Home » , » [Cerpen] Kawah Sileri Menagih Janji

[Cerpen] Kawah Sileri Menagih Janji


Saat kawah sileri meletus, mungkin semua orang menganggap itu hanya fenomena alam biasa, tapi bagiku itu adalah sinyal yang dialamatkan padaku untuk segera menepati janjiku yang dulu.

Entah kebetulan atau tidak, meletusnya kawah Sileri bertepatan dengan tanggal dimana aku dan pacarku yang dulu saling berikrar janji tepat lima tahun yang lalu. Janji yang aku sendiri tak tau harus bagaimana menepatinya.

*****

Singkat cerita, tepat lima tahun yang lalu saat aku dan kekasihku menikmati liburan di dataran tinggi Dieng, untuk sekedar melepas penat dari rutinitas keseharian.

Yaa, kami memilih Dieng karena tempat ini mempunyai sejuta pesona keindahan, tempat yang cocok untuk belibur bersama orang yang tersayang. Apalagi lokasinya mudah ditempuh dan tidak terlalu jauh.

Aku ingat betul masa itu sungguh sangat menyenangkan, mengendarai sepeda motor dengan semilir angin pegunungan. Di sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang hijau membentang, Keceriaan itu sungguh masih jelas terasa dalam ingatanku.

Apalagi sesampainya di Dataran Tinggi Dieng, seketika aroma wisata sangat terasa, deretan hotel dan homestay berderet siap menyambut para tamu, riuh ramai pasar dan terminal berikut kuliner khas Wonosobo, berjejer pula candi berdiri anggun di komplek candi Arjuna, nuansa terasa lebih sejuk karena dikelilingi rangkaian bukit dan pegunungan.

Nuansa itu sangat indah dirasakan, apalagi bagi kami yang sedang dimabuk kepayang. Susana dingin mampu menghangatkan romantisme cinta, lelahnya perjalanan mampu menambah gairah dalam jiwa. Sungguh suatu kesan yang sangat indah yang mampu terukir dalam memori cinta.

"Lihatlah buih yang mendidih dari kawah Sikidang ini, dia selalu bergelora oleh panas magma dan tak akan pernah dingin untuk selamanya, seperti itulah cintaku yang kan selalu menghangatkan jiwamu..." ucapku merayu saat aku dan dia berada di tepi kawah Sikidang. Lalu dia memelukku erat tanpa berucap apapun, namun aku merasa dalam hatinya menjawab, "aku juga seperti itu adanya"

Lalu perjalanan dilanjutkan ke Telaga Warna, disana terhampar danau luas dengan warna kehijauan, aku menggandengnya berjalan di tepi danau di bawah rindang pepohonan.

Disana ada bangku kayu yang disediakan untuk istirahat sembari menikmati suasana telaga.

"Walau konon telaga ini warnanya selalu berubah-ubah, namun cintaku padamu tak akan pernah berubah... 
Walau pun diterpa badai dan cuaca..." aku berucap lirih di dekat telinganya sembari menatap matanya lalu ku sebar pandanganku ke penjuru hamparan luas telaga Warna.

Begitu pula saat kami di puncak Batu Ratapan Angin, kami berdiri bersama, ku kecup keningnya sembari berbisik,
"Suatu saat kita akan kesini lagi, berdiri disini, tepat diatas batu Ratapan Angin ini, tapi saat itu kita tidak hanya berdua saja, melainkan akan ada anak kecil yang akan ikut menikmati indahnya pemandangan disini, seperti yang kita rasakan saat ini..."

Aku melihat wajahnya sangat sempringah mendengar semua ucapanku itu, aku sangat menyayanginya hingga semua harapan dan masa depanku, aku khayalkan hanya bersamanya.

Yaa, saat itu sungguh sangat indah untuk selalu dikenang, kehangatan cintanya mampu mendebarkan dada, setiap tempat yang aku kunjungi begitu sangat berkesan dan menyenangkan.

Bahkan saat perjalanan kembali pulang, suasana ceria pun masih selalu mengiringi. Destinasi terakhirpun kami kunjungi sebelum benar-benar menuju jalan untuk pulang.

Kawah Sileri, adalah tempat terakhir yang kami kunjungi. Memberi kesempurnaan kesan perjalanan wisata ini. Agak jauh dari pusat keramaian Dieng memang, namun aroma eksotisme Dataran Tinggi masih jelas terasa disini.
Hingga di tepi kawah ini aku berucap janji.

"Percayalah sayang, 
perjalanan ini sungguh sangat membahagiakan hidupku, karena ada kamu disisihku...
Dan aku berjanji,
kelak lima tahun lagi kita akan kesini, aku akan mengajak buah hati kita ke tempat ini lagi, ingin aku katakan padanya bahwa dulu ayahnya pernah merasakan hal yang terindah dalam hidupnya di tempat ini, yaa di tempat ini..."

Lalu perjalanan pulang pun dimulai. Dengan membawa janji untuk kembali lagi ke tempat ini, tepat lima tahun yang akan datang, mengajak buah hati yang dinantikan.

*****

Satu tahun telah berlalu, kini aku dan kekasihku masih tetap fokus pada janji itu, janji kembali untuk berkunjung ke dataran tinggi Dieng dengan mengajak buah hati.

Yaa kami pun makin serius merencanakan sebuah pernikahan agar segera diberi momongan, hingga lima tahun dari perjalanan itu kami dapat mengajak buah hati kami, untuk menepati janji.

Namun tak disangka, saat detik-detik terakhir menjelang pernikahan tragedi itu pun terjadi. Tragedi yang tak pernah ku pikirkan sebelumnya.

Pantas saja setiap kali aku mengajaknya mengurus segala sesuatu untuk pernikahan, dia selalu malas dan seperti ogah-ogahan. Ternyata semua terbongkar sudah, ada laki-laki lain dalam hatinya. Dan di hari-hari menjelang pernikahan yang direncanakan, dia lebih memilih pergi bersama laki-laki itu.

Hancur sudah perasaan ini, seakan dunia ini runtuh dalam sekejap mata, harapan untuk hidup bersamanya pudarlah sirna, saat aku mendengar ucapan dari bibir manisnya.

"Maafkan aku mas, aku tak bisa melanjutkan hubungan ini...
Karena perasaan di hati ini tak mungkin dibohongi..." ucapnya lirih sembari membalingkan langkahnya untuk pergi.
Pergi meninggalkanku, pergi dari kehidupanku, berjalan ke arah laki-laki berkemeja putih yang sudah menunggunya dengan mobil mewahnya.

Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, raut wajahnya begitu bahagia saat duduk disamping laki-laki itu, laki-laki yang lebih tampan, laki-laki yang lebih mapan.

Remuk sudah perasaanku ini, tak mampu lagi berucap apapun saat melihatnya pergi, hanya air mata yang mampu mewakili tentang apa yang aku rasa saat ini. Jauh dari rasa sakit itu, ada rasa malu pada keluarga dan tetangga yang juga begitu besar, atas sebuah rencana pernikahan yang tak akan pernah terwujudkan.

"Bagaimana aku menjelaskan pada keluargaku...???" Tanya batinku lirih pada diriku sendiri, dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan lagi.

*****

Tapi apapun yang terjadi, aku harus menghadapi kenyataan ini. Karena tak ada pilihan lain kehidupan harus tetap berjalan, pahit memang tapi inilah yang terjadi.

Hingga akhirnya aku menemukan seseorang yang mampu menggantikan posisinya di hatiku, yang mampu mengukuhkan ketegaran hidupku.

Yaa, tak berselang lama kami melangsungkan pernikahan tanpa harus lama berpacaran. Karena aku yakin jodoh memang sudah tertulis di garis tangan setiap orang.
Seberapa besar kita memperjuangkan sebuah cinta, jika memang dia bukan jodoh kita maka perjuangan itu pasti akan sia-sia.

Dan dengan semua kejadian ini, aku merasa semakin dewasa untuk memahami tentang kehidupan yang sesungguhnya.

*****

Kini lima tahun telah berlalu dari semua kejadian itu, dan tak disengaja pula kami sekeluarga merencanakan berlibur ke Dataran Tinggi Dieng karena memang bertepatan libur panjang. Rencana ini terasa dadakan, tanpa ada perencanaan yang matang. Seakan ada petunjuk untuk mengajaknya kesana.

Dan perjalanan pun dimulai.

Namun sesaat sampai di dataran tinggi Dieng, tiba-tiba tersiar kabar bahwa kawah Sileri meletus tepat saat aku dan keluargaku memasuki kawasan Dataran Tinggi Dieng.

Mendengar kabar itu aku malah membelokkan kendaraan yang sedang aku kemudikan, menuju kawah Sileri. Hingga istri pun bertanya-tanya kenapa aku senekat itu, sementara yang lain mencoba berlari menyelamatkan diri tapi kami malah menuju ke kawah Sileri itu.

Sesampainya disana aku melihat banyak pengunjung berlarian, suasana kepanikan sangat terasa saat asap dari tengah kawah Sileri membumbung tinggi.
Banyak pula petugas sibuk kesana kemari menyelamatkan para pengunjung yang masih tertinggal di radius bahaya.

Dari suasana yang mencekam itu, aku hanya terdiam, berdiri ditengah hiruk-pikuk kepanikan. Tangan kiriku menggenggam tangan istriku, sementara tangan kananku menggenggam tangan anakku.

Kami hanya diam berdiri ditengah-tengah orang yang berlarian, walau sesekali dari mereka ada yang menyenggol tubuh kami karena saking paniknya mereka berlari, tapi kami tetap terdiam, terpaku menatap kawah Sileri itu.

Lalu dengan polosnya buah hatiku bertanya,

"Papah kok gak takut, kok gak ikut lari kaya' orang-orang...???"

Mendengar itu hatiku terperangah lalu aku berusaha menjelaskan padanya,

"Kawah Sileri itu tidak sedang meletus nak, dia hanya menagih janji, janji yang pernah diucapkan oleh ayahmu dulu...
Dan kini, janji itu telah aku tepati dengan mengajakmu kesini...
Walau tanpa seseorang yang seharusnya ada disini..."


=============SEKIAN=============

Cerita ini diilhami oleh tragedi meletusnya kawah Sileri 02 juni 2017
Ditulis oleh: Ahmad Pajali Binzah
Foto by: google

=================================



Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah

Previous
« Prev Post

0 comments:

Post a Comment

recent posts