Home » , , » [Cepen] Tersesat di Jaman Majapahit #7

[Cepen] Tersesat di Jaman Majapahit #7

Episode (7/10)
Sejarah kota Semarang dan Pekalongan.
Untuk awal cerita silahkan KLIK DISINI


Hari terus berganti, minggu terus berlalu dan bulan terus berjalan. Lelah dan jenuh yang terus menerpa namun semangat terus menyelimuti jiwaku untuk terus meneruskan perjalanan besar ini.

Dari Demak perjalanan terus menuju barat melewati jalan rawa, bukit, gunung, lembahan dan tepi-tepi pantai hingga kami sampai di daerah pelabuhan yang bernama Pragota (Semarang), kota paling barat dari kekuasaan Majapahit.

Perjalanan terus berlanjut hingga kami sampai di tepi sungai Kaliwungu.


"Hendak kemana nak...???" tanya kakek tua yang kepalanya menggenakan topi capeng yang terbuat anyaman bambu.

"Aku hendak menyeberangi sungai ini kek...??? Aku ingin meneruskan perjalanan ke arah barat sana Kek..." jawab wingsang dengan nada pelan.

"Sebaiknya urungkan saja niat kalian nak, terlalu berbahaya...!!!" jawab kakek itu dengan nada misterius.

"Kalo boleh tau, ada apa di daerah sana kek...???" Tanyaku penasaran.

"Menyeberangi sungai ini artinya keluar dari daerah cakupan Majapahit, disana masuk hutan larangan, Alas Roban dan hutan belantara lainnya...
Disana termasuk tanah yang tak bertuan, jarang dihuni orang, jarang ada perkampungan penduduk, jalan menuju ke sana juga sangat rusak dan berbahaya, disana banyak hewan buas, perampok dan disanalah tempatnya para penjahat yang bersembunyi..." jelas kakek itu seakan melarang kami untuk menembus daerah seberang sana.

"Nampaknya seram sekali kek...???" tanyaku agak merinding.

"Yaa, karena daerah sana terlalu jauh dari jangkauan kerajaan Majapahit, juga terlalu jauh dari jangkauan kerajaan pasundan. Sehingga daerah itu terbelengkalai dan tak bertuan...
Selepas menyeberangi sungai ini kalian tidak akan menemukan kota lagi sampai kalian menemui sungai besar di daerah Cirebon nan jauh disana...
Sebaiknya urungkan niat kalian, karena hanya rombongan kerajaan atau rombongan saudagar yang berani melewati jalur itu, karena mereka mempunyai pengawalanan ketat banyak prajurit...
Kalau kalian mau, tunggulah sampai ada rombongan yang lewat biar bisa barengan karena itu lebih aman..." ucap kakek itu dengan nada khas orang tua yang memberi petuah.

"Aaahh aku tidak peduli kek, ini perjalanan penting yang gak bisa ditunda-tunda lagi...
Aku sudah terbiasa menghadapi bahaya..." ucap Wingsang dengan penuh keberanian.

"Iya kek, ini perjalanan yang gak mungkin kami tunda, apapun resikonya, akan kami hadapi kek..." jawabku mengiyakan ucapan Wingsang.

"Baiklah kalau begitu, jika niat kalian sudah bulat, berangkatlah segera, kakek akan selalu berdo'a untuk keselamatan kalian...
Mari aku antar menyeberangi sungai ini dengan perahu kakek ini..." ucap kakek itu sembari membantu kami menyeberangi sungai Kaliwungu.

"Terimakasih banyak kek..." ucapku sambil naik keatas perahu milik kakek itu.

"Maaf kek, kalau boleh tau kenapa pelabuhan disini sepi dari kapal-kapal besar...???
Padahal jika diperhatikan sepertinya daerah itu bekas pelabuhan besar...???" tanyaku pada kakek sembari mendayung perahu.

"Dahulu kala saat kerajaan Mataram kuno masih berjaya, daerah Pragota ini adalah pintu gerbang pelabuhan utamanya, dari sinilah pintu perdagangan itu dibuka...
Namun setelah Mataram Kuno mengalami kehancuran dan kerajaan-kerajaan berikutnya seperti Kediri, Singosari dan yang sekarang masih berjaya yaitu Majapahit, yang kesemuanya pusat kotanya berada di Jawa bagian timur sana, sehingga daerah ini terbelangkalai, karena ini merupakan daerah paling barat dari Majapahit..." kakek pemilik perahu mencoba menjelaskan sejarah daerahnya.

"Ooo, pantas saja aku masih merasakan bekas-bekas era kejayaannya..." sahutku sembari memanggutkan kepala.

"Tapi percayalah, kelak daerah ini akan kembali menjadi kota yang sangat ramai yang kelak akan diberi nama Semarang..." kakek itu mencoba meramal. Sepertinya beliau tau tentang kota Semarang dan seakan berasal dari dimensi masa depan.

"Tapi bagaimana asal-usul nama Semarang itu kek...???" tanyaku lagi makin penasaran.

"Kelak suatu hari (abad 15 M), ada seorang pangeran dari Demak yang menyebarkan Islam ke daerah Pragota, bernama pangeran Made Pandan. Dari waktu ke waktu daerah tersebut makin subur dengan banyaknya pepohonan dan rerumputan yang tumbuh lebat, dari sela-sela kesuburan tanaman itu munculah pohon asam arang (jarang) karena pohon asam itu tumbuhnya jarang-jarang tidak sesubur pohon lainnya, sehingga kemudian disebut Semarang...
Yang kemudian hari pangeran Made Pandan diberi gelar Ki Agung Pandan Arang sebagai pendiri kota Semarang..."kakek itu mencoba menjelaskan asal usul kota Semarang.

Tak terasa kami sampai diseberang sungai sebelah barat, benar saja disini jalan setapak pun sudah tidak terlihat karena tertutup semak dan lebatnya hutan, ini menandalan jalan ini memang jarang dilewati.

Hutan belantara yang didominasi pohon jati yang sangat luas mengiringi perjalanan kami. Mungkin inilah yang disebut alas roban. Hutan dengan pohon jati yang hanya bisa tumbuh di tanah Jawa yang terkenal akan kayunya yang sangat kuat dan keras.

Saat kuda kami berjalan menyusuri jalan menembus lebatnya hutan, tiba-tiba ada beberapa orang menghadang perjalanan kami.

"Berhenti...!!!!!" ucap salah seorang dihadapan kami dengan memakai pakaian serba hitam.

Seketika suasana sangat tegang, suasana hutan yang gelap makin menambah aroma ketegangan di denyut nadi kami. Apalagi mereka sudah siap melepas pedang dari sarungnya.

Nampak watak Wingsang berubah lebih beringas dan tangannya menggenggam pedang di pinggangnya untuk segera dicabut.

"Tunggu Wingsang..." bisikku lirih sambil memberi kode untuk bersabar.

"Heeyy kalian, serahkan harta benda kalian, jika kalian ingin selamat...!!!" gertak para perampok yang jumlahnya sekitar 6 orang.

"Silahkan ambil kalau bisa...!!!" gertak Wingsang dengan nada berani.

Wingsang yang seorang prajurit dan juga murid andalan mpu Sasora memang tidak pernah gentar menghadapi nara bahaya. Sudah menjadi bagian hidupnya menghadapi masalah yang mengancam nyawanya.

Tiba-tiba keos tidak dapat dihindarkan.

"Hiaaattt....!!!!" Wingsang langsung loncat seakan terbang membumbung tinggi. Sambil mencabut pedangnya lalu menghujamkan pada mereka.

Peperangan sengit terjadi begitu serunya, detak jantungku berdebar begitu kencang saat melihat Wingsang bertarung melawan enam orang dengan ilmu kanoragannya yang begitu tinggi membuat enam perampok itu kewalahan.

Aku masih tetap duduk diatas kuda, ingin membantu Wingsang tapi dengan cara apa aku menolongnya. Aku hanya bisa gugup tak tau harus berbuat apa.
Melihat ada kesempat aku langsung meloncat sembari menghujamkan pedangku ke punggung salah satu dari mereka.


"Hiaaattt....!!!!" teriakku sambil menghujamkan keris. Seketika musuh terkapar jatuh ke tanah dengan bersimbah darah.

Melihat musuhnya berkurang Wingsang makin semangat melakukan perlawanan, hingga satu demi satu mereka tersungkur kalah.

Dan hanya tersisa tiga dari mereka yang akhirnya lari kocar-kacir meninggalkan kawan-kawannya yang sudah tersungkur tak berdaya.

Pertarungan sengit pun berakhir dan kami kembali meneruskan perjalanan ini.

****

Sembari berjalan hatiku berkata-kata:
Benar kata kakek tadi, sepanjang perjalanan aku tidak pernah menemui perkampungan bahkan seorang yang lewat pun tak ada.
Mungkin inilah mitos keangkeran Alas Roban, bahkan jalan disini sudah hampir tertutup semak belukar karena saking jarangnya dilewati orang.
Berarti kota kendal, Weleri, Batang dan seterusnya sampai di kota Cirebon, pada jaman ini memang masih berbentuk hutan belukar. Karena letaknya memang jauh dari kota kerajaan Majapahit maupun kerajaan Sunda Galuh.


Kalaupun ada perkampungan, itu pasti sekelompok orang yang hidup tidak menetap dan berpindah-pindan dengan mengandalkan berburu sebagai sumber makanannya. Karena sepanjang perjalanan kami tak pernah menemukan bekas-bekas ladang pertanian.

Hingga sampailah kami di sebuah Pantai dengan tebing yang khas yang sudah tak asing lagi bagiku.

"Sepertinya aku kenal pantai ini...???" ucapku lirih sembari mengamati tebing pantai yang menjorok ke laut.

"Maksudmu apa Sena...???" tanya Wingsang penasaran.

"Yaa, tak salah lagii, ini pantai Ujung Negoro, Batang..." jawabku antusias dengan menganggut-anggutkan kepala.

"Berarti tak lama lagi kita akan sampai di kota kelahiranku sobat...
Sebentar lagi kita akan sampai di Pekalongan...
Ayoo kita bergegas kesana, aku sudah tidak sabar lagi pulang ke kampung halamanku..." ajakku dengan semangatnya sambil memacu kuda lebih kencang.

"Baik kalau begitu, ayoo...
Hiaaa, hiaaa, hiaaa..." Wingsang juga memacu kudanya lebih kencang.

****

Tapi sayangnya setelah berjalan begitu lamanya aku tak menemukan sedikitpun tanda-tanda sebuah kota keramaian, semua masih berupa hutan belantara.

"Bagaimana ini...???
Seharusnya kita sekarang sudah berada di kota Pekalongan, tapi kenapa yang kita temui hanya hutan seperti ini...???" ucapku aga panik dengan menangak-nengok kearah sekitar.

"Apa yang terjadi ini...
Aku benar-benar ingin pulang, aku sudah lelah... aku sudah jenuh akan semua ini..." aku berteriak sekencang-kencangnya sembari merobohkan lututku ke tanah.

"Sadar Sena, sadarr...!!!!
Bukankah saat ini kita hidup jauh dimasa dimana kamu hidup, kita hidup dijaman kerajaan Majapahit Sena, kita hidup jauh dari peradapan modern, buktinya kota Pekalongan yang sering kau ceritakan yang katanya sangat ramai itu, saat ini masih berbentuk hutan belantara... sadar Sena, jalani hidup kita, jalanai takdir kita saat ini...
Aku yakin apapun yang terjadi nanti itu pasti yang terbaik..." Wingsang mencoba menjelaskan keadaan yang sedang aku alami.

Tiba-tiba terdengan suara yang menggema:
"Benar Sena, aku yang menarikmu masuk ke dimensi ini bukan tanpa alasan, jalani hidupmu Sena, kakek akan selalu menuntunmu..." suara yang menggema yang tak asing lagi bagiku.
Yaa, itu suara kakek mpu Sasora, guruku sendiri, aku yakin beliau selalu menuntunku dalam perjalanan ini.

"Baik, bangkitlah Sena... mari teruskan perjalanan kita ini..." ucap Wingsang sembari mengangkat pundakku.

"Jika ini memang tanah kelahiranku, baik akan aku tancapkan keris pemberian mpu Sasora ini di watu Ireng di sebelah selatan sana, dan kelak jika aku kembali ke dimensi pada jamanku, akan ambil lagi sebagai bukti bahwa semua ini benar-benar terjadi dalam hidupku ini..." ucapku dengan penuh keyakinan.

Akhirnya aku dan sahabatku Wingsang Geni kembali meneruskan perjalanan dan menuju Watu Ireng di kecamatan Lebak Barang.

Namun ditengah-tengah perjalanan kami menemukan suatu perkampungan kecil yang sederhana, kami segera melambatkan langkah kuda kami sambil memastikan ada orang di kampung ini.


"Datanglah kesini hai cucuku..." ucap seorang kakek tua agak kurus dengan berpakaian serba putih yang tiba-tiba menghampiri aku.

Akupun langsung turun dari kuda dan mendekat ke arahnya.

"Kakek ini siapa...???" tanyaku penuh tanda tanya.

"Hahahaa... jangan takut cucuku, akulah nenek moyangmu, darah yang mengalir ditubuhmu adalah bagian dari darahku..." jawab kakek itu sembari membuka kedua tagannya lalu memelukku.

"Aku yakin kau adalah garis keturunan dariku, aroma tubuhmu sama dengan aroma tubuhku...
Aku tahu, kau datang dari masa depan, dan mpu Sasora ingin mempertemukan aku dengan garis keturunanku dari masa depan...
Inilah makna dari perjalananmu ini nak..." jelas kakek penuh kelembutan sembari terus memelukku.

Dan akupun tak mampu menahan tangis, aku memeluknya erat seperti merasakan memeluk kakekku sendiri. Berada disini seperti berada di kampungku sendiri.

Kampung inilah yang akan menjadi cikal bakal dari kota kelahiranmu nak...
Kelak jika Majapahit telah runtuh pusat kerajaan akan bergeser ke Jawa Tengah, mulai dari kerajaan Demak, Pajang, Mataram semua akan berpusat di Jawa Tengah...
Hal itulah yang akan menjadikan daerah-daerah di timur sungai Kaliwungu yang semula sepi menjadi lebih ramai dengan banyaknya pendatang yang bermukim disini.

"Lalu bagaimana dengan sejarah kota Pekalongan kek...???" tanyaku penasaran.

"Walau saat ini masih sepi, kelak akan ada kerajaan Islam yang bernama Mataram yang pusat ibu kotanya tak jauh dari sini (Jogjakarta). Dan otomatis daerah ini lambat laun akan lebih terurus dan lebih ramai.

Kelak negeri kita akan terjajah oleh bangsa asing, dan karena itulah Sultan Agung Mataram memerintahkan ki Bau Rekso untuk melakukan perlawanan ke Batavia melawan VOC. Namun dalam perperangan itu ki Bau Rekso mengalami kekalahan.

Karena malu dan merasa gagal dalam tugas, Ki Bau Rekso memilih enggan kembali ke Mataram. Dan lebih memilih bertapa NGALONG di sekitar daerah sini, untuk menyusun kekuatan kembali guna melawan VOC lagi. dan karena bertapa NGALONG itulah (siang bersembunyi malam menyusun kekuatan) kelak nama daerah ini diberi nama Pekalongan.
Sedangkan munculnya nama Pekalongan menurut versi abad XVII adalah di masa Sultan Agung saat Ki Bau Rekso gugur saat melawan melawan VOC yang ke dua di Batavia pada tanggal 21 September 1628.
Begitulah kurang lebihnya sejarah Pekalongan nak..." ucap kakek menjelaskan panjang lebar.

"Terimakasih kek atas penjelasannya yang sangat berarti ini, yang membuat aku makin bangga Kepada tanah kelahiranku sendiri..." jawabku sembari mencium tangan kakek. Lalu aku bergegas berdiri.

"Mau kemana lagi nak...???" tanya kakek.

"Aku ingin ke Watu Ireng kek, aku ingin menancapkan keris ini disana sebagai bukti jika kelak aku telah kembali ke dimensiku, keris ini akan menjadi bukti dari perjalananku saat ini yang benar-benar nyata..." ucapku menjelaskan.

"Baiklah kalau begitu, hati-hatilah dijalan..." ucap kakek memberi do'a.

Setelah pamit aku kembali meneruskan perjalanan untuk ke Watu Ireng, yaitu suatu bukit batu yang yang berwarna hitam yang terletak di selatan Pekalongan. Setelah sampai langsung aku tancapkan keris pemeberian mpu Sasora ini kedalam retakan batu hingga menancap tak terlihat.
Lalu aku langsung bergegas meneruskan perjalananku kembali, perjalanan panjang menuju kerajaan Sunda Galuh.


Dan lagi-lagi aku dapatkan satu pembelajaran dalam hidupku tentang sejarah kota kelahiranku.

Sekali lagi, perjalanan ini akan terus berjalan...


============ BERSAMBUNG ============


Untuk kisah selanjutnya silahkan KLIK DISINI

Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah

Previous
« Prev Post

0 comments:

Post a Comment

recent posts