Mimpi buruk yang selama ini menghantui tidurku, kini benar-benar terjadi.
Dalam mimpi itu tergambar jelas, bahwa aku terjebak di lebatnya belantara gunung Salak. Hingga di akhir mimpi itu aku melihat rombongan team SAR menandu seseorang yang tak asing lagi dalam hidupku, yaa aku melihat Rohman sahabatku berbaring ditandu.
Aku berteriak-teriak dari atas bukit, namun rombongan team SAR itu tetap tak mendengar, hingga kepala Rohman menoleh ke arahku, dengan pelan dan menangis dia berbisik,
"Selamat tinggal kawan..."
Lalu Rohman memejamkan matanya.
Seketika aku berteriak sekencang-kencangnya, namun para team SAR itu tetap berjalan tak menghiraukan.
Hingga akhirnya aku terbangun dari mimpi burukku.
*****
Dan hari ini mimpi itu benar-benar terjadi, aku dan sahabatku Rohman tersesat dalam belantara hutan gunung Salak, terpisah dari rombongan karena salah memilih jalur, berkutat-kutat tak menemukan jalan pulang. Dan parahnya kami mengalami insiden yang sangat menakutkan, aku dan Rohman terperosok dalam jurang saat mencoba mencari aliran air. Hingga kaki Rohman terluka sangat parah.
Kini sudah dua hari dari insiden itu, aku dapati Rohman masih terbaring lemah, tubuhnya menggigil merintih kesakitan, suhu tubuhnya sangat tinggi meski di tempat yang sedingin ini, kakinya bengkak, bahkan luka sobek di kakinya kini mulai membusuk.
Aku benar-benar takut dan tak tau harus berbuat apa, diam disini menemaninya hingga bantuan datang, aku rasa ini sama halnya pasrah menunggu kematian. Tapi jika aku melanjutkan perjalanan dengan membawa Rohman dalam keadaan seperti ini, itu juga tak memungkinkan. Dan aku juga tak mungkin tega meninggalkan sahabatku dalam keadaan seperti ini sendiri untuk mencari bantuan.
Apalagi aku melihat wajahnya begitu pucat, makin hari kondisinya makin memburuk, terbaring lemah tak berdaya.
Aku mencoba memeluknya untuk sekedar menenangkan batinku yang makin kacau, dan juga untuk mengisyaratkan bahwa aku sangat-sangat menyayanginya sebagai sahabatku.
Lalu aku bisikkan kata di telinganya lirih,
"Kamu pasti kuat Rohman, kamu adalah satu-satunya sahabat terbaikku..."
Lalu malam itu aku mencoba memejamkan mata untuk sekedar mengistirahatkan tubuhku dari rasa lelah.
*****
Saat fajar mulai berubah menjadi terang, sinar matahari mulai menerobos lewat sela-sela kanopi hutan, namun udara pagi masih terasa sangat dingin, bahkan bivak sederhana yang aku buat sama sekali tak mampu menangkal dinginnya angin pegunungan.
Aku kembali terjaga, seketika aku bangun dari tidurku dan masih aku dapati kondisi Rohman yang masih kritis.
"Tak ada pilihan lain, aku harus bertindak..." ucap hatiku lirih.
Aku langsung bergegas membongkar tas ransel bawaan kami, yang isinya hanya pakaian dan sedikit makanan, karena perlengkapan masak, tenda dan perlengkapan kelompok lain terbawa anggota yang lain.
Yaa dari tas ransel yang segede itu hanya berisi pakaian-pakaian saja, dan beberapa potong roti, mie instan dan snack-snack lain.
Ku sobek plastik pembungkus roti itu, lalu aku sodorkan ke mulut Rohman sembari berbisik,
"Makanlah kawan, ini untuk mengisi perutmu... karena aku yakin kamu pasti bertahan..."
Lalu membuka sedikit mulut Rohman, tanpa dikunyah lama roti itu ditelan, yaa walau sedikit setidaknya beberapa suap roti masuk ke lambung Rohman, dan itu sangat berarti bagi kesehatannya.
Lalu ku buka botol air mineral, ku coba bangunkan tubuhnya agar posisi sedikit duduk, diteguknya air itu masuk ke kerongkongannya dan somoga mampu menyegarkan tubuhnya.
Kembali aku baringkan tubuhnya lagi, ku selimuti tubuhnya dengan SB warna biru muda yang baru saja aku beli sebelum pendakian ini.
Lalu kembali aku bisikkan kata-kata di telinganya,
"Bertahanlah kawan, aku segera datang membawa pertolongan..."
Aku bergegas keluar dari bivak, baju-baju dan semua pakaian aku punguti, lalu aku memanjat pohon satu persatu, ku cantelkan baju, celana dan macam-macam kain di tiap dahan pohon di sekitar bivak hingga persis seperti hendak ada karnaval, agar siapapun yang melintas akan melihat dan mendatangi bivak itu, juga sebagai patokan jika aku kembali membawa pertolongan bersama team SAR.
Dan kini saatnya aku harus pergi meninggalkan Rohman sendiri, bertahan dari maut yang setiap saat siap menjemput.
Tak tega memang, tapi ini satu-satunya jalan yang terbaik untuk keselamatanya, aku harus pergi mencari bantuan agar nyawanya segera terselamatkan.
Tak banyak yang bisa aku bawa, aku sengaja meninggalkan beberapa potong roti dan air minum di samping Rohman, agar jika dia merasa lapar, tangannya mudah meraihnya dan menyantapnya. Sementara aku yang masih sehat ini, aku yakin mampu survive bertahan hidup di hutan ini. Apalagi aku juga pernah ikut pelatihan teknik-teknik suvival hingga aku yakin aku pasti bisa bertahan.
*****
Aku mulai berjalan menerobos semak-belukar, hingga tak terhitung lagi naik dan turun punggungan. Sesekali aku berhenti di lembahan untuk sekedar minum dari air yang mengalir dari mata air kecil. Kadang mencari pohon onje untuk aku makan sebagai pengganjal lapar.
Sesekali aku juga berteriak-teriak mencari pertolongan, berharap ada seseorang yang mendengar. Karena aku yakin, di hari keempat ini sejak aku dan Rohman terpisah dari rombangan, pencarian terhadap kami pasti sudah dimulai.
Namun dari semua teriakan-teriakan ku tak satupun mendapat balasan, ini menandakan bahwa posisiku masih sangat jauh dari jangkauan team SAR.
Hingga malam menjelang aku belum saja menemukan tanda-tanda jalur menuju desa terakhir, atau tanda-tanda team SAR yang sedang melakukan pencarian, aku merasa berkutat dan berputar-putar di tempat yang sama, tapi aku tetap tak peduli, aku terus berjalan hingga akhirnya aku merasa kelelahan, malam itu aku rebahkan tubuh diatas semak belukar, tanpa atap tanpa bivak. Tapi malam itu tidurku terasa pulas karena tubuh mungkin terlalu lelah.
****
Pagi ini aku terbangun dari tidurku, bergegas pergi melanjutkan perjalanan. Dan hari ini adalah hari kedua aku meninggalkan Rohman, atau hari ke enam sejak kami terpisah dari rombongan. Tapi belum ada sedikitpun tanda-tanda pencarian dari team SAR, bahkan perjalanan ku mencari pertolongan pun seakan berkutat di tempat yang sama, aku merasa dari kemarin masih disini-sini aja. Aku merasa seperti ada yang aneh dalam perjalananku ini.
Tetapi lagi-lagi aku tak peduli, aku terus melanjutkan perjalananku sembari berteriak-teriak meminta bantuan, walau tak satupun menerima sautan.
Dan di hari yang ke dua ini tubuhku benar-benar terasa letih, apalagi sempat diguyur hujan hingga semua baju dan celanaku basah, perutpun sudah jarang terisi.
Yaa sore ini menjelang maghrib, aku mulai tak sadarkan diri, tubuhku ambruk ke semak belukar di tepi sungai kecil. Aku merasa dingin teramat dingin, aku merasa lemah teramat lemah, hingga tubuhku menggigil tak karuan, yaa sore itu aku mulai pingsan tak sadarkan diri.
*****
Dan akhirnya pagi kembali menjelang, panas surya mampu menghangatkan tubuhku yang mulai kelelahan.
Pagi ini hari ketiga sejak aku meninggalkan Rohman, dan perjalanan ku mencari bantuan pun harus dilanjutkan.
Namun ada yang beda di pagi ini, entah kenapa pagi ini tubuhku terasa lebih ringan, melangkahpun terasa terbang melayang, padahal dihari sebelumnya untuk melangkahkan kaki satu langkah pun terasa berat. Tapi saat ini aku terasa tanpa beban.
"Aahh mungkin saja tubuhku sudah beradaptasi dengan suasana di hutan ini..." gumam hatiku lirih.
Aku kembali meneruskan perjalanan mencari bantuan, seperti hari-hari sebelumnya, aku terus berjalan menuruni lereng sembari berteriak-teriak meminta pertolongan. Namun lagi-lagi teriakanku tak membuahkan hasil.
Hari begitu cepat berlalu, tapi entah kenapa aku merasa masih terus berkutat-kutat di tempa yang sama. Aku merasa terjebak dalam angkernya hutan misterius ini.
Rasanya tak mungkin perjalananku selama berhari-hari tak menemukan jalan pulang, tak sedikitpun bertemu jalur memuju pemukiman, aku juga tak menemukan tanda-tanda team SAR sedang mencariku, padahal seharusnya mereka sudah sibuk menyisir hutan ini.
Aku mulai sadar bahwa ada yang aneh dalam perjalananku ini, kali ini aku meyakini bahwa aku telah tersesat dalam hutan misterius di alam yang berbeda.
Tapi aku tak mau terhanyut dalam perasaan yang aneh itu, yang aku pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya aku keluar dari hutan ini, menemukan pemukiman penduduk dan meminta pertolongan dan sahabatku Rohman bisa diselamatkan. Yaa itu saja yang aku inginkan.
*****
Dan akhirnya...
Yaa aku melihat serombongan team SAR berbaju orange sedang berjalan melakukan pencarian, terlihat jelas dari atas bukit ini.
"Tolooongg... aku disiniii...!!!!" Aku spontan berteriak sekeras-kerasnya.
Tanpa berpikir panjang aku lari menuruni bukit, mengejar rombongan team SAR itu agar mereka mengetahui keberadaanku.
Tapi lagi-lagi aku merasa ada yang aneh, sampai sedekat ini mereka tak mendengar teriakanku.
Hingga akupun terhenti karena terlalu lelah aku berlari. Membungkuk memegang lututku sembari menghembuskan nafas yang tersengal-sengal, persis seperti orang sedang rukuk dalam ibadah sholat.
Sesekali aku megusap keringatku yang bercucuran di kening sembari memandangi team SAR itu yang sebenarnya jaraknya tak terlalu jauh dariku.
Dan alangkah kagetnya aku, aku melihat rombongan team SAR itu sedang menandu seseorang.
Seketika aku teringat pada mimpiku yang selama ini menghantuiku.
"Yaa ini persis seperti dalam mimpiku..." batinku berucap lirih dengan bulu kuduk yang terus merinding.
Hatiku langsung tergoncang, saat mengetahui orang yang sedang ditandu itu sahabatku sendiri, Rohman.
"Rohmaaannn...!!!" Aku kembali berteriak sekeras mungkin. Sembari berlari menghampiri rombongan itu.
Sambil berlari aku terus memandangi wajah Rohman, namun wajahnya tak menengok ke arahku tak seperti dalam mimpi itu. Aku melihat Rohman hanya berbaring kemah di tanduan.
Hatiku sungguh tak karuan, yang aku takutkan benar-benar menjadi kenyataan, Rohman benar-benar pergi meninggalkan aku.
Sesampainya aku pada rombongan yang membawa Rohman, dengan nafas yang masih tersengal-sengal aku langsung menghampiri tubuh Rohman,
"Rohman bangun Rohman, banguunnn...
Ini aku sahabatmu Rohman..!!!" Aku menangis histeris sembari menggoyang-goyangkan tubuh Rohman yang masih dalam tanduan. Tapi tubuhnya diam tak bergeming.
Pikiranku kacau, panik tak beraturan. Aku berteriak-teriak pada rombongan team SAR tapi mereka juga diam tak bergeming.
Seketika aku tersadar, ada yang aneh dengan semua ini. Lagi-lagi bulu kudukku berdiri, aku merinding ketakutan.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi...???" Tanya hatiku penuh ketakutan.
"Rojer rojer bisa diganti..." ucap salah satu team SAR berkomunikasi lewat radio HT.
"Disini diinformasikan tak jauh di titik 16 tepatnya di tepian aliran sungai kami menemukan satu lagi korban dalam keadaan meninggal... berbaju merah celana hitam dan di dompetnya terdapat identitas atas nama Afridal Prasetyo....
Korban diindikasikan meninggal karena serangan hiphotermia" ucap salah satu team SAR dalam radio HT.
Seketika aku terperanjat sejadi-jadinya, saat namaku disebut dalam percakapan itu sebagai korban yang meninggal dunia.
Yaa aku mulai sadar, sejak dua hari yang lalu tepatnya sore itu setelah tubuhku diguyur hujan, saat tubuhku roboh di tepian sungai itu, berarti sejak saat itu aku sudah tak berada di dunia ini lagi.
Pantas saja setelah kejadian itu paginya langkah ku terasa sangat ringan. Pantas saja aku tak pernah merasa lapar dan tak pernah merasa lelah lagi. Bahkan sedari tadi teriakanku tak didengar oleh para team SAR.
"Dan ternyata aku sudah....!!!???"
Sesaat setelah aku menyadari bahwa aku telah mati, rohku mulai terbang melayang ke atas bumi, dari ketinggian aku melihat sahabatku ditandu oleh sederetan rombongan team SAR, makin tinggi aku terbang, aku melihat gugusan gunung Salak yang maha megah, disanalah tubuhku bersemayam saat rohku terlepas dari ragaku.
Makin tinggi aku terbang, aku tak melihat apa-apa lagi, hanya segumpalan awan putih yang mengisi semua pandanganku.
"Yaa...
dan kini, aku telah mati..."
*********************************
*********************************
Kini, 6 minggu telah berlalu sejak kejadian itu, nampak seseorang berjalan tertatih dengan tongkat penyangga di kedua ketiaknya, berjalan terseok dengan kaki pincang menyusuri sebuah pemakaman yang tak jauh dari kampungnya.
Langkahnya terhenti tepat didekat gundukan tanah yang terpasang batu nisan yang masih terlihat baru dengan tulisan Afridal Prasetyo, lahir 12 maret 1995 - meninggal 09 oktober 2018.
"Fri, ini aku sahabatmu Rohman..." ucap laki-laki itu dengan nada haru. Air matanya tak lagi mampu terbendung.
"Andai saja waktu itu aku tak memaksakan diri untuk ikut pendakian itu mungkin saat ini kita masih bisa bersama-sama lagi...
Andai saja waktu itu aku ikuti nasehatmu bahwa kamu telah punya firasat buruk tentang pendakian itu, mungkin semua ini tak akan terjadi.
Maafkan aku Fri, Aku terlalu egois karena saking inginnya merasakan mendaki gunung seperti yang sering engkau ceritakan hingga aku tak mau mendengar nasehatmu. Bahwa pendakian itu butuh persiapan yang matang.
Yaa dengan kecerobohanku kerena fisikku yang belum siap mendaki, akhirnya kita tertinggal dari rombongan karena engkau rela menungguku yang sedang kelelahan...
Dan dengan kejadian itu kita salah memilih jalur dan akhirnya tersesat dalam lebatnya hutan...
Dan lagi-lagi atas kecerobohanku pula karena saking paniknya, kita berjalan tak tentu arah hingga akhirnya kita terperosok jatuh ke jurang.
Yaa dengan keadaanku yang terluka parah engkau buktikan kesetiaanmu pada sahabatmu ini. Kau rela pertaruhan nyawamu demi keselamatkanku.
Dan kini dengan kecerdasanmu pula aku selamat, karena baju warna-warni yang kau cantelkan di setiap pohon disekitar bivak itulah, yang membuatku mudah ditemukan oleh team SAR.
Namun atas kejadian itu kini kau telah pergi meninggalkan aku dan semua yang menyayangimu...
Tak hanya aku, teman, keluarga dan semua merasa kehilanganmu Fri, bahkan dunia pendakian pun ikut berkabung.
Kau adalah salah satu contoh dari sejatinya seorang pendaki gunung.
Bahkan sampai hari ini, 6 minggu telah berlalu, kesedihan dan penyesalan dalam hatiku belum bisa terobati...
Tapi aku selalu ingat kata-kata motivasimu, yang selalu kau pesankan untukku, bahwa hidup ini harus tetap terus berjalan, seburuk apapun kehidupan harus kita jalani, karena sesungguhnya semua yang terjadi sudah tertulis dalam suratan Illahi...
Yaa, aku mengerti kawan...
Aku harus tetap semangat melanjutkan hidup ini, seperti yang kamu selalu menyemangatkan padaku...
Karena semangatmu telah tertanam dalam hidupku...
Selamat jalan kawan, semoga engkau tenang di alam sana...
Percayalah, suatu saat aku pasti menyusulmu, hanya saja waktu dan seperti apa jalan kematianku, biarlah menjadi rahasia dari ketetapan yang maha Kuasa..."
============ SEKIAN ===========
Saat kawah sileri meletus, mungkin semua orang menganggap itu hanya fenomena alam biasa, tapi bagiku itu adalah sinyal yang dialamatkan padaku untuk segera menepati janjiku yang dulu.
Entah kebetulan atau tidak, meletusnya kawah Sileri bertepatan dengan tanggal dimana aku dan pacarku yang dulu saling berikrar janji tepat lima tahun yang lalu. Janji yang aku sendiri tak tau harus bagaimana menepatinya.
*****
Singkat cerita, tepat lima tahun yang lalu saat aku dan kekasihku menikmati liburan di dataran tinggi Dieng, untuk sekedar melepas penat dari rutinitas keseharian.
Yaa, kami memilih Dieng karena tempat ini mempunyai sejuta pesona keindahan, tempat yang cocok untuk belibur bersama orang yang tersayang. Apalagi lokasinya mudah ditempuh dan tidak terlalu jauh.
Aku ingat betul masa itu sungguh sangat menyenangkan, mengendarai sepeda motor dengan semilir angin pegunungan. Di sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang hijau membentang, Keceriaan itu sungguh masih jelas terasa dalam ingatanku.
Apalagi sesampainya di Dataran Tinggi Dieng, seketika aroma wisata sangat terasa, deretan hotel dan homestay berderet siap menyambut para tamu, riuh ramai pasar dan terminal berikut kuliner khas Wonosobo, berjejer pula candi berdiri anggun di komplek candi Arjuna, nuansa terasa lebih sejuk karena dikelilingi rangkaian bukit dan pegunungan.
Nuansa itu sangat indah dirasakan, apalagi bagi kami yang sedang dimabuk kepayang. Susana dingin mampu menghangatkan romantisme cinta, lelahnya perjalanan mampu menambah gairah dalam jiwa. Sungguh suatu kesan yang sangat indah yang mampu terukir dalam memori cinta.
"Lihatlah buih yang mendidih dari kawah Sikidang ini, dia selalu bergelora oleh panas magma dan tak akan pernah dingin untuk selamanya, seperti itulah cintaku yang kan selalu menghangatkan jiwamu..." ucapku merayu saat aku dan dia berada di tepi kawah Sikidang. Lalu dia memelukku erat tanpa berucap apapun, namun aku merasa dalam hatinya menjawab, "aku juga seperti itu adanya"
Lalu perjalanan dilanjutkan ke Telaga Warna, disana terhampar danau luas dengan warna kehijauan, aku menggandengnya berjalan di tepi danau di bawah rindang pepohonan.
Disana ada bangku kayu yang disediakan untuk istirahat sembari menikmati suasana telaga.
"Walau konon telaga ini warnanya selalu berubah-ubah, namun cintaku padamu tak akan pernah berubah...
Walau pun diterpa badai dan cuaca..." aku berucap lirih di dekat telinganya sembari menatap matanya lalu ku sebar pandanganku ke penjuru hamparan luas telaga Warna.
Begitu pula saat kami di puncak Batu Ratapan Angin, kami berdiri bersama, ku kecup keningnya sembari berbisik,
"Suatu saat kita akan kesini lagi, berdiri disini, tepat diatas batu Ratapan Angin ini, tapi saat itu kita tidak hanya berdua saja, melainkan akan ada anak kecil yang akan ikut menikmati indahnya pemandangan disini, seperti yang kita rasakan saat ini..."
Aku melihat wajahnya sangat sempringah mendengar semua ucapanku itu, aku sangat menyayanginya hingga semua harapan dan masa depanku, aku khayalkan hanya bersamanya.
Yaa, saat itu sungguh sangat indah untuk selalu dikenang, kehangatan cintanya mampu mendebarkan dada, setiap tempat yang aku kunjungi begitu sangat berkesan dan menyenangkan.
Bahkan saat perjalanan kembali pulang, suasana ceria pun masih selalu mengiringi. Destinasi terakhirpun kami kunjungi sebelum benar-benar menuju jalan untuk pulang.
Kawah Sileri, adalah tempat terakhir yang kami kunjungi. Memberi kesempurnaan kesan perjalanan wisata ini. Agak jauh dari pusat keramaian Dieng memang, namun aroma eksotisme Dataran Tinggi masih jelas terasa disini.
Hingga di tepi kawah ini aku berucap janji.
"Percayalah sayang,
perjalanan ini sungguh sangat membahagiakan hidupku, karena ada kamu disisihku...
Dan aku berjanji,
kelak lima tahun lagi kita akan kesini, aku akan mengajak buah hati kita ke tempat ini lagi, ingin aku katakan padanya bahwa dulu ayahnya pernah merasakan hal yang terindah dalam hidupnya di tempat ini, yaa di tempat ini..."
Lalu perjalanan pulang pun dimulai. Dengan membawa janji untuk kembali lagi ke tempat ini, tepat lima tahun yang akan datang, mengajak buah hati yang dinantikan.
*****
Satu tahun telah berlalu, kini aku dan kekasihku masih tetap fokus pada janji itu, janji kembali untuk berkunjung ke dataran tinggi Dieng dengan mengajak buah hati.
Yaa kami pun makin serius merencanakan sebuah pernikahan agar segera diberi momongan, hingga lima tahun dari perjalanan itu kami dapat mengajak buah hati kami, untuk menepati janji.
Namun tak disangka, saat detik-detik terakhir menjelang pernikahan tragedi itu pun terjadi. Tragedi yang tak pernah ku pikirkan sebelumnya.
Pantas saja setiap kali aku mengajaknya mengurus segala sesuatu untuk pernikahan, dia selalu malas dan seperti ogah-ogahan. Ternyata semua terbongkar sudah, ada laki-laki lain dalam hatinya. Dan di hari-hari menjelang pernikahan yang direncanakan, dia lebih memilih pergi bersama laki-laki itu.
Hancur sudah perasaan ini, seakan dunia ini runtuh dalam sekejap mata, harapan untuk hidup bersamanya pudarlah sirna, saat aku mendengar ucapan dari bibir manisnya.
"Maafkan aku mas, aku tak bisa melanjutkan hubungan ini...
Karena perasaan di hati ini tak mungkin dibohongi..." ucapnya lirih sembari membalingkan langkahnya untuk pergi.
Pergi meninggalkanku, pergi dari kehidupanku, berjalan ke arah laki-laki berkemeja putih yang sudah menunggunya dengan mobil mewahnya.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, raut wajahnya begitu bahagia saat duduk disamping laki-laki itu, laki-laki yang lebih tampan, laki-laki yang lebih mapan.
Remuk sudah perasaanku ini, tak mampu lagi berucap apapun saat melihatnya pergi, hanya air mata yang mampu mewakili tentang apa yang aku rasa saat ini. Jauh dari rasa sakit itu, ada rasa malu pada keluarga dan tetangga yang juga begitu besar, atas sebuah rencana pernikahan yang tak akan pernah terwujudkan.
"Bagaimana aku menjelaskan pada keluargaku...???" Tanya batinku lirih pada diriku sendiri, dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan lagi.
*****
Tapi apapun yang terjadi, aku harus menghadapi kenyataan ini. Karena tak ada pilihan lain kehidupan harus tetap berjalan, pahit memang tapi inilah yang terjadi.
Hingga akhirnya aku menemukan seseorang yang mampu menggantikan posisinya di hatiku, yang mampu mengukuhkan ketegaran hidupku.
Yaa, tak berselang lama kami melangsungkan pernikahan tanpa harus lama berpacaran. Karena aku yakin jodoh memang sudah tertulis di garis tangan setiap orang.
Seberapa besar kita memperjuangkan sebuah cinta, jika memang dia bukan jodoh kita maka perjuangan itu pasti akan sia-sia.
Dan dengan semua kejadian ini, aku merasa semakin dewasa untuk memahami tentang kehidupan yang sesungguhnya.
*****
Kini lima tahun telah berlalu dari semua kejadian itu, dan tak disengaja pula kami sekeluarga merencanakan berlibur ke Dataran Tinggi Dieng karena memang bertepatan libur panjang. Rencana ini terasa dadakan, tanpa ada perencanaan yang matang. Seakan ada petunjuk untuk mengajaknya kesana.
Dan perjalanan pun dimulai.
Namun sesaat sampai di dataran tinggi Dieng, tiba-tiba tersiar kabar bahwa kawah Sileri meletus tepat saat aku dan keluargaku memasuki kawasan Dataran Tinggi Dieng.
Mendengar kabar itu aku malah membelokkan kendaraan yang sedang aku kemudikan, menuju kawah Sileri. Hingga istri pun bertanya-tanya kenapa aku senekat itu, sementara yang lain mencoba berlari menyelamatkan diri tapi kami malah menuju ke kawah Sileri itu.
Sesampainya disana aku melihat banyak pengunjung berlarian, suasana kepanikan sangat terasa saat asap dari tengah kawah Sileri membumbung tinggi.
Banyak pula petugas sibuk kesana kemari menyelamatkan para pengunjung yang masih tertinggal di radius bahaya.
Dari suasana yang mencekam itu, aku hanya terdiam, berdiri ditengah hiruk-pikuk kepanikan. Tangan kiriku menggenggam tangan istriku, sementara tangan kananku menggenggam tangan anakku.
Kami hanya diam berdiri ditengah-tengah orang yang berlarian, walau sesekali dari mereka ada yang menyenggol tubuh kami karena saking paniknya mereka berlari, tapi kami tetap terdiam, terpaku menatap kawah Sileri itu.
Lalu dengan polosnya buah hatiku bertanya,
"Papah kok gak takut, kok gak ikut lari kaya' orang-orang...???"
Mendengar itu hatiku terperangah lalu aku berusaha menjelaskan padanya,
"Kawah Sileri itu tidak sedang meletus nak, dia hanya menagih janji, janji yang pernah diucapkan oleh ayahmu dulu...
Dan kini, janji itu telah aku tepati dengan mengajakmu kesini...
Walau tanpa seseorang yang seharusnya ada disini..."
=============SEKIAN=============
Cerita ini diilhami oleh tragedi meletusnya kawah Sileri 02 juni 2017
Ditulis oleh: Ahmad Pajali Binzah
Foto by: google
=================================
Baca juga cerpen tentang petualangan:
Di suatu malam tepat di malam bulan purnama, perempuan pedagang tahu itu baru saja membunuh suaminya sendiri, dengan senapan milik suaminya yang terpajang di tembok kamar, dengan wajah yang masih gugup setelah membuang jasad suaminya, ia langsung lari menerobos gelapnya malam dan menyibak semak belukar menuju rumahnya, lalu ditutupnya pintu rumah rapat-rapat.
Dengan nafas yang masih tersengal-sengal dan keringat yang masih terus mengucur, dia berdiri di balik pintu berharap tak ada yang menyaksikan kejadian itu. Ketakutan yang teramat sangat masih menghantui dirinya, membayangkan detik-detik dimana ia melepaskan peluru bertubi-tubi ke tubuh suaminya.
Rengekan minta ampun pun tak dihiraukan lagi, karena kebencian dan luka hati sudah mengendap dalam hati, sadis memang tapi itulah yang terjadi.
Perempuan pedagang tahu itu namanya Minul, sudah hampir 8 bulan ia menikah dengan laki-laki keturunan kompeni. Harapan mengarungi bahtera cinta penuh dengan kebahagiaan harus berakhir dengan cara yang tragis.
Benar kata pepatah, jika orang tua tak merestui maka jalanpun tak semulus yang kita bayangkan.
*****
Walau keluarga dan penduduk kampung tak merestui hubungannya, namun Minul tetap nekat berpacaran dengan laki-laki yang dianggap sebagai penjajah itu. Karena dalam benaknya dia akan hidup enak jika punya suami keturunan belanda. Semua serba kecukupan dan tentunya gengsi akan melonjak tinggi.
Apalagi usia Minul masih tergolong muda pantas saja pemikirannya masih sebatas gengsi dan harta, lagi pula laki-laki kompeni itu juga memang dimabuk kepayang dan bertekuk lutut mengharap cinta dari Minul.
Singkat cerita mereka pun nekat melangsungkan pernikahan, dan lelaki kompeni itu rela pindah keyakinan agar keluarga dan penduduk desa merestui.
Walau pada akhirnya hubungan pernikahan itu harus kandas di tangah jalan, karena sang suami ternyata suka berjudi dan main perempuan.
Padahal sebelumnya ada laki-laki pejuang yang mengingatkan bahwa laki-laki kompeni itu memang suka berjudi dan main perempuan. Karena waktu itu Minul sedang dimabuk kepayang hingga nasehat dari siapapun tak pernah digubrisnya lagi.
Hingga akhirnya kesabaran Minul mencapai batasnya, tak kuat menanggung beban dan derita, Minul pun tega menghabisi nyawa suaminya sendiri.
*****
"Suami saya diculik pejuang..." begitu jawaban Minul saat diinterogasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Agar Minul lepas dari jeratan hukum yang berlaku saat itu, karena memang sudah menjadi hal wajar jika seseorang keturunan belanda tiba-tiba hilang diculik pejuang.
Minul pun menjalani kehidupannya kembali seperti semula walaupun kini ada gelar janda muda yang tersemat pada dirinya.
Mendengar kabar kejandaan Minul menjadikan para pemuda berniat ingin mendekatinya, apalagi Minul juga tergolong perempuan seksi, kulitnya yang putih dan bodinya yang aduhai membuat banyak lelaki yang tergila-gila.
Sempat beberapa kali hati Minul tambatkan hati pada laki-laki, mulai dari pegawai kantoran sampai pedagang makanan. Bahkan Minul sempat punya hubungan dengan laki-laki kompeni lagi, tapi hubungan itu tak berlangsung lama karena ternyata laki-laki kompeni itu sudah beristri.
*****
Hingga akhirnya hati Minul kembali tertambat pada seorang laki-laki, kali ini bukan dari kalangan kompeni atau pejuang melainkan pada laki-laki pribumi yang mempunyai profesi pedagang, dia bernama Sugeng. Yaa, Sugeng berjualan buah dan sayur yang tak jauh dari kios Minul berjualan tahu, mungkin karena itulah keduanya merasa ada kecocokan.
Walau cuma pedagang sayur Sugeng termasuk orang kaya di kampungnya, calon pewaris harta dari sang ibu tercinta, lahannya membentang ditanami cengkeh dan kopi, rumah kontrakan dan losmen milik ibunya bercecer dimana-mana.
"Pantas saja hati Minul tertambat padanya" begitu banyak orang mengira.
Tetapi saat hubungan keduanya sedang mesra-mesranya, lagi-lagi lelaki pejuang itu hadir kembali untuk mengingatkan dan menasehati Minul,
"Dia bukan laki-laki yang cocok untukmu Nul..." begitu ucap lelaki pejuang yang tiba-tiba hadir tanpa ada tanda-tanda sebelumnya.
"Apa maksudmu...???
Kami saling mencintai..." ucap minul dengan nada ketus.
"Dia laki-laki lemah...!!! Dia juga sangat temperamen..." Lelaki pejuang itu berkata tegas namun tak menghadap ke arah Minul. Hanya terlihat sebagian punggungnya yang terkena remang cahaya.
"Kamu jangan mengada-ngada, dia itu orang baik, kami sudah saling cocok..." Minul membela. Namun lelaki pejuang itu tetap tak membalingkan tubuhnya, tetap tak menghadap Minul. Menjadikan sosoknya sangat misterius.
"Bukankah kamu tau bagaimana dia menduda...??? Selama bertahun-tahun dia menelantarkan sang istri, tak pernah memberi kepastian statusnya. Bahkan hingga saat ini yang katanya dia akan menikahimu saja, dia belum resmi bercerai...
Bagaimana dia bisa menyelesaikan masalah-masalahmu kelak, sementara masalahnya sendiri yang begitu penting saja ditunda-tunda dan disepelekan...???" Lelaki pejuang itu berkata lantang, dengan topi tetap menutupi wajahnya.
"Jangan pernah urusi urusanku...!!!" Minul mulai marah dan langsung mengambil senapan yang tergantung di dinding, lalu menodongkan ke arah lelaki pejuang itu.
"Pergi dari sini atau akan aku bunuh kau...!!!" Minul menggertak emosi.
"Aku datang karena kepedulianku dan aku akan pergi demi kebaikanmu...
Tak perlu mengusirku, aku sudah kenyang oleh senjata seperti itu...
Baiklah aku pergi, semoga kehidupanmu selalu dalam kebahagiaan, karena dengan itu aku tak akan mungkin lagi untuk datang..." ucap lelaki pejuang itu tenang, lalu dalam sekejap tiba-tiba menghilang.
Minul bernafas lega, sembari meletakkan senapan yang ada di tangannya. Berharap laki-laki pejuang itu tak pernah datang lagi padanya.
****
Minggu demi minggu berganti bulan, bulan demi bulan berganti tahun, Minul merasa bahagia karena tak pernah diganggu lelaki pejuang lagi, hubungan Minul dan Sugeng juga kian dekat, membuat keduanya semakin lengket.
Namun sekian lama hubungan itu terjalin, hingga kini belum ada tanda-tanda Sugeng akan serius melamarnya.
Hingga di suatu ketika, telah habislah kesabaran Minul.
"Sebenarnya mas Sugeng itu serius gak sama aku...???" Minul menuntut keseriusan Sugeng. Namun ekspresi Sugeng terlihat datar, tetap diam tak bergeming.
"Bukankah hubungan kita sudah lama...??? Kapan kita akan menikah mas...???
Aku malu sama tetangga..." ucap Minul dengan nada kian meninggi.
"Aku belum siap Nul..." jawab Sugeng singkat sembari menundukan kepalanya.
Mendengar itu Minul seketika naik darah, lagi-lagi diambilnya senapan yang terpajang di dinding lalu ditodongkan ke arah Sugeng.
"Aku sudah terbiasa tersakiti, tapi aku juga sudah terbiasa menghabisi nyawa orang yang menyakitiku dengan senapan ini..." Minul mengancam, siap menarik pelatuk senapan itu.
Melihat itu Sugeng seketika terkejut ketakutan.
"Baik, baik, baik Nul aku akan segera melamarmu..." jawab Sugeng panik.
Dan karena tekanan itu akhirnya mereka pun melangsungkan acara pernikahan di kampung, dengan acara sederhana dan pesta alakadarnya.
Dari pernikahan itu, merekapun menjalani kehidupan rumah tangganya penuh bahagia, karena memang Minul sangat mencintai suaminya.
*****
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tak terasa hampir dua tahun mereka menjalani mahligai rumah tangga, namun pernikahan mereka belum juga dikaruniai keturunan, walaupun demikian Minul tetap bersabar dan setia pada Sugeng.
Hingga di suatu ketika tragedi itu terulang kembali, lagi-lagi senapan andalannya kembali ditodongkan tepat mengarah ke kepala Sugeng.
"Aku tak sudi lagi punya suami sepertimu..." ucap Minul penuh amarah.
Tak berapa lama, tiba-tiba,
"Doorrr....!!!! Doorrr...!!!! Doorrr...!!!" Lagi-lagi senapan itu memakan korban.
Minul membabi buta melontarkan peluru ke tubuh suaminya, rengekan minta ampun pun tak dihiraukan lagi, karena kebencian dan luka hati sudah mengendap dalam hati, sadis memang tapi itulah yang terjadi.
Seorang Sugeng yang selama ini dicintainya ternyata hanya seorang pemalas, yang tak mau bekerja keras. Selama ini beban hidupnya ada di pundak sang istri yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai laki-laki. Sugeng juga seorang cemburuan, sering bertindak kasar dan arogan.
Apalagi sudah beberapa bulan ini Minul diacuhkan, hanya karena uang dari berjualan tak sebanyak biasanya. Bahkan Minul tak pernah diberi perhatian, Nasibnya digantung, ditinggal begitu saja seperti istri pertamanya dulu.
Hingga akhirnya kesabaran Minul mencapai batasnya, tak kuat menanggung beban dan derita, lagi-lagi Minul pun tega menghabisi nyawa suaminya sendiri.
Malam itu tepat di malam bulan purnama dengan wajah yang masih gugup setelah membuang jasad suaminya, ia langsung lari menerobos gelapnya malam dan menyibak semak belukar menuju rumahnya, lalu ditutupnya pintu rumah rapat-rapat.
Dengan nafas yang masih tersengal-sengal dan keringat yang masih terus mengucur, dia berdiri di balik pintu berharap tak ada yang menyaksikan kejadian itu. Ketakutan yang teramat sangat masih menghantui dirinya, membayangkan detik-detik dimana ia melepaskan peluru bertubi-tubi ke tubuh suaminya.
Lalu Minul merebahkan tubuhnya diatas kasur, mengambil nafas panjang mencoba tenang.
*****
Tiba-tiba lelaki pejuang itu datang kembali, sosok misterius dengan topi yang selalu menutupi wajahnya.
"Sudah aku ingatkan dia bukan laki-laki yang cocok untukmu..." ucap lelaki pejuang itu tenang, dengan tuhuhnya yang terlihat samar.
"Sebenarnya siapa dirimu...!!!???
Kenapa kamu selalu mengganggu hidupku...!!!???" Ucap Minul dengan nada tinggi, terkejut atas kehadiran lelaki pejuang itu.
"Aku hanya lelaki pejuang, kamu tak perlu tau siapa aku...." ucap lelaki pejuang itu dengan nada tenang.
"Tapi kenapa kamu selalu mengganggu kehidupanku...???" Tanya Minul dengan nada tetap meninggi.
"Karena aku peduli padamu..." jawabnya singkat.
"Tapi sepertinya aku mengenalimu...
Dan tak mungkin kamu peduli padaku kalau kita tak saling kenal..." ucap Minul penasaran, lalu mendekati lelaki pejuang itu.
Dengan langkah berlahan mencoba mendekati, lalu Minul memberanikan diri membuka topi yang sedang dipakainya. Dan akhirnya terlihatlah sosok wajah yang selama ini tertutupi.
"Mas Endar...???" ucap Minul terkejut, saat mengetahui sosok laki-laki di balik topi itu.
Ternyata lelaki pejuang yang selama ini sering dianggapnya sosok misterius itu, dia adalah sosok yang telah lama dikenalnya, dia teman kecil Minul sewaktu di kampung dulu.
Lalu keduanya saling menatap lama, tak ada sepatah kata yang keluar dari bibir mereka.
Wajahnya terlihat begitu jelas, tatapannya yang menyejukkan dan ucapannya yang menenangkan membuat hati Minul kembali tenang.
"Aku tak mungkin bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini Nul..." ucap lelaki pejuang itu lirih, sembari memeluk tubuh Minul untuk menentramkan jiwanya.
Perasaan Minul terasa tenang saat berada dipelukan lelaki pejuang. Dan Minul pun menyadari bahwa laki-laki yang dianggapnya menyebalkan itu ternyata laki-laki yang sangat peduli padanya.
"Kenapa mas Endar sepeduli itu sama aku...???" Tanya Minul dengan air mata yang mulai menetes di pipinya.
"Karena aku mencintaimu Nul..." jawabnya pelan sembari membelai rambutnya.
"Kalau memang selama ini kamu cinta sama aku, kanapa tak pernah berterus terang atau berusaha memiliki aku...???" Minul kembali bertanya dengan penuh penyesalan.
"Jika saja statusku memungkinkan untuk memilikimu, tentu tak akan pernah aku biarkan kamu sampai menjanda seperti ini..." ucap lelaki pejuang penuh makna.
"Apa maksudmu mas...???" Tanya Minul tak memahami. Melepas pelukannya lalu menatap mata lelaki itu.
"Jika saja statusku memungkinkan untuk memilikimu, tentu aku akan berjuang mati-matian untuk memilikimu..." lelaki pejuang itu menjelaskan. Sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Aku adalah seorang pejuang Nul, aku tak ingin hidupmu dalam masalah hanya karena aku...
Jika kita nekat menjalin kasih, tentu banyak rintangan yang sangat berat yang akan kita hadapi...
Hidupmu akan terseret kedalam masalahku...
Aku tak ingin terjadi sesuatu padamu Nul..." lelaki pejuang itu kembali menjelaskan. Dengan kedua tangannya masih menempel di pipi Minul.
Dan Minul pun hanya bisa terdiam membisu, memahami kata-kata dari pejuang itu.
Keduanya saling bertatapan lama, bibir mereka tak mampu berucap lagi, namun pandangan mata keduanya jauh menembus ke hati.
Lalu lelaki pejuang itu melepaskan kedua tangannya, membalikkan badan untuk melangkah pergi.
"Jangan tinggalin aku lagi mas..." bibir Minul berucap lirih.
Mendengar itu langkah lelaki pejuang itu terhenti, lalu menolehkan kepalanya sembari berkata,
"Percayalah Nul, ini yang terbaik untukmu...
Jalani kehidupanmu akupun akan menjalani kehidupanku...
Suatu saat kamu akan mengerti, bahwa cinta yang sesungguhnya memang tak harus memiliki...
Percayalah,
Semua yang aku lakukan ini adalah yang terbaik untukmu...
Jika suatu saat nanti dirimu merasa terluka, ingatlah bahwa ada satu laki-laki yang sangat mencintaimu, sangat menyayangimu, dan selalu ingin memuliakan dirimu..." ucap lelaki pejuang itu, lalu melanjutkan langkahnya pergi menghilang ditelan kegelapan malam.
"Mas Endaaarrr..."
Minul berteriak memanggil lelaki pejuang itu, sembari tak kuasa menahan tangis, tubuhnya seketika lunglai merobohkan lututnya ke lantai, mengharap lelaki pejuang itu untuk kembali memeluknya lagi.
*****
Minul pun menjalani kehidupannya kembali seperti semula walaupun kini ada gelar janda muda yang tersemat pada dirinya.
Mendengar kabar kejandaan Minul menjadikan para pemuda berniat ingin mendekatinya, apalagi Minul juga tergolong perempuan seksi, kulitnya yang putih dan bodinya yang aduhai membuat banyak lelaki yang tergila-gila.
Namun kali ini Minul lebih memilih sendiri, menjalani kehidupannya tanpa seorang laki-laki.
Minul hanya berharap semoga keadaan cepat berubah, mengharap negerinya segera merdeka.
Agar lelaki pejuang itu berhenti bergerilya dan menajalani kehidupan sebagaimana mestinya.
Mungkin dengan seperti itu Minul berharap bisa hidup bersama lelaki pejuang itu.
Menjalani sisa hidupnya penuh bahagia.
=============SEKIAN=============
Baca juga cerpen tentang petualangan:
Jantung Laela berdegup cepat saat tangannya dengan sigap mengemasi baju-bajunya, lalu dengan langkah jinjit pelan Laela melangkahkan kakinya lewat pintu belakang, agar paman yang selama ini merawatnya tak mengetahui kepergiannya.
Malam itu Laela berencana kabur dari rumah pamannya itu karena tak tahan lagi atas perjodohan dirinya dengan lelaki kaya anak kepala desa.
Dengan langkah setengah berlari membelah pekatnya malam melewati pematang sawah, tak peduli kadal ataupun ular langkahnya terus menderu tanpa henti hingga sampai di perempatan jalan di sudut desa, Laela dengan nafas yang masih tersengal matanya merayap ke segala arah mencari seseorang yang seharusnya telah menunggunya disana.
"Kamu nyariin aku yaa...???" Bisik seorang laki-laki sembari menepuk pundak Laela.
"Aaahh kamu kirain gak nepatin janji..." ucap Laela sembari menengok ke arah laki-laki itu.
Dia adalah Adrian, seorang dokter muda yang sedang magang di puskesmas di kampung Wonosari dimana Laela tinggal.
Laela dan Adrian sudah enam bulan ini menjalin kasih. Karena keluarga Laela tak merestui hubungannya, akhirnya mereka putuskan untuk pergi dari kampung itu untuk menemui orang tua Adrian di kota.
Saat mereka hendak bergegas pergi langkah mereka dihadang oleh laki-laki berbadan kekar.
"Tunggu...!!!!" Gertak laki-laki itu dengan nada emosi. Dia adalah Badhar anak pak kades yang hendak dijodohkan dengan Laela.
"Mau kemana kalian...!!!???" Ucap Badhar sembari menunjuk geram.
"Ini bukan urusanmu Badhar..." jawab Laela singkat.
"Jelas ini urusanku karena kau calon istriku..." Badhar makin emosi.
"Laela tak pernah mencintaimu Badhar, mengertilah...
Biarkan kami pergi..." ucap Adrian menghiba. Dengan pembawaan yang kalem Adrian tak terpancing emosi.
"Hei kau...!!!!
Kau tak ubahnya seperti Rahwana yang bermuka rama...!!!
Akan ku habisi kau...!!!" Badhar makin emosi sembari menarik baju Adrian dan hendak memukulnya.
"Cukup Badhar, cukup...!!!!
Ingat, kalo kamu menyakiti Adrian berarti kau telah menyakiti aku...
Bukankah kamu sangat mencintai aku...???
Seharusnya kau biarkan aku bahagia menjalani garis kehidupanku sendiri...
Ingat Badhar, aku sudah tak punya siapa-siapa lagi...
Biarkan aku memilih dengan siapa aku akan menjalani kehidupanku...
Bukan malah memaksa kehendak egomu..." Laela menjelaskan dengan nada tinggi.
Sementara Badhar hanya bisa terdiam diri, terpaku karena kata-kata Laela.
Tak berapa lama mereka pergi meninggalkan Badhar. Melangkah tenang sembari bergandengan tangan lalu hilang ditelan kegelapan malam.
Badhar tetap berdiri kaku, membisu bak patung batu, tak tau harus berbuat apa, ia hanya bisa mengikhlaskan gadis yang dicintainya pergi bersama pujaan hatinya.
"Jika ini yang terbaik untukmu, aku ikhlas Laela...
Semoga kamu menemukan kebahagiaan yang kau cari, percayalah aku disini tetap menyayangimu....." ucap hatinya lirih lalu membalikan badan, melangkah pulang.
*******
Sementara itu, sesampainya di kota Adrian mengajak Laela untuk menemui orang tuanya. Namun tak disangka kedua orang tuanya juga tak merestui hubungan itu.
"Dia perempuan kampung Adrian, dia tak pantas menjadi pendamping hidupmu..." ucap ayahnya dengan nada keras hingga ucapannya sampai di telinga Laela.
Hati Laela pun hancur, mendengar kata-kata orang tuanya Adrian. Ia pun langsung pergi meninggalkan rumah itu, lalu Adrian mencoba mengejarnya.
"Adrian, tak pantas kau kejar dia...!!!" Gertak sang ayah namun Adrian pun tetap pergi tak menghiraukan ucapan ayahnya.
Adrian berlari mengejar Laela yang pergi karena merasa sakit hati.
"Maaf Laela, maafkan kedua orang tuaku...
Mungkin mereka butuh waktu untuk mengerti kita..." ucap Adrian meyakinkan hati Laela.
"Tidak Adrian, memang benar kata ayahmu... aku hanya perempuan kampung yang tak pantas bersanding dengan dokter muda Sepertimu..." ucap Laela tau diri.
"Apapun keadaannya aku akan tetap bersamamu Laela...
Yakinlah kita akan selalu bersama..." Adrian terus menyakinkan Laela sembari memegang kedua bahunya lalu mengusap air matanya.
*****
Sejak saat itu mereka putuskan pergi dari rumah, menjalani hidup bersama di sebuah rumah kontrakan di pinggiran kota.
Sementara sang ayah terus mencari informasi tentang anaknya, anak buahnya disebar di penjuru kota untuk mencari keberadaan Adrian dan Laela. Namun tetap tak membuahkan hasil.
*****
Tiga bulan telah berlalu, Adrian merasa perlu mengajak Laela kembali menemui orang tuanya untuk meyakinkan bahwa Laela lah yang pantas menajdi istrinya.
Namun setelah menemuinya, pendirian orang tuanya tetap teguh bahwa mereka tetap tak merestui hubungan itu.
"Adrian...!!! Apa kau sudah lupa dengan nasib Hermawan kakak kandungmu...???
Apa kau ingin nasibmu seperti dia...!!!???" Gertak sang ayah kembali mengingatkan nasib kakaknya yang hampir mirip dengan kisah hidup Adrian.
Seperti yang Adrian tau, kakaknya telah diusir dari rumah karena nekat mencintai gadis yang tak direstui ayahnya. Hingga saat ini pun sang kakak tak diketahui keberadaannya.
"Kakakmu pun sekarang menjadi gembel karena tak menuruti keinginan papa...!!!" Ayah Adrian terus mengancam.
"Bukankah cita-cintamu ingin melanjutkan studi di Australia....??? Menjadi dokter ternama dan kelak akan mengantikan posisi papa memimpin rumah sakit yang kita punya...???" sang ayah merayu.
"Kamu satu-satunya harapan kami nak..." sang ibu pun ikut menghiba.
Hati Adrian kembali goyah, membahagiakan orang tuanya atau tetap memilih menikahi kekasihnya.
Adrian hanya terdiam diri, pikirannya kacau bagai buah simalakama.
"Liatlah Adrian, surat rekomendasi S2 mu sudah keluar dan tiket pesawat sudah papa siapkan, minggu depan kamu harus berangkat...!!!"
Namun Adrian hanya berdiam diri sembari tangannya tetap menggenggam tangan Laela. Mengisyaratkan bahwa Adrian tak mungkin bisa pisah dari Laela.
Melihat itu sang ayah sangat murka.
"Baik Adrian, papa beri dua pilihan, ambil tiket pesawat ini dan usir perempuan itu atau kau akan dicoret dari daftar pewaris harta papa...!!!???"
Mendengar itu Adrian sangat shock, jiwanya kembali tertekan, seketika pikirannya melayang mengenang kembali ke masa lampau, dimana dirinya teringat saat kecil dulu.
*****
Waktu itu umur Adrian masih sekitar sepuluh tahun, saat sedang bermain di teras rumahnya bersama sang ayah, Adrian bertanya pada ayahnya.
"Papah nanti kalo Adrian besar boleh gak jadi dokter kaya' papah...???" Tanya Adrian polos.
"Kok kamu ngomong gitu sayang...???" Ayahnya balik tanya sembari mengelus rambut Adrian.
"Soalnya aku pingin kaya' papah, bisa ngobatin orang sakit, punya rumah sakit buat nolongin banyak orang..." jawab Adrian dengan nada khas anak kecil.
"Pasti nak, kamu bisa menjadi seperti papah, bahkan kamu harus lebih baik dari papah...
Papah ingin suatu saat nanti kamu yang meneruskan usaha papah, dan aku yakin rumah sakit yang papah punya akan lebih besar jika kamu yang pegang..." sang ayah memberi motivasi pada Adrian dengan kedua tangannya memegang pundak Adrian.
"Iya pah, aku pasti gak akan ngecewain papah..." Adrian berjanji.
"Tapi perlu kamu tau nak, mewujudkan sebuah cita-cita besar itu tak semudah membalikan tangan nak...
Seperti papahmu dulu yang sangat gigih memperjuangankan cita-cita,
Dan semua pasti ada cobaan dan rintangan yang berat..." ucap sang ayah sembari matanya menerawang jauh, semantara Adrian hanya bisa terdiam memahami kata-kata sang ayah.
"Suatu saat nanti kamu akan hilang kepolosanmu, kamu akan menjadi pemuda yang tampan dan cerdas, dan disana godaan itu akan datang, pasti banyak perempuan-perempuan murahan yang akan mengodamu agar kamu terjerumus dalam dunia mereka dan langkahmu akan semakin sulit untuk mewujudkan impian-impianmu itu..." sang ayah kembali menjelaskan panjang lebar.
"Adrian ngerti pah, aku janji akan jaga diri baik-baik..." ucap Adrian sembari menganggukan kepalanya.
"Anak pintar, papah sangat sayang kamu nak..." ucap ayah lalu mencium kening Adrian.
*****
Teringat ucapan-ucapan ayah dahulu, Adrian seketika melepas tangan Laela lalu menampar keras pipinya.
"Dasar perempuan murahan...!!!!
Mungkin kau yang dimaksud papahku dulu, bahwa kau hanyalah perempuan penggoda...!!!" Emosi Adrian seketika memuncah.
"Mas kamu setega itu padaku...!!!???" Laela langsung menangis kencang, tak percaya apa yang dia dengar dari mulut kekasihnya.
"Pergi dari sini pergiiii...!!!" Adrian mengusir Laela.
Tanpa banyak kata, Laela pun pergi dengan hati yang sangat hancur.
Melihat itu Adrian langsung terungkur dengan lutut roboh ke lantai, menangis histeris menandakan jiwanya tergoncang. Lalu kedua orang tuanya langsung memapah Adrian masuk ke kamarnya.
*****
Sementara itu Laela terus berlari tanpa henti, membawa hatinya yang telah hancur berkeping-keping. Semua harapannya telah sirna sekejap mata, tak tau lagi harus kemana dia pergi.
Hingga akhirnya dia menyadari, bahwa laki-laki terbaik baginya hanyalah Badhar. Laki-laki yang selama ini selalu melindunginya, menjaganya dan selalu memuliakannya.
Badhar teman bermainnya sedari kecil, selalu memberi perhatian penuh padanya dan semua itu tak pernah berubah hingga dewasa.
Pikiran Laela melayang ke masa lampau, membayangkan saat-saat kecil dulu.
Waktu itu saat Laela masih kecil, sang ibu masih bekerja di rumah pak Prapto ayahnya Badhar. Tak bisa dipungkiri dulu saat Laela masih kecil ibunya bekerja pada orang tua Badhar, ibunya lah yang merawat Badhar sejak kecil karena orang tua Badhar sangat sibuk oleh pekerjaan.
Sejak itulah Badhar dan Laela sering bermain bersama. Hingga suatu saat Badhar dengan polosnya bertanya dengan ibunya Laela,
"Bik, kalo udah besar nanti boleh gak aku nikah sama Laela...???" Tanya Badhar polos.
"Huutttss kamu itu kan anak orang kaya, sementara Laela kan anak bibik..." jawab sang Bibik.
"Yaa gak papa Bik, aku cuma pingin maen-maen terus sama Laela sampai besar nanti, aku pingin jagain Laela..." ucap Badhar yang waktu itu masih 12 tahun.
"Yasudah yang penting kamu jangan nakalin Laela yaa... jangan bikin Laela nangis..." ucap ibu Laela.
"Iya Bik aku pasti bisa jagain Laela terus..."
Entah kenapa sejak saat itu Badhar selalu perhatian pada Laela, persahabatan sejak kecil hingga remaja.
Hingga akhirnya ibunda Laela menginggal dan Laela harus hidup bersama Pamannya.
Badhar tetap setia menemani Laela, namun makin dewasa Badhar timbul perasaan lebih dari sekedar persahabatan, semakin hari sikapnya semakin posesif, dia juga tumbuh menjadi laki-laki sangar dan arogan. Hingga siapapun yang mendekati Laela pasti dihajar oleh anak buah Badhar. Dan karena itulah Laela mulai tak nyaman dekat dengan Badhar.
Namun dibalik arogansinya sebenarnya Badhar ingin melindungi Laela dari godaan laki-laki yang hanya akan menyakitinya.
*****
Dan saat ini saat semuanya telah terjadi, saat hati Laela hancur oleh laki-laki yang mencampakannya begitu saja, Laela menyadari bahwa apa yang ditakutkan Badhar benar-benar terjadi.
"Maafkan aku Badhar, sekarang aku sadar bahwa kamulah laki-laki yang mampu mencintai aku setulus itu, mengorbankan segalanya demi kabahagiaanku..." hati Laela berucap lirih penuh penyesalan, sembari berjalan dibawah guyuran hujan.
"Badhar maafin aku...!!!!" Laela berteriak kencang, menangis histeris ditangah guyuran hujan, menggambarkan betapa hancur hatinya.
"Seandainya masih bisa, saat ini pula aku ingin memelukmu, mengucapkan maaf yang terdalam dari relung hatiku...
Tapi aku merasa tak pantas lagi untukmu, aku yang tak mampu menjaga kesucianku...
Maafkan aku Badhar..." hati Laela berucap lirih sembari kakinya terus melangkah menyusuri jalan ditengah guyuran hujan. Langkahnya gontai, lesu tanpa arah tujuan.
*****
Semetara itu,
Lima hari telah berlalu, namun Adrian masih tetap mengurung diri dalam kamarnya, hatinya sungguh tergoncang menghadapi jalan hidupnya kini. Di satu sisi Adrian ingin mewujudkan cita-cita dan membahagiakan kedua orang tuanya, namun di sisi lain sebenarnya dia sangat mencintai Laela.
Tetapi Laela sudah terlanjur membenci, telponnya tak pernah diangkat, pesan-pesannya juga tak pernah dibalas, bahkan handphone-nya sudah tak aktif lagi.
Sementara tiket keberangkatan tinggal satu hari lagi, dan besok Adrian harus terbang untuk meneruskan studinya di Australia.
"Tak ada waktu banyak, aku harus menemui Laela untuk meminta maaf atas semuanya...
Dan aku akan berjanji jika semua cita-cita telah tercapai aku akan menikahi Laela..." batin Adrian berucap sembari bergegas pergi mencari Laela.
*****
"Maaf Laela sudah tidak tinggal disini lagi..." ucap ibu yang punya kontrakan.
"Sekarang Laela tinggal dimana bu...???" Tanya Adrian panik.
"Maaf ibu tak tau, tapi bukankah dulu perginya sama mas Adrian...???" Jawab ibu itu.
"Iya bu, tapi dia pergi ninggalin aku bu...
Yaudah bu makasih atas infonya..." Adrian kembali pulang tanpa membuahkan hasil.
*****
Hari ini hari keberangkatan telah tiba, Adrian melangkah lesu dengan menyeret koper ditangannya memasuki ruang bandara yang akan menerbangkannya.
Ditengah langkahnya yang gontai, tiba-tiba ada yang memanggil.
"Adrian..." seseorang memanggilnya dengan suara yang khas, kalem, tenang tapi tegas.
Seketika langkah Adrian terhenti, membalikkan badan mencari sumber suara yang memanggilnya.
Alangkah terkejutnya Adrian melihat sosok yang ada di hadapannya.
"Baru kali ini aku melihat laki-laki dengan nama besar namun hatinya sangat kerdil..." ucap seseorang yang ada dihadapan Adrian.
"Apa maksudmu Badhar...!!!???" Tanya Adrian penuh heran.
"Andai saja almarhumah Laela tak melarangku untuk menyakitimu, mungkin saat ini juga sudah ku pecahkan kepalamu...!!!!" Gertak Badhar geram penuh emosi, sembari menarik kerah baju Adrian hingga kedua wajahnya saling berdekatan. Nampak raut muka Badhar sangat murka sementara Adrian sangat ketakutan.
"Laela kenapa Badhar...???" Adrian shock mendengar ucapan Badhar.
"Dia memilih mengakhiri jalan hidupnya..." jawab Badhar singkat, sembari melempar tubuh Adrian hingga tersungkur ke lantai tak berdaya.
Lalu Badhar pergi meninggalkannya begitu saja, dengan langkah tegap yang menggambarkan kemarahan sosok seorang Badhar.
Yaa, begitulah Bashar...
**************************************
**************************************
Tiga bulan kemudian tiba-tiba tersiar berita di surat kabar nasional dengan judul:
"Seorang dokter muda asal Indonesia ditemukan tewas di apartemennya yang diduga bunuh diri karena depresi"
=============SEKIAN=============
Baca juga cerpen tentang petualangan:
Situs megalitikum Gunung Padang adalah sebuah situs peninggalan peradaban nenek moyang kita yang hidup di era megalitik atau biasa disebut jaman batu besar.
Yaitu dimana pada masa itu peradaban manusia sudah berkembang dan sudah bisa membuat bangunan dari batu dalam ukuran besar, yang menurut penelitian hidup di jaman 5000 - 2500 SM.
Di era ini manusia sudah mengenal bercocok tanam dan membentuk suatu kelompok yang lebih besar.
Oiya saya disini tidak akan membahas tentang sejarah ataupun soal penelitian, karena memang itu bukan bidang saya.
Kali ini saya akan membahas atau mereview sebuah perjalanan wisata ke situs Gunung Padang ini.
Oke kita mulai reviewnya, jika hendak melancong ke situs megalitikum ini, kita bisa menggunakan opsi transportasi yaitu via kereta api, angkutan umum dan kendaraan pribadi.
Jika kita hendak menggunakan jasa angkutan kereta api dari jakarta kita bisa naik KRL jurusan Bogor, dari bogor dilanjut ke Cianjur, dan dari Cianjur naik kereta Siliwangi dengan rute perintis Sukabumi-Cianjur dan kita turun di stasiun Lambegan, dari Lambegan dilanjut naik ojek menuju lokasi situs Gunung Padang.
Namun karena perjalanan saya kemaren menggunakan kendaraan pribadi yakni sepeda motor maka saya akan mengulas rute perjalanan via jalur jalan raya.
Jika dari Jakarta terlebih dahulu kita menuju kota Bogor, dari Bogor ambil rute ke jalur puncak dan menuju Cianjur. Setelah melewati kecamatan Warungkondang akan ada plang petunjuk arah, ambil kiri ikuti jalan tersebut dan kita akan sampai di lokasi.
Yaitu dimana pada masa itu peradaban manusia sudah berkembang dan sudah bisa membuat bangunan dari batu dalam ukuran besar, yang menurut penelitian hidup di jaman 5000 - 2500 SM.
Di era ini manusia sudah mengenal bercocok tanam dan membentuk suatu kelompok yang lebih besar.
Oiya saya disini tidak akan membahas tentang sejarah ataupun soal penelitian, karena memang itu bukan bidang saya.
Kali ini saya akan membahas atau mereview sebuah perjalanan wisata ke situs Gunung Padang ini.
Oke kita mulai reviewnya, jika hendak melancong ke situs megalitikum ini, kita bisa menggunakan opsi transportasi yaitu via kereta api, angkutan umum dan kendaraan pribadi.
Jika kita hendak menggunakan jasa angkutan kereta api dari jakarta kita bisa naik KRL jurusan Bogor, dari bogor dilanjut ke Cianjur, dan dari Cianjur naik kereta Siliwangi dengan rute perintis Sukabumi-Cianjur dan kita turun di stasiun Lambegan, dari Lambegan dilanjut naik ojek menuju lokasi situs Gunung Padang.
Namun karena perjalanan saya kemaren menggunakan kendaraan pribadi yakni sepeda motor maka saya akan mengulas rute perjalanan via jalur jalan raya.
Jika dari Jakarta terlebih dahulu kita menuju kota Bogor, dari Bogor ambil rute ke jalur puncak dan menuju Cianjur. Setelah melewati kecamatan Warungkondang akan ada plang petunjuk arah, ambil kiri ikuti jalan tersebut dan kita akan sampai di lokasi.
Setelah dari pertigaan kita akan melewati jalan yang cukup bagus karena baru saya dibeton. Dari pertigaan tadi untuk sampai di lokasi memerlukan waktu sekitar 1 jam 30 menit perjalanan santai.
Keadaan jalan dari pertigaan menuju situs |
Oiya sebagai patokan, setelah berjalan sekitar satu jam mengikuti jalan antar kecamatan ini, kita akan akan menemui pertigaan di sebelah kiri jalan, tapi jika kita tidak ngeh kita akan mbeblas ke stasiun Lampegan (karena pertigaannya membentuk hurif Y).
Jadi jika kita menemui stasiun Lampegan ini berarti kita sudah kebablasan, sebaiknya putar balik sekitar 200 meter sampai menemui pertigaan menuju gunung Padang.
Stasiun Lambegan |
Tetapi sebenarnya jika kesini tak perlu khawatir karena disepanjang pertigaan pasti ada plang petunjuk arah. Dan di perjalanan ini kita juga akan melewati perkebunan teh yang sangat asri.
Plang petunjuk arah |
Hingga mendekati lokasi juga banyak terdapat plang petunjuk arah |
Yap, setelah perjalanan yang sangat melelahkan akhirnya kita akan sampai di lokasi yang kita tuju. Sesaat sebelum memasuki kawasan ini kita akan menemui gapura selamat datang, lalu didepan area situs terdapat tempat parkir yang cukup luas yang mampu menampung sekitar 10 mobil dan 50an motor.
Di dekat parkir juga banyak deretan warung makan dan toilet umum. Jadi sesampainya disini gak ada salahnya istirahat dulu di warung-warung sekitar area parkir.
Area parkir yang cukup luas |
Setelah kita istirahat perjalanan dilanjutkan mendaki ke puncak situs Megalitik Gunung Padang, namun sebelum memasuki area situs jangan lupa beli tiket dulu agar tal dicap sebagai pengunjung ilegal. Hehee...
Loket pembelian tiket |
Harga tiket masuk ke situs megalitikum Gunung Padang |
Oke, setelah membeli tiket kita akan memasuki gerbang kecil sekaligus tempat pemeriksaan tiket masuk. Lalu perjalanan dilanjutkan mengikuti jalan setapak yang cukup adem namun dengan trek menanjak curam. Tapi kelebihannya jalan setapak ini sudah ditata membentuk anak tangga yang disertai pegangan. So, walaupun agak ngos-ngosan setidaknya perjalanan lebih safety.
Pose sebelum memasuki area situs |
Trek menuju situs Gunung Padang |
Setelah berjalan mendaki sekitar 10 menit kita mulai menemui plang-plang peringatan dan informasi tentang Gunung Padang ini. Yang juga menandakan kita akan segera sampai di lokasi situs megalitikum Gunung Padang.
Plang peringatan |
Sesaat di lokasi yang pertama kita temui adalah tataman batu balok-balok besar sebagai pondasi atau tepian situs, lalu kita melangkah lagi memasuki dalam area situs atau area datar pertama yaitu punden berundak dibagian pertama. Lokasi ini cukup luas yang terdiri area lapang yang ditengah-tengahnya tersapat tatanan batu yang berbentuk menyerupai tempat pemujaan yang dikelilingi batu-batu berdiri (bisa liat difoto).
Yang disampingnya dapat tumpukan batu yang membentuk kubah dan di area datar ini juga terdapat pohon yang cukup rindang.
Tepian situs Gunung Padang |
Area punden pertama |
Punden pertama jika dilihat dari atas |
Dari area datar pertama ini kita lanjutkan mendaki ke punden berundak selanjutnya, dari sini juga terkihat tepian punden berundak senlanjutnya berupa tatanan batu balok yang cukup rapi tinggi menjulang. Dan perlu diketahui balok batu ini menurut penelitian merupakan batu columnar join yang terbentuk oleh proses alam. Jadi menurut peneliti gunung padang ini dibentuk oleh peradaban masa lampau dengan menggunakan batu dari alam bukan pahatan manusia.
Trek menuju punden berundak ke dua |
Dan dibawah ini saya sertakan foto saya saat berada diarea yang saya maksud dengan melepas alas kaki.
Area wajib lepasalas kaki |
Seperti biasa iklan BATIK BINZAH |
Di area datar ke dua ini terdapat beberapa balok batu yang ditata berdiri yang konon pada masa dahulu dipakai sebagai alat musik. Disini pula kita bisa menikmati pemandangan dengan sudut 360° secara full meliputi pegunungan-pegunungan disekeliling gunung Padang ini.
Oiya disini (dipohon yang sangat rindang ini) sangat cocok untuk bersantai-santai ria sembari menikmati segelas kopi, masalah kopi jangan kuatir karena di area ini banyak pula warung-warung kecil penjaja kopi dan makanan ringan.
Ngupi dulu |
Santai sejenak menikmati pemandangan |
Oiya dari area datar ke dua ini untu ke area punden berundak selanjutnya tidak terlalu tinggi hanya sekitar dua atau tiga anak tangga, dan kalau tidak salah jumlah area datar disini atau punden berundak semuanya berjumlah 6 tanah datar.
Untuk lebih jelasnya saya sertakan foto saya yang saya ambil dari gardu pandang sebagai berikut dan sketsa gunung padang yang saya ambil dari google.
Punden berundak-undak jika dilihat dari atas gardu pandang |
Sketsa imajinatif diambil dari google |
Terimakasih sudah membaca dan selamat bertualang...!!!!
*****
Oiya untuk review perjalanan yang lebih real, silahkan tonton video berikut ini:
*********************************
*********************************
Baca juga cerpen tentang petualangan: