Saat kawah sileri meletus, mungkin semua orang menganggap itu hanya fenomena alam biasa, tapi bagiku itu adalah sinyal yang dialamatkan padaku untuk segera menepati janjiku yang dulu.
Entah kebetulan atau tidak, meletusnya kawah Sileri bertepatan dengan tanggal dimana aku dan pacarku yang dulu saling berikrar janji tepat lima tahun yang lalu. Janji yang aku sendiri tak tau harus bagaimana menepatinya.
*****
Singkat cerita, tepat lima tahun yang lalu saat aku dan kekasihku menikmati liburan di dataran tinggi Dieng, untuk sekedar melepas penat dari rutinitas keseharian.
Yaa, kami memilih Dieng karena tempat ini mempunyai sejuta pesona keindahan, tempat yang cocok untuk belibur bersama orang yang tersayang. Apalagi lokasinya mudah ditempuh dan tidak terlalu jauh.
Aku ingat betul masa itu sungguh sangat menyenangkan, mengendarai sepeda motor dengan semilir angin pegunungan. Di sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang hijau membentang, Keceriaan itu sungguh masih jelas terasa dalam ingatanku.
Apalagi sesampainya di Dataran Tinggi Dieng, seketika aroma wisata sangat terasa, deretan hotel dan homestay berderet siap menyambut para tamu, riuh ramai pasar dan terminal berikut kuliner khas Wonosobo, berjejer pula candi berdiri anggun di komplek candi Arjuna, nuansa terasa lebih sejuk karena dikelilingi rangkaian bukit dan pegunungan.
Nuansa itu sangat indah dirasakan, apalagi bagi kami yang sedang dimabuk kepayang. Susana dingin mampu menghangatkan romantisme cinta, lelahnya perjalanan mampu menambah gairah dalam jiwa. Sungguh suatu kesan yang sangat indah yang mampu terukir dalam memori cinta.
"Lihatlah buih yang mendidih dari kawah Sikidang ini, dia selalu bergelora oleh panas magma dan tak akan pernah dingin untuk selamanya, seperti itulah cintaku yang kan selalu menghangatkan jiwamu..." ucapku merayu saat aku dan dia berada di tepi kawah Sikidang. Lalu dia memelukku erat tanpa berucap apapun, namun aku merasa dalam hatinya menjawab, "aku juga seperti itu adanya"
Lalu perjalanan dilanjutkan ke Telaga Warna, disana terhampar danau luas dengan warna kehijauan, aku menggandengnya berjalan di tepi danau di bawah rindang pepohonan.
Disana ada bangku kayu yang disediakan untuk istirahat sembari menikmati suasana telaga.
"Walau konon telaga ini warnanya selalu berubah-ubah, namun cintaku padamu tak akan pernah berubah...
Walau pun diterpa badai dan cuaca..." aku berucap lirih di dekat telinganya sembari menatap matanya lalu ku sebar pandanganku ke penjuru hamparan luas telaga Warna.
Begitu pula saat kami di puncak Batu Ratapan Angin, kami berdiri bersama, ku kecup keningnya sembari berbisik,
"Suatu saat kita akan kesini lagi, berdiri disini, tepat diatas batu Ratapan Angin ini, tapi saat itu kita tidak hanya berdua saja, melainkan akan ada anak kecil yang akan ikut menikmati indahnya pemandangan disini, seperti yang kita rasakan saat ini..."
Aku melihat wajahnya sangat sempringah mendengar semua ucapanku itu, aku sangat menyayanginya hingga semua harapan dan masa depanku, aku khayalkan hanya bersamanya.
Yaa, saat itu sungguh sangat indah untuk selalu dikenang, kehangatan cintanya mampu mendebarkan dada, setiap tempat yang aku kunjungi begitu sangat berkesan dan menyenangkan.
Bahkan saat perjalanan kembali pulang, suasana ceria pun masih selalu mengiringi. Destinasi terakhirpun kami kunjungi sebelum benar-benar menuju jalan untuk pulang.
Kawah Sileri, adalah tempat terakhir yang kami kunjungi. Memberi kesempurnaan kesan perjalanan wisata ini. Agak jauh dari pusat keramaian Dieng memang, namun aroma eksotisme Dataran Tinggi masih jelas terasa disini.
Hingga di tepi kawah ini aku berucap janji.
"Percayalah sayang,
perjalanan ini sungguh sangat membahagiakan hidupku, karena ada kamu disisihku...
Dan aku berjanji,
kelak lima tahun lagi kita akan kesini, aku akan mengajak buah hati kita ke tempat ini lagi, ingin aku katakan padanya bahwa dulu ayahnya pernah merasakan hal yang terindah dalam hidupnya di tempat ini, yaa di tempat ini..."
Lalu perjalanan pulang pun dimulai. Dengan membawa janji untuk kembali lagi ke tempat ini, tepat lima tahun yang akan datang, mengajak buah hati yang dinantikan.
*****
Satu tahun telah berlalu, kini aku dan kekasihku masih tetap fokus pada janji itu, janji kembali untuk berkunjung ke dataran tinggi Dieng dengan mengajak buah hati.
Yaa kami pun makin serius merencanakan sebuah pernikahan agar segera diberi momongan, hingga lima tahun dari perjalanan itu kami dapat mengajak buah hati kami, untuk menepati janji.
Namun tak disangka, saat detik-detik terakhir menjelang pernikahan tragedi itu pun terjadi. Tragedi yang tak pernah ku pikirkan sebelumnya.
Pantas saja setiap kali aku mengajaknya mengurus segala sesuatu untuk pernikahan, dia selalu malas dan seperti ogah-ogahan. Ternyata semua terbongkar sudah, ada laki-laki lain dalam hatinya. Dan di hari-hari menjelang pernikahan yang direncanakan, dia lebih memilih pergi bersama laki-laki itu.
Hancur sudah perasaan ini, seakan dunia ini runtuh dalam sekejap mata, harapan untuk hidup bersamanya pudarlah sirna, saat aku mendengar ucapan dari bibir manisnya.
"Maafkan aku mas, aku tak bisa melanjutkan hubungan ini...
Karena perasaan di hati ini tak mungkin dibohongi..." ucapnya lirih sembari membalingkan langkahnya untuk pergi.
Pergi meninggalkanku, pergi dari kehidupanku, berjalan ke arah laki-laki berkemeja putih yang sudah menunggunya dengan mobil mewahnya.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, raut wajahnya begitu bahagia saat duduk disamping laki-laki itu, laki-laki yang lebih tampan, laki-laki yang lebih mapan.
Remuk sudah perasaanku ini, tak mampu lagi berucap apapun saat melihatnya pergi, hanya air mata yang mampu mewakili tentang apa yang aku rasa saat ini. Jauh dari rasa sakit itu, ada rasa malu pada keluarga dan tetangga yang juga begitu besar, atas sebuah rencana pernikahan yang tak akan pernah terwujudkan.
"Bagaimana aku menjelaskan pada keluargaku...???" Tanya batinku lirih pada diriku sendiri, dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan lagi.
*****
Tapi apapun yang terjadi, aku harus menghadapi kenyataan ini. Karena tak ada pilihan lain kehidupan harus tetap berjalan, pahit memang tapi inilah yang terjadi.
Hingga akhirnya aku menemukan seseorang yang mampu menggantikan posisinya di hatiku, yang mampu mengukuhkan ketegaran hidupku.
Yaa, tak berselang lama kami melangsungkan pernikahan tanpa harus lama berpacaran. Karena aku yakin jodoh memang sudah tertulis di garis tangan setiap orang.
Seberapa besar kita memperjuangkan sebuah cinta, jika memang dia bukan jodoh kita maka perjuangan itu pasti akan sia-sia.
Dan dengan semua kejadian ini, aku merasa semakin dewasa untuk memahami tentang kehidupan yang sesungguhnya.
*****
Kini lima tahun telah berlalu dari semua kejadian itu, dan tak disengaja pula kami sekeluarga merencanakan berlibur ke Dataran Tinggi Dieng karena memang bertepatan libur panjang. Rencana ini terasa dadakan, tanpa ada perencanaan yang matang. Seakan ada petunjuk untuk mengajaknya kesana.
Dan perjalanan pun dimulai.
Namun sesaat sampai di dataran tinggi Dieng, tiba-tiba tersiar kabar bahwa kawah Sileri meletus tepat saat aku dan keluargaku memasuki kawasan Dataran Tinggi Dieng.
Mendengar kabar itu aku malah membelokkan kendaraan yang sedang aku kemudikan, menuju kawah Sileri. Hingga istri pun bertanya-tanya kenapa aku senekat itu, sementara yang lain mencoba berlari menyelamatkan diri tapi kami malah menuju ke kawah Sileri itu.
Sesampainya disana aku melihat banyak pengunjung berlarian, suasana kepanikan sangat terasa saat asap dari tengah kawah Sileri membumbung tinggi.
Banyak pula petugas sibuk kesana kemari menyelamatkan para pengunjung yang masih tertinggal di radius bahaya.
Dari suasana yang mencekam itu, aku hanya terdiam, berdiri ditengah hiruk-pikuk kepanikan. Tangan kiriku menggenggam tangan istriku, sementara tangan kananku menggenggam tangan anakku.
Kami hanya diam berdiri ditengah-tengah orang yang berlarian, walau sesekali dari mereka ada yang menyenggol tubuh kami karena saking paniknya mereka berlari, tapi kami tetap terdiam, terpaku menatap kawah Sileri itu.
Lalu dengan polosnya buah hatiku bertanya,
"Papah kok gak takut, kok gak ikut lari kaya' orang-orang...???"
Mendengar itu hatiku terperangah lalu aku berusaha menjelaskan padanya,
"Kawah Sileri itu tidak sedang meletus nak, dia hanya menagih janji, janji yang pernah diucapkan oleh ayahmu dulu...
Dan kini, janji itu telah aku tepati dengan mengajakmu kesini...
Walau tanpa seseorang yang seharusnya ada disini..."
=============SEKIAN=============
Cerita ini diilhami oleh tragedi meletusnya kawah Sileri 02 juni 2017
Ditulis oleh: Ahmad Pajali Binzah
Foto by: google
=================================
Baca juga cerpen tentang petualangan:
Di suatu malam tepat di malam bulan purnama, perempuan pedagang tahu itu baru saja membunuh suaminya sendiri, dengan senapan milik suaminya yang terpajang di tembok kamar, dengan wajah yang masih gugup setelah membuang jasad suaminya, ia langsung lari menerobos gelapnya malam dan menyibak semak belukar menuju rumahnya, lalu ditutupnya pintu rumah rapat-rapat.
Dengan nafas yang masih tersengal-sengal dan keringat yang masih terus mengucur, dia berdiri di balik pintu berharap tak ada yang menyaksikan kejadian itu. Ketakutan yang teramat sangat masih menghantui dirinya, membayangkan detik-detik dimana ia melepaskan peluru bertubi-tubi ke tubuh suaminya.
Rengekan minta ampun pun tak dihiraukan lagi, karena kebencian dan luka hati sudah mengendap dalam hati, sadis memang tapi itulah yang terjadi.
Perempuan pedagang tahu itu namanya Minul, sudah hampir 8 bulan ia menikah dengan laki-laki keturunan kompeni. Harapan mengarungi bahtera cinta penuh dengan kebahagiaan harus berakhir dengan cara yang tragis.
Benar kata pepatah, jika orang tua tak merestui maka jalanpun tak semulus yang kita bayangkan.
*****
Walau keluarga dan penduduk kampung tak merestui hubungannya, namun Minul tetap nekat berpacaran dengan laki-laki yang dianggap sebagai penjajah itu. Karena dalam benaknya dia akan hidup enak jika punya suami keturunan belanda. Semua serba kecukupan dan tentunya gengsi akan melonjak tinggi.
Apalagi usia Minul masih tergolong muda pantas saja pemikirannya masih sebatas gengsi dan harta, lagi pula laki-laki kompeni itu juga memang dimabuk kepayang dan bertekuk lutut mengharap cinta dari Minul.
Singkat cerita mereka pun nekat melangsungkan pernikahan, dan lelaki kompeni itu rela pindah keyakinan agar keluarga dan penduduk desa merestui.
Walau pada akhirnya hubungan pernikahan itu harus kandas di tangah jalan, karena sang suami ternyata suka berjudi dan main perempuan.
Padahal sebelumnya ada laki-laki pejuang yang mengingatkan bahwa laki-laki kompeni itu memang suka berjudi dan main perempuan. Karena waktu itu Minul sedang dimabuk kepayang hingga nasehat dari siapapun tak pernah digubrisnya lagi.
Hingga akhirnya kesabaran Minul mencapai batasnya, tak kuat menanggung beban dan derita, Minul pun tega menghabisi nyawa suaminya sendiri.
*****
"Suami saya diculik pejuang..." begitu jawaban Minul saat diinterogasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Agar Minul lepas dari jeratan hukum yang berlaku saat itu, karena memang sudah menjadi hal wajar jika seseorang keturunan belanda tiba-tiba hilang diculik pejuang.
Minul pun menjalani kehidupannya kembali seperti semula walaupun kini ada gelar janda muda yang tersemat pada dirinya.
Mendengar kabar kejandaan Minul menjadikan para pemuda berniat ingin mendekatinya, apalagi Minul juga tergolong perempuan seksi, kulitnya yang putih dan bodinya yang aduhai membuat banyak lelaki yang tergila-gila.
Sempat beberapa kali hati Minul tambatkan hati pada laki-laki, mulai dari pegawai kantoran sampai pedagang makanan. Bahkan Minul sempat punya hubungan dengan laki-laki kompeni lagi, tapi hubungan itu tak berlangsung lama karena ternyata laki-laki kompeni itu sudah beristri.
*****
Hingga akhirnya hati Minul kembali tertambat pada seorang laki-laki, kali ini bukan dari kalangan kompeni atau pejuang melainkan pada laki-laki pribumi yang mempunyai profesi pedagang, dia bernama Sugeng. Yaa, Sugeng berjualan buah dan sayur yang tak jauh dari kios Minul berjualan tahu, mungkin karena itulah keduanya merasa ada kecocokan.
Walau cuma pedagang sayur Sugeng termasuk orang kaya di kampungnya, calon pewaris harta dari sang ibu tercinta, lahannya membentang ditanami cengkeh dan kopi, rumah kontrakan dan losmen milik ibunya bercecer dimana-mana.
"Pantas saja hati Minul tertambat padanya" begitu banyak orang mengira.
Tetapi saat hubungan keduanya sedang mesra-mesranya, lagi-lagi lelaki pejuang itu hadir kembali untuk mengingatkan dan menasehati Minul,
"Dia bukan laki-laki yang cocok untukmu Nul..." begitu ucap lelaki pejuang yang tiba-tiba hadir tanpa ada tanda-tanda sebelumnya.
"Apa maksudmu...???
Kami saling mencintai..." ucap minul dengan nada ketus.
"Dia laki-laki lemah...!!! Dia juga sangat temperamen..." Lelaki pejuang itu berkata tegas namun tak menghadap ke arah Minul. Hanya terlihat sebagian punggungnya yang terkena remang cahaya.
"Kamu jangan mengada-ngada, dia itu orang baik, kami sudah saling cocok..." Minul membela. Namun lelaki pejuang itu tetap tak membalingkan tubuhnya, tetap tak menghadap Minul. Menjadikan sosoknya sangat misterius.
"Bukankah kamu tau bagaimana dia menduda...??? Selama bertahun-tahun dia menelantarkan sang istri, tak pernah memberi kepastian statusnya. Bahkan hingga saat ini yang katanya dia akan menikahimu saja, dia belum resmi bercerai...
Bagaimana dia bisa menyelesaikan masalah-masalahmu kelak, sementara masalahnya sendiri yang begitu penting saja ditunda-tunda dan disepelekan...???" Lelaki pejuang itu berkata lantang, dengan topi tetap menutupi wajahnya.
"Jangan pernah urusi urusanku...!!!" Minul mulai marah dan langsung mengambil senapan yang tergantung di dinding, lalu menodongkan ke arah lelaki pejuang itu.
"Pergi dari sini atau akan aku bunuh kau...!!!" Minul menggertak emosi.
"Aku datang karena kepedulianku dan aku akan pergi demi kebaikanmu...
Tak perlu mengusirku, aku sudah kenyang oleh senjata seperti itu...
Baiklah aku pergi, semoga kehidupanmu selalu dalam kebahagiaan, karena dengan itu aku tak akan mungkin lagi untuk datang..." ucap lelaki pejuang itu tenang, lalu dalam sekejap tiba-tiba menghilang.
Minul bernafas lega, sembari meletakkan senapan yang ada di tangannya. Berharap laki-laki pejuang itu tak pernah datang lagi padanya.
****
Minggu demi minggu berganti bulan, bulan demi bulan berganti tahun, Minul merasa bahagia karena tak pernah diganggu lelaki pejuang lagi, hubungan Minul dan Sugeng juga kian dekat, membuat keduanya semakin lengket.
Namun sekian lama hubungan itu terjalin, hingga kini belum ada tanda-tanda Sugeng akan serius melamarnya.
Hingga di suatu ketika, telah habislah kesabaran Minul.
"Sebenarnya mas Sugeng itu serius gak sama aku...???" Minul menuntut keseriusan Sugeng. Namun ekspresi Sugeng terlihat datar, tetap diam tak bergeming.
"Bukankah hubungan kita sudah lama...??? Kapan kita akan menikah mas...???
Aku malu sama tetangga..." ucap Minul dengan nada kian meninggi.
"Aku belum siap Nul..." jawab Sugeng singkat sembari menundukan kepalanya.
Mendengar itu Minul seketika naik darah, lagi-lagi diambilnya senapan yang terpajang di dinding lalu ditodongkan ke arah Sugeng.
"Aku sudah terbiasa tersakiti, tapi aku juga sudah terbiasa menghabisi nyawa orang yang menyakitiku dengan senapan ini..." Minul mengancam, siap menarik pelatuk senapan itu.
Melihat itu Sugeng seketika terkejut ketakutan.
"Baik, baik, baik Nul aku akan segera melamarmu..." jawab Sugeng panik.
Dan karena tekanan itu akhirnya mereka pun melangsungkan acara pernikahan di kampung, dengan acara sederhana dan pesta alakadarnya.
Dari pernikahan itu, merekapun menjalani kehidupan rumah tangganya penuh bahagia, karena memang Minul sangat mencintai suaminya.
*****
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tak terasa hampir dua tahun mereka menjalani mahligai rumah tangga, namun pernikahan mereka belum juga dikaruniai keturunan, walaupun demikian Minul tetap bersabar dan setia pada Sugeng.
Hingga di suatu ketika tragedi itu terulang kembali, lagi-lagi senapan andalannya kembali ditodongkan tepat mengarah ke kepala Sugeng.
"Aku tak sudi lagi punya suami sepertimu..." ucap Minul penuh amarah.
Tak berapa lama, tiba-tiba,
"Doorrr....!!!! Doorrr...!!!! Doorrr...!!!" Lagi-lagi senapan itu memakan korban.
Minul membabi buta melontarkan peluru ke tubuh suaminya, rengekan minta ampun pun tak dihiraukan lagi, karena kebencian dan luka hati sudah mengendap dalam hati, sadis memang tapi itulah yang terjadi.
Seorang Sugeng yang selama ini dicintainya ternyata hanya seorang pemalas, yang tak mau bekerja keras. Selama ini beban hidupnya ada di pundak sang istri yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai laki-laki. Sugeng juga seorang cemburuan, sering bertindak kasar dan arogan.
Apalagi sudah beberapa bulan ini Minul diacuhkan, hanya karena uang dari berjualan tak sebanyak biasanya. Bahkan Minul tak pernah diberi perhatian, Nasibnya digantung, ditinggal begitu saja seperti istri pertamanya dulu.
Hingga akhirnya kesabaran Minul mencapai batasnya, tak kuat menanggung beban dan derita, lagi-lagi Minul pun tega menghabisi nyawa suaminya sendiri.
Malam itu tepat di malam bulan purnama dengan wajah yang masih gugup setelah membuang jasad suaminya, ia langsung lari menerobos gelapnya malam dan menyibak semak belukar menuju rumahnya, lalu ditutupnya pintu rumah rapat-rapat.
Dengan nafas yang masih tersengal-sengal dan keringat yang masih terus mengucur, dia berdiri di balik pintu berharap tak ada yang menyaksikan kejadian itu. Ketakutan yang teramat sangat masih menghantui dirinya, membayangkan detik-detik dimana ia melepaskan peluru bertubi-tubi ke tubuh suaminya.
Lalu Minul merebahkan tubuhnya diatas kasur, mengambil nafas panjang mencoba tenang.
*****
Tiba-tiba lelaki pejuang itu datang kembali, sosok misterius dengan topi yang selalu menutupi wajahnya.
"Sudah aku ingatkan dia bukan laki-laki yang cocok untukmu..." ucap lelaki pejuang itu tenang, dengan tuhuhnya yang terlihat samar.
"Sebenarnya siapa dirimu...!!!???
Kenapa kamu selalu mengganggu hidupku...!!!???" Ucap Minul dengan nada tinggi, terkejut atas kehadiran lelaki pejuang itu.
"Aku hanya lelaki pejuang, kamu tak perlu tau siapa aku...." ucap lelaki pejuang itu dengan nada tenang.
"Tapi kenapa kamu selalu mengganggu kehidupanku...???" Tanya Minul dengan nada tetap meninggi.
"Karena aku peduli padamu..." jawabnya singkat.
"Tapi sepertinya aku mengenalimu...
Dan tak mungkin kamu peduli padaku kalau kita tak saling kenal..." ucap Minul penasaran, lalu mendekati lelaki pejuang itu.
Dengan langkah berlahan mencoba mendekati, lalu Minul memberanikan diri membuka topi yang sedang dipakainya. Dan akhirnya terlihatlah sosok wajah yang selama ini tertutupi.
"Mas Endar...???" ucap Minul terkejut, saat mengetahui sosok laki-laki di balik topi itu.
Ternyata lelaki pejuang yang selama ini sering dianggapnya sosok misterius itu, dia adalah sosok yang telah lama dikenalnya, dia teman kecil Minul sewaktu di kampung dulu.
Lalu keduanya saling menatap lama, tak ada sepatah kata yang keluar dari bibir mereka.
Wajahnya terlihat begitu jelas, tatapannya yang menyejukkan dan ucapannya yang menenangkan membuat hati Minul kembali tenang.
"Aku tak mungkin bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini Nul..." ucap lelaki pejuang itu lirih, sembari memeluk tubuh Minul untuk menentramkan jiwanya.
Perasaan Minul terasa tenang saat berada dipelukan lelaki pejuang. Dan Minul pun menyadari bahwa laki-laki yang dianggapnya menyebalkan itu ternyata laki-laki yang sangat peduli padanya.
"Kenapa mas Endar sepeduli itu sama aku...???" Tanya Minul dengan air mata yang mulai menetes di pipinya.
"Karena aku mencintaimu Nul..." jawabnya pelan sembari membelai rambutnya.
"Kalau memang selama ini kamu cinta sama aku, kanapa tak pernah berterus terang atau berusaha memiliki aku...???" Minul kembali bertanya dengan penuh penyesalan.
"Jika saja statusku memungkinkan untuk memilikimu, tentu tak akan pernah aku biarkan kamu sampai menjanda seperti ini..." ucap lelaki pejuang penuh makna.
"Apa maksudmu mas...???" Tanya Minul tak memahami. Melepas pelukannya lalu menatap mata lelaki itu.
"Jika saja statusku memungkinkan untuk memilikimu, tentu aku akan berjuang mati-matian untuk memilikimu..." lelaki pejuang itu menjelaskan. Sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Aku adalah seorang pejuang Nul, aku tak ingin hidupmu dalam masalah hanya karena aku...
Jika kita nekat menjalin kasih, tentu banyak rintangan yang sangat berat yang akan kita hadapi...
Hidupmu akan terseret kedalam masalahku...
Aku tak ingin terjadi sesuatu padamu Nul..." lelaki pejuang itu kembali menjelaskan. Dengan kedua tangannya masih menempel di pipi Minul.
Dan Minul pun hanya bisa terdiam membisu, memahami kata-kata dari pejuang itu.
Keduanya saling bertatapan lama, bibir mereka tak mampu berucap lagi, namun pandangan mata keduanya jauh menembus ke hati.
Lalu lelaki pejuang itu melepaskan kedua tangannya, membalikkan badan untuk melangkah pergi.
"Jangan tinggalin aku lagi mas..." bibir Minul berucap lirih.
Mendengar itu langkah lelaki pejuang itu terhenti, lalu menolehkan kepalanya sembari berkata,
"Percayalah Nul, ini yang terbaik untukmu...
Jalani kehidupanmu akupun akan menjalani kehidupanku...
Suatu saat kamu akan mengerti, bahwa cinta yang sesungguhnya memang tak harus memiliki...
Percayalah,
Semua yang aku lakukan ini adalah yang terbaik untukmu...
Jika suatu saat nanti dirimu merasa terluka, ingatlah bahwa ada satu laki-laki yang sangat mencintaimu, sangat menyayangimu, dan selalu ingin memuliakan dirimu..." ucap lelaki pejuang itu, lalu melanjutkan langkahnya pergi menghilang ditelan kegelapan malam.
"Mas Endaaarrr..."
Minul berteriak memanggil lelaki pejuang itu, sembari tak kuasa menahan tangis, tubuhnya seketika lunglai merobohkan lututnya ke lantai, mengharap lelaki pejuang itu untuk kembali memeluknya lagi.
*****
Minul pun menjalani kehidupannya kembali seperti semula walaupun kini ada gelar janda muda yang tersemat pada dirinya.
Mendengar kabar kejandaan Minul menjadikan para pemuda berniat ingin mendekatinya, apalagi Minul juga tergolong perempuan seksi, kulitnya yang putih dan bodinya yang aduhai membuat banyak lelaki yang tergila-gila.
Namun kali ini Minul lebih memilih sendiri, menjalani kehidupannya tanpa seorang laki-laki.
Minul hanya berharap semoga keadaan cepat berubah, mengharap negerinya segera merdeka.
Agar lelaki pejuang itu berhenti bergerilya dan menajalani kehidupan sebagaimana mestinya.
Mungkin dengan seperti itu Minul berharap bisa hidup bersama lelaki pejuang itu.
Menjalani sisa hidupnya penuh bahagia.
=============SEKIAN=============
Baca juga cerpen tentang petualangan: