Untuk awal cerita KLIK DISINI
Waktu aku perintahkan kalian untuk melarikan diri ke atas bukit, aku sengaja memberondong musuh agar musuh mengejarku. Saat itu rasanya aku memang tak mungkin bisa selamat. Bagaimana tidak, puluhan bahkan ratusan tentara Fretilin mengejar dan mengepungku. Saat itu hanya ada dua pilihan, yaitu membunuh atau dibunuh.
Karena itulah aku putuskan untuk berjuang sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya aku terkepung dan terjebak di tepi jurang, puluhan pasukan Fretilin mengepung dan menodongkan senjatanya ke arahku.
"Angkat tangan...!!!" gertak mereka menyuruhku menyerah.
Tak ada pilihan lain, aku jatuhkan senjata dan mengangkat kedua tanganku.
Mereka terus mendekat sembari tetap menodongkan senapannya padaku.
Nafas yang tersengal-sengal, detak jantung yang berdegup kencang dan kepanikan yang sangat luar biasa. Dan kali ini tak ada pilihan lain selain berharap pada keajaiban do'a.
"Yaa Allah, selamatkanlah aku...
Jika memang ini akhir dari ceritaku, cabut nyawaku saat ini juga, karena jika aku tertangkap oleh mereka niscaya mereka akan menyiksa ku hingga diambang batas nyawaku...
Yaa Allah aku siap mati saat ini...
Tapi jika ini bukan ajalku, tolong selamatkan hambaMU ini..." hatiku terus berdo'a dengan pikiran yang kacau balau antah brantah.
Tak terbayang jika aku harus menjadi tawanan mereka, pasti siksaan terberat akan mereka hujamkan padaku.
Karena dalam pertempuran ini, tak ada kata tebusan atau tukar tahanan. Jika tertangkap mereka, hanya ada dua kemungkinan menyebutkan kode sandi rahasia lalu dibunuh, atau bungkam dengan hujaman siksa hingga mati terbunuh karena tak kuasa menahan beratnya siksa.
"Yaa, tak ada alasan untuk menyerah, lebih baik aku mati diberondong puluhan peluru dari pada harus mati disiksa oleh mereka..." pikiranku tertuju pada satu keputusan.
Tanpa pikir panjang, sebelum mereka mendekat dan menangkapku, aku langsung melompat terjun ke jurang, derasnya air sungai di dasar jurang langsung menghanyutkan tubuhku.
"Deerr... Deerr... Deerr... Deerr... Deerr..."
Walau aku sudah terhanyut di aliran air, mereka tetap memberondong ke arahku. Tapi pekatnya malam dan derasnya arus sungai membuat tubuhku sukar terlihat dan tak satu pun peluru mengenai tubuhku.
Entah berapa jauh aku terhanyut hingga akhirnya tubuhku tersangkut di bebatuan sungai.
Dengan tubuh yang lemah aku berusaha ke tepi, kebetulan disana ada satu goa kecil yang menghadap tepat di tepi sungai, mulut goa itu sempit seukuran tubuhku, tanpa pikir panjang aku masuk ke dalamnya, dengan susah payah aku masuk lalu aku tutup pintu goa itu dengan rerumputan.
"Cepat cari dia sampai dapat, kita harus dapatkan dia hidup atau mati...!!!" aku mendengar semua yang diucapkan pasukan Fretilin, mereka terus menyisir tempat itu untuk mencariku.
Malam itu, dengan baju yang basah aku menggil kedinginan, hipotermia menyerangku hingga akhirnya aku tak sadarkan diri.
Keesokan harinya aku terbangun, aku mencoba makan apa yang masih tersisa, aku mencoba bangkit untuk keluar namun aku masih melihat pasukan Fretilin menyisir semua lokasi tetap mencariku. Akupun hanya bisa terus bersembunyi di goa itu sampai kondisi benar-benar aman.
Yaa, mulai saat itu aku hanya keluar di malam hari, jika waktunya tiba aku mulai bergerilya mencoba menyerang mereka satu persatu, sengaja aku tak menggunakan senapanku karena aku tak ingin menimbulkan kegaduhan. Entah sudah berapa puluh pasukan musuh yang aku bunuh dengan tikaman belatiku, karena pada saat itu hanya dengan membunuh yang membuatku bisa bertahan hidup, karena saat kondisi seperti itu hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh.
***
Sudah hampir seminggu aku bergerilya mempertahankan hidupku, aku seperti kelelawar yang hanya keluar jika hari mulai gelap, aku juga persis dalam film Rambo yang seorang diri melawan pasukan musuh. Tapi ini bukan dalam adegan film, ini adalah kisah nyata hidupku. Kisah seorang tentara yang mempertahankan hidupnya ditengah kepungan musuh.
Rasanya tak mungkin bisa keluar dari hutan ini hidup-hidup, karena sepanjang mata memandang, hutan ini dalam kekuasaan Fretilin. Tapi semangat juangku lebih besar dari kemungkinan hidupku yang memaksa aku harus terus bergerilya membunuh mereka satu-persatu.
Saat itu aku adalah orang yang paling diburu pasukan Fretilin, komandan mereka memerintahkan untuk menangkapku dalam keadaan hidup atau mati, bahkan misi untuk menangkapku seakan lebih utama dibanding misi awal mereka dalam memperjuangkan kemerdekaannya.
Tepat di hari ke-10, saat aku melakukan penyerangan, bahkan malam itu aku sudah membunuh belasan prajurit mereka, menjelang subuh pergerakanku terlacak.
"Angkat tangan...!!!!" dua orang anggota Fretilin menodongkan senapan ke arahku saat aku sedang menyeret salah satu dari mereka setelah mati aku tikam.
Aku hanya bisa mengangkat tanganku. Mereka pun mulai mendekat sambil teriak meminta bantuan,
"Wooyy... disini orang yang kita cari...!!!
Cepat kesini, aku menemukannya...!!!" sambil menodongkan senapan mereka berdua terus berteriak.
Dari jauh terdengar suara pasukan Fretilin yang mulai berdatangan.
Tanpa pikir panjang, pelan-pelan aku cabut belati yang ada di pinggangku. Beberapa detik kemudian aku lari ke arahnya dan dengan sigap aku tancapkan belatiku di leher tepat dibawah jakunnya.
"Hiaaattt...." "Cruuusss...!!!" seketika darah memuncar dari lehernya deras sekali. Pekatnya malam membuat gerakanku seperti iblis yang haus akan darah.
Lalu aku putar arah, berbalik menghujam pasukan Fretilin yang satunya, ayunan belatiku tepat menyayat mengenai leher bagian kiri merobek ke kanan, hingga luka menganga dengan darah mengucur kemana-mana.
Jika di slowmotion gerakanku persis dalam film-film action.
Dua prajurit Fretilin itu akhirnya tersungkur mati dengan bersimbah darah.
Saat kedua musuhku berhasil aku bunuh, pasukan Fretilin yang lain berdatangan, mereka langsung memberondong membabi buta ke arahku.
Aku dengan sigap lari ke arah jurang, tepat di bibir jurang beberapa detik sebelum aku meloncat, tembakan mereka mengenai tubuhku.
"Deerr... Deerr... Deerr... Deerr... Deerr..."
"Aaaahhh..." aku teriak kencang sekali, sungguh aku merasakan belasan peluru mengenai tubuhku.
Aku pun menjatuhkan diri jatuh ke jurang dengan aliran sungai yang deras, langsung menghanyutkan jasadku.
Dalam ketidak sadaranku, aku merasa mereka tetap memberondongkan tembakannya ke arahku, hingga beberapa peluru mengenai tubuhku lagi. Aku merasa sudah tak terhitung lagi peluru yang menembus tubuhku, bahkan air sungai yang menghanyutkan ku berubah memerah karena darahku.
Aku mulai benar-benar tak sadarkan diri. Tubuhku yang terombang-ambing terhanyut oleh derasnya sungai mulai tak terasa lagi, aku merasa ringan, terbang ke langit, aku seperti kapas putih yang terbang terhembus angin hingga tinggi sekali. Bahkan aku melihat bayangan-bayangan seperti malaikat yang siap menjemputku.
"Apakah ini rasanya mati...???
Apakah ini yang disebut perjalanan menuju akhirat...???
Apakah ini akhir dari ceritaku...???" hatiku terus bertanya-tanya, aku merasa terus terbang di pekatnya langit hitam.
Hingga sampailah aku di sebuah pintu besar penuh cahaya, di sana nampak seperti orang yang berjubah putih menunggu di kedua sisi pintu. Aku merasa terbang terus mendekat, semakin dekat aku merasa cahaya itu sungguh sangat terang menyilaukan. Aku mulai tersedot masuk ke dalamnya.
Tiba-tiba,
"Mas Pram, jangan tinggalin aku..." sosok Sumiati hadir yang entah dari mana datangnya sembari memegang erat tanganku.
"Mas Pram pernah janji gak akan ninggalin aku, kalaupun salah satu dari kita harus mati, kematian kita tidak seperti ini, jika saat itu benar- benar tiba, tangan kita akan saling menggenggam dan kita akan saling menatap untuk yang terakhir kalinya..." suara Sumiati menggema seperti suara peri dalam film-film fiksi.
Tarikan tangan Sumiati seakan kencang sekali hingga aku terseret lagi turun ke bumi.
"Aaaaahhhhh....!!!!!" teriakanku melengking panjang, aku merasakan sakit yang tiada tara, tertarik kembali ke lorong waktu dan kembali masuk ke jasadku.
"Aaahhh tolong...!!!" aku kembali bisa merasakan sakit yang di derita tubuhku, dan seketika terbangun dan bangkit dari kematianku.
"Tenang anak muda, kamu akan segera sembuh..." suara kakek-kakek sambil memeras kain untuk mengompres kening ku.
"Kamu sudah beberapa hari ini pingsan nak, aku dan cucuku yang menemukanmu di tepi sungai di sela-sela bebatuan...
Aku mencoba menolongmu dari luka-luka yang ada di tubuhmu..." kakek itu terus bercerita tentang kejadian itu, sembari mengolesi ramuan-ramuan tradisional ke luka yang ada di tubuhku.
"Aku kira kamu sudah mati nak, tapi aku lihat detak jantungmu masih sangat kencang, setelah aku bawa ke rumah, puji Tuhan luka-luka itu tidak ada yang menembus organ-organ yang vital dalam tubuhmu, kau benar-benar orang yang beruntung nak...
Entah berapa banyak peluru yang melobangi tubuhmu, tapi kamu berhasil selamat..." kakek tua itu terus melanjutkan ceritanya dengan nada pelan khas orang yang sudah tua.
Setelah beberapa hari dirawat oleh kakek itu, kondisiku mulai pulih.
"Kek, dimana baju seragamku, aku ingin segera pulang...???" tanyaku sembari bangkit dari tempat tidur.
"Seragammu sengaja aku kubur, aku sengaja menyembunyikan identitasmu dari orang-orang disini. Jika tidak, nyawamu akan terancam..." kakek itu memberi tau tentang semua yang terjadi.
"Ini wilayah kekuasaan Fretilin, semua orang yang ada di kampung ini dalam pengawasan Fretilin, dan semua penduduk disini memang penduduk Fretilin...
Ini basis Fretilin nak..." kakek tua itu meneruskan ceritanya.
"Termasuk kakek...???" tanyaku memotong ucapannya.
Kakek itu hanya menganggukan kepala.
"Tapi kalo kakek pendukung Fretilin, kenapa tidak membunuhku saja waktu menemukanku...???" aku bertanya heran.
"Karena aku melihat ada cahaya kehidupan di wajahmu..." ucap kakek singkat sembari menyeruput kopi lalu menghisap rokok yang terbuat dari tembakau yang diklinting dengan kulit jagung dan menyembulkan asapnya dengan santai, wajah kakek itu sungguh tenang dan meneduhkan.
"Tapi aku tetap ingin pulang kek...!!!
Aku tak bisa terus-terusan tinggal disini" aku ngotot sembari keluar dari kamar, meninggalkan kakek yang masih duduk di bangku di dekat tempat tidurku..
Tak berapa lama aku melangkah tiba-tiba terdengar suara tembakan dan teriakan-teriakan, dan bisa dipastikan itu pasukan Fretilin yang sedang patroli di daerah kekuasaannya.
"Brakkk...!!!" pasukan Fretilin masuk rumah kakek, sebagai kegiata patroli rutin mengecek kondisi wilayahnya.
"Siapa dia kek...???" ucap prajurit itu sambil menodongkan senapan ke arahku.
"Dia suami dari cucuku yang baru pulang dari kota Dili, dia mengungsi kesini karena kota Dili sekarang sudah tidak aman dan telah dikuasai oleh pasukan TNI..." kakek membelaku.
Tak berapa lama, para prajurit itu pergi meninggalkan kami untuk mengecek rumah yang lain.
"Kamu liat sendiri kan nak...???
Jangankan untuk pulang ke kotamu, untuk keluar dari kampung ini saja sangat berbahaya, mereka menguasai semua titik-titik di wilayah pegunungan ini...
Setiap sudut-sudut jalan dijaga ketat oleh mereka...
Dan perlu kamu tau, semua pasukan TNI telah ditarik mundur dan hanya menguasai sebagian kecil di kota-kota, sementara wilayah-wilayah pedalaman kami masih punya kendali..." jelas kakek itu sembari menyeduh teh hangat lalu memberikannya padaku.
"Minum teh teh ini nak, selagi masih hangat...
Teh ini aku buat dari berbagai racikan rempah-rempah, semoga teh ini membuat tubuhmu cepat pulih..."
Yaa, mulai saat itu pupus sudah harapanku untuk pulang, terpaksa aku lewati hari-hariku di kampung ini.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun.
Akhirnya aku merasa nyaman tinggal di kampung ini, kampung yang jauh dari hiruk-pikuk kota, makan dari hasil bumi, sangat sulit menemukan makanan kemasan disini, bahkan untuk minyak goreng pun kami membuatnya sendiri dari kelapa, karena semua jalur perniagaan terputus karena efek dari peperangan ini.
Tapi inilah kenyataan, kami semua merasa bahagia atas keterbatasan ini, menjadi petani dan hidup bersama warga yang sangat ramah. Apalagi cucu kakek Rehinaty de Raujo Teme, nama yang susah dieja oleh lidah-lidah orang Jawa seperti aku, tapi dia sangat cantik di mataku. Rambutnya yang keriting lebat, kulit yang lebih gelap dari kulitku yang sawo matang ini namun terlihat sangat bersih terawat, matanya yang belo hingga tatapannya terasa sangat menyenangkan hati.
Sungguh wanita yang sangat eksotis di mataku. Sesaat terlupakan beban-bedan yang ada di benakku. Aku benar-benar merasa beruntung bisa merasakan kehidupan seindah ini.
"Mas, kita kan udah kenal lama, dan aku merasa kita banyak kecocokan, kenapa mas gak segera meminangku aja mas...???
Padahal kakek dan warga disini sudah setuju kalo kita menikah..." ucap Rehinaty sembari mencuci baju di pinggir sungai, lalu duduk di batu besar setelah semuanya selesai.
"Itu tak mungkin Naty, jujur aku sudah punya istri dan dia sangat menyayangi aku, bahkan bayangan istriku lah yang membuat aku bangkit dari kematianku..." jelasku sembari memeras baju yang telah dibilas. Karena tugasku memang memeras setelah Naty menguceknya. Lalu aku duduk di samping Naty setelah semua cucian selesai diperas.
"Bukankah dalam agammu laki-laki berhak menikah lebih dari satu...???
Aku rela pindah keyakinan jika kita menikah nanti mas...
Dan aku juga yakin kakek pasti tak keberatan..." wajah manisnya memelas yang membuat dia makin manis.
"Aku tidak pernah berpikir ke arah situ Nat..." jelasku singkat menundukan muka.
"Baiklah kalo gitu mas, aku harap apapun yang terjadi nanti itu yang terbaik buat kita..." ucapnya pasrah sembari menatap awan yang bergumul seakan menyaksikan keserasian kami.
Tak bisa dipungkiri, Naty lah yang selama ini mengisi hari-hariku, aku sangat merasakan ketulusannya, sinar matanya menggambarkan betapa besar cintanya untukku, dan sebenarnya aku pun juga merasakan benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku. Cinta yang tak bisa dijelaskan dengan logika dan nalarku.
Bagaimana mungkin aku mencintai wanita yang berasal dari pihak musuhku, mungkin saja pasukan Fretilin yang aku bunuh selama ini adalah sanak saudaranya, karena sebagian besar laki-laki di kampung ini pergi menjadi pejuang Fretilin.
Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan perempuan yang berbeda dari latar belakang maupun keyakinannya, walaupun dia mulai mencoba memahami dan belajar tentang agamaku.
Bagaimana mungkin aku bisa menghianati Sumiati, istri yang selalu aku cintai dan aku pun pernah berjanji untuk setia sehidup semati dengannya.
Dan entahlah, aku tak mengarti apa yang terjadi pada hidupku ini.
"Maasss... maaasss...???
Kok jadi melamun gitu...???" suara Naty mengejutkan lamunanku.
"Oohh iyyaa... yuukk kita pulang..." aku pun segera menganggkat ember yang berisi baju-baju yang telah selesai dicuci, lalu segera berdiri mengajak Naty pulang.
***
Kini tak terasa hampir 3 tahun telah berlalu, aku mendengar kabar pasukan TNI mendapat bantuan dari Amerika Serikat, Australia dan negara-negara lain. Pesawat-pesawat tempur canggih berdatangan, senjata dan perlengkapan perang sudah mumpuni. Akhirnya pasukan Fretilin mulai berhasil ditumpas, basis-basis pendukung Fretilin pun berhasil dihancurkan, perkampungan dan wilayah-wilayah pendukung Fretilin juga diisolasi dan dibombardir, sehingga ladang dan persawaan rusak, yang mengakibatkan bencana kelaparan dimana-mana.
Tak cukup itu, pasukan TNI mulai merengsek masuk ke pedalaman-pedalaman pegunungan, tak memandang anak-anak, tua muda semua yang mendukung Fretilin dibantai habis-habisan. Aksi ini mereka namakan aksi pembersihan.
Mendengar kabar itu, aku pun merasa geram, aku seakan sangat membenci TNI padahal aku sendiri anggota TNI. Aku merasa benar-benar sudah menjadi bagian dari rakyat Timor Leste.
Hari ini, maret 1978 pasukan TNI mulai memasuki daerah-daerah pedalaman, dengan beringas mereka memporak-porandakan pemukiman di sekitar kampung kami, rumah-rumah dibakar, semua warga dikumpulkan. Disiksa diintrogasi satu-persatu untuk menunjukan persembunyian kantong-kantong markas Fretilin, jika tidak mau membuka mulut mereka langsung ditembak mati.
Ini memang perang, membunuh memang dibolehkan, tapi membunuh pihak sipil, apalagi anak-anak dan perempuan adalah tindakan keji yang tak berprikemanusiaan.
Aku memang terlahir sebagai seorang tentara, yang ditakdirkan untuk menjadi mesin pembunuh, tapi jiwa ksatria yang diturunkan dari ayahku yang membuat aku berperang dengan cara-cara ksatria pula.
Bahkan dalam ajaran agamaku dilarang keras membunuh dengan cara-cara keji seperti ini.
Saat ini aku sangat membenci TNI, aku muak strategi-strategi perang seperti ini.
Walaupun aku juga tau, pihak dari Fretilin juga melakukan hal sama demikian, membunuh dan membantai siapa saja yang memihak pada keintegrasian Indonesia.
***
Pagi ini tak seperti biasanya, ketenangan di kampung ini harus terusik oleh kedatangan tentara loreng yang tak asing lagi di mataku, mereka pasukan TNI yang melakukan penyisiran terhadap Fretelin yang masih tersisa.
"Deerrr... Deerrr... Deerrr... Deerr... Deerrr..."
suara tembakan yang bertubi-tubi mengawali kepanikan yang terjadi pada warga kampung kami.
Dengan cepat mereka mendobrak pintu-pintu rumah, menggeladah dan memaksa semuanya keluar dari rumah, semua warga dikumpulkan di tanah lapang, disuruh berbaris dengan muncong senapan yang selalu mengarah dan membidik mereka.
Aku benar-benar geram atas semua ini.
Melihat seragam TNI aku benar-benar muak. Mereka menendang dan memukuli kami jika tidak mau jongkok dan merunduk.
"Hentikaaann...!!!" seketika aku berdiri dan berteriak ke arah mereka. Saking tak kuatnya aku menyaksikan ini semua. Kesabaranku benar-benar habis.
Seketika aku ditendang langsung oleh mereka. Aku terpental jauh.
Tapi mental tentaraku kembali muncul, seakan aku tak merasakan sakit sedikit pun, apalagi gentar menghadapi mereka.
Mereka pun menodongkan senapan ke arahku. Aku tidak gentar sama sekali, bahkan penduduk kampung semua terheran menyaksikanku.
"Ayoo tembak akuu...!!!
Tembak komandanmu ini...!!!" aku berteriak ke arah mereka.
Mereka terdiam heran. Seakan mengerti arah pembicaraanku.
Lalu salah satu dari mereka yang berbadan kekar datang mendekatiku. Lantas seketika memukulku, aku yang terlelanting langsung bangkit lalu aku lepas kaosku sehingga memperlihatkan otot-ototku yang juga kekar, aku pun membalas memukulnya.
Suasanya menjadi sangat tegang, adu pukul pun tak dapat terhindarkan, sementara tentara yang lain hanya bisa diam sambil menodongkan senjata. Mereka seakan heran terhadapku, mengapa rakyat sipil seperti aku memiliki bela diri ala TNI.
Setelah laki-laki berbadan kekar itu tersungkur kalah, mereka mulai ketakutan dan melangkah mundur sambil tetap menodongkan senapannya kearahku.
"Ayoo tembak komandanmu ini...!!!
Ayoo tembak kalo kalian berani...!!!
Aku Letnat Hardi Pramono...!!!
Komandan kompi yonif 407...!!!"
Aku berteriak kencang penuh emosi, hingga air ludah pun memercik kemana-mana dengan keringat membanjiri wajah dan tubuhku.
Aku benar-benar seperti rambo dengan telanjang dada yang memperlihatkan otot-otot kekarku yang berlumuran keringat yang mengkilap.
"Baik kalo kau memang anggota dari kami, mana bukti keanggotaanmu...???" tanya salah satu dari mereka sambil tetap menodongkan senjata namun dengan wajah ketakutan. Terlihat tangannya gemetar memegang senapan itu.
Aku mendekat ke arah kakekku,
"Dimana kek dulu mengubur seragam TNI-ku...???" aku bertanya pada orang yang telah aku anggap orang tuaku sendiri.
"Didekat pohon mangga belakang rumah..." jawabnya lirih sambil mengarahkan pandangannya ke pohon besar di belakang rumah.
Aku langsung menuju tempat itu dan menggalinya.
"Lihat ini... lihatlah...!!!" aku menunjukan seragam kebesaranku yang sudah lapuk karena terkubur hampir 3 tahun.
Semua terdiam, entah apa yang ada dipikiran mereka. Tapi didalam kebekuan itu, tiba-tiba laki-laki kekar yang telah tersungkur itu bangkit.
"Yaa, aku ingat...!!!
Kamu komandan Yonif yang dikepung pasukan Fretilin 3 tahun yang lalu itu kan...???
Aku ingat sekali saat anak buahmu melintasi bukit untuk menyelamatkan diri dan bertemu pasukan kami.
Yaa, waktu itu mereka bercerita bahwa kamu adalah komandan yang rela mengorbankan nyawanya demi anak buahnya...
Kamu benar-benar ksatria Ndan..." laki-laki bertubuh kekar itu memelukku lalu menepuk-nepuk pundakmu.
"Kami bangga padamu..." laki-laki itu memberi hormat ala militer, dan diikuti semua pasukan TNI yang ada disitu.
Dengan kejadian ini, akhirnya kampung kami selamat dari pembantaian dan penghancuran, tidak seperti kampung-kampung lain yang harus porak-poranda karena dianggap basis Fretilin.
Penduduk disana pun semua terheran, tak menyangka bahwa selama ini aku yang dianggapnya bagian dari mereka, ternyata bagian dari TNI yang mereka anggap musuh dan yang mereka benci.
Tapi dilihat dari wajah mereka, setidaknya mereka tetap menganggapku sebagai penyelamat mereka.
Terutama Naty yang begitu bangga melihat aksi heroik ku, dan makin terpancar dimatanya perasaan cinta untukku.
Bahkan disaat aku harus pergi meninggalkan perkampungan itu, saat penduduk kampung bersedih, Naty lah yang wajahnya terlihat paling sedih, bahkan saat mobil jeep yang membawaku meninggalkan kampung itu makin menjauh, Naty lah yang masih bertahan dengan terus melambaikan tangan hingga aku benar-benar menghilang dari pandangannya.
Yaa, dialah orang yang selama 3 tahun ini merawatku dengan ketulusan, membangkitkan ku dari keterpurukan, membagi semua cerita dan pandangan-pandangan hidupnya padaku. Dan tak terasa ada rasa kehilangan saat aku meninggalkannya. Walaupun sesungguhnya saat ini adalah saat yang aku nanti-nantikan, saat do'a yang selalu aku panjatkan terkabulkan.
Tapi saat semua itu terjadi entah mengapa justru hatiku seakan tak ingin meninggalkan kampung itu.
"Sampai jumpa Naty, kalaulah wanita yang terbaik yang pernah aku kenal, kau wanita yang berasal dari pihak musuh namun mampu menjadi penyelamat hidupku...
Dan percayalah, suatu saat aku pasti merindukanmu...
Jaga dirimu baik-baik...!!!" gejolak batinku berperang dengan pikiranku.
***
Saat aku tiba di markas besar di kota Dili, aku disambut bak pahlawan. Berbagai penghargaan disematkan untukku.
Akupun diizinkan pulang, dan saat itulah aku merasakan kehidupan yang baru, bersiap menemui anak dan istriku, menjadi seorang suami dan ayah bagi mereka.
Aku sangat bahagia saat mengemas barang-barang bawaan ku dan bersiap diterbangkan ke kampung halaman, akhirnya aku bisa menjalani hidupku dengan damai.
*****************
*****************
*****************
"Begitulah kisah yang aku alami hingga aku sampai disini, pahit memang tapi inilah kenyataan hidup yang harus aku jalani..." kenang Pramono bercerita selama pelariannya yang tak terasa membuat air matanya menetes membasahi pipinya, begitu pula sahabatnya yang tak kuasa menahan tangis mendengar cerita perjuangan Pramono untuk bertahan hidup dan kembali.
Seketika Sumiati bersimpuh di kaki Pramono dengan tangis sesunggukan.
"Maafin aku mas... maafin aku...
Aku yang tak bisa sesetia kamu, aku yang tak bisa sesabar kamu... maafin aku atas semua ini..." tangis Sumiati pun pecah membuat suasana makin haru.
Lalu pramono memegang bahu Sumiati dan mengangkatnya untuk berdiri, Pramono yang sedari tadi duduk pun berdiri, dengan lembut mengusap air mata Sumiati, matanya memandang detil demi detil wajahnya, Pramono merasakan tak ada yang berubah dari Sumiati, semua sama seperti saat Pramono pertama kali mengenalnya, bahkan Pramono masih merasakan cinta disetiap tatapan mata sumiati.
Sumiati memegang tangan Pramono yang sedari tadi menempel di pipinya, menggenggam erat tangannya dan menciumnya penuh kehangatan, Pramono sangat merasakan penyesalah dan kesedihan Sumiati.
"Maafin aku mas... aku tak tau harus berbuat apa saat ini... aku benar-benar bingung mas, aku sangat, sangat..." belum sempat Sumiati berbicara panjang lebar, Pramono memotong ucapannya.
"Tidak Sum, tidak...
Kamu tidak pernah bersalah...
Ini semua kehendak yang maha kuasa, ini semua garisan takdir kita Sum...
Sebesar dan setulus apapun cinta kita, jika takdir berkata lain, maka semua akan terjadi sesuai garis takdir itu...
Percayalah sum, inilah takdir kita, inilah jalan hidup kita, dan aku yakin ini yang terbaik untuk kita..." dengan lembut Pramono menenangkan hati Sumiati.
"Tapi mas...???" masih nampak kegelisahan di wajah Sumiati.
"Percayalah Sum, bagaimanapun juga kamulah semangat hidupku, kamulah alasan mengapa aku bertahan sampai saat ini, dan sampai kita tua nanti...
Percayalah, ini adalah hakekat cinta yang sesungguhnya, bahwa mencintai tak harus saling memiliki..."
Mendengar kata-kata Pramono hati Sumiati mulai tenang, apalagi belaian kembutnya masih sama saat meraka menjalin kasih dimasa muda dulu.
"Aku kangen sama kamu mas..." bibir Sumiati berbisik lirih sembari menyandarkan kepalanya di dada Pramono, dan Pramono pun sengaja membiarkan mantan istrinya itu melepas kerinduannya. Pramono sangat mengerti perasaan Sumiati karena bagaimana pun juga perasaan mereka sama.
Beberapa saat kemudian, Pramono melepaskan pelukan Sumiati.
"Aku sangat mengerti perasaanmu Sum, tapi pahamilah bahwa sesungguhnya takdirmu bukan untuk aku, ada Haryo yang di ciptakan Tuhan khusus untukmu, untuk mendampingi sisa hidupmu, menemani perjalanan kebahagiaanmu..." ucap Pramono sembari menatap Sumiati, lalu memengok ke arah Haryo.
Haryo yang sedari tadi hanya terdiam termenung, kemudian dia mendekat.
"Lihatlah Suamimu ini Sum, betapa dia setia mendampingi hari-harimu, aku melihat di matanya ada cinta yang banyak untukmu..." ucap Pramono dengan tegar sambil menepuk pundak Haryo.
Akhirnya mereka pun mengusap mata dan saling tersenyum, memcoba tegar menghadapi semua yang terjadi. Mereka pun saling berpelukan bersama.
Tak berapa lama tiba-tiba sosok anak kecil berumur 4 tahunan keluar dari balik pintu kamar, sambil mengucek-ngucek matanya yang mengisyaratkan dia baru bangun tidur.
"Maaahh ada apa...???" ucapnya cedal dengan nada polos.
"Dirga Pramono..." bibir Pramono berucap lirih sembari mendekat lalu jongkok di hadapan bocah kecil itu.
"Om ini siapa kok tau nama Dirga...??? Dirga kok gak pernah liat om...???" mulut mungilnya berucap polos.
Pramono tak bisa berucap apa-apa lagi, ia terdiam menahan tangisnya, Pramono benar-benar terharu melihat anak kebanggaannya sudah tumbuh besar. Pramono pun langsung memeluknya erat-erat...
"Anakku... kamu anakku nak..." tangis Pramono pecah, dengan gugup Pramono terus memeluk dan menciumi Dirga.
"Yaa nak, dia ayah Dirga, dia ayah kandungmu nak..." Sumiati mendekat menjelaskan semuanya. Lalu mereka berdua memeluknya.
"Aku ayahmu nak...
Kamu adalah anak dari Letnan Hardi Pramono, komandan Yonif 407, kamu adalah cucu dari Soemardi Pramono pejuang kemerdekaan yang gugur dimedan perang nak...
Aku yakin, kamu akan tumbuh menjadi seorang Ksatria, karena di tubuhmu mengalir darah-darah patriotisme yang tinggi..." Pramono memberi sugesti pada Dirga.
Lalu memeluknya erat, mecoba melepas semua kerinduannya.
===========BERSAMBUNG===========
Bagaimana nasib Pramono selanjutnya...???
Apakah dia ingin meneruskan hidupnya dan menikahi Naty gadis dari tanah Timor...???
Dan bagaimana dengan kisah di hari tua mereka...???
Dijamin endingnya bakalan mengharukan...
Karena di ending cerita ini bakalan penuh konflik dan berisi tentang jawaban dari awal cerita...
Yuukk dilanjut lagi ceritanya, biar gak penasaran...!!!
Untuk ending cerita KLIK DISINI
Bagaimana nasib Pramono selanjutnya...???
Apakah dia ingin meneruskan hidupnya dan menikahi Naty gadis dari tanah Timor...???
Dan bagaimana dengan kisah di hari tua mereka...???
Dijamin endingnya bakalan mengharukan...
Karena di ending cerita ini bakalan penuh konflik dan berisi tentang jawaban dari awal cerita...
Yuukk dilanjut lagi ceritanya, biar gak penasaran...!!!
Untuk ending cerita KLIK DISINI
Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah
entah benar atau tdak ceritanya,, yang jelas menginspirasi bngt..
ReplyDeleteCeritanya comot comot kisah cinta di film pearl harbour, trus aksi rambo.skedar koreksi, Di latar waktu ini, org lulus setingkat SMA dah bsa jdi guru,namanya SPG(sekolah pendidikan guru)jdi gak ada kuliah tuk jdi guru. Trus waktu mas pram cerita, dia berkata sbg org pertama, "seperti rambo". Kok dia tau rambo? Bukannya film rambo blm di produksi waktu itu???
ReplyDeleteUntuk film pearl harbor memang ada sedikit persamaan, tepatnya kisah percintaan saat seorang yg sudah dinyatakan tewas karena kecelakaan pesawat tempur sementara kekasihnya ternyata pacaran lagi dengan sahabatnya...
DeleteTapi alurnya jauh berbeda, di film itu setelah mengetahui pacarnya direbut sahabatnya, mereka saling berantem hingga akhirnya salah satu harus kabur dan jadi buronan polisi...
Sementara di cerita ini, mengisahkan dalam lingkup rumah tangga bukan sekedar pacaran, (kalo pacaran sudah hal lumrah kekasih lama gak ada kabar trs pacaran lagi) tapi kalo dalam lingkup rumah tangga jarang terjadi cerita seperti mas Pramono ini...
Apalagi di cerita ini mas Pramono sangat ksatria yg rela melepaskan orang yg sangat dicintainya demi sahabatnya sendiri walau pun sebenarnya hatinya hancur...
Dan lagi di cerita ini dikisahkan masa tua mereka yg bikin pembacanya haru biru...
Pokoknya cerita ini T.O.P bingiitt deehh...
mungkin ini cerita flash back (kilas balik), yg diceritakan oleh orang pertama (letnan Pramono) yg sekarang dimana sudah ada film Rambo, jadi penuturan "seperti di film rambo" sbg analogi kisahnya dikala itu yg dituturkan kpd orang yg diceritai (mungkin si penulis cerita)
Deletebener kata mas edi...
DeleteMaaf saya sama sekali tidak tau tentang film haurbour...
DeleteTulisan ini berdasar kisah nyata, kalau kurang yakin silahkan datang ke desa Jrebeng Kembang, kec. Karangdadap, kab. Pekalongan. Beliau masih hidup tapi sang istri (Sumiati) sudah meninggal...
Bisa dipastikan semua orang dikampung itu mengenalnya, karena beliau juga orang yg di segani disana...
Kalaupun sampean pernah nonton film harbour itu pasti kejadiannya percintaannya karangan belaka, sementara ini benar2 nyata terjadi...
Dan saya saat menulis cerita ini sama sekali tdk tau menau film tersebut...
Kalau masalah latar waktu, gak semua cerita harus perfect, banyak juga cerita yg dibumbui alur2 fiksi agar lebih dramatis dan mengena...
Oiya untuk masalah "Rambo" itu hanya sebagai perumpamaan agar pembaca lebih mudah membayangkan tentang kejadian di pertempuran itu...
Thanx sudah membaca... :)
BukanTNI tapi ABRI..Fretilin tidak pernah teriak "woooy"..tapi "may..may"..lumayan lah..tp harus tau karakteristik masyarakat Timor timur karena masih kental nuansa jawa nya ketimbang nuansa Tetun..lanjut kan!!
DeleteBagus banget ceritanya bro, cuma kurang disempurnakan dikit2, misalnya di dalam goa persembunyian itu bertahan hidup dengan makan apa, dan soal rambo juga, seperti yg disebut syahrul fahrudin
ReplyDeleteMakasih sudah membaca...
DeleteUntuk masalah makan, dicerita ini ada penjelasan :
"Keesokan harinya aku terbangun, aku mencoba makan apa yang masih tersisa"
Dan untuk hari2 berikutnya bisa dibayangkan dengan membunuh musuh satu persatu otomatis bisa mengambil persesediaan makanan yg dibawanya...
Apalagi dalam dunia militer bertahan hidup dihutan (survival) sudah menjadi kemampuan dasar...
Untuk masalah Rambo, sudah saya jelaskan dikolom komentar diatas... :)
Mantaffff ceritnya
ReplyDeleteAduuhh mau nangis bacanya.. Smoga saya tdk bernasib seperti sumiati yg ditinggal pergi suaminya bertahun2..
ReplyDelete:'(
Jd kmana2 deh fikirannya..heheheh. :')
Cerita nya bagus sekali sekira nya bisa di angkat k layar lebar.. Tks y mas ahmad pajali binzah.. Gbu
ReplyDeleteCeritanya bagus.yang nanya rambo kayanya gx mudeng deh.yang nulis cerita ini kan bukan bapak pramono d saat dia sedang perang. Tapi penulis cerpen ini. jadi jangan nanya dulu film rambo belum di produksi.
ReplyDeletebetul mas bro
DeleteKeren banget ceritanya apalagi pas pramono ketemu anaknya, haduh bikin sedikit mewek... .
ReplyDeleteIjin. Jika yg dimaksud batalyon 507 berada di jawa timur. Raider 500.
ReplyDeleteDan jika yg dimaksud batalyon Wonopringgo Pekalongan yaitu Batalyon 407.
507 : Jawa Timur.
407 : Wonopringgo Pekalongan.
Salam Fajar Batang
Makasih brother atas masukannya... :)
DeleteInspiratif
ReplyDeleteSama dg ku....namaku ichsan hardiyanto
Aku diharapkan mjd sosok yg kuat....tegas dan keras dlm prinsip
Kisah yang luarr biasaa,... 'KSATRIA YANG BERNAFASKAN KESETIAAN DAN CINTA' mengingatkan juga perjuangan PAPA KU yang berjuang di TIMOR TIMUR th 1975 dan 1978.... Kala itu usia ku masih 1 Th (1974),kami di tinggal papa, PUJI TUHAN papa ku kembali pulang dengan selamat, hinggal akhir hidupnya s/d th 2008 ketika aku sedang melaksanakan pendidikan perwira di SECAPA AD.,...
ReplyDelete"HORMAT BUAT PARA PAHLAWAN TIMOR TIMUR,..BUAT SESEPUH KAMI YANG MASIH DI KARUNIAI KESEHATAN S/D SAAT INI"
KAMI BANGGA SAMA KALIAN DAN AKAN MENERUSKAN CITA- CITA PERJUANGAN DAN HARAPAN KALIAN, DARAH KAMI MENGALIR UNTUK BANGSA INI dan tetap terus berjuang SAMPAI AKHIR HAYAT KAMI....
SENAPATI'2196
sekarang dah kapten ya pot,,,,salam dari senapati rem 032
DeleteCeritanya bagus; penasaran di daerah mana Komandan Pramono tinggal di Timor-Leste selama 3 tahun itu? Berdasarkan nama yang disebutkan "Araujo Teme", biasanya didaerah Ainaro (tapi di Ainaro tidak ada sungai), kalau "Teme" biasanya di Oecusse, tapi selama jaman perjuangan Timor-Leste, di Oecusse, tidak ada Falintil :) Ada sedikit kejanggalan karena selama cerita ini berjalan, nama kota atau daerah yang disebut cuman Dili; pertempuran terbesar yang terjadi selama masa perjuangan terjadi ada di beberapa tempat, mungkin bagusnya di kaitkan dengan beberapa pertempuran itu.
ReplyDeletekeren,saya sangat menikmati alur ceritanya dan saya menanti sambungannya.buat masukan:kalau di masukan ke film ini lebih keren,dan saya ga mauketinggalan untuk menonton.
ReplyDeletekeren,saya sangat menikmati alur ceritanya dan saya menanti sambungannya.buat masukan:kalau di masukan ke film ini lebih keren,dan saya ga mauketinggalan untuk menonton.
ReplyDeleteOrangnya masih hidup kagak kak?,saya orang pekalongan :D
ReplyDeleteAlhamdulillah orangnya masih hidup mas bro, masih sehat walafiat...
DeleteBeliau tinggal di desa Jrebeng Kembang, kalau dari pasar Kedungwuni, ketimur ngikuti jalan raya Capgawen, rumahnya disebalah kiri jalan dukuh Jrebeng..
Tapi untuk sang istri sudah meninggal...
Kisah ini memang mirip paman ku yg dinas di RPKAD / kopassus. Th 1974 masuk timtim sbgai mata2 th 1975 tugas ke timtim ikut serangan pertama dan hilang. Trs isterinya nikah lg sama sahabatnya tp bedanya paman tidak kembali lg selamanya
Deleteluar biasa...mantap...top markotop...lanjutkan mas...salut
ReplyDeleteMengharukan, aku suka
ReplyDeleteMantaaaaap bngt ceritanya..saya sampai meneteskan air mata
ReplyDeletesekedar koreksi saja, seting cerita tahun 76, kenapa ada dialog pramono bisa bilang "aku seperti rambo", padahal film rambo-1 baru keluar tahun 82, di bioskop. Sempatkah pramono nonton rambo di timor-timur saat itu ? atau ketika pulang ke jawa ia mampir bioskop ? Cerita menarik tapi alurnya agak semrawut. Lanjutkan berkarya mas.
ReplyDeleteHehhee... makasih atas koreksinya...
Deletetapi perlu diketahui, itu bukan dialog, tapi alur cerita yg diceritakan Pramono...
Sebagai contoh, Pramono menceritakan kepada saya beberapa waktu lalu, beliau bilang "saya berjuang mati2an ditengah hutan persis seperti rambo..."
Lalu apakah dialog itu mencerminkan tahun 1976 sudah ada film rambo...??? Tentu tidak bukan...???
Sekali lagi, walau beliau menceritakan kejadian thn 1976, mamun beliau menceritakan kepada saya beberapa tahun lalu (sekitar thn 2014)...
untuk mempermudah menggambarkan suatu kejadian, beliau mengumpamakan film rambo...