Episode (8/10)
Memasuki batas wilayah negeri Pasundan. (inti cerita)
Untuk awal cerita silahkan KLIK DISINI
Menembus hutan belantara Jawa bagian tengah memang sangat melelahkan, banyak aral yang melintang. Ancaman dari perampok, hewan buas dan tersesat di dalam hutan selalu mengintai. Namun dengan tekat yang bulat dan semangat yang kuat tak sedikitpun kami gentar menghadapi.
Akhirnya setelah berjalan menembus belantara yang pekat selama berhari-hari, sampailah kami di tugu perbatasan kekuasaan Majapahit, tugu itu nampak tak terawat, letaknya di tengah hutan belantara tepat sebelum kami menemui sungai besar batas wilayah Sunda Galuh.
Setelah menyeberangi sungai besar itu, tibalah kami di perkampungan yang cukup ramai.
"Maaf bu, kalau boleh tau ini kampung apa yaa...???
Sejak menyeberangi sungai Kaliwungu sana, baru kali ini aku menemukan perkampungan dengan hiruk pikuk keramaian pasarnya yang cukup ramai seperti ini...
Karena sepanjang perjalanan beberapa hari ini yang aku temui hanya hutan belantara, kalaupun ada kampung itu hanya perkampungan kecil yang penduduknya mengandalkan hasil berburu dari hutan, hampir tak kami temui pasar ataupun kegiatan perniagaan..." tanyaku pada ibu tua pedagang dipasar sambil memesan makanan sebagai bekal perjalanan.
"Ini daerah Caruban (Cirebon) nak... perkampungan diujung paling timur kekuasaan negeri Pasundan..." jawab ibu itu sembari membungkus makanan yang kami pesan.
Dan untuk asal-usul nama kota Cirebon ini, kelak di abad ke 16 disini akan menjadi pusat produksi terasi udang yang terkenal hingga ke ibu kota kerajaan dan air sisa produksi terasi tersebut banyak yang mengalir ke sungai-sungai yang pada akhirnya kota itu terkenal menjadi kota Cirebon yang artinya Ci = air, sementara Rebon = udang.
"Waahh, berarti ini sudah masuk wilayah kerajaan Sunda Galuh bu...???" Tanyaku makin sempringah.
"Iyaa Nak, ini sudah masuk wilayah Sunda Galuh... sungai itu sebagai batas wilayahnya..." jawab ibu itu sambil menunjuk ke arah sungai besar disisi timur.
"Jadi kalau mau ke pusat ibu kota kerajaan Sunda Galuh kira-kira masih jauh gak bu...???" tanyaku lagi.
"Kira-kira tujuh hari perjalanan berkuda nak, lanjutkan perjalanan kalian menuju barat, terus lurus saja mengikuti jalan ini hingga kalian menemui pelabuhan Kelapa, disitu kalian akan menemukan keramaian kota Sunda Kelapa, setelah itu pergilah ke arah selatan menelusuri jalan di pinggir sungai Ciliwung hingga sampai di daerah hulu. Disana lah letak ibu kota kerajaan Sunda Galuh nak..." jawab ibu pedagang makanan itu sembari menunjuk ke arah barat. Lalu memberikan makanan yang kami pesan.
"Berapa bu harganya...???" aku menanyakan harga makanan yanh saya beli.
"Satu kepeng aja nak..." jawab itu itu.
"Ini bu..." jawabku sembari memberikan satu keping uang logam.
Lalu perjalanan kami lanjutkan terus menuju ke arah barat, selama perjalanan hampir semua lahan sudah menjadi ladang pertanian, dan juga banyak perkampungan-perkampungan ramai disepanjang jalan menuju Sunda Kelapa, ini menandakan penyebaran penduduk di daerah Sunda sudah merata.
Jelas saja, karena wilayah Jawa bagian barat sudah mengenal sistem pemerintahan, tata kota, irigasi dan sistem pertanian yang sudah cukup lama, karena wilayah Pasundan adalah wilayah dimana kerajaan pertama di Pulau jawa berdiri. Yaitu kerajaan Salakanegara pada abad ke-3 Masehi, lalu diganti kerajaan Tarumanegara yang ibu kotanya berada di tepi sungai Citarum. Dan setelah itu kerajaan itu berkembang pesat dan terus melebarkan sayapnya, kalaupun kerajaan itu runtuh itu karena generasinya membuat kerajaan baru dan ibu kotanya tetap masih di wilayah Pasundan. Yang artinya wilayah Pasundan ini tidak pernah terjadi kekosongan kekuasaan sejak awal abad ke-3 masehi.
Berbeda dengan Jawa Tengah, yang sempat ada kerajaan seperti Kalingga dan Mataram Kuno, namun kerajaan itu runtuh dan pindah ke Kediri Jawa Timur dan pada akhirnya tanah Jawa Tengah terbengkalai tanpa perhatian pengasa.
Sedang Jawa Timur baru ada sistem kerajaan pada abad ke-12 masehi setelah kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur mendirikan Kerajaan Kediri.
Ini sebabnya wilayah di Pasundan cenderung lebih maju dan lebih merata penyebaran penduduknya, karena wilayah ini dibangun sejak berabad-abad lamanya.
****
Hingga akhirnya setelah menempuh perjalanan menyusuri tanah Pasundan, sampailah kami di pelabuhan Kelapa, pelabuhan yang sangat ramai dan penuh hilir mudik kapal-kapal besar dan kecil.
Lalu perjalanan diteruskan menuju pusat kota Sunda Kelapa, dan terus menuju selatan mengikuti aliran sungai Ciliwung menuju pusat ibu kota kerajaan Sunda Galuh.
Dan akhirnya setelah berjalan sekitar dua hari dari kota Sunda Kelapa sampailah kita di pusat kota kerajaan Sunda Galuh, disini sungguh nampak sangat ramai namun tetap sejuk karena lokasinya memang di daerah pegunungan (Bogor sekarang). Pusat kota itu dibentengi gunung-gunung besar di sebelah selatan yaitu gunung Gede, Gunung Pangrango dan Gunung Salak.
Setelah memasuki gerbang ibu kota aku dan Wingsang Geni langsung menuju istana untuk mengantarkan surat dari mendiang Putri Dyah Pitaloka dan mengabarkan apa yang telah terjadi tentang Perang Bubat kepada pihak istana.
Aku dan Wingsang langsung menghadap Prabu Bunisora adik ipar dari prabu Lingga Buana yang gugur dalam perang Bubat.
Karena Prabu Bunisora diberi amanat untuk memimpin kerajaan saat raja Lingga Buana beserta rombongan keluarga pergi ke Majapahit. Karena Pangeran Niskala Wastu Kencana, anak laki-laki prabu Lingga buana (adik Dyah Pitaloka) masih berumur 9 tahun belum layak diangkat menjadi raja. Kelak setelah umur 23 tahun pangeran Wastu Kencana diangkat menjadi raja menggantikan prabu Bunisora.
"Kurang ajar...!!!!
Pecundang sekali Gajah Mada ini..." lantang suara Bunisora, seketika amarahnya berapi-api. Wajahnya memerah marah, kedua telapaknya menggengam keras, tangannya bergetar hebat bagai api yang berkobar tak bisa dipadamkan.
"Pengawal, penggal kedua prajurit Majapahit ini...!!!" suaranya menggelagar sembari menunjuk ke arahku, seraya memberi perintah kepada pengawal kerajaan untuk membunuh kami.
Seketika aku kaget, orang yang sama sekali tak bersalah seperti kami harus dihukum pancung hanya karena kesalahan dari patih Gajah Mada.
Para pengawal kerajaan langsung datang memegangi kedua tangan kami, lalu menyeret kami keluar dari istana.
"Tidak...!!! Tidakkk...!!!
Ini tidak adil, seharusnya kalian menyambut kami dengan baik, karena kami mempertaruhkan nyawa kami untuk pembawa amanat dari putri raja kalian...!!!" aku terus berontak tak terima.
"Sena tenang...!!!" Wingsang menyuruhku untuk tenang.
Lalu aku melihat salah seorang resi (penasehat kerajaan) yang sudah sangat tua memberi nasehat pada Prabu Bunisora.
"Paduka, mendengar kabar ini siapapun akan marah dan tidak akan terima, tapi ketahuilah bahwa amarah itu harus sejalan dengan jalan pikiran, bagaimana pun juga, mereka orang kepercayaan dari putri Dyah Pitaloka, walaupun mereka orang Majapahit namum mereka telah mengorbankan waktu, tenaga bahkan siap mempertaruhkan nyawanya demi mengantarkan amanat dari putri Dyah Pitaloka...
Pertimbangkan lagi titahmu itu Bunisora..." ucap resi (penasehat kerajaan) kepada Prabu Bunisora penuh kebijakan.
"Baik, pengawal... penjarakan dia...!!!" suara Bunisora kembali menggegar memerintahkan pengawal untuk menyeret kami ke penjara.
"Tidaaakkk...!!!! Tidaakkkk...!!!
Ini tetap tidak adil, kalian seharusnya berterimakasih kepada kami... kami bukan penjahat, bukan seperti ini balasan kalian...!!!" Aku terus berontak.
****
Setelah kejadian itu suasana istana kembali tegang, kakacauan di istana sangat genting. Semua pasukan dikerahkan untuk waspada, berjaga-jaga andaikata Majapahit tiba-tiba menyerang.
Tak berapa lama Bunisora sebagai raja Sunda Galuh ke-23 mengeluarkan larangan bagi keluarga istana Sunda untuk menikah dengan laki-laki keluarga dari istana Majapahit. Hingga akhirnya larangan itu menyebar hingga diasumsikan larangan menikah antara orang Sunda dengan orang Jawa.
****
Sementara itu, aku dan Wingsang Geni masih dikurung dalam penjara, yang tak tahu entah sampai kapan hukuman ini selesai.
"Aku tetap tidak terima atas semua ini Wingsang, mereka sama sekali tak tau balas budi..." ucapku dendam sambil menahan emosi, bahkan air mataku tak kuasa menetes saking sakit hatinya aku pada raja Bunisora.
"Tenang Sena, kita sebagai prajurit harus siap mati kapanpun demi menjaga nama baik kerajaan. Percayalah kita pasti akan selamat..." ucap Wingsang menenangkan.
Saat aku sedang berbincang dengan Wingsang tiba-tiba ada seseorang yang datang mendekat ke ruang tahanan kami.
"Ini ada makanan untuk kalian...
Makanlah agar kesehatan kalian terjaga..." suara lembut itu seketika meredupkan api emosiku. Jiwa yang semula membara kini berubah sejuk bagai embun pagi.
"Terimakasih...
Maaf kamu siapa..." tanyaku pada gadis yang mengantar makanan ke dalam ruang tahananku.
"Namaku Dewi Maesadani Laraswati..." jawabnya lembut dengan senyum dibibirnya yang merekah.
"Namaku Jaka Sasena, biasa dipanggil Sena, ini sahabatku Wingsanggeni, dia biasa dipanggil Wingsang....
Oiya kenapa kamu mau berbuat baik kepadaku...???" akupun memperkenalkan diri dan membuka percakapan.
"Karena aku melihat kejadian di istana kemarin, aku yakin akang-akang ini orang baik karena itulah aku bersikap baik pada akang..." jawab gadis itu penuh lemah lembut khas orang Sunda.
Sejak saat itu Dewi Larasati sering berkunjung ke tahanan, membawa makanan, susu dan buah-buahan. Dilihat dari pakaiannya, Dewi Larasati bukan gadis biasa, dia terlihat anak dari keluarga kerajaan.
Entah takdir atau kebetulan, hari demi hari hubunganku dengan Larasati semakin dekat, ada kecocokan batin antara aku dan dirinya,
menjalani hidup di dalam penjara pun seakan bagai di taman bunga.
Hingga pada hari ke-15 aku dipenjara, datanglah penjaga tahanan menghampiri kami, kami diajak menghadap paduka prabu Bunisora.
"Baik atas pertimbangan jasa kalian yang telah mengantar amanat dari putri Dyah Pitaloka, maka dengan ini hukuman kalian akan aku cabut, dan kalian dibebaskan untuk kembali pulang ke negeri kalian. Kami juga akan memberi hadiah sejumlah uang dan emas sebagai ucapan terimakasih kami..." prabu Bunisora memberi titah untuk membebaskan kami pulang ke negeri kami.
Yaa, titah itu serasa angin surga yang menghembus ditengah gurun yang tandus. Bahkan wajah Wingsang pun kembali bersinar mendengar kabar itu.
Tapi bagiku Kabar gembira itu seakan menjadi kabar yang sangat buruk bagiku, karena bagiku lebih baik hidup di panjara tetapi merasa bahagia karena selalu bertemu dengan gadis pujaan hati dari pada harus bebas tetapi berpisah dengan Dewi Larasati.
Tapi titah raja tidak bisa diganggu gugat, kami harus hengkang secepatnya dari tanah Sunda. Dan itu tidak ada pilihan lain.
*****
Dan hari ini hari ke-3 setelah titah raja itu diucapkan, setelah semua keperluanku disiapkan baik kuda, bekal dan hadiah, kami harus segera bergegas meninggalkan istana serta segera angkat kaki dari tanah Sunda.
Namun saat aku harus meninggalkan gapura istana, tiba-tiba ada yang memanggilku.
"Akang Sena...!!!" ternyata Dewi Larasati memanggilku sembari berlari ke arahku.
Dan aku pun telah mendapatkan informasi bahwa Dewi Larasati adalah anak dari prabu Bunisora dari istri selirnya. Walaupun Larasati anak dari selir namun tetap saja mengharapkannya adalah suatu yang mustahil, apalagi aku orang biasa yang darahku masih berwarna merah, bukan darah biru keturunan raja-raja.
Ditambah adanya larangan bahwa orang Sunda tidak diperbolehkan menikah dengan orang Majapahit, hal itulah yang membuat aku berfikir seribu kali untuk mencintai Dewi Larasati.
"Tunggu akang..." Dewi Larasati terus berlari mendekat ke arahku.
Aku pun meloncat turun dari kuda menghampiri Dewi Larasati untuk terakhir kalinya.
"Laras, jaga dirimu, baik-baik di istana...
Aku yakin keberuntungan akan selalu berpihak padamu...
Ikhlaskan aku pergi, inilah yang terbaik untuk kita..." ucapku sembari mengusap pipi Larasati yang berdiri tepat di hadapanku, lalu aku mencium keningnya sebagai tanda perpisahan.
"Aku ingin ikut bersamamu akang..." pinta Larasati yang tidak rela melepas kepergianku.
"Itu tidak mungkin Laras, kita tidak mungkin bersama...
Darah yang ada di tubuhmu berwarna biru Laras, semantara darah yang mengalir di tubuhku ini darah yang berwarna merah, aku tidak layak untukmu Laras..." ucapku menjelaskan. Lalu aku memeluk tubuhnya erat.
"Sena..." Wingsang memberi kode saatnya kami harus pergi.
Akupun melepaskan pelukannya, lalu naik ke atas pelana kuda. Dan kami bersiap meneruskan perjalanan ini.
Aku melihat air mata Laras berlinang membasahi pipinya, seakan tak kuasa melepas kepergianku untuk kembali ke tanah leluhurku, Majapahit.
Namun, lagi-lagi perjalanan ini harus terus berjalan.
*****
Kuda yang aku tunggangi berlari semakin kencang, gapura istana makin jauh tak terlihat, namun bayangan wajah Larasati terus tergambar jelas di ingatanku, mencumbui rindu-rindu yang memainkan perasanku.
Ternyata cinta telah menguasai jiwaku.
Hari terus berganti, waktu terus berjalan, dan perjalanan ke arah timur harus tetap dilakukan.
Sesampainya di Caruban (Cirebon) dan hendak menyeberangi sungai besar batas wilayah Sunda Galuh, kegundahan hatiku makin meraja, aku seakan merasa tidak bisa hidup tanpa Larasati, aku benar-benar sedang dimabuk kepayang, bahkan untuk melangkah meninggalkan tanah Sunda pun aku tak bisa.
"Tunggu dulu Wingsang...!!!" ucapku pada Wingsang saat menaiki perahu yang hendak menyeberangkan kami ke sisi timur.
"Kenapa Sena, apa yang terjadi...???" tanya Wingsang heran.
"Aku tak sanggup meneruskan perjalanan ini Wingsang, aku ingin tinggal dan menetap disini, aku tidak bisa berpisah dengan Larasati..." ucapku pada Wingsang, curhat atas apa yang terjadi pada perasaanku.
"Itu tidak mungkin Sena...!!!
Prabu Bunisora akan marah besar jika tau anaknya menjalin kasih dengan orang sepertimu...
Ingat, kita sudah mendapatkan kebaikan dari beliau, kita dibebaskan dan diberi bekal seperti ini, sudah seharusnya berterimakasih, bukan malah melawan titahnya, apalagi menjalin hubungan dengan anaknya, itu sangat berbahaya Sena...!!!" Ucap Wingsang menjelaskan dengan nada tinggi.
"Kamu tidak akan mengerti perasaanku Wingsang...
Baik, pergilah kau sendiri ke Majapahit, biarkan aku tinggal disini menghadapi nara bahaya itu...
Aku sudah siap apapun resikonya, aku akan perjuangan cintaku ini..." jawabku menantang. Sementara Wingsang terperanjat heran mendengar kata-kataku.
Sesaat semua terdiam, membisu tak tau harus berkata apa-apa lagi. Bahkan aku melihat wajah Wingsang dipenuhi rasa kebimbangan.
"Pergilah sobat, Tugas kita sudah selesai...
Kini memang saatnya kita harus berpisah, aku sangat bangga telah mengenalmu...
Sampaikan salamku pada guru Mpu Sasora, katakan aku sangat merindukannya..." ucapku pertanda perpisahan.
Wingsang yang sedari tadi terdiam diatas perahu bersama kudanya, akhirnya memberi kode pada pemilik perahu untuk menjalankan perahunya menyeberangi sungai, tangannya melambai-lambaikan padaku seraya air matanya membasahi pipi.
"Wingsang, kau pendekar sejati, kau orang paling tangguh yang pernah aku kenal, air matamu terlalu berharga untuk ini...
Jangan cengeng Wingsang, kau harus tegar, baik-baik disana sobat..." ucapku berteriak sembari memandang perahu yang mengantar Wingsang semakin menjauh.
*****
Lagi-lagi aku harus melanjutkan petualanganku, kali ini bukan petualangan menjelajah daerah-daerah baru yang belum pernah aku jelajahi, namun petualangan menjelajahi hati seorang putri Raja, Dewi Larasati.
Walaupun penuh nara bahaya, sebagai petualang sejati aku harus bisa menghadapinya sendiri.
"Sekali lagi, perjalanan ini akan terus berjalan..."
============ BERSAMBUNG ============
Untuk kisah selanjutnya KLIK DISINI
Ahmad Pajali Binzah
September 20, 2016
New Google SEO
Bandung, IndonesiaMemasuki batas wilayah negeri Pasundan. (inti cerita)
Untuk awal cerita silahkan KLIK DISINI
Menembus hutan belantara Jawa bagian tengah memang sangat melelahkan, banyak aral yang melintang. Ancaman dari perampok, hewan buas dan tersesat di dalam hutan selalu mengintai. Namun dengan tekat yang bulat dan semangat yang kuat tak sedikitpun kami gentar menghadapi.
Akhirnya setelah berjalan menembus belantara yang pekat selama berhari-hari, sampailah kami di tugu perbatasan kekuasaan Majapahit, tugu itu nampak tak terawat, letaknya di tengah hutan belantara tepat sebelum kami menemui sungai besar batas wilayah Sunda Galuh.
Setelah menyeberangi sungai besar itu, tibalah kami di perkampungan yang cukup ramai.
"Maaf bu, kalau boleh tau ini kampung apa yaa...???
Sejak menyeberangi sungai Kaliwungu sana, baru kali ini aku menemukan perkampungan dengan hiruk pikuk keramaian pasarnya yang cukup ramai seperti ini...
Karena sepanjang perjalanan beberapa hari ini yang aku temui hanya hutan belantara, kalaupun ada kampung itu hanya perkampungan kecil yang penduduknya mengandalkan hasil berburu dari hutan, hampir tak kami temui pasar ataupun kegiatan perniagaan..." tanyaku pada ibu tua pedagang dipasar sambil memesan makanan sebagai bekal perjalanan.
"Ini daerah Caruban (Cirebon) nak... perkampungan diujung paling timur kekuasaan negeri Pasundan..." jawab ibu itu sembari membungkus makanan yang kami pesan.
Dan untuk asal-usul nama kota Cirebon ini, kelak di abad ke 16 disini akan menjadi pusat produksi terasi udang yang terkenal hingga ke ibu kota kerajaan dan air sisa produksi terasi tersebut banyak yang mengalir ke sungai-sungai yang pada akhirnya kota itu terkenal menjadi kota Cirebon yang artinya Ci = air, sementara Rebon = udang.
"Waahh, berarti ini sudah masuk wilayah kerajaan Sunda Galuh bu...???" Tanyaku makin sempringah.
"Iyaa Nak, ini sudah masuk wilayah Sunda Galuh... sungai itu sebagai batas wilayahnya..." jawab ibu itu sambil menunjuk ke arah sungai besar disisi timur.
"Jadi kalau mau ke pusat ibu kota kerajaan Sunda Galuh kira-kira masih jauh gak bu...???" tanyaku lagi.
"Kira-kira tujuh hari perjalanan berkuda nak, lanjutkan perjalanan kalian menuju barat, terus lurus saja mengikuti jalan ini hingga kalian menemui pelabuhan Kelapa, disitu kalian akan menemukan keramaian kota Sunda Kelapa, setelah itu pergilah ke arah selatan menelusuri jalan di pinggir sungai Ciliwung hingga sampai di daerah hulu. Disana lah letak ibu kota kerajaan Sunda Galuh nak..." jawab ibu pedagang makanan itu sembari menunjuk ke arah barat. Lalu memberikan makanan yang kami pesan.
"Berapa bu harganya...???" aku menanyakan harga makanan yanh saya beli.
"Satu kepeng aja nak..." jawab itu itu.
"Ini bu..." jawabku sembari memberikan satu keping uang logam.
Lalu perjalanan kami lanjutkan terus menuju ke arah barat, selama perjalanan hampir semua lahan sudah menjadi ladang pertanian, dan juga banyak perkampungan-perkampungan ramai disepanjang jalan menuju Sunda Kelapa, ini menandakan penyebaran penduduk di daerah Sunda sudah merata.
Jelas saja, karena wilayah Jawa bagian barat sudah mengenal sistem pemerintahan, tata kota, irigasi dan sistem pertanian yang sudah cukup lama, karena wilayah Pasundan adalah wilayah dimana kerajaan pertama di Pulau jawa berdiri. Yaitu kerajaan Salakanegara pada abad ke-3 Masehi, lalu diganti kerajaan Tarumanegara yang ibu kotanya berada di tepi sungai Citarum. Dan setelah itu kerajaan itu berkembang pesat dan terus melebarkan sayapnya, kalaupun kerajaan itu runtuh itu karena generasinya membuat kerajaan baru dan ibu kotanya tetap masih di wilayah Pasundan. Yang artinya wilayah Pasundan ini tidak pernah terjadi kekosongan kekuasaan sejak awal abad ke-3 masehi.
Berbeda dengan Jawa Tengah, yang sempat ada kerajaan seperti Kalingga dan Mataram Kuno, namun kerajaan itu runtuh dan pindah ke Kediri Jawa Timur dan pada akhirnya tanah Jawa Tengah terbengkalai tanpa perhatian pengasa.
Sedang Jawa Timur baru ada sistem kerajaan pada abad ke-12 masehi setelah kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur mendirikan Kerajaan Kediri.
Ini sebabnya wilayah di Pasundan cenderung lebih maju dan lebih merata penyebaran penduduknya, karena wilayah ini dibangun sejak berabad-abad lamanya.
****
Hingga akhirnya setelah menempuh perjalanan menyusuri tanah Pasundan, sampailah kami di pelabuhan Kelapa, pelabuhan yang sangat ramai dan penuh hilir mudik kapal-kapal besar dan kecil.
Lalu perjalanan diteruskan menuju pusat kota Sunda Kelapa, dan terus menuju selatan mengikuti aliran sungai Ciliwung menuju pusat ibu kota kerajaan Sunda Galuh.
Dan akhirnya setelah berjalan sekitar dua hari dari kota Sunda Kelapa sampailah kita di pusat kota kerajaan Sunda Galuh, disini sungguh nampak sangat ramai namun tetap sejuk karena lokasinya memang di daerah pegunungan (Bogor sekarang). Pusat kota itu dibentengi gunung-gunung besar di sebelah selatan yaitu gunung Gede, Gunung Pangrango dan Gunung Salak.
Setelah memasuki gerbang ibu kota aku dan Wingsang Geni langsung menuju istana untuk mengantarkan surat dari mendiang Putri Dyah Pitaloka dan mengabarkan apa yang telah terjadi tentang Perang Bubat kepada pihak istana.
Aku dan Wingsang langsung menghadap Prabu Bunisora adik ipar dari prabu Lingga Buana yang gugur dalam perang Bubat.
Karena Prabu Bunisora diberi amanat untuk memimpin kerajaan saat raja Lingga Buana beserta rombongan keluarga pergi ke Majapahit. Karena Pangeran Niskala Wastu Kencana, anak laki-laki prabu Lingga buana (adik Dyah Pitaloka) masih berumur 9 tahun belum layak diangkat menjadi raja. Kelak setelah umur 23 tahun pangeran Wastu Kencana diangkat menjadi raja menggantikan prabu Bunisora.
"Kurang ajar...!!!!
Pecundang sekali Gajah Mada ini..." lantang suara Bunisora, seketika amarahnya berapi-api. Wajahnya memerah marah, kedua telapaknya menggengam keras, tangannya bergetar hebat bagai api yang berkobar tak bisa dipadamkan.
"Pengawal, penggal kedua prajurit Majapahit ini...!!!" suaranya menggelagar sembari menunjuk ke arahku, seraya memberi perintah kepada pengawal kerajaan untuk membunuh kami.
Seketika aku kaget, orang yang sama sekali tak bersalah seperti kami harus dihukum pancung hanya karena kesalahan dari patih Gajah Mada.
Para pengawal kerajaan langsung datang memegangi kedua tangan kami, lalu menyeret kami keluar dari istana.
"Tidak...!!! Tidakkk...!!!
Ini tidak adil, seharusnya kalian menyambut kami dengan baik, karena kami mempertaruhkan nyawa kami untuk pembawa amanat dari putri raja kalian...!!!" aku terus berontak tak terima.
"Sena tenang...!!!" Wingsang menyuruhku untuk tenang.
Lalu aku melihat salah seorang resi (penasehat kerajaan) yang sudah sangat tua memberi nasehat pada Prabu Bunisora.
"Paduka, mendengar kabar ini siapapun akan marah dan tidak akan terima, tapi ketahuilah bahwa amarah itu harus sejalan dengan jalan pikiran, bagaimana pun juga, mereka orang kepercayaan dari putri Dyah Pitaloka, walaupun mereka orang Majapahit namum mereka telah mengorbankan waktu, tenaga bahkan siap mempertaruhkan nyawanya demi mengantarkan amanat dari putri Dyah Pitaloka...
Pertimbangkan lagi titahmu itu Bunisora..." ucap resi (penasehat kerajaan) kepada Prabu Bunisora penuh kebijakan.
"Baik, pengawal... penjarakan dia...!!!" suara Bunisora kembali menggegar memerintahkan pengawal untuk menyeret kami ke penjara.
"Tidaaakkk...!!!! Tidaakkkk...!!!
Ini tetap tidak adil, kalian seharusnya berterimakasih kepada kami... kami bukan penjahat, bukan seperti ini balasan kalian...!!!" Aku terus berontak.
****
Setelah kejadian itu suasana istana kembali tegang, kakacauan di istana sangat genting. Semua pasukan dikerahkan untuk waspada, berjaga-jaga andaikata Majapahit tiba-tiba menyerang.
Tak berapa lama Bunisora sebagai raja Sunda Galuh ke-23 mengeluarkan larangan bagi keluarga istana Sunda untuk menikah dengan laki-laki keluarga dari istana Majapahit. Hingga akhirnya larangan itu menyebar hingga diasumsikan larangan menikah antara orang Sunda dengan orang Jawa.
****
Sementara itu, aku dan Wingsang Geni masih dikurung dalam penjara, yang tak tahu entah sampai kapan hukuman ini selesai.
"Aku tetap tidak terima atas semua ini Wingsang, mereka sama sekali tak tau balas budi..." ucapku dendam sambil menahan emosi, bahkan air mataku tak kuasa menetes saking sakit hatinya aku pada raja Bunisora.
"Tenang Sena, kita sebagai prajurit harus siap mati kapanpun demi menjaga nama baik kerajaan. Percayalah kita pasti akan selamat..." ucap Wingsang menenangkan.
Saat aku sedang berbincang dengan Wingsang tiba-tiba ada seseorang yang datang mendekat ke ruang tahanan kami.
"Ini ada makanan untuk kalian...
Makanlah agar kesehatan kalian terjaga..." suara lembut itu seketika meredupkan api emosiku. Jiwa yang semula membara kini berubah sejuk bagai embun pagi.
"Terimakasih...
Maaf kamu siapa..." tanyaku pada gadis yang mengantar makanan ke dalam ruang tahananku.
"Namaku Dewi Maesadani Laraswati..." jawabnya lembut dengan senyum dibibirnya yang merekah.
"Namaku Jaka Sasena, biasa dipanggil Sena, ini sahabatku Wingsanggeni, dia biasa dipanggil Wingsang....
Oiya kenapa kamu mau berbuat baik kepadaku...???" akupun memperkenalkan diri dan membuka percakapan.
"Karena aku melihat kejadian di istana kemarin, aku yakin akang-akang ini orang baik karena itulah aku bersikap baik pada akang..." jawab gadis itu penuh lemah lembut khas orang Sunda.
Sejak saat itu Dewi Larasati sering berkunjung ke tahanan, membawa makanan, susu dan buah-buahan. Dilihat dari pakaiannya, Dewi Larasati bukan gadis biasa, dia terlihat anak dari keluarga kerajaan.
Entah takdir atau kebetulan, hari demi hari hubunganku dengan Larasati semakin dekat, ada kecocokan batin antara aku dan dirinya,
menjalani hidup di dalam penjara pun seakan bagai di taman bunga.
Hingga pada hari ke-15 aku dipenjara, datanglah penjaga tahanan menghampiri kami, kami diajak menghadap paduka prabu Bunisora.
"Baik atas pertimbangan jasa kalian yang telah mengantar amanat dari putri Dyah Pitaloka, maka dengan ini hukuman kalian akan aku cabut, dan kalian dibebaskan untuk kembali pulang ke negeri kalian. Kami juga akan memberi hadiah sejumlah uang dan emas sebagai ucapan terimakasih kami..." prabu Bunisora memberi titah untuk membebaskan kami pulang ke negeri kami.
Yaa, titah itu serasa angin surga yang menghembus ditengah gurun yang tandus. Bahkan wajah Wingsang pun kembali bersinar mendengar kabar itu.
Tapi bagiku Kabar gembira itu seakan menjadi kabar yang sangat buruk bagiku, karena bagiku lebih baik hidup di panjara tetapi merasa bahagia karena selalu bertemu dengan gadis pujaan hati dari pada harus bebas tetapi berpisah dengan Dewi Larasati.
Tapi titah raja tidak bisa diganggu gugat, kami harus hengkang secepatnya dari tanah Sunda. Dan itu tidak ada pilihan lain.
*****
Dan hari ini hari ke-3 setelah titah raja itu diucapkan, setelah semua keperluanku disiapkan baik kuda, bekal dan hadiah, kami harus segera bergegas meninggalkan istana serta segera angkat kaki dari tanah Sunda.
Namun saat aku harus meninggalkan gapura istana, tiba-tiba ada yang memanggilku.
"Akang Sena...!!!" ternyata Dewi Larasati memanggilku sembari berlari ke arahku.
Dan aku pun telah mendapatkan informasi bahwa Dewi Larasati adalah anak dari prabu Bunisora dari istri selirnya. Walaupun Larasati anak dari selir namun tetap saja mengharapkannya adalah suatu yang mustahil, apalagi aku orang biasa yang darahku masih berwarna merah, bukan darah biru keturunan raja-raja.
Ditambah adanya larangan bahwa orang Sunda tidak diperbolehkan menikah dengan orang Majapahit, hal itulah yang membuat aku berfikir seribu kali untuk mencintai Dewi Larasati.
"Tunggu akang..." Dewi Larasati terus berlari mendekat ke arahku.
Aku pun meloncat turun dari kuda menghampiri Dewi Larasati untuk terakhir kalinya.
"Laras, jaga dirimu, baik-baik di istana...
Aku yakin keberuntungan akan selalu berpihak padamu...
Ikhlaskan aku pergi, inilah yang terbaik untuk kita..." ucapku sembari mengusap pipi Larasati yang berdiri tepat di hadapanku, lalu aku mencium keningnya sebagai tanda perpisahan.
"Aku ingin ikut bersamamu akang..." pinta Larasati yang tidak rela melepas kepergianku.
"Itu tidak mungkin Laras, kita tidak mungkin bersama...
Darah yang ada di tubuhmu berwarna biru Laras, semantara darah yang mengalir di tubuhku ini darah yang berwarna merah, aku tidak layak untukmu Laras..." ucapku menjelaskan. Lalu aku memeluk tubuhnya erat.
"Sena..." Wingsang memberi kode saatnya kami harus pergi.
Akupun melepaskan pelukannya, lalu naik ke atas pelana kuda. Dan kami bersiap meneruskan perjalanan ini.
Aku melihat air mata Laras berlinang membasahi pipinya, seakan tak kuasa melepas kepergianku untuk kembali ke tanah leluhurku, Majapahit.
Namun, lagi-lagi perjalanan ini harus terus berjalan.
*****
Kuda yang aku tunggangi berlari semakin kencang, gapura istana makin jauh tak terlihat, namun bayangan wajah Larasati terus tergambar jelas di ingatanku, mencumbui rindu-rindu yang memainkan perasanku.
Ternyata cinta telah menguasai jiwaku.
Hari terus berganti, waktu terus berjalan, dan perjalanan ke arah timur harus tetap dilakukan.
Sesampainya di Caruban (Cirebon) dan hendak menyeberangi sungai besar batas wilayah Sunda Galuh, kegundahan hatiku makin meraja, aku seakan merasa tidak bisa hidup tanpa Larasati, aku benar-benar sedang dimabuk kepayang, bahkan untuk melangkah meninggalkan tanah Sunda pun aku tak bisa.
"Tunggu dulu Wingsang...!!!" ucapku pada Wingsang saat menaiki perahu yang hendak menyeberangkan kami ke sisi timur.
"Kenapa Sena, apa yang terjadi...???" tanya Wingsang heran.
"Aku tak sanggup meneruskan perjalanan ini Wingsang, aku ingin tinggal dan menetap disini, aku tidak bisa berpisah dengan Larasati..." ucapku pada Wingsang, curhat atas apa yang terjadi pada perasaanku.
"Itu tidak mungkin Sena...!!!
Prabu Bunisora akan marah besar jika tau anaknya menjalin kasih dengan orang sepertimu...
Ingat, kita sudah mendapatkan kebaikan dari beliau, kita dibebaskan dan diberi bekal seperti ini, sudah seharusnya berterimakasih, bukan malah melawan titahnya, apalagi menjalin hubungan dengan anaknya, itu sangat berbahaya Sena...!!!" Ucap Wingsang menjelaskan dengan nada tinggi.
"Kamu tidak akan mengerti perasaanku Wingsang...
Baik, pergilah kau sendiri ke Majapahit, biarkan aku tinggal disini menghadapi nara bahaya itu...
Aku sudah siap apapun resikonya, aku akan perjuangan cintaku ini..." jawabku menantang. Sementara Wingsang terperanjat heran mendengar kata-kataku.
Sesaat semua terdiam, membisu tak tau harus berkata apa-apa lagi. Bahkan aku melihat wajah Wingsang dipenuhi rasa kebimbangan.
"Pergilah sobat, Tugas kita sudah selesai...
Kini memang saatnya kita harus berpisah, aku sangat bangga telah mengenalmu...
Sampaikan salamku pada guru Mpu Sasora, katakan aku sangat merindukannya..." ucapku pertanda perpisahan.
Wingsang yang sedari tadi terdiam diatas perahu bersama kudanya, akhirnya memberi kode pada pemilik perahu untuk menjalankan perahunya menyeberangi sungai, tangannya melambai-lambaikan padaku seraya air matanya membasahi pipi.
"Wingsang, kau pendekar sejati, kau orang paling tangguh yang pernah aku kenal, air matamu terlalu berharga untuk ini...
Jangan cengeng Wingsang, kau harus tegar, baik-baik disana sobat..." ucapku berteriak sembari memandang perahu yang mengantar Wingsang semakin menjauh.
*****
Lagi-lagi aku harus melanjutkan petualanganku, kali ini bukan petualangan menjelajah daerah-daerah baru yang belum pernah aku jelajahi, namun petualangan menjelajahi hati seorang putri Raja, Dewi Larasati.
Walaupun penuh nara bahaya, sebagai petualang sejati aku harus bisa menghadapinya sendiri.
"Sekali lagi, perjalanan ini akan terus berjalan..."
============ BERSAMBUNG ============
Untuk kisah selanjutnya KLIK DISINI
Episode (7/10)
Sejarah kota Semarang dan Pekalongan.
Untuk awal cerita silahkan KLIK DISINI
Hari terus berganti, minggu terus berlalu dan bulan terus berjalan. Lelah dan jenuh yang terus menerpa namun semangat terus menyelimuti jiwaku untuk terus meneruskan perjalanan besar ini.
Dari Demak perjalanan terus menuju barat melewati jalan rawa, bukit, gunung, lembahan dan tepi-tepi pantai hingga kami sampai di daerah pelabuhan yang bernama Pragota (Semarang), kota paling barat dari kekuasaan Majapahit.
Perjalanan terus berlanjut hingga kami sampai di tepi sungai Kaliwungu.
"Hendak kemana nak...???" tanya kakek tua yang kepalanya menggenakan topi capeng yang terbuat anyaman bambu.
"Aku hendak menyeberangi sungai ini kek...??? Aku ingin meneruskan perjalanan ke arah barat sana Kek..." jawab wingsang dengan nada pelan.
"Sebaiknya urungkan saja niat kalian nak, terlalu berbahaya...!!!" jawab kakek itu dengan nada misterius.
"Kalo boleh tau, ada apa di daerah sana kek...???" Tanyaku penasaran.
"Menyeberangi sungai ini artinya keluar dari daerah cakupan Majapahit, disana masuk hutan larangan, Alas Roban dan hutan belantara lainnya...
Disana termasuk tanah yang tak bertuan, jarang dihuni orang, jarang ada perkampungan penduduk, jalan menuju ke sana juga sangat rusak dan berbahaya, disana banyak hewan buas, perampok dan disanalah tempatnya para penjahat yang bersembunyi..." jelas kakek itu seakan melarang kami untuk menembus daerah seberang sana.
"Nampaknya seram sekali kek...???" tanyaku agak merinding.
"Yaa, karena daerah sana terlalu jauh dari jangkauan kerajaan Majapahit, juga terlalu jauh dari jangkauan kerajaan pasundan. Sehingga daerah itu terbelengkalai dan tak bertuan...
Selepas menyeberangi sungai ini kalian tidak akan menemukan kota lagi sampai kalian menemui sungai besar di daerah Cirebon nan jauh disana...
Sebaiknya urungkan niat kalian, karena hanya rombongan kerajaan atau rombongan saudagar yang berani melewati jalur itu, karena mereka mempunyai pengawalanan ketat banyak prajurit...
Kalau kalian mau, tunggulah sampai ada rombongan yang lewat biar bisa barengan karena itu lebih aman..." ucap kakek itu dengan nada khas orang tua yang memberi petuah.
"Aaahh aku tidak peduli kek, ini perjalanan penting yang gak bisa ditunda-tunda lagi...
Aku sudah terbiasa menghadapi bahaya..." ucap Wingsang dengan penuh keberanian.
"Iya kek, ini perjalanan yang gak mungkin kami tunda, apapun resikonya, akan kami hadapi kek..." jawabku mengiyakan ucapan Wingsang.
"Baiklah kalau begitu, jika niat kalian sudah bulat, berangkatlah segera, kakek akan selalu berdo'a untuk keselamatan kalian...
Mari aku antar menyeberangi sungai ini dengan perahu kakek ini..." ucap kakek itu sembari membantu kami menyeberangi sungai Kaliwungu.
"Terimakasih banyak kek..." ucapku sambil naik keatas perahu milik kakek itu.
"Maaf kek, kalau boleh tau kenapa pelabuhan disini sepi dari kapal-kapal besar...???
Padahal jika diperhatikan sepertinya daerah itu bekas pelabuhan besar...???" tanyaku pada kakek sembari mendayung perahu.
"Dahulu kala saat kerajaan Mataram kuno masih berjaya, daerah Pragota ini adalah pintu gerbang pelabuhan utamanya, dari sinilah pintu perdagangan itu dibuka...
Namun setelah Mataram Kuno mengalami kehancuran dan kerajaan-kerajaan berikutnya seperti Kediri, Singosari dan yang sekarang masih berjaya yaitu Majapahit, yang kesemuanya pusat kotanya berada di Jawa bagian timur sana, sehingga daerah ini terbelangkalai, karena ini merupakan daerah paling barat dari Majapahit..." kakek pemilik perahu mencoba menjelaskan sejarah daerahnya.
"Ooo, pantas saja aku masih merasakan bekas-bekas era kejayaannya..." sahutku sembari memanggutkan kepala.
"Tapi percayalah, kelak daerah ini akan kembali menjadi kota yang sangat ramai yang kelak akan diberi nama Semarang..." kakek itu mencoba meramal. Sepertinya beliau tau tentang kota Semarang dan seakan berasal dari dimensi masa depan.
"Tapi bagaimana asal-usul nama Semarang itu kek...???" tanyaku lagi makin penasaran.
"Kelak suatu hari (abad 15 M), ada seorang pangeran dari Demak yang menyebarkan Islam ke daerah Pragota, bernama pangeran Made Pandan. Dari waktu ke waktu daerah tersebut makin subur dengan banyaknya pepohonan dan rerumputan yang tumbuh lebat, dari sela-sela kesuburan tanaman itu munculah pohon asam arang (jarang) karena pohon asam itu tumbuhnya jarang-jarang tidak sesubur pohon lainnya, sehingga kemudian disebut Semarang...
Yang kemudian hari pangeran Made Pandan diberi gelar Ki Agung Pandan Arang sebagai pendiri kota Semarang..."kakek itu mencoba menjelaskan asal usul kota Semarang.
Tak terasa kami sampai diseberang sungai sebelah barat, benar saja disini jalan setapak pun sudah tidak terlihat karena tertutup semak dan lebatnya hutan, ini menandalan jalan ini memang jarang dilewati.
Hutan belantara yang didominasi pohon jati yang sangat luas mengiringi perjalanan kami. Mungkin inilah yang disebut alas roban. Hutan dengan pohon jati yang hanya bisa tumbuh di tanah Jawa yang terkenal akan kayunya yang sangat kuat dan keras.
Saat kuda kami berjalan menyusuri jalan menembus lebatnya hutan, tiba-tiba ada beberapa orang menghadang perjalanan kami.
"Berhenti...!!!!!" ucap salah seorang dihadapan kami dengan memakai pakaian serba hitam.
Seketika suasana sangat tegang, suasana hutan yang gelap makin menambah aroma ketegangan di denyut nadi kami. Apalagi mereka sudah siap melepas pedang dari sarungnya.
Nampak watak Wingsang berubah lebih beringas dan tangannya menggenggam pedang di pinggangnya untuk segera dicabut.
"Tunggu Wingsang..." bisikku lirih sambil memberi kode untuk bersabar.
"Heeyy kalian, serahkan harta benda kalian, jika kalian ingin selamat...!!!" gertak para perampok yang jumlahnya sekitar 6 orang.
"Silahkan ambil kalau bisa...!!!" gertak Wingsang dengan nada berani.
Wingsang yang seorang prajurit dan juga murid andalan mpu Sasora memang tidak pernah gentar menghadapi nara bahaya. Sudah menjadi bagian hidupnya menghadapi masalah yang mengancam nyawanya.
Tiba-tiba keos tidak dapat dihindarkan.
"Hiaaattt....!!!!" Wingsang langsung loncat seakan terbang membumbung tinggi. Sambil mencabut pedangnya lalu menghujamkan pada mereka.
Peperangan sengit terjadi begitu serunya, detak jantungku berdebar begitu kencang saat melihat Wingsang bertarung melawan enam orang dengan ilmu kanoragannya yang begitu tinggi membuat enam perampok itu kewalahan.
Aku masih tetap duduk diatas kuda, ingin membantu Wingsang tapi dengan cara apa aku menolongnya. Aku hanya bisa gugup tak tau harus berbuat apa.
Melihat ada kesempat aku langsung meloncat sembari menghujamkan pedangku ke punggung salah satu dari mereka.
"Hiaaattt....!!!!" teriakku sambil menghujamkan keris. Seketika musuh terkapar jatuh ke tanah dengan bersimbah darah.
Melihat musuhnya berkurang Wingsang makin semangat melakukan perlawanan, hingga satu demi satu mereka tersungkur kalah.
Dan hanya tersisa tiga dari mereka yang akhirnya lari kocar-kacir meninggalkan kawan-kawannya yang sudah tersungkur tak berdaya.
Pertarungan sengit pun berakhir dan kami kembali meneruskan perjalanan ini.
****
Sembari berjalan hatiku berkata-kata:
Benar kata kakek tadi, sepanjang perjalanan aku tidak pernah menemui perkampungan bahkan seorang yang lewat pun tak ada.
Mungkin inilah mitos keangkeran Alas Roban, bahkan jalan disini sudah hampir tertutup semak belukar karena saking jarangnya dilewati orang.
Berarti kota kendal, Weleri, Batang dan seterusnya sampai di kota Cirebon, pada jaman ini memang masih berbentuk hutan belukar. Karena letaknya memang jauh dari kota kerajaan Majapahit maupun kerajaan Sunda Galuh.
Kalaupun ada perkampungan, itu pasti sekelompok orang yang hidup tidak menetap dan berpindah-pindan dengan mengandalkan berburu sebagai sumber makanannya. Karena sepanjang perjalanan kami tak pernah menemukan bekas-bekas ladang pertanian.
Hingga sampailah kami di sebuah Pantai dengan tebing yang khas yang sudah tak asing lagi bagiku.
"Sepertinya aku kenal pantai ini...???" ucapku lirih sembari mengamati tebing pantai yang menjorok ke laut.
"Maksudmu apa Sena...???" tanya Wingsang penasaran.
"Yaa, tak salah lagii, ini pantai Ujung Negoro, Batang..." jawabku antusias dengan menganggut-anggutkan kepala.
"Berarti tak lama lagi kita akan sampai di kota kelahiranku sobat...
Sebentar lagi kita akan sampai di Pekalongan...
Ayoo kita bergegas kesana, aku sudah tidak sabar lagi pulang ke kampung halamanku..." ajakku dengan semangatnya sambil memacu kuda lebih kencang.
"Baik kalau begitu, ayoo...
Hiaaa, hiaaa, hiaaa..." Wingsang juga memacu kudanya lebih kencang.
****
Tapi sayangnya setelah berjalan begitu lamanya aku tak menemukan sedikitpun tanda-tanda sebuah kota keramaian, semua masih berupa hutan belantara.
"Bagaimana ini...???
Seharusnya kita sekarang sudah berada di kota Pekalongan, tapi kenapa yang kita temui hanya hutan seperti ini...???" ucapku aga panik dengan menangak-nengok kearah sekitar.
"Apa yang terjadi ini...
Aku benar-benar ingin pulang, aku sudah lelah... aku sudah jenuh akan semua ini..." aku berteriak sekencang-kencangnya sembari merobohkan lututku ke tanah.
"Sadar Sena, sadarr...!!!!
Bukankah saat ini kita hidup jauh dimasa dimana kamu hidup, kita hidup dijaman kerajaan Majapahit Sena, kita hidup jauh dari peradapan modern, buktinya kota Pekalongan yang sering kau ceritakan yang katanya sangat ramai itu, saat ini masih berbentuk hutan belantara... sadar Sena, jalani hidup kita, jalanai takdir kita saat ini...
Aku yakin apapun yang terjadi nanti itu pasti yang terbaik..." Wingsang mencoba menjelaskan keadaan yang sedang aku alami.
Tiba-tiba terdengan suara yang menggema:
"Benar Sena, aku yang menarikmu masuk ke dimensi ini bukan tanpa alasan, jalani hidupmu Sena, kakek akan selalu menuntunmu..." suara yang menggema yang tak asing lagi bagiku.
Yaa, itu suara kakek mpu Sasora, guruku sendiri, aku yakin beliau selalu menuntunku dalam perjalanan ini.
"Baik, bangkitlah Sena... mari teruskan perjalanan kita ini..." ucap Wingsang sembari mengangkat pundakku.
"Jika ini memang tanah kelahiranku, baik akan aku tancapkan keris pemberian mpu Sasora ini di watu Ireng di sebelah selatan sana, dan kelak jika aku kembali ke dimensi pada jamanku, akan ambil lagi sebagai bukti bahwa semua ini benar-benar terjadi dalam hidupku ini..." ucapku dengan penuh keyakinan.
Akhirnya aku dan sahabatku Wingsang Geni kembali meneruskan perjalanan dan menuju Watu Ireng di kecamatan Lebak Barang.
Namun ditengah-tengah perjalanan kami menemukan suatu perkampungan kecil yang sederhana, kami segera melambatkan langkah kuda kami sambil memastikan ada orang di kampung ini.
"Datanglah kesini hai cucuku..." ucap seorang kakek tua agak kurus dengan berpakaian serba putih yang tiba-tiba menghampiri aku.
Akupun langsung turun dari kuda dan mendekat ke arahnya.
"Kakek ini siapa...???" tanyaku penuh tanda tanya.
"Hahahaa... jangan takut cucuku, akulah nenek moyangmu, darah yang mengalir ditubuhmu adalah bagian dari darahku..." jawab kakek itu sembari membuka kedua tagannya lalu memelukku.
"Aku yakin kau adalah garis keturunan dariku, aroma tubuhmu sama dengan aroma tubuhku...
Aku tahu, kau datang dari masa depan, dan mpu Sasora ingin mempertemukan aku dengan garis keturunanku dari masa depan...
Inilah makna dari perjalananmu ini nak..." jelas kakek penuh kelembutan sembari terus memelukku.
Dan akupun tak mampu menahan tangis, aku memeluknya erat seperti merasakan memeluk kakekku sendiri. Berada disini seperti berada di kampungku sendiri.
Kampung inilah yang akan menjadi cikal bakal dari kota kelahiranmu nak...
Kelak jika Majapahit telah runtuh pusat kerajaan akan bergeser ke Jawa Tengah, mulai dari kerajaan Demak, Pajang, Mataram semua akan berpusat di Jawa Tengah...
Hal itulah yang akan menjadikan daerah-daerah di timur sungai Kaliwungu yang semula sepi menjadi lebih ramai dengan banyaknya pendatang yang bermukim disini.
"Lalu bagaimana dengan sejarah kota Pekalongan kek...???" tanyaku penasaran.
"Walau saat ini masih sepi, kelak akan ada kerajaan Islam yang bernama Mataram yang pusat ibu kotanya tak jauh dari sini (Jogjakarta). Dan otomatis daerah ini lambat laun akan lebih terurus dan lebih ramai.
Kelak negeri kita akan terjajah oleh bangsa asing, dan karena itulah Sultan Agung Mataram memerintahkan ki Bau Rekso untuk melakukan perlawanan ke Batavia melawan VOC. Namun dalam perperangan itu ki Bau Rekso mengalami kekalahan.
Karena malu dan merasa gagal dalam tugas, Ki Bau Rekso memilih enggan kembali ke Mataram. Dan lebih memilih bertapa NGALONG di sekitar daerah sini, untuk menyusun kekuatan kembali guna melawan VOC lagi. dan karena bertapa NGALONG itulah (siang bersembunyi malam menyusun kekuatan) kelak nama daerah ini diberi nama Pekalongan.
Sedangkan munculnya nama Pekalongan menurut versi abad XVII adalah di masa Sultan Agung saat Ki Bau Rekso gugur saat melawan melawan VOC yang ke dua di Batavia pada tanggal 21 September 1628.
Begitulah kurang lebihnya sejarah Pekalongan nak..." ucap kakek menjelaskan panjang lebar.
"Terimakasih kek atas penjelasannya yang sangat berarti ini, yang membuat aku makin bangga Kepada tanah kelahiranku sendiri..." jawabku sembari mencium tangan kakek. Lalu aku bergegas berdiri.
"Mau kemana lagi nak...???" tanya kakek.
"Aku ingin ke Watu Ireng kek, aku ingin menancapkan keris ini disana sebagai bukti jika kelak aku telah kembali ke dimensiku, keris ini akan menjadi bukti dari perjalananku saat ini yang benar-benar nyata..." ucapku menjelaskan.
"Baiklah kalau begitu, hati-hatilah dijalan..." ucap kakek memberi do'a.
Setelah pamit aku kembali meneruskan perjalanan untuk ke Watu Ireng, yaitu suatu bukit batu yang yang berwarna hitam yang terletak di selatan Pekalongan. Setelah sampai langsung aku tancapkan keris pemeberian mpu Sasora ini kedalam retakan batu hingga menancap tak terlihat.
Lalu aku langsung bergegas meneruskan perjalananku kembali, perjalanan panjang menuju kerajaan Sunda Galuh.
Dan lagi-lagi aku dapatkan satu pembelajaran dalam hidupku tentang sejarah kota kelahiranku.
Sekali lagi, perjalanan ini akan terus berjalan...
============ BERSAMBUNG ============
Untuk kisah selanjutnya silahkan KLIK DISINI
Ahmad Pajali Binzah
September 18, 2016
New Google SEO
Bandung, IndonesiaSejarah kota Semarang dan Pekalongan.
Untuk awal cerita silahkan KLIK DISINI
Hari terus berganti, minggu terus berlalu dan bulan terus berjalan. Lelah dan jenuh yang terus menerpa namun semangat terus menyelimuti jiwaku untuk terus meneruskan perjalanan besar ini.
Dari Demak perjalanan terus menuju barat melewati jalan rawa, bukit, gunung, lembahan dan tepi-tepi pantai hingga kami sampai di daerah pelabuhan yang bernama Pragota (Semarang), kota paling barat dari kekuasaan Majapahit.
Perjalanan terus berlanjut hingga kami sampai di tepi sungai Kaliwungu.
"Hendak kemana nak...???" tanya kakek tua yang kepalanya menggenakan topi capeng yang terbuat anyaman bambu.
"Aku hendak menyeberangi sungai ini kek...??? Aku ingin meneruskan perjalanan ke arah barat sana Kek..." jawab wingsang dengan nada pelan.
"Sebaiknya urungkan saja niat kalian nak, terlalu berbahaya...!!!" jawab kakek itu dengan nada misterius.
"Kalo boleh tau, ada apa di daerah sana kek...???" Tanyaku penasaran.
"Menyeberangi sungai ini artinya keluar dari daerah cakupan Majapahit, disana masuk hutan larangan, Alas Roban dan hutan belantara lainnya...
Disana termasuk tanah yang tak bertuan, jarang dihuni orang, jarang ada perkampungan penduduk, jalan menuju ke sana juga sangat rusak dan berbahaya, disana banyak hewan buas, perampok dan disanalah tempatnya para penjahat yang bersembunyi..." jelas kakek itu seakan melarang kami untuk menembus daerah seberang sana.
"Nampaknya seram sekali kek...???" tanyaku agak merinding.
"Yaa, karena daerah sana terlalu jauh dari jangkauan kerajaan Majapahit, juga terlalu jauh dari jangkauan kerajaan pasundan. Sehingga daerah itu terbelengkalai dan tak bertuan...
Selepas menyeberangi sungai ini kalian tidak akan menemukan kota lagi sampai kalian menemui sungai besar di daerah Cirebon nan jauh disana...
Sebaiknya urungkan niat kalian, karena hanya rombongan kerajaan atau rombongan saudagar yang berani melewati jalur itu, karena mereka mempunyai pengawalanan ketat banyak prajurit...
Kalau kalian mau, tunggulah sampai ada rombongan yang lewat biar bisa barengan karena itu lebih aman..." ucap kakek itu dengan nada khas orang tua yang memberi petuah.
"Aaahh aku tidak peduli kek, ini perjalanan penting yang gak bisa ditunda-tunda lagi...
Aku sudah terbiasa menghadapi bahaya..." ucap Wingsang dengan penuh keberanian.
"Iya kek, ini perjalanan yang gak mungkin kami tunda, apapun resikonya, akan kami hadapi kek..." jawabku mengiyakan ucapan Wingsang.
"Baiklah kalau begitu, jika niat kalian sudah bulat, berangkatlah segera, kakek akan selalu berdo'a untuk keselamatan kalian...
Mari aku antar menyeberangi sungai ini dengan perahu kakek ini..." ucap kakek itu sembari membantu kami menyeberangi sungai Kaliwungu.
"Terimakasih banyak kek..." ucapku sambil naik keatas perahu milik kakek itu.
"Maaf kek, kalau boleh tau kenapa pelabuhan disini sepi dari kapal-kapal besar...???
Padahal jika diperhatikan sepertinya daerah itu bekas pelabuhan besar...???" tanyaku pada kakek sembari mendayung perahu.
"Dahulu kala saat kerajaan Mataram kuno masih berjaya, daerah Pragota ini adalah pintu gerbang pelabuhan utamanya, dari sinilah pintu perdagangan itu dibuka...
Namun setelah Mataram Kuno mengalami kehancuran dan kerajaan-kerajaan berikutnya seperti Kediri, Singosari dan yang sekarang masih berjaya yaitu Majapahit, yang kesemuanya pusat kotanya berada di Jawa bagian timur sana, sehingga daerah ini terbelangkalai, karena ini merupakan daerah paling barat dari Majapahit..." kakek pemilik perahu mencoba menjelaskan sejarah daerahnya.
"Ooo, pantas saja aku masih merasakan bekas-bekas era kejayaannya..." sahutku sembari memanggutkan kepala.
"Tapi percayalah, kelak daerah ini akan kembali menjadi kota yang sangat ramai yang kelak akan diberi nama Semarang..." kakek itu mencoba meramal. Sepertinya beliau tau tentang kota Semarang dan seakan berasal dari dimensi masa depan.
"Tapi bagaimana asal-usul nama Semarang itu kek...???" tanyaku lagi makin penasaran.
"Kelak suatu hari (abad 15 M), ada seorang pangeran dari Demak yang menyebarkan Islam ke daerah Pragota, bernama pangeran Made Pandan. Dari waktu ke waktu daerah tersebut makin subur dengan banyaknya pepohonan dan rerumputan yang tumbuh lebat, dari sela-sela kesuburan tanaman itu munculah pohon asam arang (jarang) karena pohon asam itu tumbuhnya jarang-jarang tidak sesubur pohon lainnya, sehingga kemudian disebut Semarang...
Yang kemudian hari pangeran Made Pandan diberi gelar Ki Agung Pandan Arang sebagai pendiri kota Semarang..."kakek itu mencoba menjelaskan asal usul kota Semarang.
Tak terasa kami sampai diseberang sungai sebelah barat, benar saja disini jalan setapak pun sudah tidak terlihat karena tertutup semak dan lebatnya hutan, ini menandalan jalan ini memang jarang dilewati.
Hutan belantara yang didominasi pohon jati yang sangat luas mengiringi perjalanan kami. Mungkin inilah yang disebut alas roban. Hutan dengan pohon jati yang hanya bisa tumbuh di tanah Jawa yang terkenal akan kayunya yang sangat kuat dan keras.
Saat kuda kami berjalan menyusuri jalan menembus lebatnya hutan, tiba-tiba ada beberapa orang menghadang perjalanan kami.
"Berhenti...!!!!!" ucap salah seorang dihadapan kami dengan memakai pakaian serba hitam.
Seketika suasana sangat tegang, suasana hutan yang gelap makin menambah aroma ketegangan di denyut nadi kami. Apalagi mereka sudah siap melepas pedang dari sarungnya.
Nampak watak Wingsang berubah lebih beringas dan tangannya menggenggam pedang di pinggangnya untuk segera dicabut.
"Tunggu Wingsang..." bisikku lirih sambil memberi kode untuk bersabar.
"Heeyy kalian, serahkan harta benda kalian, jika kalian ingin selamat...!!!" gertak para perampok yang jumlahnya sekitar 6 orang.
"Silahkan ambil kalau bisa...!!!" gertak Wingsang dengan nada berani.
Wingsang yang seorang prajurit dan juga murid andalan mpu Sasora memang tidak pernah gentar menghadapi nara bahaya. Sudah menjadi bagian hidupnya menghadapi masalah yang mengancam nyawanya.
Tiba-tiba keos tidak dapat dihindarkan.
"Hiaaattt....!!!!" Wingsang langsung loncat seakan terbang membumbung tinggi. Sambil mencabut pedangnya lalu menghujamkan pada mereka.
Peperangan sengit terjadi begitu serunya, detak jantungku berdebar begitu kencang saat melihat Wingsang bertarung melawan enam orang dengan ilmu kanoragannya yang begitu tinggi membuat enam perampok itu kewalahan.
Aku masih tetap duduk diatas kuda, ingin membantu Wingsang tapi dengan cara apa aku menolongnya. Aku hanya bisa gugup tak tau harus berbuat apa.
Melihat ada kesempat aku langsung meloncat sembari menghujamkan pedangku ke punggung salah satu dari mereka.
"Hiaaattt....!!!!" teriakku sambil menghujamkan keris. Seketika musuh terkapar jatuh ke tanah dengan bersimbah darah.
Melihat musuhnya berkurang Wingsang makin semangat melakukan perlawanan, hingga satu demi satu mereka tersungkur kalah.
Dan hanya tersisa tiga dari mereka yang akhirnya lari kocar-kacir meninggalkan kawan-kawannya yang sudah tersungkur tak berdaya.
Pertarungan sengit pun berakhir dan kami kembali meneruskan perjalanan ini.
****
Sembari berjalan hatiku berkata-kata:
Benar kata kakek tadi, sepanjang perjalanan aku tidak pernah menemui perkampungan bahkan seorang yang lewat pun tak ada.
Mungkin inilah mitos keangkeran Alas Roban, bahkan jalan disini sudah hampir tertutup semak belukar karena saking jarangnya dilewati orang.
Berarti kota kendal, Weleri, Batang dan seterusnya sampai di kota Cirebon, pada jaman ini memang masih berbentuk hutan belukar. Karena letaknya memang jauh dari kota kerajaan Majapahit maupun kerajaan Sunda Galuh.
Kalaupun ada perkampungan, itu pasti sekelompok orang yang hidup tidak menetap dan berpindah-pindan dengan mengandalkan berburu sebagai sumber makanannya. Karena sepanjang perjalanan kami tak pernah menemukan bekas-bekas ladang pertanian.
Hingga sampailah kami di sebuah Pantai dengan tebing yang khas yang sudah tak asing lagi bagiku.
"Sepertinya aku kenal pantai ini...???" ucapku lirih sembari mengamati tebing pantai yang menjorok ke laut.
"Maksudmu apa Sena...???" tanya Wingsang penasaran.
"Yaa, tak salah lagii, ini pantai Ujung Negoro, Batang..." jawabku antusias dengan menganggut-anggutkan kepala.
"Berarti tak lama lagi kita akan sampai di kota kelahiranku sobat...
Sebentar lagi kita akan sampai di Pekalongan...
Ayoo kita bergegas kesana, aku sudah tidak sabar lagi pulang ke kampung halamanku..." ajakku dengan semangatnya sambil memacu kuda lebih kencang.
"Baik kalau begitu, ayoo...
Hiaaa, hiaaa, hiaaa..." Wingsang juga memacu kudanya lebih kencang.
****
Tapi sayangnya setelah berjalan begitu lamanya aku tak menemukan sedikitpun tanda-tanda sebuah kota keramaian, semua masih berupa hutan belantara.
"Bagaimana ini...???
Seharusnya kita sekarang sudah berada di kota Pekalongan, tapi kenapa yang kita temui hanya hutan seperti ini...???" ucapku aga panik dengan menangak-nengok kearah sekitar.
"Apa yang terjadi ini...
Aku benar-benar ingin pulang, aku sudah lelah... aku sudah jenuh akan semua ini..." aku berteriak sekencang-kencangnya sembari merobohkan lututku ke tanah.
"Sadar Sena, sadarr...!!!!
Bukankah saat ini kita hidup jauh dimasa dimana kamu hidup, kita hidup dijaman kerajaan Majapahit Sena, kita hidup jauh dari peradapan modern, buktinya kota Pekalongan yang sering kau ceritakan yang katanya sangat ramai itu, saat ini masih berbentuk hutan belantara... sadar Sena, jalani hidup kita, jalanai takdir kita saat ini...
Aku yakin apapun yang terjadi nanti itu pasti yang terbaik..." Wingsang mencoba menjelaskan keadaan yang sedang aku alami.
Tiba-tiba terdengan suara yang menggema:
"Benar Sena, aku yang menarikmu masuk ke dimensi ini bukan tanpa alasan, jalani hidupmu Sena, kakek akan selalu menuntunmu..." suara yang menggema yang tak asing lagi bagiku.
Yaa, itu suara kakek mpu Sasora, guruku sendiri, aku yakin beliau selalu menuntunku dalam perjalanan ini.
"Baik, bangkitlah Sena... mari teruskan perjalanan kita ini..." ucap Wingsang sembari mengangkat pundakku.
"Jika ini memang tanah kelahiranku, baik akan aku tancapkan keris pemberian mpu Sasora ini di watu Ireng di sebelah selatan sana, dan kelak jika aku kembali ke dimensi pada jamanku, akan ambil lagi sebagai bukti bahwa semua ini benar-benar terjadi dalam hidupku ini..." ucapku dengan penuh keyakinan.
Akhirnya aku dan sahabatku Wingsang Geni kembali meneruskan perjalanan dan menuju Watu Ireng di kecamatan Lebak Barang.
Namun ditengah-tengah perjalanan kami menemukan suatu perkampungan kecil yang sederhana, kami segera melambatkan langkah kuda kami sambil memastikan ada orang di kampung ini.
"Datanglah kesini hai cucuku..." ucap seorang kakek tua agak kurus dengan berpakaian serba putih yang tiba-tiba menghampiri aku.
Akupun langsung turun dari kuda dan mendekat ke arahnya.
"Kakek ini siapa...???" tanyaku penuh tanda tanya.
"Hahahaa... jangan takut cucuku, akulah nenek moyangmu, darah yang mengalir ditubuhmu adalah bagian dari darahku..." jawab kakek itu sembari membuka kedua tagannya lalu memelukku.
"Aku yakin kau adalah garis keturunan dariku, aroma tubuhmu sama dengan aroma tubuhku...
Aku tahu, kau datang dari masa depan, dan mpu Sasora ingin mempertemukan aku dengan garis keturunanku dari masa depan...
Inilah makna dari perjalananmu ini nak..." jelas kakek penuh kelembutan sembari terus memelukku.
Dan akupun tak mampu menahan tangis, aku memeluknya erat seperti merasakan memeluk kakekku sendiri. Berada disini seperti berada di kampungku sendiri.
Kampung inilah yang akan menjadi cikal bakal dari kota kelahiranmu nak...
Kelak jika Majapahit telah runtuh pusat kerajaan akan bergeser ke Jawa Tengah, mulai dari kerajaan Demak, Pajang, Mataram semua akan berpusat di Jawa Tengah...
Hal itulah yang akan menjadikan daerah-daerah di timur sungai Kaliwungu yang semula sepi menjadi lebih ramai dengan banyaknya pendatang yang bermukim disini.
"Lalu bagaimana dengan sejarah kota Pekalongan kek...???" tanyaku penasaran.
"Walau saat ini masih sepi, kelak akan ada kerajaan Islam yang bernama Mataram yang pusat ibu kotanya tak jauh dari sini (Jogjakarta). Dan otomatis daerah ini lambat laun akan lebih terurus dan lebih ramai.
Kelak negeri kita akan terjajah oleh bangsa asing, dan karena itulah Sultan Agung Mataram memerintahkan ki Bau Rekso untuk melakukan perlawanan ke Batavia melawan VOC. Namun dalam perperangan itu ki Bau Rekso mengalami kekalahan.
Karena malu dan merasa gagal dalam tugas, Ki Bau Rekso memilih enggan kembali ke Mataram. Dan lebih memilih bertapa NGALONG di sekitar daerah sini, untuk menyusun kekuatan kembali guna melawan VOC lagi. dan karena bertapa NGALONG itulah (siang bersembunyi malam menyusun kekuatan) kelak nama daerah ini diberi nama Pekalongan.
Sedangkan munculnya nama Pekalongan menurut versi abad XVII adalah di masa Sultan Agung saat Ki Bau Rekso gugur saat melawan melawan VOC yang ke dua di Batavia pada tanggal 21 September 1628.
Begitulah kurang lebihnya sejarah Pekalongan nak..." ucap kakek menjelaskan panjang lebar.
"Terimakasih kek atas penjelasannya yang sangat berarti ini, yang membuat aku makin bangga Kepada tanah kelahiranku sendiri..." jawabku sembari mencium tangan kakek. Lalu aku bergegas berdiri.
"Mau kemana lagi nak...???" tanya kakek.
"Aku ingin ke Watu Ireng kek, aku ingin menancapkan keris ini disana sebagai bukti jika kelak aku telah kembali ke dimensiku, keris ini akan menjadi bukti dari perjalananku saat ini yang benar-benar nyata..." ucapku menjelaskan.
"Baiklah kalau begitu, hati-hatilah dijalan..." ucap kakek memberi do'a.
Setelah pamit aku kembali meneruskan perjalanan untuk ke Watu Ireng, yaitu suatu bukit batu yang yang berwarna hitam yang terletak di selatan Pekalongan. Setelah sampai langsung aku tancapkan keris pemeberian mpu Sasora ini kedalam retakan batu hingga menancap tak terlihat.
Lalu aku langsung bergegas meneruskan perjalananku kembali, perjalanan panjang menuju kerajaan Sunda Galuh.
Dan lagi-lagi aku dapatkan satu pembelajaran dalam hidupku tentang sejarah kota kelahiranku.
Sekali lagi, perjalanan ini akan terus berjalan...
============ BERSAMBUNG ============
Untuk kisah selanjutnya silahkan KLIK DISINI
Episode (6/10)
Sejarah kabupaten Rembang dan Demak
Untuk awal cerita silahkan KLIK DISINI
Perjalanan yang kami lalui sudah semakin jauh, sudah berminggu-minggu lamanya kami menyusuri jalan menuju ke arah dimana matahari tenggelam.
Berbagai halangan dan rintangan yang menghalang telah kami lewati, mulai dari jalan yang terjal, perompak yang mencoba menjegal kami, bahkan penguasa setempat yang arogan dan mencoba menghalangi perjalanan ini, tapi itu semua telah kami lewati dengan gagah berani.
Hutan, sungai, sawah, ladang dan pemukiman penduduk selalu mewarnai perjalanan ini.
Hingga disini di tanah yang jauh dari pusat kota Majapahit, tempat yang teramat asing bagi kami karena kondisi disini tidak seperti pada daerah-daerah sebelumnya.
"Daerah apa ini, kenapa disini banyak ladang tanaman tebu...???" ucap Wingsang dengan nada heran.
"Yaa ini ladang tebu, mungkin ini yang orang sering bilang pohon gula, sepertinya ini daerah penghasil gula yang sering diceritakan kakek Mpu sasora, dimana di daerah barat nan jauh, ada daearah penghasil gula yang akan memasok untuk keperluan masyarakat Majapahit..." jawabku mencoba menjelaskan.
"Yaa, sepertinya benar, karena sepanjang perjalanan tadi aku sering melihat pedati yang mengangkut tebu hasil panenan..." Wingsang mengiyakan.
Saat kami menyusuri jalan di tengah-tengah ladang tebu, aku melihat ada bapak-bapak yang sedang kesulitan memperbaiki gerobak pedatinya yang rusak sendirian.
"Maaf pak, apa ada yang bisa saya bantu...???" tanya Wingsang menawarkan bantuan.
"Roda gerobakku rusak nak, mungkin sudah terlalu tua umur gerobak ini..." jawabnya singkat.
"Baik pak, coba aku perbaiki..." jawab Wingsang sembari turun dari kudanya dan langsung mencoba melihat keadaan roda gerobak itu.
Aku pun dengan sigap juga membantunya.
Dan setelah itu aku dan wingsang mencoba memperbaiki, setelah berapa lama akhirnya roda itu selesai diperbaiki.
"Sepertinya sudah normal kembali ini pak, walaupun sudah tua, tapi aku yakin gerobak ini masih layak pakai hingga beberapa tahun kedepan, hanya sedikit butuh perawatan ekstra..." ucap Wingsang setelah selesai memperbaiki roda gerobak itu.
"Terimakasih nak, atas bantuannya..." jawab bapak tua itu dengan wajah yang kembali bersinar.
"Oiya pak, kalau boleh tau ini daerah apa yaa...???" tanyaku pada bapak pemilik gerobak itu.
"Oohh ini wilayah Rembang nak, daerah penghasil gula terbesar di bumi Jawa..." jawab bapak itu mencoba menjelaskan.
"Benar kata kakek Sasora...." ucap hatiku sambil mengangguk-anggukan kepala.
"Namanya sangat unik, kalo boleh tau bagaimana asal-usul kenapa daerah ini diberi nama Rembang...???" tanya Wingsang penasaran.
"Begini ceritanya nak:
Kira-kira sekitar tahun 1336 Saka, ada orang-orang Campa Banjarmlati yang berjumlah delapan keluarga yang pandai membuat gula tebu ketika di negaranya sana…
Orang-orang tadi pindah untuk membuat gula merah yang tidak dapat dipatahkan itu. Berangkatnya melalui lautan menuju arah barat hingga mendarat di sekitar sungai yang pinggir kiri dan kanannya tumbuh tak teratur pohon bakau. Kepindahannya itu di pimpin oleh kakek Pow Le Din, mereka mengadakan do’a dan semedi, kemudian dimulai menebang pohon bakau tadi yang kemudian di teruskan oleh orang-orang lainnya.
Tanah lapang itu kemudian di buat tegalan dan pekarangan serta perumahan yang selanjutnya menjadi perkampungan, dan kampung itu kemudian dinamakan kampung : Kabongan; mengambil kata dari sebutan pohon bakau, menjadi Ka-bonga-an (Kabongan)
Pada suatu hari saat fajar menyingsing di bulan Waisaka; orang-orang akan mulai ngrembang (mbabat/memangkas) tebu. Sebelum dimulai mbabat diadakanlah upacara suci Sembayang dan semedi di tempat tebu serumpun (dua tebu yang tumbuh bersama) yang akan dipangkas untuk tebu “Penganten”.
Upacara pemangkasan itu dinamakan “ngRembang”, sehingga kota ini diberi nama Rembang hingga saat ini.”
Menurut para sesepuh, upacara ngRembang sakawit ini dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat di nyanyikan Kidung, Minggu Kasadha. Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Sengkala : Sabda Tiga Wedha Isyara.
Dan upacara itu tetap dilakukan hingga kini..." bapak pemilik gerobak itu menjelaskan sejarah kotanya panjang lebar.
"Baik pak, terimakasih banyak atas informasinya..." ucap Wingsang sambil menundukan kepalanya lalu kembali menaiki kudanya.
"Sama-sama nak, aku juga berterimakasih banyak atas bantuan memperbaiki gerobakku ini..." ucap bapak itu sambil melebarkan senyumnya yang menandakan ucapan banyak terimakasih.
Lalu aku dan Wingsanggeni kembali meneruskan perjalanan menyusuri perkampungan kota Rembang yang dikelilingi ladang tebu yang sangat luas.
****
Perjalanan terus berlanjut melewati banyak wilayah yang beraneka ragam budaya dan sejarahnya. Setelah melewati Rembang kami juga melewati Pati, Kudus dan wilayah rawa-rawa.
"Wilayah apa ini...???
Kenapa jarang ada perkampungan disini" Wingsang kembali penasaran dengan apa yang dilewatinya, karena sepanjang perjalanan dipenuhi rawa-rawa.
"Entahlah aku juga kurang tau... yang terlihat disini hanya rawa-rawa tanpa berpenghuni..." aku pun hanya bisa menggerutu sambil tetap menunggang kuda dengan jalan pelan karena jalan banyak lumpur yang membelah rawa.
Hingga akhirnya kami menemukan beberapa rumah yang membentuk perkampungan kecil di tengah hutan.
"Maaf kek kalau boleh tau ini kampung apa kek...???" tanyaku pada seorang kakek yang sedang menanam sayuran di pekarangan rumahnya.
"Ini kampung Galah Wangi nak, tapi kami menyebutnya kampung kecil yang damai..." jawab kakek itu sembari mendekat kearah kami.
"Ayoo lah nak, mampir ke rumah kami, istirahatlah sebentar di kampung kami ini..." kakek itu menawarkan kami untuk singgah.
"Ooohh terimakasih kek, aku sangat senang sekali..." jawabku dengan wajah nyengir, sambil melompat turun dari pelana kuda lalu berjalan memasuki halaman rumah kakek itu.
"Silahkan duduk nak..." ucap kakek itu mempersilahkan kami untuk duduk dibangku bambu di depan rumahnya.
Tak lama kemudian kakek itu meminta istrinya untuk membuatkan kami segelas air wedang hangat rebusan rempah-rempah.
"Silahkan diminum nak..." ucap istri kakek dengan senyumnya yang khas dengan gigi yang mulai menghilang dari baris gusinya.
"Terimakasih banyak nek, maaf sudah merepotkan..." jawabku sembari nyengir.
"Oiyaa kek, kalo boleh tau ini wilayah apa kek...???" tanya Wingsang sambil menyeruput wedang hangatnya.
"Ini masih kekuasaan Majapahit nak, tapi daerah ini jarang dijangkau oleh pemerintah, karena memang disini jauh dari pusat kota Trowulan..." jawab kakek itu tenang dengan wajah yang sudah keriput karena faktor usia.
"Ooo, pantas jalan disini sangat rusak dan jarang dilewati orang..." jawab Wingsnag sembari manggut-manggut.
"Yaa, karena daerah ini dikelilingi rawa-rawa dan kadang banjir dimana-mana...
Tapi menurut terawangan kakek, kelak disini akan menjadi pusat keramaian yang akan menyinari seluruh pelosok tanah Jawa..." jawab kakek itu dengan wajah yang menerawang jauh keatas.
"Maksud kakek...???" tanyaku makin penasaran.
"Yaa, disini kelak akan menjadi pusat pemerintahan kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa... yaitu kerajaan Demak Bintoro. Setelah Majapahit nanti mengalami kemunduran lalu hancur, kerajaan Demak ini yang akan menggantikan kejayaannya,
Nama Demak itu berasal dari kata bahasa Arab yaitu Dhima' yang berarti rawa, karena disini memang daerah rawa-rawa...
Dan raja pertama Demak adalah Raden Patah yang masih keturunan raden Brawijaya, raja terakhir Majapahit...
Jadi bisa dikatakan, daerah ini kelak akan menjadi daerah yang akan menggantikan kejayaan kerajaan Majapahit nak..." jelas kakek itu dengan ramalannya yang sangat akurat.
"Terimakasih atas penjelasannya kek, aku yakin apapun yang akan terjadi nanti itu pasti yang terbaik buat kita semua, khususnya masyarakat Jawa..." jawabku mengiyakan ramalan kakek.
"Baik, kalo begitu kami pamit dulu kek, sudah cukup lama kami disini untuk menumpang istirahat... terimakasih banyak atas semuanya kek..." Winggsang pamit lalu kami kembali meneruskan perjalanan kami.
Dan tentunya setiap langkah dalam perjalanan ini akan berisi pembelajaran baru tentang sejarah dan kehidupan di tanah Jawa.
Perjalanan ini akan terus berjalan.
============ BERSAMBUNG ============
Untuk kisah selanjutnya KLIK DISINI
Ahmad Pajali Binzah
September 17, 2016
New Google SEO
Bandung, IndonesiaSejarah kabupaten Rembang dan Demak
Untuk awal cerita silahkan KLIK DISINI
Perjalanan yang kami lalui sudah semakin jauh, sudah berminggu-minggu lamanya kami menyusuri jalan menuju ke arah dimana matahari tenggelam.
Berbagai halangan dan rintangan yang menghalang telah kami lewati, mulai dari jalan yang terjal, perompak yang mencoba menjegal kami, bahkan penguasa setempat yang arogan dan mencoba menghalangi perjalanan ini, tapi itu semua telah kami lewati dengan gagah berani.
Hutan, sungai, sawah, ladang dan pemukiman penduduk selalu mewarnai perjalanan ini.
Hingga disini di tanah yang jauh dari pusat kota Majapahit, tempat yang teramat asing bagi kami karena kondisi disini tidak seperti pada daerah-daerah sebelumnya.
"Daerah apa ini, kenapa disini banyak ladang tanaman tebu...???" ucap Wingsang dengan nada heran.
"Yaa ini ladang tebu, mungkin ini yang orang sering bilang pohon gula, sepertinya ini daerah penghasil gula yang sering diceritakan kakek Mpu sasora, dimana di daerah barat nan jauh, ada daearah penghasil gula yang akan memasok untuk keperluan masyarakat Majapahit..." jawabku mencoba menjelaskan.
"Yaa, sepertinya benar, karena sepanjang perjalanan tadi aku sering melihat pedati yang mengangkut tebu hasil panenan..." Wingsang mengiyakan.
Saat kami menyusuri jalan di tengah-tengah ladang tebu, aku melihat ada bapak-bapak yang sedang kesulitan memperbaiki gerobak pedatinya yang rusak sendirian.
"Maaf pak, apa ada yang bisa saya bantu...???" tanya Wingsang menawarkan bantuan.
"Roda gerobakku rusak nak, mungkin sudah terlalu tua umur gerobak ini..." jawabnya singkat.
"Baik pak, coba aku perbaiki..." jawab Wingsang sembari turun dari kudanya dan langsung mencoba melihat keadaan roda gerobak itu.
Aku pun dengan sigap juga membantunya.
Dan setelah itu aku dan wingsang mencoba memperbaiki, setelah berapa lama akhirnya roda itu selesai diperbaiki.
"Sepertinya sudah normal kembali ini pak, walaupun sudah tua, tapi aku yakin gerobak ini masih layak pakai hingga beberapa tahun kedepan, hanya sedikit butuh perawatan ekstra..." ucap Wingsang setelah selesai memperbaiki roda gerobak itu.
"Terimakasih nak, atas bantuannya..." jawab bapak tua itu dengan wajah yang kembali bersinar.
"Oiya pak, kalau boleh tau ini daerah apa yaa...???" tanyaku pada bapak pemilik gerobak itu.
"Oohh ini wilayah Rembang nak, daerah penghasil gula terbesar di bumi Jawa..." jawab bapak itu mencoba menjelaskan.
"Benar kata kakek Sasora...." ucap hatiku sambil mengangguk-anggukan kepala.
"Namanya sangat unik, kalo boleh tau bagaimana asal-usul kenapa daerah ini diberi nama Rembang...???" tanya Wingsang penasaran.
"Begini ceritanya nak:
Kira-kira sekitar tahun 1336 Saka, ada orang-orang Campa Banjarmlati yang berjumlah delapan keluarga yang pandai membuat gula tebu ketika di negaranya sana…
Orang-orang tadi pindah untuk membuat gula merah yang tidak dapat dipatahkan itu. Berangkatnya melalui lautan menuju arah barat hingga mendarat di sekitar sungai yang pinggir kiri dan kanannya tumbuh tak teratur pohon bakau. Kepindahannya itu di pimpin oleh kakek Pow Le Din, mereka mengadakan do’a dan semedi, kemudian dimulai menebang pohon bakau tadi yang kemudian di teruskan oleh orang-orang lainnya.
Tanah lapang itu kemudian di buat tegalan dan pekarangan serta perumahan yang selanjutnya menjadi perkampungan, dan kampung itu kemudian dinamakan kampung : Kabongan; mengambil kata dari sebutan pohon bakau, menjadi Ka-bonga-an (Kabongan)
Pada suatu hari saat fajar menyingsing di bulan Waisaka; orang-orang akan mulai ngrembang (mbabat/memangkas) tebu. Sebelum dimulai mbabat diadakanlah upacara suci Sembayang dan semedi di tempat tebu serumpun (dua tebu yang tumbuh bersama) yang akan dipangkas untuk tebu “Penganten”.
Upacara pemangkasan itu dinamakan “ngRembang”, sehingga kota ini diberi nama Rembang hingga saat ini.”
Menurut para sesepuh, upacara ngRembang sakawit ini dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat di nyanyikan Kidung, Minggu Kasadha. Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Sengkala : Sabda Tiga Wedha Isyara.
Dan upacara itu tetap dilakukan hingga kini..." bapak pemilik gerobak itu menjelaskan sejarah kotanya panjang lebar.
"Baik pak, terimakasih banyak atas informasinya..." ucap Wingsang sambil menundukan kepalanya lalu kembali menaiki kudanya.
"Sama-sama nak, aku juga berterimakasih banyak atas bantuan memperbaiki gerobakku ini..." ucap bapak itu sambil melebarkan senyumnya yang menandakan ucapan banyak terimakasih.
Lalu aku dan Wingsanggeni kembali meneruskan perjalanan menyusuri perkampungan kota Rembang yang dikelilingi ladang tebu yang sangat luas.
****
Perjalanan terus berlanjut melewati banyak wilayah yang beraneka ragam budaya dan sejarahnya. Setelah melewati Rembang kami juga melewati Pati, Kudus dan wilayah rawa-rawa.
"Wilayah apa ini...???
Kenapa jarang ada perkampungan disini" Wingsang kembali penasaran dengan apa yang dilewatinya, karena sepanjang perjalanan dipenuhi rawa-rawa.
"Entahlah aku juga kurang tau... yang terlihat disini hanya rawa-rawa tanpa berpenghuni..." aku pun hanya bisa menggerutu sambil tetap menunggang kuda dengan jalan pelan karena jalan banyak lumpur yang membelah rawa.
Hingga akhirnya kami menemukan beberapa rumah yang membentuk perkampungan kecil di tengah hutan.
"Maaf kek kalau boleh tau ini kampung apa kek...???" tanyaku pada seorang kakek yang sedang menanam sayuran di pekarangan rumahnya.
"Ini kampung Galah Wangi nak, tapi kami menyebutnya kampung kecil yang damai..." jawab kakek itu sembari mendekat kearah kami.
"Ayoo lah nak, mampir ke rumah kami, istirahatlah sebentar di kampung kami ini..." kakek itu menawarkan kami untuk singgah.
"Ooohh terimakasih kek, aku sangat senang sekali..." jawabku dengan wajah nyengir, sambil melompat turun dari pelana kuda lalu berjalan memasuki halaman rumah kakek itu.
"Silahkan duduk nak..." ucap kakek itu mempersilahkan kami untuk duduk dibangku bambu di depan rumahnya.
Tak lama kemudian kakek itu meminta istrinya untuk membuatkan kami segelas air wedang hangat rebusan rempah-rempah.
"Silahkan diminum nak..." ucap istri kakek dengan senyumnya yang khas dengan gigi yang mulai menghilang dari baris gusinya.
"Terimakasih banyak nek, maaf sudah merepotkan..." jawabku sembari nyengir.
"Oiyaa kek, kalo boleh tau ini wilayah apa kek...???" tanya Wingsang sambil menyeruput wedang hangatnya.
"Ini masih kekuasaan Majapahit nak, tapi daerah ini jarang dijangkau oleh pemerintah, karena memang disini jauh dari pusat kota Trowulan..." jawab kakek itu tenang dengan wajah yang sudah keriput karena faktor usia.
"Ooo, pantas jalan disini sangat rusak dan jarang dilewati orang..." jawab Wingsnag sembari manggut-manggut.
"Yaa, karena daerah ini dikelilingi rawa-rawa dan kadang banjir dimana-mana...
Tapi menurut terawangan kakek, kelak disini akan menjadi pusat keramaian yang akan menyinari seluruh pelosok tanah Jawa..." jawab kakek itu dengan wajah yang menerawang jauh keatas.
"Maksud kakek...???" tanyaku makin penasaran.
"Yaa, disini kelak akan menjadi pusat pemerintahan kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa... yaitu kerajaan Demak Bintoro. Setelah Majapahit nanti mengalami kemunduran lalu hancur, kerajaan Demak ini yang akan menggantikan kejayaannya,
Nama Demak itu berasal dari kata bahasa Arab yaitu Dhima' yang berarti rawa, karena disini memang daerah rawa-rawa...
Dan raja pertama Demak adalah Raden Patah yang masih keturunan raden Brawijaya, raja terakhir Majapahit...
Jadi bisa dikatakan, daerah ini kelak akan menjadi daerah yang akan menggantikan kejayaan kerajaan Majapahit nak..." jelas kakek itu dengan ramalannya yang sangat akurat.
"Terimakasih atas penjelasannya kek, aku yakin apapun yang akan terjadi nanti itu pasti yang terbaik buat kita semua, khususnya masyarakat Jawa..." jawabku mengiyakan ramalan kakek.
"Baik, kalo begitu kami pamit dulu kek, sudah cukup lama kami disini untuk menumpang istirahat... terimakasih banyak atas semuanya kek..." Winggsang pamit lalu kami kembali meneruskan perjalanan kami.
Dan tentunya setiap langkah dalam perjalanan ini akan berisi pembelajaran baru tentang sejarah dan kehidupan di tanah Jawa.
Perjalanan ini akan terus berjalan.
============ BERSAMBUNG ============
Untuk kisah selanjutnya KLIK DISINI
Episode (5/10)
Sejarah kota Tuban
Untuk awal cerita sikahkan KLIK DISINI
Setelah meninggalkan Surabaya kami melewati perjalanan yang cukup menantang, jalan yang sepi dan hutan yang masih belantara, bahkan beberapa sungai tanpa jembatan yang harus kami seberangi dengan berenang. Namun aku dan Wingsanggeni tak pernah gentar sedikit pun, kami tetap terus memacu kuda dengan semangatnya.
Tak jarang kami juga melewati kebun, sawah, ladang dan perkampungan penduduk yang cukup ramai dan ramah. Bahkan tak jarang juga kami melewati jalan yang cukup lebar dan banyak lalu lalang pedati perniagaan dan juga patroli dari prajurit kerajaan.
Hingga kami bertemu muara sungai yang cukup luas yang tak mungkin kami seberangi dengan tangan kosong. Namun di tengah kebingungan ini aku melihat beberapa perahu jukung yang siap mengantar para warga yang lalu-lalang untuk menyeberangi sungai ini.
Kamipun mendekat ke pemilik jukung itu.
"maaf pak apa bisa saya minta tolong untuk menyeberangkan kami dan kuda-kuda kami ke ujung seberang sungai ini...???" aku mencoba berkomunikasi dengan bapak-bapak tua pemilik perahu jukung.
"Dengan senang hati kisanak, aku akan mengantar kalian sampai di seberang sana. Karena ini memang sudah menjadi tanggung jawabku..." pemik jukung itu menyambut ramah.
"Baik terimakasih pak..." jawab Wingsang sambil menuntun kudanya masuk ke jukuk itu.
"Maaf kalo boleh tau, ini sungai apa yaa pak, kok sungai ini sungguh besar sekali, bahkan lebih besar dari sungai Brantas...???" tanyaku pada bapak pemilik jukung.
"Ini sungai Bengawan Solo nak, sungai ini menang sangat besar dan termasuk sungai yang terpanjang di negeri Majapahit ini, karena itulah kota diseberang sana dijadikan kota kabupaten yang maju oleh kerajaan Majapahit dan disana juga terdapat pelabuhan yang cukup besar, karena sungai ini bisa menghubungkan jalur kapal perniagaan menuju wilayah Jawa bagian selatan..." jelas bapak itu sambil mengayuh dayung Jukungnya.
"Kalo boleh tau kota apa diseberang sana pak...???" tanyaku dengan nada heran dan penasaran.
"Disana adalah kota kadipaten Tuban nak, kota nya Ranggalawe..." jawabnya singkat.
"Oohh iya aku ingat, Ranggalawe adalah salah satu orang yang berjasa besar atas berdirinya Majapahit, beliau anak dari Arya Wiraraja bupati Songmeneb (nama lama Sumenep, Madura)
Beliau diutus ayahnya untuk membantu Raden Wijaya dalam membabat hutan Carik untuk dibangun kerajaan, beliau juga membantu melawan perang Tar-Tar melawan Mongol dan perang melawan kerajaan Kediri, beliau sangat berjasa besar dalam pembentukan awal kerajaan Majapahit ini..." jawab sahabatku Wingsang Geni.
"Yaa, karena itulah Raden Wijawa menghadiahi wilayah Tuban ini, dan menunjuknya sebagai adipati Tuban...
Walau pada akhirnya........." belum selesai bercerita aku memotong pembicaraannya.
"Pada akhirnya apa pak...???" dengan penasaran aku nyelak bertanya pada bapak pemilik Jukung.
"Pada akhirnya Ranggalawe harus mati sebagai pemberontak..." jelas bapak pemilik jukung itu sambil menundukan kepalanya.
"Kok bisa begitu pak...???" tanyaku makin penasaran.
"Begini ceritanya:
Ranggalawe bisa memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik bernama Mahapati. Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi.
Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Raden Wijaya di ibu kota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih.
Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana. Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban .
Mahapati yang licik ganti menghasut Nambi dengan melaporkan bahwa Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe.
Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun terjadi di sana. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang pandai berenang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam.
Melihat keponakannya disiksa sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan. Ia pun membunuh Kebo Anabrang dari belakang. Pembunuhan terhadap rekan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Lembu Sora pada tahun 1300 .
Begitulah cerita singkatnya nak..." bapak pemilik jukung itu mencoba menjelaskan tentang Ranggalawe.
"Ooohh sekarang aku mengerti pak, berarti yang menjadi penghasut dan pengadu domba adalah Mahapati...??? Dia berhasil mengadu domba antara Ranggalawe dan pihak istana..." ucapku menyesalkan apa yang terjadi pada Ranggalawe.
"Yaa begitulah yang terjadi, Ranggalawe yang sangat berjasa besar akhirnya harus mati sebagai pemberontak hanya karena hasutan dan fitnah dari Mahapati..." jawab bapak pemilik jukung dengan wajah murung menerawang ke jaman itu sambil terus mendayung jukungnya.
"Aku juga menyesalkan kejadian itu pak, makasih banyak atas penjelasannya..." jawabku singkat.
"Tapi biarpun bagaimana, kami sebagai masyarakat Tuban tetap menganggap bahwa Ranggalawe sebagai seorang pahlawan dan selalu kami kagumi..." jelas bapak itu lagi menimpali, wajahnya mengisaratkan bahwa beliau sangat menghormati Ranggalawe.
"Iyaa pak, aku juga sangat menghargai beliau, dari kisah tadi aku jadi lebih mengerti tantang sejarah berdirinya Majapahit, khususnya kadipaten Tuban ini..." jawabku menenangkan.
"Baiknya, sekarang kita sudah sampai disisi barat sungai Bengawan Solo ini, silahkan mendarat nak..." bapak itu mempersilahkan kami untuk melangkah ke tepian sungai yang telah dipasang dermaga kecil untuk bersandar jukung penyeberangan.
"Oiya pak, berapa ongkosnya pak...???" tanya Wingsang pada bapak pemilik Jukung.
"Dua kepeng aja nak..." jawab bapak itu.
"Baik ini kek, tak perlu ada kembalian..." jawab Wingsang sambil memberikan beberapa kepeng uang koin.
"Tapi ini terlalu banyak nak..." jawab bapak itu lagi sambil terheran atas uang yang diberikan Wingsang.
"Tidak pak, itu pantas buat bapak yang mengabdi membantu orang untuk menyeberangi sungai yang sangat besar ini..." jawab Wingsang tenang.
"Baiklah kalau begitu, makasih nak atas semua ini..." jawabnya dengan wajah yang berseri.
"Sama-sama pak, bapak juga banyak bercerita pada kami yang sangat berarti bagi kami..." jawab Wingsang sembari menaiki kudanya dan siap kembali melanjutkan perjalanannya.
"Hati-hati dijalan kisanak... semoga perjalanan kalian berkesan dan penuh pengalaman, Tuhan memberkati kalian..." ucap kakek itu sembari melambaikan tangannya.
Aku dan sahabatku Wingsanggeni kembali memacu kudanya untuk memasuki kota Tuban, kota penuh sejarah yang mengiringi berdirinya Majapahit.
Setelah beberapa saat memacu kuda, nampak di hadapan sana kota yang cukup ramai dan cukup padat, makin tak sabar aku mendekatinya.
Setelah mendekat, dan masuk gapuranya ternyata memang tak sia-sia sang Ranggalawe mengorbankan hidupnya untuk membangun kota ini. Kota ini termasuk kota besar dengan pasar dan pelabuhan yang cukup ramai oleh aktivitas perdagangan.
Bahkan pertanian dan irigasinya cukup baik dan tertata. Ini membuktikan kadipaten Tuban memang layak disebut kotanya Ranggalawe sang pemberani dan berwibawa. Karena memang tak mudah membangun sebuah kota tanpa keberanian dan kewibawaan.
"Gimana Sena, apa sebaiknya kita bermalam disini saja, atau terus melanjutkan perjalanan...???" tanya Wingsang sambil duduk di pelana kuda.
"Ada baiknya kita mencari tempet bermalam di sini, karena kita telah menempuh jarak yang lumayan jauh, lagian kuda kita perlu istirahat, jadi gak perlu nunggu malam dulu kita beristirahat...
Kita cari penginapan, lalu kita jalan-jalan mengenal kota kadipaten Tuban ini..." jelasku panjang lebar.
"Baiklah kalau begitu kita kesana saja mencari penginapan yang nyaman..." ajak Wingsang.
Yaa, sore itu kami habiskan menelusuri kota Tuban, dari pelabuhan sampai ke pusat kota, bahkan sampai di daerah selatan yang penuh persawahan dan irigasi yang baik. Ini benar-benar wilayah yang makmur sentosa.
Setelah itu, paginya kami meneruskan perjalanan ke barat. Kembali menyusuri jalan untuk menuju kerajaan Sunda Galuh, entah berapa lama lagi kami menyusuri petualangan ini, padahal baru sepuluh hari kami meninggalkan Trowulan rasanya sudah rindu sekali ingin pulang ke padepokan kakek Sasora, tapi inilah tugas, inilah tanggung jawab mengemban amanat, seberat dan selelah apapun kami harus tunaikan kewajiban ini.
Tak ada kata kembali sebelum amanat disampaikan. Aku yakin aku akan mampu melewati kejenuhan ini. Aku yakin perjalanan ini akan mendewasakan jiwaku, membentuk karakterku dan menambah wawasanku atas kecintaan pada tanah airku.
Yaa, aku akan terus melangkah, aku akan terus bertualang hingga aku benar-benar memahami arti dari perjalananku ini.
Apalagi ada sahabatku Wingsang Geni yang selalu menemani setiap kisah yang aku ukir. Ini adalah perjalanan besar seorang pengembara.
"Hiaa... Hiaa... Hiaaa...!!!!" aku dan Wingsanggeni terus memacu kuda dengan gagahnya.
Karena kami memang tercipta sebagai prajurit yang harus gagah berani.
Menghadapi rintangan yang akan menghadang...
Karena aku yakin, perjalanan ini akan terus berjalan....
========== BERSAMBUNG ============
Untuk kisah selanjutnya KLIK DISINI
Ahmad Pajali Binzah
September 14, 2016
New Google SEO
Bandung, IndonesiaSejarah kota Tuban
Untuk awal cerita sikahkan KLIK DISINI
Setelah meninggalkan Surabaya kami melewati perjalanan yang cukup menantang, jalan yang sepi dan hutan yang masih belantara, bahkan beberapa sungai tanpa jembatan yang harus kami seberangi dengan berenang. Namun aku dan Wingsanggeni tak pernah gentar sedikit pun, kami tetap terus memacu kuda dengan semangatnya.
Tak jarang kami juga melewati kebun, sawah, ladang dan perkampungan penduduk yang cukup ramai dan ramah. Bahkan tak jarang juga kami melewati jalan yang cukup lebar dan banyak lalu lalang pedati perniagaan dan juga patroli dari prajurit kerajaan.
Hingga kami bertemu muara sungai yang cukup luas yang tak mungkin kami seberangi dengan tangan kosong. Namun di tengah kebingungan ini aku melihat beberapa perahu jukung yang siap mengantar para warga yang lalu-lalang untuk menyeberangi sungai ini.
Kamipun mendekat ke pemilik jukung itu.
"maaf pak apa bisa saya minta tolong untuk menyeberangkan kami dan kuda-kuda kami ke ujung seberang sungai ini...???" aku mencoba berkomunikasi dengan bapak-bapak tua pemilik perahu jukung.
"Dengan senang hati kisanak, aku akan mengantar kalian sampai di seberang sana. Karena ini memang sudah menjadi tanggung jawabku..." pemik jukung itu menyambut ramah.
"Baik terimakasih pak..." jawab Wingsang sambil menuntun kudanya masuk ke jukuk itu.
"Maaf kalo boleh tau, ini sungai apa yaa pak, kok sungai ini sungguh besar sekali, bahkan lebih besar dari sungai Brantas...???" tanyaku pada bapak pemilik jukung.
"Ini sungai Bengawan Solo nak, sungai ini menang sangat besar dan termasuk sungai yang terpanjang di negeri Majapahit ini, karena itulah kota diseberang sana dijadikan kota kabupaten yang maju oleh kerajaan Majapahit dan disana juga terdapat pelabuhan yang cukup besar, karena sungai ini bisa menghubungkan jalur kapal perniagaan menuju wilayah Jawa bagian selatan..." jelas bapak itu sambil mengayuh dayung Jukungnya.
"Kalo boleh tau kota apa diseberang sana pak...???" tanyaku dengan nada heran dan penasaran.
"Disana adalah kota kadipaten Tuban nak, kota nya Ranggalawe..." jawabnya singkat.
"Oohh iya aku ingat, Ranggalawe adalah salah satu orang yang berjasa besar atas berdirinya Majapahit, beliau anak dari Arya Wiraraja bupati Songmeneb (nama lama Sumenep, Madura)
Beliau diutus ayahnya untuk membantu Raden Wijaya dalam membabat hutan Carik untuk dibangun kerajaan, beliau juga membantu melawan perang Tar-Tar melawan Mongol dan perang melawan kerajaan Kediri, beliau sangat berjasa besar dalam pembentukan awal kerajaan Majapahit ini..." jawab sahabatku Wingsang Geni.
"Yaa, karena itulah Raden Wijawa menghadiahi wilayah Tuban ini, dan menunjuknya sebagai adipati Tuban...
Walau pada akhirnya........." belum selesai bercerita aku memotong pembicaraannya.
"Pada akhirnya apa pak...???" dengan penasaran aku nyelak bertanya pada bapak pemilik Jukung.
"Pada akhirnya Ranggalawe harus mati sebagai pemberontak..." jelas bapak pemilik jukung itu sambil menundukan kepalanya.
"Kok bisa begitu pak...???" tanyaku makin penasaran.
"Begini ceritanya:
Ranggalawe bisa memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik bernama Mahapati. Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi.
Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Raden Wijaya di ibu kota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih.
Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana. Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban .
Mahapati yang licik ganti menghasut Nambi dengan melaporkan bahwa Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe.
Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun terjadi di sana. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang pandai berenang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam.
Melihat keponakannya disiksa sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan. Ia pun membunuh Kebo Anabrang dari belakang. Pembunuhan terhadap rekan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Lembu Sora pada tahun 1300 .
Begitulah cerita singkatnya nak..." bapak pemilik jukung itu mencoba menjelaskan tentang Ranggalawe.
"Ooohh sekarang aku mengerti pak, berarti yang menjadi penghasut dan pengadu domba adalah Mahapati...??? Dia berhasil mengadu domba antara Ranggalawe dan pihak istana..." ucapku menyesalkan apa yang terjadi pada Ranggalawe.
"Yaa begitulah yang terjadi, Ranggalawe yang sangat berjasa besar akhirnya harus mati sebagai pemberontak hanya karena hasutan dan fitnah dari Mahapati..." jawab bapak pemilik jukung dengan wajah murung menerawang ke jaman itu sambil terus mendayung jukungnya.
"Aku juga menyesalkan kejadian itu pak, makasih banyak atas penjelasannya..." jawabku singkat.
"Tapi biarpun bagaimana, kami sebagai masyarakat Tuban tetap menganggap bahwa Ranggalawe sebagai seorang pahlawan dan selalu kami kagumi..." jelas bapak itu lagi menimpali, wajahnya mengisaratkan bahwa beliau sangat menghormati Ranggalawe.
"Iyaa pak, aku juga sangat menghargai beliau, dari kisah tadi aku jadi lebih mengerti tantang sejarah berdirinya Majapahit, khususnya kadipaten Tuban ini..." jawabku menenangkan.
"Baiknya, sekarang kita sudah sampai disisi barat sungai Bengawan Solo ini, silahkan mendarat nak..." bapak itu mempersilahkan kami untuk melangkah ke tepian sungai yang telah dipasang dermaga kecil untuk bersandar jukung penyeberangan.
"Oiya pak, berapa ongkosnya pak...???" tanya Wingsang pada bapak pemilik Jukung.
"Dua kepeng aja nak..." jawab bapak itu.
"Baik ini kek, tak perlu ada kembalian..." jawab Wingsang sambil memberikan beberapa kepeng uang koin.
"Tapi ini terlalu banyak nak..." jawab bapak itu lagi sambil terheran atas uang yang diberikan Wingsang.
"Tidak pak, itu pantas buat bapak yang mengabdi membantu orang untuk menyeberangi sungai yang sangat besar ini..." jawab Wingsang tenang.
"Baiklah kalau begitu, makasih nak atas semua ini..." jawabnya dengan wajah yang berseri.
"Sama-sama pak, bapak juga banyak bercerita pada kami yang sangat berarti bagi kami..." jawab Wingsang sembari menaiki kudanya dan siap kembali melanjutkan perjalanannya.
"Hati-hati dijalan kisanak... semoga perjalanan kalian berkesan dan penuh pengalaman, Tuhan memberkati kalian..." ucap kakek itu sembari melambaikan tangannya.
Aku dan sahabatku Wingsanggeni kembali memacu kudanya untuk memasuki kota Tuban, kota penuh sejarah yang mengiringi berdirinya Majapahit.
Setelah beberapa saat memacu kuda, nampak di hadapan sana kota yang cukup ramai dan cukup padat, makin tak sabar aku mendekatinya.
Setelah mendekat, dan masuk gapuranya ternyata memang tak sia-sia sang Ranggalawe mengorbankan hidupnya untuk membangun kota ini. Kota ini termasuk kota besar dengan pasar dan pelabuhan yang cukup ramai oleh aktivitas perdagangan.
Bahkan pertanian dan irigasinya cukup baik dan tertata. Ini membuktikan kadipaten Tuban memang layak disebut kotanya Ranggalawe sang pemberani dan berwibawa. Karena memang tak mudah membangun sebuah kota tanpa keberanian dan kewibawaan.
"Gimana Sena, apa sebaiknya kita bermalam disini saja, atau terus melanjutkan perjalanan...???" tanya Wingsang sambil duduk di pelana kuda.
"Ada baiknya kita mencari tempet bermalam di sini, karena kita telah menempuh jarak yang lumayan jauh, lagian kuda kita perlu istirahat, jadi gak perlu nunggu malam dulu kita beristirahat...
Kita cari penginapan, lalu kita jalan-jalan mengenal kota kadipaten Tuban ini..." jelasku panjang lebar.
"Baiklah kalau begitu kita kesana saja mencari penginapan yang nyaman..." ajak Wingsang.
Yaa, sore itu kami habiskan menelusuri kota Tuban, dari pelabuhan sampai ke pusat kota, bahkan sampai di daerah selatan yang penuh persawahan dan irigasi yang baik. Ini benar-benar wilayah yang makmur sentosa.
Setelah itu, paginya kami meneruskan perjalanan ke barat. Kembali menyusuri jalan untuk menuju kerajaan Sunda Galuh, entah berapa lama lagi kami menyusuri petualangan ini, padahal baru sepuluh hari kami meninggalkan Trowulan rasanya sudah rindu sekali ingin pulang ke padepokan kakek Sasora, tapi inilah tugas, inilah tanggung jawab mengemban amanat, seberat dan selelah apapun kami harus tunaikan kewajiban ini.
Tak ada kata kembali sebelum amanat disampaikan. Aku yakin aku akan mampu melewati kejenuhan ini. Aku yakin perjalanan ini akan mendewasakan jiwaku, membentuk karakterku dan menambah wawasanku atas kecintaan pada tanah airku.
Yaa, aku akan terus melangkah, aku akan terus bertualang hingga aku benar-benar memahami arti dari perjalananku ini.
Apalagi ada sahabatku Wingsang Geni yang selalu menemani setiap kisah yang aku ukir. Ini adalah perjalanan besar seorang pengembara.
"Hiaa... Hiaa... Hiaaa...!!!!" aku dan Wingsanggeni terus memacu kuda dengan gagahnya.
Karena kami memang tercipta sebagai prajurit yang harus gagah berani.
Menghadapi rintangan yang akan menghadang...
Karena aku yakin, perjalanan ini akan terus berjalan....
========== BERSAMBUNG ============
Untuk kisah selanjutnya KLIK DISINI
Episode 4 sampai 7 menceritakan tentang sejarah berdirinya kota-kota di Jawa,
Jika ingin melewati sejarah dan kisah perjalanannya silahkan klik langsung ke inti cerita di episode 8 KLIK DISINI
Jika ingin melewati sejarah dan kisah perjalanannya silahkan klik langsung ke inti cerita di episode 8 KLIK DISINI
Episode (3/10)
Tragedi Perang Bubat
(Untuk awal cerita KLIK DISINI)
Setelah pertempuran di kerajaan Banggai dan berhasil menyatukan Banggai dibawah panji Majapahit, akhirnya sebagian prajurit ditarik kembali ke Trowulan dan sebagian lagi masih bertahan untuk membangun kembali kerajaan Banggai yang telah hacur luluh lantak.
Dan aku termasuk prajurit yang ditugaskan kembali ke Trowulan menjaga ibu kota Majapahit.
Sesampainya di Trowulan aku dan rombongan disambut dengan upacara adat yang begitu megah, sebagai sambutan bagi prajurit yang pulang dengan kemenangan perang.
Tari-tarian dan sorak sorai penduduk menggambarkan kegembiraan, tak lupa berbagai sajian makanan menghiasi arak-arakan disepanjang jalan.
Yaa inilah kemenangan terbesar untuk Majapahit, karena setelah ditaklukkannya Banggai secara otomatis seluruh wilayah Nusantara telah disatukan dalam naungan panji Majapahit.
Hanya wilayah kerajaan Sunda galuh yang tidak masuk kekuasaan Majapahit karena memang ada hubungan kekerabatan, karena raja pertama Majapahit raden Wijaya adalah masih keturunan raja Sunda dan pesan dari Tribuanatunggadewi sendiri yang mewanti-wanti pada Gajah Mada agar tidak menyerang kerajaan Sunda Galuh.
Inilah sebab kerajaan Sunda Galuh tidak ditaklukan dalam pewujudan pemersatu wilayah Nusantara dibawah panji Majapahit.
Akhirnya Gajah Mada menemukan ide atau cara lain untuk menyatukan wilayah Sunda menjadi bagian dari Majapahit, yaitu perkawinan politik.
Dan Hayam Wuruk sendiri memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.
Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.
Setelah rombongan pengantin tiba, raja Hayam Wuruk memerintahkan utusan agar rombongan dipersilahkan istirahat di pesanggrahan lapangan Bubat.
Sementara rombongan dari negeri Sunda sedang menurunkan perbekalan dan mempersiapkan upacara pernikahan, tiba-tiba timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.
Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai permaisuri, melainkan sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.
Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu. Belum sempat sang Prabu mengambil keputusan, Gajah Mada mohon undur diri menuju Bubat.
Tak berapa lama nampak Gajah Mada keluar dari istana lantas memanggilku dan pemimpin-pemimpin prajurit lain dan aku pun menghadap,
"Ada apa gerangan tuan memanggil kami..." tanya kami.
"Kalian semua, kumpulkan semua prajurit, kita akan menuju lapangan Bubat...!!!" Perintah Gajah Mada dengan tegasnya.
Tanpa tanya-tanya lagi kami langsung mengikuti perintah sang jendral.
Setelah semua pasukan terkumpul, kami langsung berangkat ke Bubat.
Sampai disana nampak para rombongan orang-orang Sunda sedang sibuk menurunkan dan merapikan barang bawaannya.
"Jaka Sasena...!!!" Panggil Gajah Mada.
"Siap Tuan...!!!" Sahutku.
"Kamu dan semua pasukan siap dibelakangku, tunggu komando dariku...!!!" Perintahnya.
"Baik Tuan...!!!" Sahutku lagi.
Tak berapa lama datang raja Lingga Buana menemui Patih Gajah Mada, "maaf jendral besar yang kami hormati, ada apakah gerangan maksud kedatangan jendral ke camp kami dengan membawa pasukan begitu banyaknya...???" Tanya raja Sunda penuh wibawa dan keanggunan.
"Maksud kami datang kesini hanya untuk mempertegas bahwa pernikahan putri Dyah Pitaloka dengan raja kami Raden Hayam Wuruk tidak perlu acara resmi dan mewah, karena ini hanya simbolis bahwa kerajaan Sunda Galuh mengakui tunduk kepada kami dan putri Dyah Pitaloka sebagai upeti kepada raja kami...!!!" Tegas Gajah Mada lantang tanpa basa-basi.
Seketika raja Linggabuana terkejut, matanya membelalak kaget bukan kepalang. Tak menyangka Mahapatih Gajah Mada yang terkenal sangat ksatria mempunyai kelicikan bak ular kadut. Raja Linggabuana marah,
“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami...???
Kami ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti sama seperti dari Nusantara...
Kami lain, kami orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan...
Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang
Jipang...
Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur...
Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati...
Pasukanmu bubar dan melarikan diri...
Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri...
Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan...
Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup...
Sekarang, besar juga kata-katamu...
Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing...
Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat...
Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk...
Menipu orang berbudi syahdu...
Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!” ucap prabu Linggabuana penuh amarah.
Serta merta memberikan penolakan terhadap Gajah Mada,
“Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri...
Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, kami tiada akan ‘silau'.....!!!!" Lanjut prabu Linggabuana penuh keberanian.
"Kami siap menumpahkan darah demi harga diri kerajaan Sunda, hidup Sunda Galuh... hiduuupp...!!!"
Dengan sorak-sorai rombongan orang-orang Sunda mendukung rajanya.
Aku merinding mendengarnya, kata-kata penuh kiasan namun tajam, yang menggambarkan keberanian rakyat Sunda Galuh dalam membela harga diri negerinya.
Sang Tuan Patih Gajah Mada seketika marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan kata-kata pedas raja Sunda dan rakyatnya.
Tak berpikir panjang patih Gajah Mada, tak bisa menahan amarahnya dan langsung memberi komando,
"Rawe-rawe rantas malang-malang putung....!!!! Seraaang...!!!" Seketika terjadi keos, perang tak terhindarkan.
Aku yang berdiri tepat di belakang patih Gajah Mada dengan jelas menyaksikan tragedi ini, dimana perang tak seimbang, rombongan pengantin dari Sunda yang hanya berjumlah kurang lebih 90 orang harus berhadapan dengan kami pasukan Majapahit dengan ribuan pasukan.
Aku hanya bisa terdiam menyaksikan ini semua, menurutku ini tidak cocok disebut perang, ini lebih tepat disebut pembantaian, dimana semua rombongan Sunda dibantai habis-habisan tanpa tersisa, tak terkecuali maha Prabu Linggabuana sang raja Sunda juga ikut gugur dalam peperangan ini. Tapi dengan perlawanan yang pantang menyerah tak sedikit pasukan Majapahit yang gugur di medan perang.
Tapi dari sini aku melihat bagaimana sikap patriotisme dijunjung tinggi, demi membela tanah airnya, bahkan rela nyawa harus melayang.
Aku hanya berdiri tegak ditengah peperangan, bukan untuk membunuh atau dibunuh, tapi aku ingin menyaksikan detik demi detik pertempuran yang telah tercatat dalam sejarah, dimana darah berhamburan mengucur membasahi bumi pertiwi, suara dentingan pedang nyaring melengking.
***
Setelah perang usai, aku dan pasukan lain ditugaskan menjaga keamanan disekitar lapangan Bubat, dan yang lain mengubur mayat-mayat yang gugur dimedan perang.
Dan tak lama kemudian Gajah Mada maju ketengah-tengah lapangan dan berorasi,
"Dengan berakhirnya perang ini, dan terbunuhnya raja Sunda Galuh, berarti tanah Sunda adalah menjadi bagian dari kerajaan Majapahit, dan akhirnya terpenuhilah sumpahku untuk mempersatukan bumi Nusantara dibawah kibaran panji Majapahit..." teriak Gajah Mada dengan mengangkat kerisnya tinggi-tinggi seakan ingin membelah langit.
Dan disambut riuh semua prajuritnya, "Horeee... hidup Majapahit... hidup Majapahit..." semua sorak sorai penuh kebanggaan.
Tapi dalam hati kecilku berkata,
"ini bukan peperangan ala ksatria,
ini adalah pembantaian dengan strategi penuh kelicikan...
Walau aku terlahir sebagai orang Jawa, tapi aku sama sekali tidak bangga atas kemenangan ini...
Aku lebih menghargai sikap raja Sunda yang rela mati terhormat demi kehormatan kerajaannya...
Jika memang sejarah ini benar adanya, aku sungguh kecewa..." gumamku dalam hati.
Tiba-tiba lamunanku terpecah oleh suara yang memanggilku bak halilintar, "Hei Jaka Sasena...!!! kenapa kau dari tadi hanya diam bak patung batu...??? Apa kau tidak bangga pada kemenangan ini...???" Tegur Gajah Mada tegas tapi seram.
Seketika aku terperanggah kaget bukan kepalang,
"Maaf tuan aku gak tau lagi harus berbuat apa tuan..." jawabku panik.
"Baik, sekarang kau aku tugaskan menjaga para rombongan putri Sunda, jangan sampai mereka melarikan diri, mereka akan aku jadikan tawanan agar kerajaan Sunda Galuh benar-benar tunduk dan takluk mengakui kekalahannya..." ujar Gajah Mada lagi.
Akhirnya aku dan rombongan segera menuju ke sisi timur lapangan Bubat, di pesanggrahan sebelah timur Bubat telah nampak putri-putri dari kerajaan sunda, banyak anggota keluarga kerajaan yang ikut, banyak anak-anak dan orang-orang tua, mereka nampak sedih mendengar semua laki-laki dalam rombongan telah gugur di medan perang.
Mereka duduk bersila dan berbaris rapi di halaman pesanggrahan, semua menggenakan pakaian putih, bersila dengan pisau belati di tangan masing-masing ada yang hanya memegang tusuk konde ada juga yang memegang bambu runcing.
Nampak putri Dyah Pitaloka duduk bersila dibarisan paling depan, tak berapa lama matanya menatap padaku dan dengan anggukan kepalanya yang memberi isyarat memanggilku.
Akupun mendekat padanya dengan penuh keraguan, mungkinkah dia akan membunuhku atau akan menyanderaku,
"Jangan Sena...!!! Lihat tangan mereka, meraka membawa senjata tajam, kau bisa dibunuhnya..." ucap Wingsanggeni mengingatkanku sembari ketakutan.
Tetapi aku tetap mendekat kearah mereka. Aku yakin mereka tidak akan melukaiku.
Setelah aku sampai didepannya, putri Dyah Pitaloka membisikan sesuatu di telingaku,
"aku yakin kau bukan bagian dari mereka, aku yakin kau mampu mengemban tugas ini, tolong sampaikan ini ke negeri Sunda, sampaikan kabar kami yang sesungguhnya pada istana...!!!" Bisik Dyah Pitaloka sembari memberi sepucuk surat agar disampaikan ke istana dan sebuah liontin sebagai tanda bukti bahwa aku utusannya.
Setelah aku mundur beberapa langkah, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, rombongan putri melakukan bela pati (bunuh diri), putri Dyah Pitaloka menusuk jantungnya sendiri menggunakan tusuk kondenya dan diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi.
Angin berhembus dengan semilirnya mengantar jiwa-jiwa suci menuju nirwana, suasana seketika hening, cuaca mendung mendamaikan suasana, bersama darah yang mengalir pelan keluar dari singgasananya, raga-raga yang tak bernyawa terbaring tenang penuh keanggunan, harum wangi semerbak memancar kesegala penjuru mengharumkan namanya ke pelosok negeri.
"Inilah tradisi para leluhur kita dalam menjaga kehormatannya, mempertahankan semboyan hidup mulia atau mati terhormat..." gumamku dalam hati sembari melangkah pelan meninggalkan pesanggrahan.
***
Dalam tragedi ini seluruh rombongan dari negeri Pasundan gugur dalam medan perang dan sejarah akan mencatatnya sebagai Perang Bubat, yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M.
Dan tragedi ini kelak akan merusak hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian hingga era modern, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.
Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.
Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri tiluaran , yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit.
Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya.
Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga sampai zaman modern.
Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung , ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
***
***
Ahmad Pajali Binzah
February 01, 2015
New Google SEO
Bandung, IndonesiaTragedi Perang Bubat
(Untuk awal cerita KLIK DISINI)
Setelah pertempuran di kerajaan Banggai dan berhasil menyatukan Banggai dibawah panji Majapahit, akhirnya sebagian prajurit ditarik kembali ke Trowulan dan sebagian lagi masih bertahan untuk membangun kembali kerajaan Banggai yang telah hacur luluh lantak.
Dan aku termasuk prajurit yang ditugaskan kembali ke Trowulan menjaga ibu kota Majapahit.
Sesampainya di Trowulan aku dan rombongan disambut dengan upacara adat yang begitu megah, sebagai sambutan bagi prajurit yang pulang dengan kemenangan perang.
Tari-tarian dan sorak sorai penduduk menggambarkan kegembiraan, tak lupa berbagai sajian makanan menghiasi arak-arakan disepanjang jalan.
Yaa inilah kemenangan terbesar untuk Majapahit, karena setelah ditaklukkannya Banggai secara otomatis seluruh wilayah Nusantara telah disatukan dalam naungan panji Majapahit.
Hanya wilayah kerajaan Sunda galuh yang tidak masuk kekuasaan Majapahit karena memang ada hubungan kekerabatan, karena raja pertama Majapahit raden Wijaya adalah masih keturunan raja Sunda dan pesan dari Tribuanatunggadewi sendiri yang mewanti-wanti pada Gajah Mada agar tidak menyerang kerajaan Sunda Galuh.
Inilah sebab kerajaan Sunda Galuh tidak ditaklukan dalam pewujudan pemersatu wilayah Nusantara dibawah panji Majapahit.
Akhirnya Gajah Mada menemukan ide atau cara lain untuk menyatukan wilayah Sunda menjadi bagian dari Majapahit, yaitu perkawinan politik.
Dan Hayam Wuruk sendiri memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.
Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.
Setelah rombongan pengantin tiba, raja Hayam Wuruk memerintahkan utusan agar rombongan dipersilahkan istirahat di pesanggrahan lapangan Bubat.
Sementara rombongan dari negeri Sunda sedang menurunkan perbekalan dan mempersiapkan upacara pernikahan, tiba-tiba timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.
Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai permaisuri, melainkan sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.
Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu. Belum sempat sang Prabu mengambil keputusan, Gajah Mada mohon undur diri menuju Bubat.
Tak berapa lama nampak Gajah Mada keluar dari istana lantas memanggilku dan pemimpin-pemimpin prajurit lain dan aku pun menghadap,
"Ada apa gerangan tuan memanggil kami..." tanya kami.
"Kalian semua, kumpulkan semua prajurit, kita akan menuju lapangan Bubat...!!!" Perintah Gajah Mada dengan tegasnya.
Tanpa tanya-tanya lagi kami langsung mengikuti perintah sang jendral.
Setelah semua pasukan terkumpul, kami langsung berangkat ke Bubat.
Sampai disana nampak para rombongan orang-orang Sunda sedang sibuk menurunkan dan merapikan barang bawaannya.
"Jaka Sasena...!!!" Panggil Gajah Mada.
"Siap Tuan...!!!" Sahutku.
"Kamu dan semua pasukan siap dibelakangku, tunggu komando dariku...!!!" Perintahnya.
"Baik Tuan...!!!" Sahutku lagi.
Tak berapa lama datang raja Lingga Buana menemui Patih Gajah Mada, "maaf jendral besar yang kami hormati, ada apakah gerangan maksud kedatangan jendral ke camp kami dengan membawa pasukan begitu banyaknya...???" Tanya raja Sunda penuh wibawa dan keanggunan.
"Maksud kami datang kesini hanya untuk mempertegas bahwa pernikahan putri Dyah Pitaloka dengan raja kami Raden Hayam Wuruk tidak perlu acara resmi dan mewah, karena ini hanya simbolis bahwa kerajaan Sunda Galuh mengakui tunduk kepada kami dan putri Dyah Pitaloka sebagai upeti kepada raja kami...!!!" Tegas Gajah Mada lantang tanpa basa-basi.
Seketika raja Linggabuana terkejut, matanya membelalak kaget bukan kepalang. Tak menyangka Mahapatih Gajah Mada yang terkenal sangat ksatria mempunyai kelicikan bak ular kadut. Raja Linggabuana marah,
“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami...???
Kami ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti sama seperti dari Nusantara...
Kami lain, kami orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan...
Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang
Jipang...
Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur...
Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati...
Pasukanmu bubar dan melarikan diri...
Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri...
Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan...
Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup...
Sekarang, besar juga kata-katamu...
Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing...
Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat...
Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk...
Menipu orang berbudi syahdu...
Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!” ucap prabu Linggabuana penuh amarah.
Serta merta memberikan penolakan terhadap Gajah Mada,
“Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri...
Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, kami tiada akan ‘silau'.....!!!!" Lanjut prabu Linggabuana penuh keberanian.
"Kami siap menumpahkan darah demi harga diri kerajaan Sunda, hidup Sunda Galuh... hiduuupp...!!!"
Dengan sorak-sorai rombongan orang-orang Sunda mendukung rajanya.
Aku merinding mendengarnya, kata-kata penuh kiasan namun tajam, yang menggambarkan keberanian rakyat Sunda Galuh dalam membela harga diri negerinya.
Sang Tuan Patih Gajah Mada seketika marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan kata-kata pedas raja Sunda dan rakyatnya.
Tak berpikir panjang patih Gajah Mada, tak bisa menahan amarahnya dan langsung memberi komando,
"Rawe-rawe rantas malang-malang putung....!!!! Seraaang...!!!" Seketika terjadi keos, perang tak terhindarkan.
Aku yang berdiri tepat di belakang patih Gajah Mada dengan jelas menyaksikan tragedi ini, dimana perang tak seimbang, rombongan pengantin dari Sunda yang hanya berjumlah kurang lebih 90 orang harus berhadapan dengan kami pasukan Majapahit dengan ribuan pasukan.
Aku hanya bisa terdiam menyaksikan ini semua, menurutku ini tidak cocok disebut perang, ini lebih tepat disebut pembantaian, dimana semua rombongan Sunda dibantai habis-habisan tanpa tersisa, tak terkecuali maha Prabu Linggabuana sang raja Sunda juga ikut gugur dalam peperangan ini. Tapi dengan perlawanan yang pantang menyerah tak sedikit pasukan Majapahit yang gugur di medan perang.
Tapi dari sini aku melihat bagaimana sikap patriotisme dijunjung tinggi, demi membela tanah airnya, bahkan rela nyawa harus melayang.
Aku hanya berdiri tegak ditengah peperangan, bukan untuk membunuh atau dibunuh, tapi aku ingin menyaksikan detik demi detik pertempuran yang telah tercatat dalam sejarah, dimana darah berhamburan mengucur membasahi bumi pertiwi, suara dentingan pedang nyaring melengking.
***
Setelah perang usai, aku dan pasukan lain ditugaskan menjaga keamanan disekitar lapangan Bubat, dan yang lain mengubur mayat-mayat yang gugur dimedan perang.
Dan tak lama kemudian Gajah Mada maju ketengah-tengah lapangan dan berorasi,
"Dengan berakhirnya perang ini, dan terbunuhnya raja Sunda Galuh, berarti tanah Sunda adalah menjadi bagian dari kerajaan Majapahit, dan akhirnya terpenuhilah sumpahku untuk mempersatukan bumi Nusantara dibawah kibaran panji Majapahit..." teriak Gajah Mada dengan mengangkat kerisnya tinggi-tinggi seakan ingin membelah langit.
Dan disambut riuh semua prajuritnya, "Horeee... hidup Majapahit... hidup Majapahit..." semua sorak sorai penuh kebanggaan.
Tapi dalam hati kecilku berkata,
"ini bukan peperangan ala ksatria,
ini adalah pembantaian dengan strategi penuh kelicikan...
Walau aku terlahir sebagai orang Jawa, tapi aku sama sekali tidak bangga atas kemenangan ini...
Aku lebih menghargai sikap raja Sunda yang rela mati terhormat demi kehormatan kerajaannya...
Jika memang sejarah ini benar adanya, aku sungguh kecewa..." gumamku dalam hati.
Tiba-tiba lamunanku terpecah oleh suara yang memanggilku bak halilintar, "Hei Jaka Sasena...!!! kenapa kau dari tadi hanya diam bak patung batu...??? Apa kau tidak bangga pada kemenangan ini...???" Tegur Gajah Mada tegas tapi seram.
Seketika aku terperanggah kaget bukan kepalang,
"Maaf tuan aku gak tau lagi harus berbuat apa tuan..." jawabku panik.
"Baik, sekarang kau aku tugaskan menjaga para rombongan putri Sunda, jangan sampai mereka melarikan diri, mereka akan aku jadikan tawanan agar kerajaan Sunda Galuh benar-benar tunduk dan takluk mengakui kekalahannya..." ujar Gajah Mada lagi.
Akhirnya aku dan rombongan segera menuju ke sisi timur lapangan Bubat, di pesanggrahan sebelah timur Bubat telah nampak putri-putri dari kerajaan sunda, banyak anggota keluarga kerajaan yang ikut, banyak anak-anak dan orang-orang tua, mereka nampak sedih mendengar semua laki-laki dalam rombongan telah gugur di medan perang.
Mereka duduk bersila dan berbaris rapi di halaman pesanggrahan, semua menggenakan pakaian putih, bersila dengan pisau belati di tangan masing-masing ada yang hanya memegang tusuk konde ada juga yang memegang bambu runcing.
Nampak putri Dyah Pitaloka duduk bersila dibarisan paling depan, tak berapa lama matanya menatap padaku dan dengan anggukan kepalanya yang memberi isyarat memanggilku.
Akupun mendekat padanya dengan penuh keraguan, mungkinkah dia akan membunuhku atau akan menyanderaku,
"Jangan Sena...!!! Lihat tangan mereka, meraka membawa senjata tajam, kau bisa dibunuhnya..." ucap Wingsanggeni mengingatkanku sembari ketakutan.
Tetapi aku tetap mendekat kearah mereka. Aku yakin mereka tidak akan melukaiku.
Setelah aku sampai didepannya, putri Dyah Pitaloka membisikan sesuatu di telingaku,
"aku yakin kau bukan bagian dari mereka, aku yakin kau mampu mengemban tugas ini, tolong sampaikan ini ke negeri Sunda, sampaikan kabar kami yang sesungguhnya pada istana...!!!" Bisik Dyah Pitaloka sembari memberi sepucuk surat agar disampaikan ke istana dan sebuah liontin sebagai tanda bukti bahwa aku utusannya.
Setelah aku mundur beberapa langkah, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, rombongan putri melakukan bela pati (bunuh diri), putri Dyah Pitaloka menusuk jantungnya sendiri menggunakan tusuk kondenya dan diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi.
Angin berhembus dengan semilirnya mengantar jiwa-jiwa suci menuju nirwana, suasana seketika hening, cuaca mendung mendamaikan suasana, bersama darah yang mengalir pelan keluar dari singgasananya, raga-raga yang tak bernyawa terbaring tenang penuh keanggunan, harum wangi semerbak memancar kesegala penjuru mengharumkan namanya ke pelosok negeri.
"Inilah tradisi para leluhur kita dalam menjaga kehormatannya, mempertahankan semboyan hidup mulia atau mati terhormat..." gumamku dalam hati sembari melangkah pelan meninggalkan pesanggrahan.
***
Dalam tragedi ini seluruh rombongan dari negeri Pasundan gugur dalam medan perang dan sejarah akan mencatatnya sebagai Perang Bubat, yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M.
Dan tragedi ini kelak akan merusak hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian hingga era modern, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.
Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.
Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri tiluaran , yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit.
Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya.
Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga sampai zaman modern.
Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung , ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
***
Sejak kejadian itu, beberapa hari ini kota Majapahit tak seperti biasanya, istana nampak sepi, tidak ada aktifitas kenegaraan, bahkan para prajurit sebagian diperbolehkan kembali kerumah masing-masing untuk istirahat, hiruk-pikuk pasar juga tak seramai biasanya, bahkan kalangan keluarga istana seakan menutup diri.
Aku dan Wingsanggeni serta beberapa prajurit yang berasal dari padepokan Mpu Sasora memilih pulang untuk beberapa hari.
Setelah kami sampai di padepokan Mpu Sasora dan menceritakan kejadian dihari kemaren, Mpu Sasora nampak bingung dan tak menyangka sama sekali,
"Hmmm... jadi begitu kejadiannya...???" Jawab Mpu Sasora menanggapi laporan kami.
"Aku tak menyangka Gajah Mada yang begitu ksatria bertindak ceroboh seperti itu dan sangat tidak terpuji..." lanjutnya lagi.
"Iyaa guru, bahkan kabarnya prabu Hayam Wuruk saat ini dirundung kesedihan yang mendalam atas gugurnya calon permaisurinya beserta rombongan keluarga dari pasundan... Dan saat ini beliau hanya mengurung diri di istana dan kabarnya hubungan prabu Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada saat ini sedang merenggang..." Wingsanggeni mencoba menjelaskan keadaan istana.
"Iya guru, istana saat ini seakan tak ada aktifitas kenegaraan, bahkan kami diizinkan pulang untuk sementara waktu..." jawab murid yang lain.
"Baiklah kalau begitu, kalian silahkan istirahat dulu, agar pikiran dan batin kalian tenang..." perintah Mpu Sasora.
"Baik guru..." jawab serentak para murid.
Saat mereka pergi meninggalkan Mpu Sasora, aku tetap diam dan tetap menghadap Mpu Sasora.
"Sasena, kenapa kamu masih disitu... apakah kamu tidak mau istirahat nak...???" Tanya Mpu dengan nada pelan.
"Guru, ada yang ingin aku ceritakan guru..." jawabku dengan nada rendah.
"Ada apa Sena, ceritalah padaku..." bujuk Mpu Sasora.
"Begini guru....." akupun menceritakan panjang lebar tentang kejadian di Bubat, detail demi detail aku ceritakan juga kejadian di pesanggrahan putri, di sebelah timur Bubat dan tentang titipan surat dari kanjeng Dyah Pitaloka untuk istana Kawali di Sunda Galuh.
"Hmmm,,,, jadi begitu ceritanya... aku pribadi turut prihatin dan berduka cita atas kejadian itu, dan turut bangga atas bela pati kaum putri dari pasundan dalam membela kehormatannya..." kata Mpu Sasena penuh kesedihan.
"Jadi apa yang harus aku lakukan dengan surat ini guru...???" Tanyaku penuh kebimbangan.
"Sebaiknya kamu antarkan surat itu ke negeri sunda, laksanakan mandat yang diberikan putri Dyah Pitaloka kepadamu yaitu untuk menceritakan kabar ini kepada istana Kawali di kerajaan Sunda Galuh... Dan kamu sendiri yang harus kesana..." ucap Mpu Sasora memberi penjelasan.
"Baik guru, aku sendiri yang akan kesana, untuk membuktikan aku laki-laki sejati yang selalu menjalankan tugas dengan baik..." jawabku dengan gagah berani.
"Tapi aku tak tau jalan menuju kesana guru..." lanjutku lagi dengan nada nyengir.
"hahahaaa.... jangan kuatir nak, nanti aku beri petunjuk arah kesana... jadi sebaiknya kamu istirahat dulu, besok aku persiapkan semua bekal untukmu..." jelas Mpu Sasora penuh bijaksana.
"Baik guru, aku pamit dulu mau istirahat..." akupun mengundurkan diri menuju gubuk yang biasa kami tinggali bersama-sama murid Mpu Sarora yang lain, dan mungkin ini bisa dibilang asrama padepokan.
***
Pagi ini, udara terasa dingin membuat tidurku makin pulas seakan malas bangun, tapi setelah tengok kanan-kiri sudah tak ada orang, ternyata pagi ini aku bangun paling siang, setelah aku buka pintu ternyata hari sudah terang, matahari telah memancarkan sinarnya walau belum terlalu terik.
Setelah aku melangkah keluar untuk menjemur tubuhku untuk menghangatkan otot-ototku, nampak pemandangan yang sangat indah di sekitar padepokan ini, nampak pepohonan yang tumbuh rimbun, kabut tipis yang selalu hadir setiap pagi, nampak juga sebagian murid-murid Mpu Sasora berlatih beladiri, sebagian lagi nampak sedang memulai aktifitas melebur dan menempa baja, ada juga yang sedang menyapu membersihkan halaman dari dedaunan yang jatuh, sungguh pemandangan yang sering aku lihat sebelum aku menjadi prajurit bayangkara.
"Hmmm,,, sudah lama sekali aku tak merasakan pagi di tempat ini... aku merasa damai ditempat ini..." gumamku dalam hati sambil meregangkan otot-ototku dengan senam sederhana didepan asrama.
Tiba-tiba dari kejauhan ada yang memanggilku.
"Jaka Sasena... kesinilah...!!!" Panggil Mpu Sasora dari kejauhan.
"Baik guru..." akupun berlari mendekat.
Disana telah menunggu Mpu Sasora dan temanku Wingsanggeni sambil merapikan barang-barang dan dua ekor kuda.
"Hee Sena, bangunmu siang sekali kawan...??? Dari tadi guru sudah menunggumu disini...???" Ujar Wingsanggeni.
"Heheheeee... Iyaa nih tidurku pulas banget Wing..." jawabku pada Wingsanggeni.
"Maaf guru, aku kesiangan..." jawabku menghadap Mpu.
"Maaf guru, aku kesiangan..." jawabku menghadap Mpu.
"Gak apa-apa,,, kamu memang kecape'an... Dan ini, perbekalanmu sudah aku siapkan berikut kuda kesayanganku ini untuk menemani perjalananku, aku jamin kuda ini paling cepat larinya dibanding kuda-kuda lain yang ada di tanah Majapahit ini hehee..." jelas Mpu Sasora sambil menepuk-nepuk leher kuda dengan perawakan gagah ini.
"Baiklah, sebaiknya kamu mandi dulu, sesudah itu kamu kesini lagi..." lanjut Mpu lagi.
"Baik guru..." jawabku menuju kamar mandi dengan semangatnya.
***
Setelah selesai semua aku kembali menuju kediaman Mpu Sasora lagi, dan didalam kediamannya Mpu Sasora dan temenku Wingsanggeni telah menungguku.
"Kulonuwun..." ucapku sembari mengetuk pintu.
"Kulonuwun..." ucapku sembari mengetuk pintu.
"Monggoo... silahkan masuk nak..." jawab Mpu halus.
"Ini semua perbekalanmu sudah aku siapkan untukmu, jadi selama diperjalanan kamu jangan kuatir lagi, peta dan segala macamnya sudah aku siapkan...." ucap Mpu Sasora.
"Terimakasih guru..." jawabku sambil menganggukkan kepala.
"Dan ini temanmu Wingsanggeni biar mendampingimu selama perjalanan, aku yakin Wingsanggeni bisa menjagamu, karena ilmu kanuragannya sudah lumayam pandai untuk menghadapi segala sesuatunya nanti..." Mpu sasora memberi wejangan.
"Baik guru Terimakasih..." jawabku lagi.
"Baiklah, mari kita sarapan dulu..." Mpu Sasora mempersilahkan kami untuk dijamu makanan yang spesial.
Setelah selesai sarapan dan mendengarkan wejangan dari Mpu Sasora, akhirnya kamu keluar dengan dua kuda yang sudah menunggu.
Nampak semua murid Mpu Sasora sudah berkumpul mengelilingu kami, setelah pamit pada Mpu dan semua murid yang ada disini, aku dan Wingsanggeni lalu segera naik ke punggung kuda siap melakukan perjalanan.
"Baik Mpu aku pamit... do'akan semoga kami selamat dalam menunaikan tugas ini..." ucapku pada Mpu dan teman-teman semua.
"Tunggu dulu nak, ini untukmu semoga kalian berdua baik-baik saja..." ujar Mpu Sasora sembari memberiku sebilah keris.
Aku yakin keris ini bukan keris sembarangan dari bentuk dan pamornya sangat artistik dan aku yakin keris ini adalah keris kesayangan Mpu Sasora karena aku sering melihat beliau merawat keris ini dengan sangat hati-hati.
Dan apapun itu, semoga keris ini bermanfaat dalam perjalananku ini seperti apa yang diucapkan Mpu Sasora.
Aku yakin keris ini bukan keris sembarangan dari bentuk dan pamornya sangat artistik dan aku yakin keris ini adalah keris kesayangan Mpu Sasora karena aku sering melihat beliau merawat keris ini dengan sangat hati-hati.
Dan apapun itu, semoga keris ini bermanfaat dalam perjalananku ini seperti apa yang diucapkan Mpu Sasora.
"Amin.... makasih guru..." sahutku sembari senyum.
"Hati-hati nak, sampaikan salamku pada orang-orang Sunda Galuh..." ucap Mpu sembari melambaikan tangan.
"Baik guru..." jawabku sembari menunggang kuda meninggalkan padepokan Mpu Sasora.
"Hiaa hiaaa hiaaa..." akupun berteriak memacu kuda semakin cepat.
Saat sampai di gapura kota Trowulan tiba-tiba aku dihadang beberapa penjaga,
"Berhenti...!!!" Teriak seorang penjaga. Dan sontak kami menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada disekitar gapura.
"Berhenti...!!!" Teriak seorang penjaga. Dan sontak kami menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada disekitar gapura.
Akupun menghentikan kudaku, tanpa turun dari pelana kuda, nampak Wingsanggeni agak emosi "Apa-apaan ini berani mengganggu perjalananku...!!!" Ujar Winsanggeni.
"Sabar Wing, mungkin mereka belum kenal siapa kita..." ucapku menenangkan.
Setelah penjaga itu mendekat dan melihat wajah kami ternyata mereka prajurit seperjuanganku.
"Sabar Wing, mungkin mereka belum kenal siapa kita..." ucapku menenangkan.
Setelah penjaga itu mendekat dan melihat wajah kami ternyata mereka prajurit seperjuanganku.
"Oh ternyata kalian, mau kemana kok nampak terburu...???" Ucap penjaga sembari nyengir.
"Kami disuruh Mpu Sasora untuk mencari sesuatu dihutan..." ucapku sambil tetap diatas kuda.
"Maaf Wingsang, Sena sudah mengganggu perjalanannya, kami kira siapa karena semenjak tragedi di Bubat kami disuruh memperketat penjagaan...
Baiklah kalau begitu sekarang silahkan lanjutkan perjalananmu..." penjaga itu mempersilahkan.
Baiklah kalau begitu sekarang silahkan lanjutkan perjalananmu..." penjaga itu mempersilahkan.
"Baik teman, terimakasih..." ucapku sembari melambaikan tangan.
"Hiaa hiaa hiaaa..." kami pun kembali memacu kuda begitu cepatnya meninggalkan kota Trowulan, ibukota Majapahit.
"Hiaa hiaa hiaaa..." kami pun kembali memacu kuda begitu cepatnya meninggalkan kota Trowulan, ibukota Majapahit.
***
"Dari sinilah petualanganku yang sesungguhnya akan segera dimulai, penjelajahan seorang petualang, menjelajahi sejengkal demi sejengkal tanah Jawa dari timur hingga menuju ujung barat, negeri Sunda Galuh...
Dan disetiap jengkalnya akan aku lalui penuh dengan cerita menarik...
Karena aku yakin, perjalanan ini akan terus berjalan..."
Karena aku yakin, perjalanan ini akan terus berjalan..."
============ BERSAMBUNG ============
Untuk kelanjutannya silahkan KLIK DISINI
Episode 4 sampai 7 menceritakan tentang sejarah berdirinya kota-kota di Jawa,
Jika ingin melewati sejarah dan kisah perjalanannya silahkan klik langsung inti cerita di episode 8 KLIK DISINI
Untuk kelanjutannya silahkan KLIK DISINI
Episode 4 sampai 7 menceritakan tentang sejarah berdirinya kota-kota di Jawa,
Jika ingin melewati sejarah dan kisah perjalanannya silahkan klik langsung inti cerita di episode 8 KLIK DISINI