Episode (9/10)
Perjuangan cinta Sejati (inti cerita)
Untuk awal cerita silahkan KLIK DISINI
Setelah Wingsang pergi meneruskan perjalanan pulang ke Majapahit, aku memutuskan untuk kembali ke ibu kota Sunda Galuh, memperjuangkan cinta yang aku miliki, karena bagiku lebih baik menantang mara bahaya untuk sebuah kebahagiaan cinta dari pada harus berdiam diri tanpa merasakan manisnya cinta, karena hakekatnya cinta memang harus diperjuangkan.
Sesampainya di ibu kota aku menyamar sebagai pedagang daging rusa dan daging kambing di pasar dekat istana. Dengan harapan masih ada kemungkinan menyusup ke istana jika ada kesempatan untuk bertemu Dewi Larasati.
Benar saja, baru beberapa hari berjualan daging, aku mendapat pesanan dari juru masak istana, daging rusa dan daging kambing untuk diantar ke dapur istana.
Saat mengantar daging, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, saat melihat Dewi Larasati sedang berjalan di taman, aku langsung berusaha menemuinya.
"Ssstt... Laras..." aku memanggil lirih saat melihatnya sedang berjalan di taman.
Lalu aku mengatakan kalau aku tidak jadi pulang ke Majapahit, aku putuskan untuk tinggal di Sunda Galuh untuk manjadi pedagang di pasar dekat istana, dan sejak saat itu Dewi Larasati sering menyamar menjadi wanita biasa untuk bisa leluasa ke pasar menemui aku. Larasati sering membantuku seharian berjualan daging dipasar, dia juga sering membawakan aku makanan, dia memang wanita berdarah biru namun tetap bersahaja. Kerena itulah aku makin sayang padanya.
Hari berganti, minggu berlalu dan bulan terus berjalan, hubunganku dengan Larasati makin dekat, gelora asmara di jiwa seakan makin erat susah untuk dilepaskan.
Hingga disuatu hari, ada salah satu orang Istana yang mengetahui keberadaan kami dan mata-mata itu telah mengetahui semuanya tentang kami. Hingga kabar itu tembus ke baginda Prabu Bunisora. Dan akhirnya beliau memerintahkan pengawal kerajaan untuk menyeret kami untuk dihukum.
"Lancang sekali kau...!!!
Sudah aku beri kabaikan namun kau berani melawan titahku...!!!
Dikasih hati minta jantung...!!!" suara Prabu Bunisora menggelagar lantang, seakan seisi istana tergoncang bagai ada gempa yang melanda.
"Maaf baginda, aku sangat mencintai putri baginda...
Aku tak bisa hidup tanpanya..." jawabku pelan menghiba.
"Tidak mungkin...!!!!
Aku tidak mungkin menjilat ludahku sendiri, aku sudah putuskan menerbitkan larangan kerabat istana untuk menikah dengan pihak Majapahit, apalagi dengan laki-laki berkasta Sudra sepertimu...!!!" Prabu Bunisora makin marah tak terkendali.
"Pengawal, seret dia keluar istana, penggal kepalanya di depan penduduk Sunda Galuh, untuk menunjukan aku tidak main-main dengan ucapanku..." raja Bunisora berteriak keras memerintahkan pengawal untuk menghukum mati aku.
Kali ini aku hanya diam, tenang tanpa memohon ampun atau pun berontak, karena aku ingat pesan sahabatku Wingsanggeni bahwa sebagai prajurit harus siap menghadapi kematiannya kapanpun dan dimanapun.
Lalu aku diseret keluar istana, dihadapan orang-orang pasar kedua tanganku dipegang erat dan aku harus menunduk untuk siap dipenggal kepalaku. Sementara didalam istana putri Dewi Larasati terus menangis menghiba pada ayahnya untuk mengampuni aku.
"Wahai para penduduk Sunda Galuh, hari ini kita menyaksikan orang yang berani melawan titah raja, dan sebagai hukumannya dia harus dihukum mati hari ini juga..." teriak Jayadipati, panglima kerajaan yang terkenal sadis dan kejam.
Dalam hatiku bertanya-tanya,
"Apakah ini akhir dari petualanganku, apakah ini akhir dari kisah hidupku, apakah aku harus mati sebagai penentang titah raja, seorang yang berdarah Jawa yang mencintai gadis berdarah Sunda. Tapi apapun itu, aku menghadapi kematian ini untuk membuktikan kekuatan cinta pada dunia...." hatiku terus berkata-kata.
Kedua tanganku dipegang erat oleh para prajurit Sunda, kakiku ditendang agar aku roboh berlutut di hadapan algojo, punggungku diinjak menekan ke depan agar leher dan kepalaku siap untuk dipenggal, aku melihat Jayadipati mengangkat pedangnya tinggi-tinggi di atas leherku.
Sementara orang-orang hanya bisa menatapku dengan wajah tegang sembari menahan nafasnya dengan detak jantung yang berdebar kencang. Wajah-wajah tegang terukir disemua orang yang menyaksikan kejadian ini.
Saat pedang yang ada di tangan Jayadipati siap diayunkan tepat di leherku, tiba2 deru suara kaki kuda menderu-deru mendekati kami.
"Hiaa... Hiaaa...Hiaaaa...
Kdugruk... kdugruk... kdugruk... kdugruk..." suara sepatu kuda menderu-nderu mendekat ke arah kerumunan.
Dari kejauhan aku melihat sahabatku Wingsanggeni datang ke arahku, dengan pedang yang diangkat tinggi-tinggi pada tangan kanannya sembari terus memacu kudanya.
"Tungguu...!!!!
Kalau kalian berani hadapi aku...!!!" dari jauh Wingsang berteriak lantang.
Seketika semua perhatian tertuju ke arahnya, kerumunan warga seketika pecah menghindari serudukan kuda jantan nan gagah. Semua orang minggir menghindar dari terjangan kuda Wingsang.
Jayadipati yang siap memenggal kepalaku perhatiannya seketika langsung pada Wingsanggeni.
Setelah mendekat kudanya langsung menendang ke arah Jayadipati, panglima sekaligus algojo itu seketika tubuhnya langsung terpental jatuh ke tanah.
Semua prajurit yang memegangi tubuhku langsung dihajar dengan pedangnya.
"Sena, cepat larii...!!!
Cepat selamatkan dirimu... Jangan hirauakan aku..." perintah Wingsang sembari menghajar pasukan lawan.
Sesaat setelah terjadinya keributan ini dari dalam istana nampak Dewi Larasati berlari ke arahku, aku pun langsung menghampirinya lalu mengajaknya melarikan diri, disaat bersamaan kuda kesayanganku datang lalu aku dan Dewi Larasati langsung naik ke atas kuda itu dan siap pergi meninggalakan kekacauan.
Dari jauh aku melihat Wingsang sedang bertarung melawan Jayadipati beserta puluhan prajurit Sunda Galuh, nampak disana sangat kacau sekali namun aku harus pergi mengikuti perintah sahabatku.
"Sungguh, kali ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri pengorbanan dari seorang sahabat yang rela mengorbankan nyawanya demi sahabat seperjuangannya. Kau memang seorang ksatria sejati Wingsang, aku bangga pernah mengenalmu..." ucap hatiku seraya meneteskan air mata yang tak sanggup melihat pengorbanan dari sahabatku sendiri.
*****
Aku dan Dewi Larasati pergi ke arah selatan menuju kaki gunung Salak, disana aku rasa lebih aman untuk masa palarianku sementara ini.
Malam itu, aku dan Dewi Larasati sedang istirahat di tengah hutan di lereng sebelah timur gunung Salak. Membuat bivak dari ranting kayu dan dedaunan untuk sekedar istirahat dan tidur, kami juga membuat api unggun untuk menghangatkan udara gunung yang dingin menusuk tulang.
"Sungguh berani sahabatmu itu akang, rela mengorbankan nyawanya untuk kita berdua..." ucap Dewi Larasati sembari menyandarkan kepalanya di pundakku.
"Begitulah Wingsanggeni, dia sangat setia kawan dan rela berkorban demi aku... dari sejak aku bertemu dengannya dia selalu mendampingi perjakananku, dia benar-benar sahabat sejati..." ucapku mengenang keberanian sahabatku.
"Aaahh kata siapa...???" tiba-tiba sosok yang sedang kami ceritakan datang dan duduk disamping kami.
"Wingsang...???" tanyaku kaget.
"Hahahaaa... kamu kira aku sudah mati hanya karena menghadapi prajurit yang jumlahnya tak seberapa itu...???" ucap Wingsang dengan nada bercanda.
"Aaahh syukurlah sobat, kita masih bisa bertemu lagii... aku sangat senang sekali..." ucapku seraya merangkul pundak sahabatku itu.
"Iyaa mas, kami sangat menghawatirkanmu..." ucap Dewi Larasati mengiyakan ucapanku.
"Oiya, ngomong-ngomong kenapa kamu gak jadi kembali ke Majapahit...???" Tanyaku lagi.
"Hahaa... tidak mungkin aku setega itu meninggalkanmu kawan, apalagi aku sudah diberi amanat kakek Sasora untuk setia menjaga keselamatanmu dalam perjalanan ini...
Dan sebetulnya dari Caruban (Cirebon) aku nengikuti gerak gerikmu kemanapun kamu pergi...
Tapi aku sengaja mengawasimu dari kejauhan karena aku tidak mau mengganggu dua orang sejoli yang sedang dimabuk cinta..." ucapnya sambil meledekku.
"Aahh mas bisa aja..." Dewi Larasati pun tersipu malu.
"Jadi bagaimana menurutmu rencana kita selanjutnya Wingsang...???
Apa kita langsung pulang ke Majapahit bersama Dewi Larasati...???" tanyaku bimbang untuk menentukan arah.
"Jangan dulu Sena, jika pelarian kita menuju Majapahit kita akan memberi masalah baru untuk Majapahit, kedua kerajaan yang sedang dilanda ketegangan ini akan semakin memanas dengan kasus yang kita bawa...
Ini masalah pribadi jangan sampai dibawa ke ranah yang lebih besar..." ucap Wingsang penuh perhitungan.
"Jadi kita sebaiknya kemana...???
Apa kita akan terus di tanah Pasundan ini...???" tanyaku lagi.
"Tidak, itu sangat berbahaya...
Untuk sementara waktu, satu atau dua hari kita bisa tinggal disini, untuk memantau perkembangannya sembari mengatur strategi...
Seperti yang kita tau, bahwa pihak istana masih gencar-gencarnya mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk mencari keberadaan kita..." jawab Wingsang menjelaskan.
"Apa sebaiknya pelarian kita kearah barat Wingsang, menyeberangi selat Sunda menuju tanah Suwarnadwipa (Sumatera)...???" tanyaku memberi ide.
"Yaa, itu ide yang bagus, jika kita ke tanah Suwarnadwipa kita akan jauh lebih aman...
Baiklah, sebaiknya kita istirahat dulu, besok kita bicarakan lagi..." ucap Wingsang sembari membaringkan tubuhnya diatas tumpukan rumput yang telah dilapisi daun pisang.
*****
Pagi itu masih terasa sunyi, namun sinar mentari sudah mengusik kebekuan udara malam, yang menggantikan galap menjadi terang.
Aku terbangun dari tidur nyenyakku yang telah menghapus lelah dalam tubuhku. Tapi aku mendapati tempat tidur Wingsang sudah kosong.
"Kemana Wingsang...???" tanya hatiku.
"Laras, Wingsang menghilang Laras..." aku membangunkan Laras yang sedang tertidur pulas.
"Waahh, kemana dia...???" jawabnya sembari mengusap kedua matanya.
"Kalian pada kenapa siihh, gaduh amattt..." tiba-tiba Wingsang datang dengan memanggul seekor rusa buruannya.
"Bruukk...!!!" Wingsang membanting hasil buruannya itu tepat dihadapan kami.
"Waahh keren sekali niihh, hari ini kita makan enakk..." ucapku penuh kegembiraan.
Pagi itu seekor rusa dipanggang di hadapan kami lalu setelah matang sedikit-demi sedikit daging empuknya masuk mengisi perut kami.
"Inilah perjalananku, inilah kisah hidupku, apapaun yang terjadi nanti akan aku hadapi...
Karena aku yakin, perjalanan ini akan terus berjalan..."
============ BERSAMBUNG ============
Untuk akhir cerita silahkan KLIK DISINI
Perjuangan cinta Sejati (inti cerita)
Untuk awal cerita silahkan KLIK DISINI
Setelah Wingsang pergi meneruskan perjalanan pulang ke Majapahit, aku memutuskan untuk kembali ke ibu kota Sunda Galuh, memperjuangkan cinta yang aku miliki, karena bagiku lebih baik menantang mara bahaya untuk sebuah kebahagiaan cinta dari pada harus berdiam diri tanpa merasakan manisnya cinta, karena hakekatnya cinta memang harus diperjuangkan.
Sesampainya di ibu kota aku menyamar sebagai pedagang daging rusa dan daging kambing di pasar dekat istana. Dengan harapan masih ada kemungkinan menyusup ke istana jika ada kesempatan untuk bertemu Dewi Larasati.
Benar saja, baru beberapa hari berjualan daging, aku mendapat pesanan dari juru masak istana, daging rusa dan daging kambing untuk diantar ke dapur istana.
Saat mengantar daging, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, saat melihat Dewi Larasati sedang berjalan di taman, aku langsung berusaha menemuinya.
"Ssstt... Laras..." aku memanggil lirih saat melihatnya sedang berjalan di taman.
Lalu aku mengatakan kalau aku tidak jadi pulang ke Majapahit, aku putuskan untuk tinggal di Sunda Galuh untuk manjadi pedagang di pasar dekat istana, dan sejak saat itu Dewi Larasati sering menyamar menjadi wanita biasa untuk bisa leluasa ke pasar menemui aku. Larasati sering membantuku seharian berjualan daging dipasar, dia juga sering membawakan aku makanan, dia memang wanita berdarah biru namun tetap bersahaja. Kerena itulah aku makin sayang padanya.
Hari berganti, minggu berlalu dan bulan terus berjalan, hubunganku dengan Larasati makin dekat, gelora asmara di jiwa seakan makin erat susah untuk dilepaskan.
Hingga disuatu hari, ada salah satu orang Istana yang mengetahui keberadaan kami dan mata-mata itu telah mengetahui semuanya tentang kami. Hingga kabar itu tembus ke baginda Prabu Bunisora. Dan akhirnya beliau memerintahkan pengawal kerajaan untuk menyeret kami untuk dihukum.
"Lancang sekali kau...!!!
Sudah aku beri kabaikan namun kau berani melawan titahku...!!!
Dikasih hati minta jantung...!!!" suara Prabu Bunisora menggelagar lantang, seakan seisi istana tergoncang bagai ada gempa yang melanda.
"Maaf baginda, aku sangat mencintai putri baginda...
Aku tak bisa hidup tanpanya..." jawabku pelan menghiba.
"Tidak mungkin...!!!!
Aku tidak mungkin menjilat ludahku sendiri, aku sudah putuskan menerbitkan larangan kerabat istana untuk menikah dengan pihak Majapahit, apalagi dengan laki-laki berkasta Sudra sepertimu...!!!" Prabu Bunisora makin marah tak terkendali.
"Pengawal, seret dia keluar istana, penggal kepalanya di depan penduduk Sunda Galuh, untuk menunjukan aku tidak main-main dengan ucapanku..." raja Bunisora berteriak keras memerintahkan pengawal untuk menghukum mati aku.
Kali ini aku hanya diam, tenang tanpa memohon ampun atau pun berontak, karena aku ingat pesan sahabatku Wingsanggeni bahwa sebagai prajurit harus siap menghadapi kematiannya kapanpun dan dimanapun.
Lalu aku diseret keluar istana, dihadapan orang-orang pasar kedua tanganku dipegang erat dan aku harus menunduk untuk siap dipenggal kepalaku. Sementara didalam istana putri Dewi Larasati terus menangis menghiba pada ayahnya untuk mengampuni aku.
"Wahai para penduduk Sunda Galuh, hari ini kita menyaksikan orang yang berani melawan titah raja, dan sebagai hukumannya dia harus dihukum mati hari ini juga..." teriak Jayadipati, panglima kerajaan yang terkenal sadis dan kejam.
Dalam hatiku bertanya-tanya,
"Apakah ini akhir dari petualanganku, apakah ini akhir dari kisah hidupku, apakah aku harus mati sebagai penentang titah raja, seorang yang berdarah Jawa yang mencintai gadis berdarah Sunda. Tapi apapun itu, aku menghadapi kematian ini untuk membuktikan kekuatan cinta pada dunia...." hatiku terus berkata-kata.
Kedua tanganku dipegang erat oleh para prajurit Sunda, kakiku ditendang agar aku roboh berlutut di hadapan algojo, punggungku diinjak menekan ke depan agar leher dan kepalaku siap untuk dipenggal, aku melihat Jayadipati mengangkat pedangnya tinggi-tinggi di atas leherku.
Sementara orang-orang hanya bisa menatapku dengan wajah tegang sembari menahan nafasnya dengan detak jantung yang berdebar kencang. Wajah-wajah tegang terukir disemua orang yang menyaksikan kejadian ini.
Saat pedang yang ada di tangan Jayadipati siap diayunkan tepat di leherku, tiba2 deru suara kaki kuda menderu-deru mendekati kami.
"Hiaa... Hiaaa...Hiaaaa...
Kdugruk... kdugruk... kdugruk... kdugruk..." suara sepatu kuda menderu-nderu mendekat ke arah kerumunan.
Dari kejauhan aku melihat sahabatku Wingsanggeni datang ke arahku, dengan pedang yang diangkat tinggi-tinggi pada tangan kanannya sembari terus memacu kudanya.
"Tungguu...!!!!
Kalau kalian berani hadapi aku...!!!" dari jauh Wingsang berteriak lantang.
Seketika semua perhatian tertuju ke arahnya, kerumunan warga seketika pecah menghindari serudukan kuda jantan nan gagah. Semua orang minggir menghindar dari terjangan kuda Wingsang.
Jayadipati yang siap memenggal kepalaku perhatiannya seketika langsung pada Wingsanggeni.
Setelah mendekat kudanya langsung menendang ke arah Jayadipati, panglima sekaligus algojo itu seketika tubuhnya langsung terpental jatuh ke tanah.
Semua prajurit yang memegangi tubuhku langsung dihajar dengan pedangnya.
"Sena, cepat larii...!!!
Cepat selamatkan dirimu... Jangan hirauakan aku..." perintah Wingsang sembari menghajar pasukan lawan.
Sesaat setelah terjadinya keributan ini dari dalam istana nampak Dewi Larasati berlari ke arahku, aku pun langsung menghampirinya lalu mengajaknya melarikan diri, disaat bersamaan kuda kesayanganku datang lalu aku dan Dewi Larasati langsung naik ke atas kuda itu dan siap pergi meninggalakan kekacauan.
Dari jauh aku melihat Wingsang sedang bertarung melawan Jayadipati beserta puluhan prajurit Sunda Galuh, nampak disana sangat kacau sekali namun aku harus pergi mengikuti perintah sahabatku.
"Sungguh, kali ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri pengorbanan dari seorang sahabat yang rela mengorbankan nyawanya demi sahabat seperjuangannya. Kau memang seorang ksatria sejati Wingsang, aku bangga pernah mengenalmu..." ucap hatiku seraya meneteskan air mata yang tak sanggup melihat pengorbanan dari sahabatku sendiri.
*****
Aku dan Dewi Larasati pergi ke arah selatan menuju kaki gunung Salak, disana aku rasa lebih aman untuk masa palarianku sementara ini.
Malam itu, aku dan Dewi Larasati sedang istirahat di tengah hutan di lereng sebelah timur gunung Salak. Membuat bivak dari ranting kayu dan dedaunan untuk sekedar istirahat dan tidur, kami juga membuat api unggun untuk menghangatkan udara gunung yang dingin menusuk tulang.
"Sungguh berani sahabatmu itu akang, rela mengorbankan nyawanya untuk kita berdua..." ucap Dewi Larasati sembari menyandarkan kepalanya di pundakku.
"Begitulah Wingsanggeni, dia sangat setia kawan dan rela berkorban demi aku... dari sejak aku bertemu dengannya dia selalu mendampingi perjakananku, dia benar-benar sahabat sejati..." ucapku mengenang keberanian sahabatku.
"Aaahh kata siapa...???" tiba-tiba sosok yang sedang kami ceritakan datang dan duduk disamping kami.
"Wingsang...???" tanyaku kaget.
"Hahahaaa... kamu kira aku sudah mati hanya karena menghadapi prajurit yang jumlahnya tak seberapa itu...???" ucap Wingsang dengan nada bercanda.
"Aaahh syukurlah sobat, kita masih bisa bertemu lagii... aku sangat senang sekali..." ucapku seraya merangkul pundak sahabatku itu.
"Iyaa mas, kami sangat menghawatirkanmu..." ucap Dewi Larasati mengiyakan ucapanku.
"Oiya, ngomong-ngomong kenapa kamu gak jadi kembali ke Majapahit...???" Tanyaku lagi.
"Hahaa... tidak mungkin aku setega itu meninggalkanmu kawan, apalagi aku sudah diberi amanat kakek Sasora untuk setia menjaga keselamatanmu dalam perjalanan ini...
Dan sebetulnya dari Caruban (Cirebon) aku nengikuti gerak gerikmu kemanapun kamu pergi...
Tapi aku sengaja mengawasimu dari kejauhan karena aku tidak mau mengganggu dua orang sejoli yang sedang dimabuk cinta..." ucapnya sambil meledekku.
"Aahh mas bisa aja..." Dewi Larasati pun tersipu malu.
"Jadi bagaimana menurutmu rencana kita selanjutnya Wingsang...???
Apa kita langsung pulang ke Majapahit bersama Dewi Larasati...???" tanyaku bimbang untuk menentukan arah.
"Jangan dulu Sena, jika pelarian kita menuju Majapahit kita akan memberi masalah baru untuk Majapahit, kedua kerajaan yang sedang dilanda ketegangan ini akan semakin memanas dengan kasus yang kita bawa...
Ini masalah pribadi jangan sampai dibawa ke ranah yang lebih besar..." ucap Wingsang penuh perhitungan.
"Jadi kita sebaiknya kemana...???
Apa kita akan terus di tanah Pasundan ini...???" tanyaku lagi.
"Tidak, itu sangat berbahaya...
Untuk sementara waktu, satu atau dua hari kita bisa tinggal disini, untuk memantau perkembangannya sembari mengatur strategi...
Seperti yang kita tau, bahwa pihak istana masih gencar-gencarnya mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk mencari keberadaan kita..." jawab Wingsang menjelaskan.
"Apa sebaiknya pelarian kita kearah barat Wingsang, menyeberangi selat Sunda menuju tanah Suwarnadwipa (Sumatera)...???" tanyaku memberi ide.
"Yaa, itu ide yang bagus, jika kita ke tanah Suwarnadwipa kita akan jauh lebih aman...
Baiklah, sebaiknya kita istirahat dulu, besok kita bicarakan lagi..." ucap Wingsang sembari membaringkan tubuhnya diatas tumpukan rumput yang telah dilapisi daun pisang.
*****
Pagi itu masih terasa sunyi, namun sinar mentari sudah mengusik kebekuan udara malam, yang menggantikan galap menjadi terang.
Aku terbangun dari tidur nyenyakku yang telah menghapus lelah dalam tubuhku. Tapi aku mendapati tempat tidur Wingsang sudah kosong.
"Kemana Wingsang...???" tanya hatiku.
"Laras, Wingsang menghilang Laras..." aku membangunkan Laras yang sedang tertidur pulas.
"Waahh, kemana dia...???" jawabnya sembari mengusap kedua matanya.
"Kalian pada kenapa siihh, gaduh amattt..." tiba-tiba Wingsang datang dengan memanggul seekor rusa buruannya.
"Bruukk...!!!" Wingsang membanting hasil buruannya itu tepat dihadapan kami.
"Waahh keren sekali niihh, hari ini kita makan enakk..." ucapku penuh kegembiraan.
Pagi itu seekor rusa dipanggang di hadapan kami lalu setelah matang sedikit-demi sedikit daging empuknya masuk mengisi perut kami.
"Inilah perjalananku, inilah kisah hidupku, apapaun yang terjadi nanti akan aku hadapi...
Karena aku yakin, perjalanan ini akan terus berjalan..."
============ BERSAMBUNG ============
Untuk akhir cerita silahkan KLIK DISINI
Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah
0 comments:
Post a Comment