Sendang Drajat, sumur keramat yang berada dipuncak gunung Lawu itu menjadi awal dari kisah kejadian-kejadian yang akan menimpa Satriyo.
Satriyo, pemuda paruh baya yang sudah tujuh hari berada disekitar sumur Sendang Drajat. Bukan untuk semedi atau ngalap berkah seperti para peziarah-peziarah pada umumnya. Tapi sekedar melepas penat dari hiruk pikuk kehidupan dunia.
Umur satriyo memang sudah tak muda lagi, bulan depan genap 37 tahun. Namun hidupnya sering dihabiskan untuk keluar masuk hutan, bahkan tak jarang dia tinggal di hutan berminggu-minggu lamanya.
Perawakannya yang tinggi proposional, dengan rambut gondrong ikal sebahu, kumis dan bewoknya yang dibiarkan tumbuh liar, tatapan matanya tanjam seperti elang, gaya pakaiannya pun mencerminkan seorang pendaki gunung pada umumnya, selalu mamakai kaos oblong dan celana belel yang membuat penampilannya nampak kumel, namun dengan pembawaan yang tenang, sabar dan berwibawa membuat teman-teman sesama pendaki selalu segan dan menghormatinya.
Turun naik gunung dan keluar masuk hutan sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya, tinggal di daerah-daerah pedalaman pun sudah terbiasa, tak jarang dia mengembara di pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dll. Tetapi dengan begitu bukan berarti dia tak punya anak istri, bukan pula berarti dia seorang pemalas yang tak punya pekerjaan. Walau penampilannya nampak kumuh dan urakan sebenarnya dia seorang pekerja keras, dia pengusaha yang cukup sukses di daerahnya. Peternakan sapi, butik, konveksi, rumah makan dan pabrik produksi tahu-tempe hanya sebagian dari usahanya, banyak lagi bisnis-bisnis lain yang ia geluti.
Semua bisnisnya dia serahkan pada istri, adik dan saudara-saudaranya, tapi dia selalu rutin memantau setiap perkembangannya, bahkan tak jarang saat salah satu bisnisnya mengalami masalah, dia turun langsung mengambil alih kepemimpinannya. Bisa dipastikan saat dia menangani masalah di bisnisnya baru beberapa hari saja bisnisnya langsung kembali stabil, karena keputusan-keputusannya selalu tepat mengenai sasaran. Begitu pula Satriyo mengatasi masalah pada bisnis-bisnisnya yang lain.
Bahkan dia selalu berkata pada adik-adiknya,
"Jangan kuatir bisnis-bisnis kita akan mengalami kemunduran, selama aku dan generasiku masih ada, maka selama itu pula bisnis kita akan selalu terus maju dan berkembang, karena jiwaku selalu bersama bisnis-bisnis itu...
Dan tugas kalian hanyalah menjalankannya...
Jika ada masalah, segera panggil aku... percayalah masalah itu akan takut melihat kehadiranku..."
Begitulah kata-kata yang selalu ditanamkan pada adik dan saudara-saudaranya
Satriyo memang sosok yang cerdas tapi pakem, dia jarang bicara tapi kecerdasannya sangat luar biasa.
Walau kekayaannya yang melimpah tidak membuat dia sombong atau angkuh, tetapi justru membuatnya lebih bersahaja, dermawan dan rendah hati. Bukan mobil mewah atau pakaian branded yang dia pakai, justru motor butut dan baju-baju kumel yang selalu ia kenakan.
Begitulah sosok Satriyo, sosok pengusaha sukses namun tetap bersahaja. Begitu pula saat dia mendaki gunung Lawu ini, dia hanya mengendarai motor Honda CB100 bersama adik sepupunya yang masih kuliah semester dua, Antok namanya.
***
Dan kali ini sudah tujuh hari dia berkutat di puncak gunung Lawu, mulai dari warung mbok Yem sampai warung pak Prapto ia tinggali. Meraka sudah seperti keluarganya sendiri. Bahkan tak jarang dia menyendiri di petilasan-petilasan yang ada di puncak Lawu ini.
Malam ini saat dia duduk menyendiri mencari ketenangan jiwa di pendopo yang terletak di samping sumur Sendang Drajat yang terkenal keramat itu.
Dengan ditemani segelas kopi dan sebatang rokok yang membuat mulutnya selalu mengebul bak cerobong kereta Tawang Jaya.
Tiba-tiba nuansa mistis begitu terasa, pekatnya malam menambah horor suasana, angin pun bertiup sangat kencang hingga menerbangkan dedaunan-dedaunan kering, dengan aroma dupa dan kemenyan khas Sendang Drajat, angin itu bertiup kencang seakan berbisik ke telinganya dan berkata,
"Sudah saatnya pulang Satriyo..."
Seketika Satriyo langsung terkejut dan bangun dari lelap lamunannya. Dilihatnya kanan kiri ke semua penjuru Sendang Drajat itu, seakan dia tak percaya atas apa yang dia dengar. Dan sekali lagi angin bertiup sangat kencang hingga menerbangkan dedaunan-dedaunan kering, dengan aroma dupa dan kemenyan khas Sendang Drajat, angin itu bertiup kencang seakan berbisik dengan suara mirip nenek tua, jelas sekali.
"Cepatlah pulang nak, aku akan menuntunmu dan menjagamu..."
Seketika Satriyo berdiri, dengan tatapan matanya mencari dari mana asal sosok suara itu. Dan suasana pun menjadi sangat mistis, apalagi aura keramat yang dipancarkan dari sumur Sendang Drajat makin menjadi-jadi.
Tak seperti biasanya, sosok Satriyo yang pemberani kini seperti ketakutan yang sangat-sangat, bahkan untuk memandang kearah Sendang Drajat pun dia tak tak punya nyali.
Satriyo segera bergegas menuju warung pak Prapto yang tak jauh dari situ, dibangunkannya Antok yang sedang tertidur pulas.
"Ayo Tok kita pulang...." ucap Satriyo agak tergesah sambil mengemas baju dan perlengkapannya kedalam rangsel.
"Masa' malem-malem koyo ngene arep bali kang...???" jawab Antok yang masih ngantuk dengan logat bahasa khas Pekalongan.
"Aku ada urusan, dan kita harus segera pulang..." jawabnya lagi sembari merapikan ranselnya.
"Yowes kalo begitu kang, tapi aku mau pipis dulu..." jawab Antok sembil melangkah keluar menuju kamar mandi yang ada di samping warung pak Prapto.
***
Malam itu pula mereka bergegas turun, tak lupa sebelumnya dia pamit dan itung-itungan membayar makanan pada pak Prapto.
Dengan langkah yang lebih cepat dan suasanya yang tak seperti biasa, bau-bau dupa dan kemenyan selalu semerbak sepanjang jalan membuat aura mistis semakin terasa, pancaran sinar rembulan yang mengintip dari sela-sela dedaunan atap hutan semakin membuat suasana semakin terasa angker.
Yaa, tak bisa dipungkiri bahwa gunung Lawu ini masih dianggap sakral oleh masyarakat Jawa, bahkan yang biasanya Antok berjalan di belakang kini dia meminta agar selalu didepan. Mereka berdua terus melangkah turun menyusuri jalur setapak di kegelapan hutan.
Tepat pukul 03.00wib mereka sampai di gapuro basecamp. Suasana yang sebelumnya terasa mencekap kini berubah menjadi tenang. Mereka pun langsung masuk ke basecamp dan istirahat.
Karena saking lelahnya, tak terasa mereka langsung terlelap dalam tidurnya.
***
Dan paginya, tepat pukul 07.00wib mereka terbangun dan bergegas melanjutkan perjalanan pulang.
Tas rengsel pun ditata di belakang motornya dan diikat dengan posisi dibelakang joknya, persis seperti para pemudik yang hendak mudik lebaran.
Setelah semua rapi mereka pun segera memacu motor bututnya dan seperti biasa Antok yang didepan, karena Satriyo lebih senang dibelakang menikmati pemandangan. Hanya sesekali saja saat Antok kelelahan baru Satriyo menggantikannya didepan.
Perjalanan menuruni lereng ke arah barat melewati Tawang Mangu, disinilah mata Satriyo berbinar menikmati jengkal demi jengkal keindahan lereng pegunungan. Dengan pemandangan ladang yang nenghijau juga hutan-hutan yang merimbun
Dan perjalanan terus ke arah barat menuju kota Solo lalu dilanjutkan ke Pekalongan.
Sesampainya di Solo mereka istirahat disekitar keraton untuk mencari makan. Setalah makan mereka istirahat di bawah pohon beringin yang rindang tepat disamping gerbang keraton Surakarta.
"Kang kenapa siih kita semalem terburu-buru turun, tapi setelah turun kita malah santai-santai disini, bukannya tetep tancep gas biar cepat sampai rumah..." tanya Antok heran.
"Hmm... gak ada apa-apa Tok, aku merasa sudah terlalu lama di puncak, jadi pingin segera turun aja... dan kenapa kita istirahat disini, karena perjalanan menggunakan motor itu maksimal 2 jam harus berhenti istirahat... sangat berbahaya jika kita memaksakan terus berjalan..." jawab Satriyo tenang sambil menghisap sebatang rokok lalu menyebulkan asapnya dengan santai melewati mulut dan hidungnya.
"Tapi kenapa kali ini kita pakai motor sii kang...??? Bukannya biasanya waktu ke Semeru, Arjuna dan gunung-gunung lainnya kita naik kereta...???" tanya Antok lagi.
"Yaa,,, karena naik motor kita lebih santai dan bisa jalan-jalan sesuka hati...
Tapi pendakian menggunakan motor itu tidak disarankan untuk jarak jauh luar propinsi...
Jarak yang terlalu jauh akan sangat berbahaya karena setelah mendaki biasanya tubuh kita mengalami kelelahan yang hebat..." jawabnya dengan nada tenang.
Karena bagaimana pun juga mendaki menggunakan sepeda motor tidak dianjurkan untuk jarak jauh diatas 200km.
***
Setelah istirahat cukup, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan kembali, melewati jalan protokol kearah barat. Dengan kecepatan sedang mereka melintasi jalan kota yang padat.
Ditengah perjalanaan, tiba-tiba.
"Braakk..." motor mereka kesrempet mobil dan terjatuh.
Sontak orang-orang yang ada disana langsung berbondong-bondong datang menolongnya. Satriyo yang terpelanting pun segera bangun, dia melihat adiknya terkapar di aspal ditengah jalan dan sedang dikerubuti orang-orang. Sontak Satrio berteriak sambil bangkit mendekat.
"Antok...!!!!" teriak Satriyo sambil mendekat kearah Antok yang masih digotong orang-orang yang ada disana.
Antok yang digotong lalu dibawa ke tepi jalan tepat di depan toko kelontong. dengan tangan yang berdarah-darah. Lalu tak berapa lama Satriyo mendekatinya.
"Kamu gak apa-apa kan Tok...???" tanya Satriyo panik.
"Aku rak popo kang..." jawab Antok sambil membersihkan darah yang ada dilengannya. Dan salah satu orang yang disana memberikan obat merah padanya.
"Iya mas dia gak apa-apa cuma lecet dikit aja tangannya, masalah motor masih bisa dibetulin dibengkel ntar, yang penting masih bisa buat jalan..." jawab salah satu warga disana.
"Syukurlah... makasih pak atas pertolongannya..." jawab Satriyo dengan menganggukkan kepalanya menandakan ia sangat berterimakasih yang mendalam.
"Oiya mas itu mobil yang nyrempet disana coba mas samperin, sebelum orangnya kabur..." ucap warga yang lain lagi.
Satriyo pun segera mendekati mobil yang berhenti sekitar jarak 10 meter. Nampak sang pemilik mobil sedang mengecek bodi mobilnya.
setelah Satriyo mendekat lalu mencoba berbicara pada sang pemilik mobil.
"Maaf bu gimana tadi kronologisnya, itu adik saya terluka..." ucap Satriyo membuka pembicaraan.
"Lhoo... apa urusannya dengan saya.. wong kami ndak salah kok... yaa gak tante...???" ucap laki-laki muda pemilik mobil dengan nada ketus. Sambil minta diiyakan oleh tantenya yang semobil.
Kedua pemilik mobil itu bukanya menanggapi baik-baik, tetapi malah pasang wajah angkuh dan sombong.
"Mas dan ibu ini seharusnya punya etika, seharusnya kalau terjadi kecelakaan setidaknya hampiri dulu korbannya, dan saya tidak suka anda berbicara dengan tangan bersila dada seperti itu..." jawab Satriyo kesal.
Lalu pemilik mobil itu menurunkan tangannya tapi masih tetap bergaya angkuh.
"Hee,,, jangan sembarangan dengan kami yaa... kami punya kenalan banyak anggota..." ucap ibu pemilik mobil dengan nada mengancam.
"Lha terus...???" jawab Satriyo tenang.
"Baik kami akan panggil anggota, kita urus di kantor..." ibu itu mengancam dengan mencoba menelpon seseorang. Bisa dipastikan ibu itu memang bukan orang sembarangan, penampilannya dengan rambut pirang dan kacamata yang selalu melingkari matanya, cincin dan jam tangan mewah, dan logat bahasanya yang selalu minta dihormati, persis seperti istri-istri pejabat dinegeri ini.
Satriyo lantas kembali ke tempat Antok yang sedari tadi duduk di tepi jalan, lalu dia memesan teh manis di warung angkringan tak jauh dari situ.
"Pie kang...???" tanya Antok sambil menahan rasa sakitnya.
"Ora popo, pemilik mobil itu wonge agak sombong, biarin aja kita ikuti maunya..." jawab Satriyo sambil melihat kedua pemilik mobil itu sibuk menelpon kesana kemari dan dengan wajah panik.
Sementara Satriyo dan Antok tetap santai menikmati teh manis dan gorengan di warung angkringan.
Dari sini kita dapat melihat, dimana seseorang yang terbiasa hidup terhomat akan sangat takut jika keluar dari lingkaran kehidupannya apalagi menghadapi masalah diluar, lalu dia pasti akan berusaha meminta bantuan dan mengerahkan segala kemampuannya.
Sementara itu kita juga dapat melihat dimana seseorang yang lebih bersahaja dan sederhana akan lebih tenang dalam menghadapi masalah yang menghadang.
***
Sekitar 20 menit telah berlalu, akhirnya mobil polisi datang ke TKP, lalu mengajak mereka menyelesaikan dikantor polisi terdekat.
Setelah sampai di kantor polisi mereka dipertemukan untuk didamaikan.
"Maaf sebelumnya, apa bisa diperkenalkan dulu nama anda-anda ini...???" ucap pak polisi membuka pembicaraan
"Saya ibu Tutwuri Setianingsih, dan ini keponakan saya Hendrik..." jawab ibu itu.
"Saya Satriyo pak, dan ini adik saya Antok..." jawab Satriyo tenang.
"Oke saya tanya sama saudara Antok dulu sebagai yang mengendarai sepeda motor, jadi bagaimana kronologisnya mas Antok...???" tanya polisi yang berbadan kurus.
"Begini pak, saya naik motor dari arah timur mau menyalip mobil ibu ini, tapi saat saya sudah hampir berada didepan, tapi mobil ibu ini tidak memberi saya jalan sama sekali, tetap melaju dengan kecepatannya. Otomatis keseimbangan motor saya tidak bisa dikendaliakan, dan terjadilah insiden itu..." Antok menjelaskan kronologi dengan bahasa yang agak ngedok Jawa.
"Apa benar seperti itu ibu Tutwuri...???" tanya polisi pada ibu pemilik.
"Yaa dia mau nyalip saya, tapi saya tidak tau kejadian pastinya karena semua terjadi begitu saja, tapi yang pasti mobil kami berjalan tidak dalam kecepatan tinggi..." ucap ibu Tutwuri.
"Jadi posisi ibu ada di sebelah kiri...???" tanya polisi berbadan kurus.
"Iya benar, tapi kami mengendari mobil kami dengan kecepan stabil..." jawab Hendrik agak ngotot.
"Walaupun kecepatan stabil seharusnya anda memberi jalan saat ada yang mau mendahului, kalau gak mau didahului yaa ambil jalur kanan... Jangan asal stabil aja masa bodoh ada yang mau nyalip atau nggak yang penting terjang terus...
Dan saya dalam posisi benar karena menyalip dari kanan..." Antok juga ngotot.
"Memang seharusnya mobil berada dijalur kanan kecuali kalau mau berhenti atau mau belok kiri saja..." ucap polisi berbadan kurus seakan membenarkan pihak Antok.
Saat polisi berbadan kurus itu mau melanjutkan pembicaraannya tiba-tiba datang polisi berbadan gendut dengan perut yang menyembul kedepan.
"Maaf kalo boleh tau gimana kronologisnya ini..." tanpa basa-basi polisi gendut memotong pembicaraan.
Setelah dijelaskan dari awal, lalu polisi gendut itu berbicara panjang lebar dan membawa-bawa pasal undang-undang seakan tidak memberi jeda bagi yang lain untuk berbicara.
"Menurut hemat saya, mobil memang seharusnya ada di jalur kanan, tapi untuk mobil yang kecepatan rendah juga tidak salah ada di jalur kiri... jadi ibu ini tetap tidak bisa diberatkan secara undang-undang, apa perlu saya bacakan pasalnya...???" ucap polisi gendut panjang lebar seakan sekuat tenaga membela ibu Tutwuri.
"Tidak perlu pak...!!!" jawab Satriyo singkat memotong pembicaraan.
"Jadi dalam kasus ini ibu Tutwuri tidak bisa disalahkan dalam hal hukum, tapi biasanya dalam hal ini kalau ibu Tutwuri memberi bantuan atau kebaikan gak ada salahnya, tapi sifatnya suka rela, gak ada paksaan dalam hukum..." ucap polisi gendut tetap membela. Namun nampak kedua polisi itu mengisyaratkan pada ibu Tutwuri untuk memberi bantuan pada korban.
"ini bukan kesalahan saya dan saya tidak bisa membantu apapun..." jawab ibu Tutwuri dan Hendrik pun juga mengiyakan dengan logat angkuh.
"Oke bu, kalau itu jalan pikiran ibu... tetapi logikanya jika mobil ibu dalam kecepatan rendah seharusnya mobil ibu mudah untuk didahului, tapi kenyataannya mobil ibu seakan tidak memberikan kesempatan pada kami untuk mendahului, warga disana sebagai saksinya...
Mungkin ibu tidak bisa disalahkan dalam hal hukum tetapi kami juga tidak dapat disalahkan dalam hal hukum juga, karena kami menyalip dari kanan...
Dan seharusnya dalam satu insiden yang kedua-duanya tidak bisa disalahkan, sementara ibu tak mengalami kerugian apa-apa, dan dipihak lain mengalami luka dan motornya juga rusak, apa ibu tak punya perasaan untuk sekedar peduli..." ucap Satriyo yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara.
"Dan ingat bu, waktu saya datang menghampiri ibu, apa yang saya ucapkan...???
Apakah saya menuntut anda...???
Apakah saya meminta bantuan kepada anda...???
Saya hanya datang menanyakan kepedulian ibu, seharusnya ibu punya etika saat terjadi insiden setidaknya ibu datang menjenguk keadaan kami yang terluka...
Bukan berhenti untuk mengecek mobil anda sendiri lalu berdiri dengan angkuhnya...
Bahkan warga dan orang-orang yang ada disana pun yang tak ada sangkutannya lebih peduli dan mau menolong kami...
Sementara anda yang bersangkutan hanya berdiri di mobil anda dengan kesombongan anda..." Satriyo menambahi.
Sejenak semua yang ada di sana terdiam.
Lalu ibu itu bicara lagi.
"Yang penting saya tidak bersalah dan sekali lagi, ini bukan kesalahan saya dan saya tidak bisa membantu apapun..."
"Saya ulangi, ini bukan kesalahan saya dan saya tidak bisa membantu apapun..." ibu Turwuri berbicara dengan angkuhnya.
"Iya memang dalam hal apapun ibu Tutwuri gak bisa dituntut sedikitpun..." ucap polisi gendut membela ibu itu.
"Maaf, dari awal siapa yang menuntut ibu, saya sama sekali tidak menuntut apapun...
Bahkan ibu sendiri yang sibuk menelpon kesana kemari melapor polisi...
Sementara kami hanya santai... kami hanya ingin etika dari ibu untuk datang ke kami menanyakan keadaan kami karena bagaimana pun juga kami sebagai korban..." jawab Satriyo tegas.
"Baik lah kalau begitu, karena ibu ini tetap teguh pada pendiriannya, jadi apakah mas-mas ini tidak keberatan...???" jawab polisi kurus mencoba menengahi.
"Dari awal saya tidak nenuntut apapun pak, cuma saya tidak suka dengan sikap ibu ini yang sangat keras hati..." jawab Satriyo.
"Yaa sudah... yang penting kita selesaikan dengan kekeluargaan... kita semua harus legowo..." ucap pak polisi kurus mendinginkan keadaan.
"Baik kalau begitu, saya minta dibuatkan surat pernyataan kalau kalian tidak akan menuntut kami..." ibu itu meminta polisi membuatkan surat pernyataan.
"Hhhmmm ibu masih takut kami menuntut...??? Nampak sekali ketakutan ibu yang seharusnya tak perlu ditakutkan... karena kami tak sejahat ibu..." jawab Satriyo santai dengan senyum khasnya seakan menertawakan sikap ibu itu.
Ibu itu lantas keluar bersama polisi gendut. Diluar nampak mereka asyik ngobrol sekaligus ingin menunjukan bahwa ibu itu mempunyai kedekatan dengan pejabat-pejabat kepolisian.
Benar saja, banyak anggota polisi yang datang langsung bersalaman dengan ibu Tutwuri, saking tunduknya pada ibu Tutwuri bersalaman pun seakan mereka seperti mau mencium tangannya.
Padahal sebagai aparat penegak hukum, tak sepantasnya menghormati seseorang terlalu berlebihan selain kepada atasan atau komandannya.
Tak seharusnya seorang penegak hukum menunjukkan kedekatannya dengan orang masih dalam kasus hukum.
Dan seharusnya, semua orang mempunyai kesetaraan yang sama dimata hukum.
Tapi inilah yang sering terjadi di negeri kita, orang yang mempunyai kekayaan dan kekuasaan akan cenderung kebal terhadap hukum.
***
Saat ibu Tutwuri diluar, sementara didalam kantor, nampak polisi sedang sibuk mengetik surat pernyataan, Satriyo menatap Hendrik dengan tajamnya. Dan Hendrik pun tak sengaja juga menatapnya. Nampak keduanya saling bertatapan sangat lama.
Dalam pandangan Hendrik yang melihat tatapan Satriyo yang sangat tajam itu, tiba-tiba dia melihat wajah Satriyo berubah menjadi sosok harimau dan mengaung tepat dihadapannya.
Seketika Hendrik berteriak ketakutan, seperti kesurupan.
"Haaahhh...!!! Haaahhh...!!! Haaahhh...!!!" teriak Hendrik histeris dengan kedua tangannya memegangi kepalanya.
Ibu Tutwuri langsung masuk mendekat pada Hendrik.
"Kamu kenapa Hen... kamu kenapa...???" ucap ibu itu ketakutan.
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang hingga menerbangkan dedaunan-dedaunan kering, dengan aroma dupa dan kemenyan khas Sendang Drajat, angin itu bertiup kencang, kencang sekali.
Setelah berapa lama suasana kembali tenang.
Satriyo dan Antok pergi meninggalkan kantor polisi itu.
Mengendarai motor antiknya lagi, dengan gaya gembel jalanan. Menerjang jalan menikmati sepoy angin yang menerpa tubuhnya disepanjang jalan.
Tak berapa lama nampak mobil mewah yang dikendarai Hendrik dan ibu Tutwuri itu melintas menyalip motor butut mereka berdua.
Hingga sampai di pertigaan jalan tol, mobil itu belok ke kanan menuju jalan tol ke arah Semarang, sementara Satriyo dan Antok tetap berjalan lurus menuju utara.
Dijalan tol tersebut ibu Tutwuri nampak kesal dan terus berbicara pada Hendrik keponakannya:
"Orang-orang kumel kaya' gitu harus diberi pelajaran... dari penampilannya saja mereka pasti pengangguran yang gak punya pekerjaan... mereka mungkin berniat mau memeras kita, dasar gembel...!!!" Ibu itu terus ngomel terus, sementara Hendrik tetap diam melamun sambil nyetir.
"Hen... hendrik... kamu kenapa gak biasa-biasanya melamun terus seperti itu... ada apa kamu Hen... lagian tadi kamu juga teriak-teriak histeri sendiri dikantor polisi... ada apa Hen...???" ibu itu mencoba mengintrogasi.
"Aku takut tante, aku takut...
Laki-laki tadi menurutku bukan manusia biasa... dia siluman harimau... aku melihat tatapan matanya tajam sekali, dan tiba-tiba wajahnya berubah menjadi Harimau yang menyeramkan... mengaum didepanku tante... aku takut tante, sampai sekarang wajah itu tetap terbayang diotakku tante..." ucap Hendrik panik.
Mobil mereka melaju dengan kencangnya di jalur tol, satu jam kemudian mereka mulai ambil kiri dan keluar dari jalan tol.
Tak berapa lama mereka keluar mereka melaju mengendarai mobilnya masih dalam kecepatan tinggi menuju jalan utama
Hendrik terus melamun terbayang sosok harimau itu, hingga tiba-tiba Hendrik melihat sosok harimau itu lagi mengaum tepat didepan matanya. Seketika Hendrik berteriak bak kesurupan.
"Haaahhh...!!! Haaahhh...!!! Haahhh...!!!" Hendrik berteriak histeris lagi sambil kedua tangannya memegangi kepalanya.
Mobil pun lepas kendali dan menabrak pohon di pinggir jalan...
"Brakkk...!!!" mobil itu menghantam keras sekali, bemper bagian depan ringsek dengan mesin yang mengepulkan asap yang tebal.
Nampak ibu Tutwuri dan Hendrik berlumuran darah didalam mobil itu.
"Hen, kamu gak apa-apa kan Hen..." ibu itu berucap sambil menggoyang-goyang tubuh Hendrik, tak berapa lama Hendrik tersadar.
"Iya tante aku gak apa-apa... tapi kakiku kejepit tante... aaahhh..." ucap hendrik sambil merintih.
"Toloongg...!!! Toloongg....!!!" ibu Tutwuri terus teriak minta tolong.
Mereka terjebak dalam mobil itu sangat lama, mobil-mobil yang lewat pun seakan tak menghiraukan mereka berdua, tak ada warga atau orang yang kebetulan lewat, karena keluar dari tol memang jarang terdapat rumah warga atau warung-warung pinggir jalan. Jalur ini jalur sepi.
Karena bisa dipastikan, setiap terjadi kecelakaan yang selalu sigap menolong adalah warga setempat atau pemotor yang kebetulan lewat, akan jarang terjadi pengendara mobil yang ikut berhenti, apalagi peduli.
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang hingga menerbangkan dedaunan-dedaunan kering, dengan aroma dupa dan kemenyan khas Sendang Drajat, angin itu bertiup kencang, kencang sekali.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba kebetulan ada motor yang lewat dan berhenti didepannya.
Pengendara motor itu berhenti dan turun dari motornya lalu mendekati mobil nahas tersebut yang dari jauh terdengar teriakan minta tolong. Dengan asap yang masih terus mengebul.
Setelah mendekat laki-laki itu berkata,
"Maaf bu, seperti yang ibu tadi katakan... ini bukan kesalahan saya dan saya tidak bisa membantu apapun...
Sekali lagi, ini bukan kesalahan saya dan saya tidak bisa membantu apapun..." laki-laki itu ternyata Satriyo yang berucap tenang sambil tersenyum.
"Dan semoga saja kenalan-kenalan ibu yang katanya pejabat dan aparat itu mau membantu ibu saat ini... semoga saja..." lalu Satrio melangkah dengan pelan dan gagahnya meninggalkan mobil itu dengan santainya, kakinya melangkah pasti menggenakan sepatu gunung dengan celana jeans rombeng dan jaket belel, gayanya persis seperti koboy yang berjalan di dataran kering di Amerika sana.
Satriyo bukan orang yang kejam, tapi dia hanya ingin memberi pelajaran pada orang-orang yang dianggapnya sombong melebihi batas kewajaran.
"Heeyy siapa sebenarnya dirimu...???" tanya ibu Tutwuri sambil menahan rasa sakitnya.
Seketika Satriyo menghentikan langkahnya dan berkata:
"Aku hanya pendaki gunung Lawu..."
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang hingga menerbangkan dedaunan-dedaunan kering, dengan aroma dupa dan kemenyan khas Sendang Drajat, angin itu bertiup kencang, kencang sekali.
============SEKIAN============
By: Ahmad Pajali Binzah
Foto: Chicco Jerikho
Baca juga cerpen tentang petualangan:
[Cerpen] Istri Muda
[Cerpen] Aku Benci Ibu
[Cerpen] Pohon Terakhir
[Cerpen] Aku Pendaki Kartini
[Cerpen] Istri Muda
[Cerpen] Aku Benci Ibu
[Cerpen] Pohon Terakhir
[Cerpen] Aku Pendaki Kartini
Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah
Keren... (y)
ReplyDeleteahhh.... jadi kangen gunung lawu.
ReplyDeletebagus kang. penuh pesan moral.
Thanx all... :)
ReplyDeleteini berdasarkan kisah nyata atau cuma karangan mas??
ReplyDeletetp kerennn mas pesan moralnya (y)
Diilhami dari kisah nyata, namun dibumbui alur-alur fiksi agar lebih dramatis... :)
DeleteBagus banget kisahnx 2 jempol dech
ReplyDeleteThanx sudah membaca... ;)
Deletekayak cerita pilem2 ftv kang...
ReplyDeletemantaffff dehh, tinggal keluar di bioskop nya kpn nih ??
Hehehee.... :D
DeleteGunung Lawu memang Gunung Keramat, saya tinggal didaerah lereng lawu. Ceritanya bagus!
ReplyDeleteYupz bener sekali... :)
DeleteAda cerita2 lain g gan l yg di daftar udag q baca l baguz2 critanya
ReplyDeleteAda cerita2 lain g gan l yg di daftar udag q baca l baguz2 critanya
ReplyDeleteHehehe... tunggu aja cerita2 selanjutnya...
DeleteGunung lawu ... aku suka crtany
ReplyDeleteThanx sister... :)
ReplyDeleteCeritanya kerennnnnnnnn👍
ReplyDeletebagus bngt critanya :D
ReplyDeleteJadi pengen mendaki, siapa tau bisa jadi sakti kyk gitu... hahhaa
ReplyDeleteMantap
ReplyDelete