Home » , » [Cerpen] Di Penghujung Lajang

[Cerpen] Di Penghujung Lajang

Oleh : Ahmad Pajali Binzah


Gelap malam dan dinginnya udara ibu kota seketika tak terasa lagi, sesaat aku memasuki gedung yang berdiri angkuh tepat di tengah pusat kota ini.

"Disanalah letak surganya dunia..." begitulah orang sering menyebutnya.

Hening malam sama sekali tak terasa, yang ada hanya hingar bingar gemerlap malam. Lampu sorot yang warna-warni mencabik-cabik kegelapan, hentakan musik bertubi-tubi memukul dada menghancurkan gendang telinga, seketika mata enggan berkedip terbelalak disuguhi pemandangan yang syarat akan syahwat.

Gadis-gadis belia berdandan menor duduk berjejer dalam ruang kaca. Kaki-kaki jenjang yang mulus nyaris telanjang, pandangan matanya menggoda seakan berkata,
"pilihlah aku, nanti akan aku puaskan hasaratmu dengan hangat tubuhku..."

Tak berapa lama datang perempuan paruh baya yang dandannya tak kalah menor dengan gadis-gadis di ruang kaca itu. Polesan bedak tebal menutupi pipinya yang sudah mulai layu dimakan waktu. Mucikari, orang menyebutnya.

"Pilih yang mana mas...???
Dijamin service-nya memuaskan...
Kalo dijutekin, lapor saja sama mami..." ucap perempuan itu menawarkan gadis-gadis dagangannya.

Seperti biasa aku hanya tersenyum kecil, sembari sesekali memandangi wajah-wajah gadis yang siap dipilih.

"Bagaimana bro, lu milih yang mana...???" tanya sahabatku Rian, yang sedari tadi sorot matanya sibuk menggerayangi gadis-gadis dalam ruang kaca. Seakan matanya tak berkedip menyeleksi gadis yang siap menghantarkannya ke puncak birahi.

"Malam ini gw off dulu bro, gw lagi gak pengen naik..." ucapku singkat yang menandakan malam ini aku tak ingin memilih gadis penghibur.

"Lhaa terus...???" ucap Rian heran.

"Iyaa gw ingin ke ruang karaoke aja, nemenin yang lain..." jawabku singkat dengan wajah yang tak bersemangat.

"Baiklah, kalo gitu gw mau naik dulu..."
"Mami, gw pilih gadis berbaju merah itu..." ucap Rian pada mami, sembari menunjuk gadis yang memakai dres mini berwarna merah dengan paha yang tersingkap menggoda.

Tak berapa lama gadis itu keluar dari ruang yang mirip aquarium itu. Lalu mengajak sahabatku Rian naik melewati tangga beton menuju ruang pemujaan manusia pada nafsu syetan.

Aku terus memandangi Rian yang berjalan semangat tak sabar untuk melampiaskan hasratnya malam ini, semantara gadis yang di sampingnya berjalan lenggak-lenggok menggoyangkan bokongnya sesekali melirikku seakan berbicara,
"Ayolah mas, pilih cewek salah satu, jangan kalah sama sahabatmu ini..."
Hingga akhirnya keduanya menghilang terhalang di tembok kamar di lantai atas.

Lalu aku kembali menatap ke dalam ruang kaca yang berisi deretan gadis-gadis penjaja cinta. Rasanya aku ingin menunjuk salah satu diantara mereka untuk melepaskan kepenatanku di malam ini. Namun hati kecilku berkata lain.
"Untuk malam ini lebih baik aku habiskan waktu ku untuk minum-minum saja, bukan aku tak bergairah, bukan pula isi kantongku tak cukup tebal untuk membayar cinta, tapi untuk saat ini aku lebih senang ditemani botol-botol yang mampu menghantarkanku kedalam alam khayalanku..." ucapku sembari meninggalkan ruang kaca itu, lalu melangkah menuju ke dalam bilik-bilik bising dengan dinding peredam yang sangat tebal, nampak di meja telah tersaji beberapa botol minuman dan diantaranya sudah dalam keadaan kosong. Sementara di sofa sudah berjejer manusia-manusia yang sudah tak asing lagi di mataku.

"Mari sobat, kita habiskan malam ini penuh suka citaa..." ucap ketiga sahabatku, sembari menyodorkan botol besar yang berlogo bintang.

Yaa, inilah ruang karaoke plus-plus. Disini ketiga sahabatku sedang asyik menyayikan lagu kesukaan mereka dengan suara yang antah brantah, dengan ditemani gadis pemandu lagu (PL) yang siap meliuk manja. Ruang kecil ini terlalu pekat oleh asap tembakau, namun seakan tak terasa menyesakkan dada, terlupa oleh lantunan lagu dan dekapan manja para pemandu lagu yang selalu menjadi candu.

Aku pun duduk di sofa paling tepi, sembari menuangkan bir kesukaanku ke dalam gelas yang sudah terisi bongkahan es batu, lalu segera ku teguk untuk menyegarkan kerongkonganku.

"Perlu PL gak bro..." ucap sahabatku Agustinus menawarkan gadis untuk menemaniku, dengan gaya sok donjuan sembari tangannya bersandar pada paha mulus gadis yang ada di sampingnya.

Sementara sahabatku yang lain lebih memilih cuek dengan asyik melumat bibir lembut gadis PL yang sudah dibookingnya sedari tadi, tanpa menghiraukan sahabat-sahabat yang ada disampingnya.

Lalu Agustinus dan gadis PL itu berdiri sembari melambaikan tangannya,
"Sori bro, gw naik keatas dulu... udah panas niihh..." ucap Agustinus seraya langsung pergi cek-in ke kamar atas.

Semantara aku tetap sendiri di sudut sofa dengan ditemani botol-botol yang sudah mulai kosong.

Saat semua asyik dengan kesenangannya, aku mulai bangkit, dengan langkah sempoyongan aku membuka pintu ruang karaoke itu.

"Mau kemana bro...???" ucap dua sahabatku yang masih di ruang karaoke itu.

"Gw cari angin dulu bro..." ucapku melangkah lunglai meninggalkannya.

"Tunggu bro, gw ikut lu..." ucap Heri dan Ferdi sembari memegang tanganku agar tak melangkah lebih jauh.

"Baik kalo begitu, ayo kita ke Club sebelah aja..." ajakku dengan nada yang agak ngelantur.

"Baik tunggu dulu, kita bertiga kesana... sementara Rian dan Agustinus biar dia nyusul..." ucap Heri sembari menghampiri Ferdi untuk mengajak pergi. Lalu dirogohnya kantong untuk menarik beberapa lembar rupiah untuk memberi tip pada gadis pemandu lagu yang dibookingnya.

"Sori yaa cinta, malam ini gw gak bisa nemenin kamu lebih lama lagi" ucap Heri pada gadi PL pilihannya.

****

Malam ini, aku, Heri dan Ferdi, kami bertiga melangkah meninggalkan tempat karaoke itu, meninggalkan Rian dan Agustinus yang sedang asyik memadu cinta bersama gadis pilihannya.

Sementara kami bertiga menuju club malam tempat biasa kami bersenang-senang.

"Biarin aja mereka bersenang-senang dengan cara mereka, kita juga bisa bersenang-senang dengan cara kita, hahahaa..." ucapku sembari mengangkat segelas minuman penghantar kehangatan malam.

Yaa, di tempat karaoke itu biasa disajikan gadis-gadis penjaja cinta dalam aquarium, ditawarkan dengan tarif yang sudah dibandrol. Sementara di club ini sedikit berbeda. Gadis-gadis disini sengaja mencari kesenangan untuk melampiaskan kepenatan hidupnya. Tak ada tawar menawar harga, disini semua mencari kesenangan sesaat dengan berjoget bersama dalam satu hentakan irama.
Yaa, tempat ini sering disebut diskotik.

Setelah puas minum, kamipun turun melantai bergoyang mengikuti irama yang tersuguhkan oleh seorang DJ ternama. Hentakan musiknya seakan mampu melupakan penat yang ada, semua berjoget dalam satu irama.

Malam makin larut namun hentakan musik tak sedikitpun surut, malah terasa lebih menghentak dengan ritme semakin meninggi. Dan para gadis diskotik pun kian menjadi-jadi, memanaskan atmosfer dalam hingar-bingar kehidupan malam.

Yaa, malam itu malam yang terasa panas diantara dingin yang menyelimuti pusat ibu kota. Malam yang mampu melupakan segala sedih dan derita.

****

Tak terasa fajar mulai menyapa,
Memaksaku untuk mengakhiri segala pesta dan foya, mengajakku untuk kembali pulang ke peraduan.

Sesaat setelah turun dari taksi, dengan langkah lunglai aku menuju tempat dimana aku tinggal. Ku rogoh kantong celana jeans yang aku pakai, lalu ku ambil kunci rumah untuk membuka pintu.

Setalah pintu terbuka, aku mulai masuk melangkah menyusuri ruang gelap di dalam rumah, aku sengaja tak menyalakan lampu karena aku tak ingin kedatanganku mengganggu yang lain.

Aku melangkah dengan menerka-nerka agar langkahku tak menginjak deretan orang yang sedang tidur beralaskan tikar.

Aku langsung menuju ke lantai dua, sesampainya dikamar aku langsung rebahkan tubuhku yang sudah teramat lelah, bukan saja fisiknya yang tak berdaya, namun jiwa ku tarasa lemah tanpa arah.

Lagi-lagi aku menyadari, bahwa semua ini tak mampu mengobati kegalauan yang sedang melanda di jiwa ini.

Senang memang, namun itu hanya sebentar. Yaa, kesenangan itu hanya bersifat sementara, karena saat semua berlalu gundah pun kembali mengganggu.

Mata pun enggan terpejam, siksa kerinduan kembali merejam. Yaa, bayangannya kembali menyiksa, hingga tak menyisakan sedikitpun untuk tak memikirkannya.

Ini tentang kisah yang sedang aku alami, mencintai seseorang yang tak pantas aku cintai. Yaa, aku mencintai adik dari calon istriku sendiri.

Perasaan ini tak bisa aku tepiskan, hingga detik-detik menjelang pernikahan. Aku sungguh  dalam kebimbangan, aku tak mengerti apa yang harus aku lakukan,

"Apakah aku harus meneruskan rencana pernikahan ini atau aku harus jujur tantang apa yang aku rasa...???" batinku makin bimbang.

"Aku harus jujur...!!! Yaa, aku harus jujur...!!!
Aku harus cerita tentang semua ini, bahwa sesungguhnya aku belum siap menjalani pernikahan ini..." sekilas terbesit di pikiranku seraya bangkit dari tidurku.

Lalu aku melangkah ke kamar mandi, Ku lepas baju yang sudah kumal berlumur keringat. ku basuh muka, tangan dan rambutku, agar aku tersadar dari kegelisahan.

Ku ambil handuk lalu ku usapkan ke rambut dan wajahku, sembari berdiri di depan cermin.

"Dasar laki-laki lemah...!!!" Tiba-tiba terdengar suara lantang membentakku.

"Kurang apa calon istrimu...???
Dia yang sudah jelas-jelas mengorbankan segalanya untukmu, untuk kebahagiaanmu...
Namun kau malah mencintai orang yang tak sepantasnya kau cintai..." hardiknya lagi.

Seketika aku terperanjat, melihat bayanganku sendiri berbicara lantang dari dalam cermin.

"Hei, apa yang kau pikirkan...!!!???" Bayangan itu dengan ketus membentakku.

"Aku belum siap menikah dengannya..." jawabku lemah sembari memegangi kepalaku yang terasa sangat berat. Menunduk tak berani menatap bayanganku sendiri.

"Apa kau belum puas menghabiskan masa mudamu dengan berfoya-foya seperti itu...???" suaranya pun makin lantang menghardikku. Namun aku hanya bisa terdiam tak berdaya, menahan sakit yang aku rasa.

"Lihatlah mereka yang ada dirumah ini, yang sedang tidur pulas karena lelahnya bekerja... 
Mereka abdikan seluruh tenaga dan pikirannya untuk bisnismu ini...
Mereka adalah karyawan loyalmu, seharusnya kau pikirkan nasib mereka, bukan memikirkan egomu semata...
Mereka telah bekerja dengan segenap kemampuannya, karena mereka sadar, bahwa nasib keluarganya di kampung ada pada tiap tetes keringat yang mengucur dari tubuhnya, mereka semua menggantungkan nafkah keluarganya di tanganmu...
Tapi lihatlah...!!!???
Apa yang kamu perbuat selama ini...???
Kau hanya bisa merintih kesakitan, meratapi cinta yang tak semestinya kau perjuangkan...!!!???
Hei...!!! Dimana jiwa pengusaha mudamu yang dulu..!!!???
Kamu tak ubahnya laki-laki terbodoh yang pernah ada dihadapanku..!!!" Bayangan itu terus berbicara lantang tanpa henti.

"Tidak...!!! Tidak...!!! Tidak...!!!" Kepalaku makin berat, serasa tak mampu mendengar ucapan dari bayanganku sendiri. Aku bergegas lari menghindar dari cermin.

*****

Akupun mulai melangkah keluar kamar.
Kembali aku tatap wajah-wajah lelah yang sedang pulas dalam mimpinya.
Tidur berjajar beralaskan tikar di bawah meja mesin jahit tempat mereka bekerja.

Kembali aku renungi tentang kehidupanku sendiri, betapa selama ini aku kurang bersyukur atas diriku, mengejar kehidupan dunia yang tiada puasnya, mengejar cinta yang memang tak sepantasnya.

Padahal, Tuhan telah memberikan segalanya dalam kehidupanku, loyalitas para karyawan, putaran bisnis garmen yang lancar dan tentunya calon pendamping yang selalu ada untukku.

Tapi selama ini aku tak pernah mensyukuri semua itu, terlalu terhanyut dalam belenggu cinta yang semu.

"Yaa, sudah sepantasnya aku akhiri semua ini, sudah waktunya aku menjalani kehidupanku dengan pemikiran yang lebih matang..." batinku mulai sadar.

"Apalagi kini usiaku sudah hampir kepala tiga, tak mungkin menunggu dia yang masih sangat belia, tak mungkin pula aku habiskan umurku hanya untuk terus berfoya-foya...
Yaa, aku harus akhiri semua ini, aku harus menikah dan menjalani kehidupanku dengan sewajarnya...
Lalu aku harus fokus pada bisnis dan keluargaku...
Agar masa depanku jauh lebih maju..."

Aku kembali melangkah ke dalam kamar, mencoba merebahkan tubuhku yang sudah teramat lelah. Lalu mencoba memejamkan mata berharap terhanyut dalam pusaran mimpi yang mampu mendamaikan hati.

Yaa, berlahan aku mulai terlelap, rohku terasa ringan, nafasku mulai tenang dan jiwaku merasa lebih damai dari bising kehidupan.
Semoga lelap ini mampu mendewasakanku, hingga nanti saat aku terjaga, aku sudah menjadi diriku yang lebih dewasa.
Untuk masa depan yang lebih sempurna.


============ SEKIAN ============

Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah

Previous
« Prev Post

0 comments:

Post a Comment

recent posts