Di suatu malam tepat di malam bulan purnama, perempuan pedagang tahu itu baru saja membunuh suaminya sendiri, dengan senapan milik suaminya yang terpajang di tembok kamar, dengan wajah yang masih gugup setelah membuang jasad suaminya, ia langsung lari menerobos gelapnya malam dan menyibak semak belukar menuju rumahnya, lalu ditutupnya pintu rumah rapat-rapat.
Dengan nafas yang masih tersengal-sengal dan keringat yang masih terus mengucur, dia berdiri di balik pintu berharap tak ada yang menyaksikan kejadian itu. Ketakutan yang teramat sangat masih menghantui dirinya, membayangkan detik-detik dimana ia melepaskan peluru bertubi-tubi ke tubuh suaminya.
Rengekan minta ampun pun tak dihiraukan lagi, karena kebencian dan luka hati sudah mengendap dalam hati, sadis memang tapi itulah yang terjadi.
Perempuan pedagang tahu itu namanya Minul, sudah hampir 8 bulan ia menikah dengan laki-laki keturunan kompeni. Harapan mengarungi bahtera cinta penuh dengan kebahagiaan harus berakhir dengan cara yang tragis.
Benar kata pepatah, jika orang tua tak merestui maka jalanpun tak semulus yang kita bayangkan.
*****
Walau keluarga dan penduduk kampung tak merestui hubungannya, namun Minul tetap nekat berpacaran dengan laki-laki yang dianggap sebagai penjajah itu. Karena dalam benaknya dia akan hidup enak jika punya suami keturunan belanda. Semua serba kecukupan dan tentunya gengsi akan melonjak tinggi.
Apalagi usia Minul masih tergolong muda pantas saja pemikirannya masih sebatas gengsi dan harta, lagi pula laki-laki kompeni itu juga memang dimabuk kepayang dan bertekuk lutut mengharap cinta dari Minul.
Singkat cerita mereka pun nekat melangsungkan pernikahan, dan lelaki kompeni itu rela pindah keyakinan agar keluarga dan penduduk desa merestui.
Walau pada akhirnya hubungan pernikahan itu harus kandas di tangah jalan, karena sang suami ternyata suka berjudi dan main perempuan.
Padahal sebelumnya ada laki-laki pejuang yang mengingatkan bahwa laki-laki kompeni itu memang suka berjudi dan main perempuan. Karena waktu itu Minul sedang dimabuk kepayang hingga nasehat dari siapapun tak pernah digubrisnya lagi.
Hingga akhirnya kesabaran Minul mencapai batasnya, tak kuat menanggung beban dan derita, Minul pun tega menghabisi nyawa suaminya sendiri.
*****
"Suami saya diculik pejuang..." begitu jawaban Minul saat diinterogasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Agar Minul lepas dari jeratan hukum yang berlaku saat itu, karena memang sudah menjadi hal wajar jika seseorang keturunan belanda tiba-tiba hilang diculik pejuang.
Minul pun menjalani kehidupannya kembali seperti semula walaupun kini ada gelar janda muda yang tersemat pada dirinya.
Mendengar kabar kejandaan Minul menjadikan para pemuda berniat ingin mendekatinya, apalagi Minul juga tergolong perempuan seksi, kulitnya yang putih dan bodinya yang aduhai membuat banyak lelaki yang tergila-gila.
Sempat beberapa kali hati Minul tambatkan hati pada laki-laki, mulai dari pegawai kantoran sampai pedagang makanan. Bahkan Minul sempat punya hubungan dengan laki-laki kompeni lagi, tapi hubungan itu tak berlangsung lama karena ternyata laki-laki kompeni itu sudah beristri.
*****
Hingga akhirnya hati Minul kembali tertambat pada seorang laki-laki, kali ini bukan dari kalangan kompeni atau pejuang melainkan pada laki-laki pribumi yang mempunyai profesi pedagang, dia bernama Sugeng. Yaa, Sugeng berjualan buah dan sayur yang tak jauh dari kios Minul berjualan tahu, mungkin karena itulah keduanya merasa ada kecocokan.
Walau cuma pedagang sayur Sugeng termasuk orang kaya di kampungnya, calon pewaris harta dari sang ibu tercinta, lahannya membentang ditanami cengkeh dan kopi, rumah kontrakan dan losmen milik ibunya bercecer dimana-mana.
"Pantas saja hati Minul tertambat padanya" begitu banyak orang mengira.
Tetapi saat hubungan keduanya sedang mesra-mesranya, lagi-lagi lelaki pejuang itu hadir kembali untuk mengingatkan dan menasehati Minul,
"Dia bukan laki-laki yang cocok untukmu Nul..." begitu ucap lelaki pejuang yang tiba-tiba hadir tanpa ada tanda-tanda sebelumnya.
"Apa maksudmu...???
Kami saling mencintai..." ucap minul dengan nada ketus.
"Dia laki-laki lemah...!!! Dia juga sangat temperamen..." Lelaki pejuang itu berkata tegas namun tak menghadap ke arah Minul. Hanya terlihat sebagian punggungnya yang terkena remang cahaya.
"Kamu jangan mengada-ngada, dia itu orang baik, kami sudah saling cocok..." Minul membela. Namun lelaki pejuang itu tetap tak membalingkan tubuhnya, tetap tak menghadap Minul. Menjadikan sosoknya sangat misterius.
"Bukankah kamu tau bagaimana dia menduda...??? Selama bertahun-tahun dia menelantarkan sang istri, tak pernah memberi kepastian statusnya. Bahkan hingga saat ini yang katanya dia akan menikahimu saja, dia belum resmi bercerai...
Bagaimana dia bisa menyelesaikan masalah-masalahmu kelak, sementara masalahnya sendiri yang begitu penting saja ditunda-tunda dan disepelekan...???" Lelaki pejuang itu berkata lantang, dengan topi tetap menutupi wajahnya.
"Jangan pernah urusi urusanku...!!!" Minul mulai marah dan langsung mengambil senapan yang tergantung di dinding, lalu menodongkan ke arah lelaki pejuang itu.
"Pergi dari sini atau akan aku bunuh kau...!!!" Minul menggertak emosi.
"Aku datang karena kepedulianku dan aku akan pergi demi kebaikanmu...
Tak perlu mengusirku, aku sudah kenyang oleh senjata seperti itu...
Baiklah aku pergi, semoga kehidupanmu selalu dalam kebahagiaan, karena dengan itu aku tak akan mungkin lagi untuk datang..." ucap lelaki pejuang itu tenang, lalu dalam sekejap tiba-tiba menghilang.
Minul bernafas lega, sembari meletakkan senapan yang ada di tangannya. Berharap laki-laki pejuang itu tak pernah datang lagi padanya.
****
Minggu demi minggu berganti bulan, bulan demi bulan berganti tahun, Minul merasa bahagia karena tak pernah diganggu lelaki pejuang lagi, hubungan Minul dan Sugeng juga kian dekat, membuat keduanya semakin lengket.
Namun sekian lama hubungan itu terjalin, hingga kini belum ada tanda-tanda Sugeng akan serius melamarnya.
Hingga di suatu ketika, telah habislah kesabaran Minul.
"Sebenarnya mas Sugeng itu serius gak sama aku...???" Minul menuntut keseriusan Sugeng. Namun ekspresi Sugeng terlihat datar, tetap diam tak bergeming.
"Bukankah hubungan kita sudah lama...??? Kapan kita akan menikah mas...???
Aku malu sama tetangga..." ucap Minul dengan nada kian meninggi.
"Aku belum siap Nul..." jawab Sugeng singkat sembari menundukan kepalanya.
Mendengar itu Minul seketika naik darah, lagi-lagi diambilnya senapan yang terpajang di dinding lalu ditodongkan ke arah Sugeng.
"Aku sudah terbiasa tersakiti, tapi aku juga sudah terbiasa menghabisi nyawa orang yang menyakitiku dengan senapan ini..." Minul mengancam, siap menarik pelatuk senapan itu.
Melihat itu Sugeng seketika terkejut ketakutan.
"Baik, baik, baik Nul aku akan segera melamarmu..." jawab Sugeng panik.
Dan karena tekanan itu akhirnya mereka pun melangsungkan acara pernikahan di kampung, dengan acara sederhana dan pesta alakadarnya.
Dari pernikahan itu, merekapun menjalani kehidupan rumah tangganya penuh bahagia, karena memang Minul sangat mencintai suaminya.
*****
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tak terasa hampir dua tahun mereka menjalani mahligai rumah tangga, namun pernikahan mereka belum juga dikaruniai keturunan, walaupun demikian Minul tetap bersabar dan setia pada Sugeng.
Hingga di suatu ketika tragedi itu terulang kembali, lagi-lagi senapan andalannya kembali ditodongkan tepat mengarah ke kepala Sugeng.
"Aku tak sudi lagi punya suami sepertimu..." ucap Minul penuh amarah.
Tak berapa lama, tiba-tiba,
"Doorrr....!!!! Doorrr...!!!! Doorrr...!!!" Lagi-lagi senapan itu memakan korban.
Minul membabi buta melontarkan peluru ke tubuh suaminya, rengekan minta ampun pun tak dihiraukan lagi, karena kebencian dan luka hati sudah mengendap dalam hati, sadis memang tapi itulah yang terjadi.
Seorang Sugeng yang selama ini dicintainya ternyata hanya seorang pemalas, yang tak mau bekerja keras. Selama ini beban hidupnya ada di pundak sang istri yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai laki-laki. Sugeng juga seorang cemburuan, sering bertindak kasar dan arogan.
Apalagi sudah beberapa bulan ini Minul diacuhkan, hanya karena uang dari berjualan tak sebanyak biasanya. Bahkan Minul tak pernah diberi perhatian, Nasibnya digantung, ditinggal begitu saja seperti istri pertamanya dulu.
Hingga akhirnya kesabaran Minul mencapai batasnya, tak kuat menanggung beban dan derita, lagi-lagi Minul pun tega menghabisi nyawa suaminya sendiri.
Malam itu tepat di malam bulan purnama dengan wajah yang masih gugup setelah membuang jasad suaminya, ia langsung lari menerobos gelapnya malam dan menyibak semak belukar menuju rumahnya, lalu ditutupnya pintu rumah rapat-rapat.
Dengan nafas yang masih tersengal-sengal dan keringat yang masih terus mengucur, dia berdiri di balik pintu berharap tak ada yang menyaksikan kejadian itu. Ketakutan yang teramat sangat masih menghantui dirinya, membayangkan detik-detik dimana ia melepaskan peluru bertubi-tubi ke tubuh suaminya.
Lalu Minul merebahkan tubuhnya diatas kasur, mengambil nafas panjang mencoba tenang.
*****
Tiba-tiba lelaki pejuang itu datang kembali, sosok misterius dengan topi yang selalu menutupi wajahnya.
"Sudah aku ingatkan dia bukan laki-laki yang cocok untukmu..." ucap lelaki pejuang itu tenang, dengan tuhuhnya yang terlihat samar.
"Sebenarnya siapa dirimu...!!!???
Kenapa kamu selalu mengganggu hidupku...!!!???" Ucap Minul dengan nada tinggi, terkejut atas kehadiran lelaki pejuang itu.
"Aku hanya lelaki pejuang, kamu tak perlu tau siapa aku...." ucap lelaki pejuang itu dengan nada tenang.
"Tapi kenapa kamu selalu mengganggu kehidupanku...???" Tanya Minul dengan nada tetap meninggi.
"Karena aku peduli padamu..." jawabnya singkat.
"Tapi sepertinya aku mengenalimu...
Dan tak mungkin kamu peduli padaku kalau kita tak saling kenal..." ucap Minul penasaran, lalu mendekati lelaki pejuang itu.
Dengan langkah berlahan mencoba mendekati, lalu Minul memberanikan diri membuka topi yang sedang dipakainya. Dan akhirnya terlihatlah sosok wajah yang selama ini tertutupi.
"Mas Endar...???" ucap Minul terkejut, saat mengetahui sosok laki-laki di balik topi itu.
Ternyata lelaki pejuang yang selama ini sering dianggapnya sosok misterius itu, dia adalah sosok yang telah lama dikenalnya, dia teman kecil Minul sewaktu di kampung dulu.
Lalu keduanya saling menatap lama, tak ada sepatah kata yang keluar dari bibir mereka.
Wajahnya terlihat begitu jelas, tatapannya yang menyejukkan dan ucapannya yang menenangkan membuat hati Minul kembali tenang.
"Aku tak mungkin bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini Nul..." ucap lelaki pejuang itu lirih, sembari memeluk tubuh Minul untuk menentramkan jiwanya.
Perasaan Minul terasa tenang saat berada dipelukan lelaki pejuang. Dan Minul pun menyadari bahwa laki-laki yang dianggapnya menyebalkan itu ternyata laki-laki yang sangat peduli padanya.
"Kenapa mas Endar sepeduli itu sama aku...???" Tanya Minul dengan air mata yang mulai menetes di pipinya.
"Karena aku mencintaimu Nul..." jawabnya pelan sembari membelai rambutnya.
"Kalau memang selama ini kamu cinta sama aku, kanapa tak pernah berterus terang atau berusaha memiliki aku...???" Minul kembali bertanya dengan penuh penyesalan.
"Jika saja statusku memungkinkan untuk memilikimu, tentu tak akan pernah aku biarkan kamu sampai menjanda seperti ini..." ucap lelaki pejuang penuh makna.
"Apa maksudmu mas...???" Tanya Minul tak memahami. Melepas pelukannya lalu menatap mata lelaki itu.
"Jika saja statusku memungkinkan untuk memilikimu, tentu aku akan berjuang mati-matian untuk memilikimu..." lelaki pejuang itu menjelaskan. Sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Aku adalah seorang pejuang Nul, aku tak ingin hidupmu dalam masalah hanya karena aku...
Jika kita nekat menjalin kasih, tentu banyak rintangan yang sangat berat yang akan kita hadapi...
Hidupmu akan terseret kedalam masalahku...
Aku tak ingin terjadi sesuatu padamu Nul..." lelaki pejuang itu kembali menjelaskan. Dengan kedua tangannya masih menempel di pipi Minul.
Dan Minul pun hanya bisa terdiam membisu, memahami kata-kata dari pejuang itu.
Keduanya saling bertatapan lama, bibir mereka tak mampu berucap lagi, namun pandangan mata keduanya jauh menembus ke hati.
Lalu lelaki pejuang itu melepaskan kedua tangannya, membalikkan badan untuk melangkah pergi.
"Jangan tinggalin aku lagi mas..." bibir Minul berucap lirih.
Mendengar itu langkah lelaki pejuang itu terhenti, lalu menolehkan kepalanya sembari berkata,
"Percayalah Nul, ini yang terbaik untukmu...
Jalani kehidupanmu akupun akan menjalani kehidupanku...
Suatu saat kamu akan mengerti, bahwa cinta yang sesungguhnya memang tak harus memiliki...
Percayalah,
Semua yang aku lakukan ini adalah yang terbaik untukmu...
Jika suatu saat nanti dirimu merasa terluka, ingatlah bahwa ada satu laki-laki yang sangat mencintaimu, sangat menyayangimu, dan selalu ingin memuliakan dirimu..." ucap lelaki pejuang itu, lalu melanjutkan langkahnya pergi menghilang ditelan kegelapan malam.
"Mas Endaaarrr..."
Minul berteriak memanggil lelaki pejuang itu, sembari tak kuasa menahan tangis, tubuhnya seketika lunglai merobohkan lututnya ke lantai, mengharap lelaki pejuang itu untuk kembali memeluknya lagi.
*****
Minul pun menjalani kehidupannya kembali seperti semula walaupun kini ada gelar janda muda yang tersemat pada dirinya.
Mendengar kabar kejandaan Minul menjadikan para pemuda berniat ingin mendekatinya, apalagi Minul juga tergolong perempuan seksi, kulitnya yang putih dan bodinya yang aduhai membuat banyak lelaki yang tergila-gila.
Namun kali ini Minul lebih memilih sendiri, menjalani kehidupannya tanpa seorang laki-laki.
Minul hanya berharap semoga keadaan cepat berubah, mengharap negerinya segera merdeka.
Agar lelaki pejuang itu berhenti bergerilya dan menajalani kehidupan sebagaimana mestinya.
Mungkin dengan seperti itu Minul berharap bisa hidup bersama lelaki pejuang itu.
Menjalani sisa hidupnya penuh bahagia.
=============SEKIAN=============
Baca juga cerpen tentang petualangan:
Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah
0 comments:
Post a Comment