama kalinya buat gue..." ucap Ayuni dengan tatapannya memancar ke segala sudut keindahan di puncak gunung ini.
"Dan semoga akan ada puncak-puncak yang akan teraih kelak oleh pijakan kakimu... karena keindahan Indonesia gak cuma ada disini..." jawab gue memotong ucapan Ayuni.
Saat gue sedang asyik ngobrol dengan Ayuni tiba Adrian datang.
"Bonk yuuk kita ikut upacara disana..." ajak Adrian sambil menunjuk di dataran yang ada di sekitar puncak yang sudah dipenuhi para pendaki yang akan melakukan upacara memperingati hari kemerdekaan republik Indonesia yang ke 70 tahun.
Kami pun bergegas menuju tempat upacara, dan bergabung dengan barisan.
Karena gue ketua team, otomatis gue berada didepan dari kelompok gue. Dan tak berapa lama upacara pun dimulai.
Semua terjadi sangat hikmat apalagi saat lagu kebangsaan indonesia raya dikumandangkan.
Bergetar hati gue menyaksikan bendera merah putih berkibar di puncak gunung ini, seketika batinku berkata dengan tegasnya,
Disini, dipuncak gunung ini, salah satu titik tertinggi di negeri ini, tepat di bawah kibaran sang merah putih, aku dan rekan-rekan sesama pendaki, berdiri tegap menyanyikan lagu kebanggaan negeriku "Indonesia Raya" dengan penuh antusiasme...
Seketika anganku terbang di era 70 tahun yang lalu, dimana para pendahuluku berjuang gigih merebut kemerdekaan dari tangan penjajah yang membelenggu...
Berjuang dengan segenap jiwa dan raga hingga titik darah penghabisan,
berharap pemimpin-pemimpin setelahmu bisa meneruskan pejuangan....
Tapi kenyataannya...???
Pemimpin-pemimpin di era saat ini, mengisi kemerdekaan yang engkau wariskan dengan bergelimang fasilitas kemewahan, mengumbar nafsu keegoisan...
Seakan mereka lupa sikap patriotisme yang engkau ajarkan,
Atau mereka sengaja melupa dan menganggap kisahmu telah usang dimakan zaman...???
Tetapi,
Jangan bersedih pahlawanku...!!!
Jangan menangis para pendiri bangsaku...!!!
Lihatlah...!!!
Liahatlah kami masih berdiri disini...
Berdiri tegap tak terkoyah walau angin selalu menggoyah...
Mungkin langkah kami tak sekokoh langkahmu saat mengusir para penjajah itu...
Tapi setidaknya kami bukan mereka yang buta oleh kekuasaan dan kemewahan semu...
Karena kami adalah generasi-generasi yang siap meneruskan perjuanganmu dengan sikap patriotisme...
Puncak Ciremai 17 agustus 2015
***
Tiba2 ada seseorang yang nyolek tangan gue sambil ngomong,
"Woy bro, upacaranya udah selesai dari tadi kalee...
Ngapain lu masih berdiri aje dengan tangan yg masih hormat gitu...???
Ngelamun mulu lu...
Noohh yang lain pada ngetawain... Hahahaa..."
Ucap Aldi ngeledek, ngasih tau bahwa temen2 pendaki yang lain yang dari tadi ngliatin gue yang berdiri hormat di bawah bendera.
"Ups, sori bro... Gue keasyikan ngelamun, hehehee..." Jawab gue sambil cengar-cengir...
Yaa, begitulah gue.
Kalo udah ngelamun lupa deh segalanya. Tapi gue tetep bangga jadi diri sendiri, tanpa ada yang harus ditutup-tutupi atau berlaga sok cool atau sok ganteng. Karena kekonyolan gue yang membuat temen-temen gue merasa nyaman bereng gue.
Setelah makan dan ngopi, santai, dan ngobrol ngalor ngidul entah kemana, tak terasa kami sudah 3 jam berada di puncak ini, dan kini saatnya bersiap untuk turun.
Perjalanan turun pun kami lalui dengan santai, sambil menikmati pemandangan lereng utara. Semua terasa lengkap dengan tangan gue yang masih menggandeng Ayuni.
"Ini bener-bener pendakian terindah..." lagi-lagi hati gue berucap kata-kata itu.
"Yaa,,, pendakian terindah..." diulangi lagi.
***
Setelah 2 jam perjalanan turun akhirnya sampai juga di pos Batu Lingga tempat dimana temen-temen gue yang lain. Seketika Sapot yang dari tadi telah menunggu kedatangan kami, langsung memeluk gue.
"Selamat sobat... gue bangga sama lu..." ucap Sapot sambil memeluk gue dan kemudian memeluk yang lain.
"Alhamdulilkah Pot perjalanan berhasil. Kita telah mengibarkan bendera merah putih dan bendera BINZAH di puncak tertinggi gunung Ciremai...." jawab gue bangga.
"Alhamdulillah... syukur kalo gitu, gue ikut bangga..." jawab Saput sambil menepuk-nepuk pundak gue.
"Oiya, seletah sesampainya kita disini, secara resmi kepimpinan gue serahin ke elu lagi Pot..." ucap gue sambil menyodorkan lipatan bendera.
"Oke kalo begitu, gue terima lagi..." jawab Sapot singkat.
Dan tak lama gue ngobrol, tiba-tiba Tiar yang sedari tadi duduk di depan kompor langsung teriak.
"Woy kawan sini dulu laah... apa lupa sama kawanmu ini..." ucap Tiar sambil menyeduh kopi dengan nada bercanda.
"wuuiiihhh... udah sembuh aje lu... gimana kabar kaki lu yang keseleo...???" jawab gue sambil mendekat.
"Alhamdulillah Bonk, udah lumayan enakan nih karena pijitan dari lu... dari tadi udah gue coba jalan-jalan di sekitar tenda ini, walau masih pincang tapi yang penting udah bisa diajak jalan..." jawabnya dengan nada senang.
Dan kami pun berkumpul mengitari kompor yang selalu memasak air untuk menyeduh kopi dan mengisi kembali gelas-gelas yang mulai tiris karena selau diseruput sang empunya sembari ngobrol santai.
Akhirnya kami lengkap berkumpul lagi setelah sekian lama terpisah karena tugas dalam team pendakian yang berbeda.
"Woy bro, ada kabar gembira nih..." ucap Sapot dengan semangatnya.
"Apa bro kabar apa bro...???" jawab Adit sedikit penasaran.
"Iya apa Pot ada kabar apa...???" Gendut menimpali makin penasaran.
"Begini kawan-kawan, setelah ditinggal kalian ke puncak, di tempat ini terjadi jalinan asmara yang sangat romatis bak Arjuna dan Srikandi nya... hahahaa..." jawab Sapot sedikit ngeledek.
"Emang siapa Pot yang baru Jadian...???" tanya Adrian makin penasaran.
"Si Tiar akhirnya jadian sama Vitha bro, setelah sekian lama terkapar dan dirawat sama perawat yang bernama Novitha Adriani alias Vitha... hahahaa..." jawab Sapot tanpa basa basi.
"Hahahhaa... cie... cie..." seketika semua pada ngeledek Tiar.
Sementara Tiar dan Vitha pun hanya senyum dan tersipu malu.
Tetapi entah kenapa hati gue seakan hancur mendengar kabar itu, kenapa cemburu masih merajai jiwa gue...??? Padahal gue sadar cewek secantik dan selincah Vitha gak mungkin bersanding dengan gue, dan itu sangat mustahil. Tapi rasa cemburu ini tetap tak bisa gue sembunyiin.
Sementara yang lain pada sorak sorai gue cuma bisa termenung, gak bisa nyembunyiin perasaan ini.
Tapi ditengah kegalauan hati gue, tiba-tiba Ayuni yang sedari tadi duduk disamping gue langsung menggenggam tangan gue. Seakan dia tau perasaan gue dan seakan dia juga bilang,
"Jangan kuatir mas Ambonk, masih ada gue disisi lu saat ini.."
Seketika bibir gue kembali tersenyum dan kegalauan ini pun segera terobati. Dan gue lebih merasa nyaman dengan Ayuni, dia gadis yang baik, yang selalu mengerti keadaan gue, penampilannya pun apa adanya. Dan disisinya lah gue merasa bahagia.
"Ayuni, gadis berkerudung nan ayu mempesona..." kata hati gue sambil memandang wajahnya.
***
Tepat jam 2 siang setelah makan siang dan tenda telah dirapihkan, kami mulai bergegas melanjutkan perjalanan turun meninggalkan pos Batu Lingga ini.
Perjalanan pun terasa lebih menyenangkan karena gue dengan Ayuni seakan sudah semakin sehati. Sepanjang perjalanan kami selalu bergandengan tangan, seperti sepasang kekasih yang belum resmi menjalin kasih.
"Ini sungguh pendakian terindah..." lagi-lagi hati gue berucap kata-kata itu.
"Yaa,,, pendakian terindah..." diulangi lagi.
***
Tapi menjelang petang tiba-tiba kabut datang dan tak berapa lama hujan turun begitu lebatnya walau dimusim kemarau. Mungkin benar kata orang, di gunung Ciremai ini hujan bisa turun kapan saja bahkan di musim kemarau.
Dan hujan membuat jalur yang terjal semakin licin, ditambah malam yang mulai gelap mebuat kami sering terperosok seperti main plosotan pada anak-anak TK.
Setelah berunding akhirnya kami putuskan untuk mendirikan tenda lagi dan bermalam di jalur ini. Dan kebetulan di sekitar sini ada tenda pendaki lain juga diantaranya ada tenda ranger.
Tenda segera dibangun, namun hujan masih saja turun, membuat suasanya menjadi sangat kacau.
Ditengah kepanikan dan ketergesah-gesahan mendirikan tenda, tiba-tiba Ayuni jatuh pingsan karena kedinginan.
"Ayu'...." gue berteriak dan langsung mendekat, memapahnya masuk ke tenda Ranger yang kebetulan mempersilahkan untuk masuk ke tendanya.
Seketika Sapot mendekat,
"Ayuni kenapa Bonk, kenapa dia..." tanya Sapot panik, karena bagaimana pun juga, Ayuni masih sepupunya.
"Gue juga gak tau Pot, dari tadi dia duduk kedinginan, sementara yang lain sedang sibuk mendirikan tenda..." jawab gue panik.
"Yaudah kita urus Ayuni, biar segera sadar... gue takut dia kena hipotermia, ini sangat berbahaya..." jawab Sapot sembari mengosok-gosok telapak kakinya.
"Pot biar Vitha gantiin bajunya Ayu' yang basah, biar diganti yang kering, kita tunggu diluar aja, sebelum tubuhnya makin kedinginan... dan kalian semua selesaiin mendirikan tenda nya, dan setelah itu ganti baju yang kering juga, karena cuaca sangat dingin..." ucap salah satu Ranger memberi arahan.
Setelah semua memakai pakaian kering, gue, Vitha, Sapot dan para Ranger disana segera memberi pertolongan pada Ayuni dengan menggosok-gosok telapak kaki dan tangannya. Sementara yang lain memasak air hangat di tenda yang satunya.
Tak berapa lama Ayuni siuman, tapi dia masih menggigil kedinginan. Ranger yang lebih berpengalaman memberi perintah agar Ayuni diselimuti sleeping bag, gue pun segera mengambil sleeping bag dan memberikan padanya, lalu ranger tadi juga memerintahkan agar Vitha memeluknya dalam satu sleeping bag dan sama-sama telanjang agar tranfer panas tubuh dari Vitha menghantar ke tubuh Ayuni.
Segera para laki-laki keluar tenda dan memberi kesempatan pada Vitha untuk memberikan pertolongan pada Ayuni.
Setelah keadaan Ayuni mulai membaik, dan air hangat pun sudah siap, segera dimasukan air hangat itu ke dalam botol lalu dibungkus dengan kaos atau handul dan diletakan dibagian ketiak, leher dan pangkal paha, Ayuni dalam kondisi yang masih terbungkus sleeping bag. Tubuhnya makin hangat.
"Kenapa gak diletakkan di jari atau telapaknya aja mas..." tanya Gendut pada ranger.
"Kalo botol diletakkan di jari, darah yang dingin akan terpompa masuk ke jantung dan otak, justru itu sangat berbahaya... jadi botol harus diposisi ketiak, leher dan sela-sela paha..." jelas ranger itu secara ilmiah.
Setelah kondisi Ayuni benar-benar membaik dan mulai bisa diajak komunikasi, kami semua terasa lega dan tak lupa kami langsung memberikan teh hangat padanya.
Dan suasana tenda pun serasa lebih hangat dan damai dari sebelumnya.
Alhamdulillah akhirnya semua baik-baik saja.
Setelah semua membaik, kami pindah ke tenda kami sendiri yang sudah rapi berdiri.
Setelah malam semakin larut dan rasa kantuk mulai menyerang kami, akhirnya tepat jam 10 malem kami terlelap dan istirahat.
***
Dan paginya setelah sarapan dan olahraga peregangan otot, tepat jam 9 kami berkemas dan melanjutkan perjalanan turun.
Tak lupa kami mampir ke tenda ranger dulu yang semalem membantu kami. Untuk sekedar pamit dan mengucapkan terimakasih.
Perjalanan turun pun dimulai, lereng-lereng yang curam membutuhkan konsentrasi dan kehati-hatian, dan setelah berjalan begitu lama, akhirnya kami sampai di pos pendaftaran lagi... alhamdulillah...
Lega rasanya bisa memasuki perkampungan lagi, setelah sekian hari berkecimpung dengan hutan belantara dan bejibaku dengan debu dan lumpur di jalur yang sangat terjal.
Dan tanpa diduga sebelumnya, ternyata setiap pendaki yang turun, di pos pendaftaran ini, para pendaki dihadiahi sertifikat sebagai kenang-kenangan atau sebagai bukti pendakian gunung Ciremai.
Setelah makan siang di warung dekat pos pendaftaran, kamipun bergegas melanjutkan perjalanan pulang. Tak lupa kami sempatkan mampir ke gedung bersejarah Linggarjati. Disini terdapat taman yang indah, kami sempatkan berkeliling ditaman itu.
Jika di taman seindah ini bersama Ayuni, hati ini serasa ingin bergoyang dan lalu bernyayi lagu-lagu india, dan diiringi musik hindustani dan gue juga membayangkan para sahabat gue juga ikut joget sambil menabur bubuk warna-warni.
Aaah, tapi sayang ini bukan dalam film bollywood, ini kisah nyata gue.
Tapi apapun itu gue tetep ngerasa bahagia.
"Ini bener-bener pendakian terindah..." lagi-lagi hati gue berucap kata-kata itu.
"Yaa,,, pendakian terindah..." diulangi lagi.
***
Setelah turun sampai di jalan raya, kami segera naik bus jurusan Jakarta, dan di bus inilah kenangan yang yang tak terlupakan dalam hidup gue, gue duduk berdua bareng Ayuni, di bangku sebelah kiri baris ke 5 dari depan. Di perjalanan kami isi dengan canda tawa dan bercerita tentang keindahan-keindahan alam di negeri Indonesia. Dan yang bikin hati gue bahagia luar biasa, saat Ayuni tertidur dipundak gue, dak dik duk rasanya, bahkan kami tertidur bersama dengan begitu dekatnya.
Tak terasa jam menunjukan pukul 10 malem, dan bus yang kami tumpangi telah sampai di terminal Pasar Rebo. Kami pun bergegas turun, dan disinilah kami saling bertukar nomor handpone.
"Yaa, ini bener-bener pendakian terindah..." lagi-lagi hati gue berucap kata-kata itu.
"Yaa,,, pendakian terindah..." diulangi lagi.
Tapi saat ini, setelah semua berpisah menuju rumah masing-masing hati gue merasa sepi, dan baru beberapa detik berpisah dengan Ayuni tapi rasanya udah kangen seperti berhari-hari tak bertemu.
Lalu gue duduk di bangku sambil menunggu angkot menuju rumah gue, tapi di hati gue merasa ada yang kurang.
Yaa, gue baru teringat lagi kalo cerriel gue ilang entah kemana...???
Seketika pikiran gue panik, pusing mikirin tenda yang dari minjem itu...???
"Aaahh gaswat nih, gimana cara njelasinnya nih...???" gumam hati gue panik.
Tapi ditengah kepanikan yang melanda, tiba-tiba handphone gue berbunyi, setelah gue angkat.
"Haloo,,, assalamualaikun...
Apa bener ini mas Refli Ambonk...???" tanya seorang laki-laki dari telpon.
"Iya ini gue Ambonk, maaf ini siapa yaa...???" jawab gue penasaran.
"Ini gue Supri, maaf gue kemaren pas mau ke Ciremai via Palutungan, gak sengaja ada cerriel yang kebawa kelompok gue..." jawabnya sambil menerangkan kronologisnya.
"Yang bener mas...??? Alhamdulillah... makasih mas..." jawab gue riang.
"Oiya mas tapi gimana mas tau nomor hp gue...???" tanya gue lagi.
"Kan di gantungan resletingnya ada tulisan nomor HP nya... oiya posisi mas Ambonk dimana nih, kalo gue lagi di bus sebentar lagi masuk terminal Pasar Rebo..." jawab dia.
"Oohh kebetulan gue juga baru nyampe pasar rebo mas, gue tunggu di depan pintu gerbangnya ya mas... sebelumnya makasih banget nih mas..." jawab gue antusias.
Yaa, akhirnya kegalauan ini terkhiri, ternyata gantungan kunci itu memberikan manfaat yang sempurna. Bener kata Adit, cerriel itu bukan diambil orang, tapi hanya kebawa kelompok lain tanpa sengaja, dan sejatinya sesama pendaki itu saudara...
Dan sebagai saudara, jika menemukan sesuatu pasti akan berusaha mengembalikannya. Dan saat ini gue telah membuktikannya.
Semua yang gue alami dalam pendakian ini, membuat bahagia dan berkesan selama hidup gue.
"Yaa, ini bener-bener pendakian terindah..." lagi-lagi hati gue berucap kata-kata itu.
"Yaa,,, pendakian terindah..." diulangi lagi.
================SEKIAN===============
NB: cerita ini diilhami dari kisah nyata sahabat saya Refli Ambonk, dan foto-foto diatas diambil dari koleksi pribadi yang bersangkutan dan dari berbagai sumber. Jika ada foto yang menampilkan merk suatu produk (tas & air minum) bukan berarti kami bermaksud promosi atau ada maksud lain, ini hanya ilustrasi untuk menggambarkan dari cerita yang dimaksud.
Terimaksih telah membaca...
=====================================