Episode (5/10)
Sejarah kota Tuban
Untuk awal cerita sikahkan KLIK DISINI
Setelah meninggalkan Surabaya kami melewati perjalanan yang cukup menantang, jalan yang sepi dan hutan yang masih belantara, bahkan beberapa sungai tanpa jembatan yang harus kami seberangi dengan berenang. Namun aku dan Wingsanggeni tak pernah gentar sedikit pun, kami tetap terus memacu kuda dengan semangatnya.
Tak jarang kami juga melewati kebun, sawah, ladang dan perkampungan penduduk yang cukup ramai dan ramah. Bahkan tak jarang juga kami melewati jalan yang cukup lebar dan banyak lalu lalang pedati perniagaan dan juga patroli dari prajurit kerajaan.
Hingga kami bertemu muara sungai yang cukup luas yang tak mungkin kami seberangi dengan tangan kosong. Namun di tengah kebingungan ini aku melihat beberapa perahu jukung yang siap mengantar para warga yang lalu-lalang untuk menyeberangi sungai ini.
Kamipun mendekat ke pemilik jukung itu.
"maaf pak apa bisa saya minta tolong untuk menyeberangkan kami dan kuda-kuda kami ke ujung seberang sungai ini...???" aku mencoba berkomunikasi dengan bapak-bapak tua pemilik perahu jukung.
"Dengan senang hati kisanak, aku akan mengantar kalian sampai di seberang sana. Karena ini memang sudah menjadi tanggung jawabku..." pemik jukung itu menyambut ramah.
"Baik terimakasih pak..." jawab Wingsang sambil menuntun kudanya masuk ke jukuk itu.
"Maaf kalo boleh tau, ini sungai apa yaa pak, kok sungai ini sungguh besar sekali, bahkan lebih besar dari sungai Brantas...???" tanyaku pada bapak pemilik jukung.
"Ini sungai Bengawan Solo nak, sungai ini menang sangat besar dan termasuk sungai yang terpanjang di negeri Majapahit ini, karena itulah kota diseberang sana dijadikan kota kabupaten yang maju oleh kerajaan Majapahit dan disana juga terdapat pelabuhan yang cukup besar, karena sungai ini bisa menghubungkan jalur kapal perniagaan menuju wilayah Jawa bagian selatan..." jelas bapak itu sambil mengayuh dayung Jukungnya.
"Kalo boleh tau kota apa diseberang sana pak...???" tanyaku dengan nada heran dan penasaran.
"Disana adalah kota kadipaten Tuban nak, kota nya Ranggalawe..." jawabnya singkat.
"Oohh iya aku ingat, Ranggalawe adalah salah satu orang yang berjasa besar atas berdirinya Majapahit, beliau anak dari Arya Wiraraja bupati Songmeneb (nama lama Sumenep, Madura)
Beliau diutus ayahnya untuk membantu Raden Wijaya dalam membabat hutan Carik untuk dibangun kerajaan, beliau juga membantu melawan perang Tar-Tar melawan Mongol dan perang melawan kerajaan Kediri, beliau sangat berjasa besar dalam pembentukan awal kerajaan Majapahit ini..." jawab sahabatku Wingsang Geni.
"Yaa, karena itulah Raden Wijawa menghadiahi wilayah Tuban ini, dan menunjuknya sebagai adipati Tuban...
Walau pada akhirnya........." belum selesai bercerita aku memotong pembicaraannya.
"Pada akhirnya apa pak...???" dengan penasaran aku nyelak bertanya pada bapak pemilik Jukung.
"Pada akhirnya Ranggalawe harus mati sebagai pemberontak..." jelas bapak pemilik jukung itu sambil menundukan kepalanya.
"Kok bisa begitu pak...???" tanyaku makin penasaran.
"Begini ceritanya:
Ranggalawe bisa memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik bernama Mahapati. Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi.
Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Raden Wijaya di ibu kota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih.
Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana. Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban .
Mahapati yang licik ganti menghasut Nambi dengan melaporkan bahwa Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe.
Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun terjadi di sana. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang pandai berenang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam.
Melihat keponakannya disiksa sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan. Ia pun membunuh Kebo Anabrang dari belakang. Pembunuhan terhadap rekan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Lembu Sora pada tahun 1300 .
Begitulah cerita singkatnya nak..." bapak pemilik jukung itu mencoba menjelaskan tentang Ranggalawe.
"Ooohh sekarang aku mengerti pak, berarti yang menjadi penghasut dan pengadu domba adalah Mahapati...??? Dia berhasil mengadu domba antara Ranggalawe dan pihak istana..." ucapku menyesalkan apa yang terjadi pada Ranggalawe.
"Yaa begitulah yang terjadi, Ranggalawe yang sangat berjasa besar akhirnya harus mati sebagai pemberontak hanya karena hasutan dan fitnah dari Mahapati..." jawab bapak pemilik jukung dengan wajah murung menerawang ke jaman itu sambil terus mendayung jukungnya.
"Aku juga menyesalkan kejadian itu pak, makasih banyak atas penjelasannya..." jawabku singkat.
"Tapi biarpun bagaimana, kami sebagai masyarakat Tuban tetap menganggap bahwa Ranggalawe sebagai seorang pahlawan dan selalu kami kagumi..." jelas bapak itu lagi menimpali, wajahnya mengisaratkan bahwa beliau sangat menghormati Ranggalawe.
"Iyaa pak, aku juga sangat menghargai beliau, dari kisah tadi aku jadi lebih mengerti tantang sejarah berdirinya Majapahit, khususnya kadipaten Tuban ini..." jawabku menenangkan.
"Baiknya, sekarang kita sudah sampai disisi barat sungai Bengawan Solo ini, silahkan mendarat nak..." bapak itu mempersilahkan kami untuk melangkah ke tepian sungai yang telah dipasang dermaga kecil untuk bersandar jukung penyeberangan.
"Oiya pak, berapa ongkosnya pak...???" tanya Wingsang pada bapak pemilik Jukung.
"Dua kepeng aja nak..." jawab bapak itu.
"Baik ini kek, tak perlu ada kembalian..." jawab Wingsang sambil memberikan beberapa kepeng uang koin.
"Tapi ini terlalu banyak nak..." jawab bapak itu lagi sambil terheran atas uang yang diberikan Wingsang.
"Tidak pak, itu pantas buat bapak yang mengabdi membantu orang untuk menyeberangi sungai yang sangat besar ini..." jawab Wingsang tenang.
"Baiklah kalau begitu, makasih nak atas semua ini..." jawabnya dengan wajah yang berseri.
"Sama-sama pak, bapak juga banyak bercerita pada kami yang sangat berarti bagi kami..." jawab Wingsang sembari menaiki kudanya dan siap kembali melanjutkan perjalanannya.
"Hati-hati dijalan kisanak... semoga perjalanan kalian berkesan dan penuh pengalaman, Tuhan memberkati kalian..." ucap kakek itu sembari melambaikan tangannya.
Aku dan sahabatku Wingsanggeni kembali memacu kudanya untuk memasuki kota Tuban, kota penuh sejarah yang mengiringi berdirinya Majapahit.
Setelah beberapa saat memacu kuda, nampak di hadapan sana kota yang cukup ramai dan cukup padat, makin tak sabar aku mendekatinya.
Setelah mendekat, dan masuk gapuranya ternyata memang tak sia-sia sang Ranggalawe mengorbankan hidupnya untuk membangun kota ini. Kota ini termasuk kota besar dengan pasar dan pelabuhan yang cukup ramai oleh aktivitas perdagangan.
Bahkan pertanian dan irigasinya cukup baik dan tertata. Ini membuktikan kadipaten Tuban memang layak disebut kotanya Ranggalawe sang pemberani dan berwibawa. Karena memang tak mudah membangun sebuah kota tanpa keberanian dan kewibawaan.
"Gimana Sena, apa sebaiknya kita bermalam disini saja, atau terus melanjutkan perjalanan...???" tanya Wingsang sambil duduk di pelana kuda.
"Ada baiknya kita mencari tempet bermalam di sini, karena kita telah menempuh jarak yang lumayan jauh, lagian kuda kita perlu istirahat, jadi gak perlu nunggu malam dulu kita beristirahat...
Kita cari penginapan, lalu kita jalan-jalan mengenal kota kadipaten Tuban ini..." jelasku panjang lebar.
"Baiklah kalau begitu kita kesana saja mencari penginapan yang nyaman..." ajak Wingsang.
Yaa, sore itu kami habiskan menelusuri kota Tuban, dari pelabuhan sampai ke pusat kota, bahkan sampai di daerah selatan yang penuh persawahan dan irigasi yang baik. Ini benar-benar wilayah yang makmur sentosa.
Setelah itu, paginya kami meneruskan perjalanan ke barat. Kembali menyusuri jalan untuk menuju kerajaan Sunda Galuh, entah berapa lama lagi kami menyusuri petualangan ini, padahal baru sepuluh hari kami meninggalkan Trowulan rasanya sudah rindu sekali ingin pulang ke padepokan kakek Sasora, tapi inilah tugas, inilah tanggung jawab mengemban amanat, seberat dan selelah apapun kami harus tunaikan kewajiban ini.
Tak ada kata kembali sebelum amanat disampaikan. Aku yakin aku akan mampu melewati kejenuhan ini. Aku yakin perjalanan ini akan mendewasakan jiwaku, membentuk karakterku dan menambah wawasanku atas kecintaan pada tanah airku.
Yaa, aku akan terus melangkah, aku akan terus bertualang hingga aku benar-benar memahami arti dari perjalananku ini.
Apalagi ada sahabatku Wingsang Geni yang selalu menemani setiap kisah yang aku ukir. Ini adalah perjalanan besar seorang pengembara.
"Hiaa... Hiaa... Hiaaa...!!!!" aku dan Wingsanggeni terus memacu kuda dengan gagahnya.
Karena kami memang tercipta sebagai prajurit yang harus gagah berani.
Menghadapi rintangan yang akan menghadang...
Karena aku yakin, perjalanan ini akan terus berjalan....
========== BERSAMBUNG ============
Untuk kisah selanjutnya KLIK DISINI
Sejarah kota Tuban
Untuk awal cerita sikahkan KLIK DISINI
Setelah meninggalkan Surabaya kami melewati perjalanan yang cukup menantang, jalan yang sepi dan hutan yang masih belantara, bahkan beberapa sungai tanpa jembatan yang harus kami seberangi dengan berenang. Namun aku dan Wingsanggeni tak pernah gentar sedikit pun, kami tetap terus memacu kuda dengan semangatnya.
Tak jarang kami juga melewati kebun, sawah, ladang dan perkampungan penduduk yang cukup ramai dan ramah. Bahkan tak jarang juga kami melewati jalan yang cukup lebar dan banyak lalu lalang pedati perniagaan dan juga patroli dari prajurit kerajaan.
Hingga kami bertemu muara sungai yang cukup luas yang tak mungkin kami seberangi dengan tangan kosong. Namun di tengah kebingungan ini aku melihat beberapa perahu jukung yang siap mengantar para warga yang lalu-lalang untuk menyeberangi sungai ini.
Kamipun mendekat ke pemilik jukung itu.
"maaf pak apa bisa saya minta tolong untuk menyeberangkan kami dan kuda-kuda kami ke ujung seberang sungai ini...???" aku mencoba berkomunikasi dengan bapak-bapak tua pemilik perahu jukung.
"Dengan senang hati kisanak, aku akan mengantar kalian sampai di seberang sana. Karena ini memang sudah menjadi tanggung jawabku..." pemik jukung itu menyambut ramah.
"Baik terimakasih pak..." jawab Wingsang sambil menuntun kudanya masuk ke jukuk itu.
"Maaf kalo boleh tau, ini sungai apa yaa pak, kok sungai ini sungguh besar sekali, bahkan lebih besar dari sungai Brantas...???" tanyaku pada bapak pemilik jukung.
"Ini sungai Bengawan Solo nak, sungai ini menang sangat besar dan termasuk sungai yang terpanjang di negeri Majapahit ini, karena itulah kota diseberang sana dijadikan kota kabupaten yang maju oleh kerajaan Majapahit dan disana juga terdapat pelabuhan yang cukup besar, karena sungai ini bisa menghubungkan jalur kapal perniagaan menuju wilayah Jawa bagian selatan..." jelas bapak itu sambil mengayuh dayung Jukungnya.
"Kalo boleh tau kota apa diseberang sana pak...???" tanyaku dengan nada heran dan penasaran.
"Disana adalah kota kadipaten Tuban nak, kota nya Ranggalawe..." jawabnya singkat.
"Oohh iya aku ingat, Ranggalawe adalah salah satu orang yang berjasa besar atas berdirinya Majapahit, beliau anak dari Arya Wiraraja bupati Songmeneb (nama lama Sumenep, Madura)
Beliau diutus ayahnya untuk membantu Raden Wijaya dalam membabat hutan Carik untuk dibangun kerajaan, beliau juga membantu melawan perang Tar-Tar melawan Mongol dan perang melawan kerajaan Kediri, beliau sangat berjasa besar dalam pembentukan awal kerajaan Majapahit ini..." jawab sahabatku Wingsang Geni.
"Yaa, karena itulah Raden Wijawa menghadiahi wilayah Tuban ini, dan menunjuknya sebagai adipati Tuban...
Walau pada akhirnya........." belum selesai bercerita aku memotong pembicaraannya.
"Pada akhirnya apa pak...???" dengan penasaran aku nyelak bertanya pada bapak pemilik Jukung.
"Pada akhirnya Ranggalawe harus mati sebagai pemberontak..." jelas bapak pemilik jukung itu sambil menundukan kepalanya.
"Kok bisa begitu pak...???" tanyaku makin penasaran.
"Begini ceritanya:
Ranggalawe bisa memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik bernama Mahapati. Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi.
Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Raden Wijaya di ibu kota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih.
Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana. Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban .
Mahapati yang licik ganti menghasut Nambi dengan melaporkan bahwa Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe.
Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun terjadi di sana. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang pandai berenang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam.
Melihat keponakannya disiksa sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan. Ia pun membunuh Kebo Anabrang dari belakang. Pembunuhan terhadap rekan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Lembu Sora pada tahun 1300 .
Begitulah cerita singkatnya nak..." bapak pemilik jukung itu mencoba menjelaskan tentang Ranggalawe.
"Ooohh sekarang aku mengerti pak, berarti yang menjadi penghasut dan pengadu domba adalah Mahapati...??? Dia berhasil mengadu domba antara Ranggalawe dan pihak istana..." ucapku menyesalkan apa yang terjadi pada Ranggalawe.
"Yaa begitulah yang terjadi, Ranggalawe yang sangat berjasa besar akhirnya harus mati sebagai pemberontak hanya karena hasutan dan fitnah dari Mahapati..." jawab bapak pemilik jukung dengan wajah murung menerawang ke jaman itu sambil terus mendayung jukungnya.
"Aku juga menyesalkan kejadian itu pak, makasih banyak atas penjelasannya..." jawabku singkat.
"Tapi biarpun bagaimana, kami sebagai masyarakat Tuban tetap menganggap bahwa Ranggalawe sebagai seorang pahlawan dan selalu kami kagumi..." jelas bapak itu lagi menimpali, wajahnya mengisaratkan bahwa beliau sangat menghormati Ranggalawe.
"Iyaa pak, aku juga sangat menghargai beliau, dari kisah tadi aku jadi lebih mengerti tantang sejarah berdirinya Majapahit, khususnya kadipaten Tuban ini..." jawabku menenangkan.
"Baiknya, sekarang kita sudah sampai disisi barat sungai Bengawan Solo ini, silahkan mendarat nak..." bapak itu mempersilahkan kami untuk melangkah ke tepian sungai yang telah dipasang dermaga kecil untuk bersandar jukung penyeberangan.
"Oiya pak, berapa ongkosnya pak...???" tanya Wingsang pada bapak pemilik Jukung.
"Dua kepeng aja nak..." jawab bapak itu.
"Baik ini kek, tak perlu ada kembalian..." jawab Wingsang sambil memberikan beberapa kepeng uang koin.
"Tapi ini terlalu banyak nak..." jawab bapak itu lagi sambil terheran atas uang yang diberikan Wingsang.
"Tidak pak, itu pantas buat bapak yang mengabdi membantu orang untuk menyeberangi sungai yang sangat besar ini..." jawab Wingsang tenang.
"Baiklah kalau begitu, makasih nak atas semua ini..." jawabnya dengan wajah yang berseri.
"Sama-sama pak, bapak juga banyak bercerita pada kami yang sangat berarti bagi kami..." jawab Wingsang sembari menaiki kudanya dan siap kembali melanjutkan perjalanannya.
"Hati-hati dijalan kisanak... semoga perjalanan kalian berkesan dan penuh pengalaman, Tuhan memberkati kalian..." ucap kakek itu sembari melambaikan tangannya.
Aku dan sahabatku Wingsanggeni kembali memacu kudanya untuk memasuki kota Tuban, kota penuh sejarah yang mengiringi berdirinya Majapahit.
Setelah beberapa saat memacu kuda, nampak di hadapan sana kota yang cukup ramai dan cukup padat, makin tak sabar aku mendekatinya.
Setelah mendekat, dan masuk gapuranya ternyata memang tak sia-sia sang Ranggalawe mengorbankan hidupnya untuk membangun kota ini. Kota ini termasuk kota besar dengan pasar dan pelabuhan yang cukup ramai oleh aktivitas perdagangan.
Bahkan pertanian dan irigasinya cukup baik dan tertata. Ini membuktikan kadipaten Tuban memang layak disebut kotanya Ranggalawe sang pemberani dan berwibawa. Karena memang tak mudah membangun sebuah kota tanpa keberanian dan kewibawaan.
"Gimana Sena, apa sebaiknya kita bermalam disini saja, atau terus melanjutkan perjalanan...???" tanya Wingsang sambil duduk di pelana kuda.
"Ada baiknya kita mencari tempet bermalam di sini, karena kita telah menempuh jarak yang lumayan jauh, lagian kuda kita perlu istirahat, jadi gak perlu nunggu malam dulu kita beristirahat...
Kita cari penginapan, lalu kita jalan-jalan mengenal kota kadipaten Tuban ini..." jelasku panjang lebar.
"Baiklah kalau begitu kita kesana saja mencari penginapan yang nyaman..." ajak Wingsang.
Yaa, sore itu kami habiskan menelusuri kota Tuban, dari pelabuhan sampai ke pusat kota, bahkan sampai di daerah selatan yang penuh persawahan dan irigasi yang baik. Ini benar-benar wilayah yang makmur sentosa.
Setelah itu, paginya kami meneruskan perjalanan ke barat. Kembali menyusuri jalan untuk menuju kerajaan Sunda Galuh, entah berapa lama lagi kami menyusuri petualangan ini, padahal baru sepuluh hari kami meninggalkan Trowulan rasanya sudah rindu sekali ingin pulang ke padepokan kakek Sasora, tapi inilah tugas, inilah tanggung jawab mengemban amanat, seberat dan selelah apapun kami harus tunaikan kewajiban ini.
Tak ada kata kembali sebelum amanat disampaikan. Aku yakin aku akan mampu melewati kejenuhan ini. Aku yakin perjalanan ini akan mendewasakan jiwaku, membentuk karakterku dan menambah wawasanku atas kecintaan pada tanah airku.
Yaa, aku akan terus melangkah, aku akan terus bertualang hingga aku benar-benar memahami arti dari perjalananku ini.
Apalagi ada sahabatku Wingsang Geni yang selalu menemani setiap kisah yang aku ukir. Ini adalah perjalanan besar seorang pengembara.
"Hiaa... Hiaa... Hiaaa...!!!!" aku dan Wingsanggeni terus memacu kuda dengan gagahnya.
Karena kami memang tercipta sebagai prajurit yang harus gagah berani.
Menghadapi rintangan yang akan menghadang...
Karena aku yakin, perjalanan ini akan terus berjalan....
========== BERSAMBUNG ============
Untuk kisah selanjutnya KLIK DISINI
Episode 4 sampai 7 menceritakan tentang sejarah berdirinya kota-kota di Jawa,
Jika ingin melewati sejarah dan kisah perjalanannya silahkan klik langsung ke inti cerita di episode 8 KLIK DISINI
Jika ingin melewati sejarah dan kisah perjalanannya silahkan klik langsung ke inti cerita di episode 8 KLIK DISINI
Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah
0 comments:
Post a Comment