[Cerpen] Pohon Terakhir




Malang nasibku, saat kehadiranku seakan tak berarti apapun. Gaya hedonisme yang mereka anut seakan melupakan semua sumbangsihku selama ini. Dan kini, hatiku seakan hancur saat mendengar perkataan tuanku, tuan yang selama ini merawatku.

"Baik setelah semak itu dibersihkan, tolong pohon mangga di pojokan sana ditebang aja, biar kesannya lebih terang... karena kontrakan yang akan kita bangun harus terkesan bersih dan luas..." ucap pak Sapto pemilik lahan pada pak Kusen sang mandor bangunan.

***

Yaa, namaku pohon Mangga, mungkin ini juga kenapa gang disini diberi nama gang Mangga. Akulah satu-satunya pohon besar yang masih tersisa di daerah ini, setelah semua sahabat-sahabat sejenisku telah tumbang ditebang habis tergantikan beton-beton untuk pemukiman.

Aku saksi bisu dimana dulu disini didominasi hutan yang penuh pepohonan, diantaranya pohon mangga yang mendominasinya. Dan sungai yang ada di sebelah barat sana dulunya mengalirkan air yang jernih sebagai tempat minum para rusa dan banteng liar.
Dan di hutan ini pula dahulu para jawara Betawi singgah dan bersembunyi untuk mengatur siasat pertempuran melawan penjajah Belanda, dan kadang sesekali diantara mereka memetik buah mangga yang aku sajikan yang juga berebut dengan kera, musang atau kelelawar.

Bahkan sampai detik ini aku masih menjadi favorit anak-anak untuk bermain dan berteduh dari teriknya matahari, dan jika malam hari masih saja ada kelelawar yang entah dari mana datangnya selalu singgah di musim buah.

Dan kini semua kisah ini harus berakhir dan harus terakhiri. Karena tuanku sudah bulat mengambil keputusan untuk menebangku, menggantikan lahan yang sepetak ini menjadi deretan kontrakan 14 pintu.

***

Hari ini hari ke-3 dari pertama tuanku pak Sabto menyuruh pak Kusen untuk membersihkan lahan ini, dan kini tuanku datang lagi menjenguk keadaan lahan kosong sepetak ini.

"Bagaimana pak Kusen, apa semua sudah beres...???" tanya pak Sabto pada pak Kusen sang mandor bangunan, dengan tangan pak Sabto menjulur masuk ke kantong saku celana sebagai gaya khas nya saat berbicara. Sesekali tangan kanannya keluar dari saku celana untuk menunjuk tempat-tempat yang diperintahkan untuk dibersihkan.

Begitulah gaya pak Sabto sang pemilik sepetak lahan kosong yang akan dibangun kontrakan 14 pintu. Kumis tebal dan rambut klimis belah tengah, juga selalu menggenakan kemeja warna putih bergaris menjadi ciri khasnya.

"Semua telah beres pak, lihat saja semua telah bersih...
Tinggal menebang pohon mangga itu lalu semua lahan siap di pasang pondasi..." jelas pak Kusen sang mandor bangunan dengan perawakan kekar dan berkulit hitam legam.

"Baguss... kalo bisa hari ini juga pohon itu ditebang..." perintah pak Sabto yang langsung diiyakan sang mandor.

***

Oh Tuhan, apakah ini semua takdir yang digariskan olehMu...???
Ataukah memang kebanyakan manusia saat ini telah dibutakan oleh kepentingan ego atas nama ekonomi yang semu...???

Saat batinku bergejolak hebat, tiba-tiba pak Sabto mendekat dan memandangi rimbunnya daunku.
Aku mulai mensugestikan pikiranku agar bisa berbicara dengan tuanku.

"Tolong tuan, jangan tumbangkan aku...
Aku masih ingin mengabdi pada manusia...
Aku ingin menyelesaikan tugasku untuk mendinginkan dunia, hingga saatnya nanti aku menua dengan sendirinya..." pintaku pada pak Sabto.

Lalu pak Sabto merenung sambil tetap memandangi lebatnya daunku sambil berbicara dalam hatinya.
"Maaf, aku harus melakukan ini, demi membantu menafkahi anak istriku, karena sebentar lagi aku pensiun dan aku harus punya pendapatan lain agar nafkah keluargaku tetap terpenuhi, dan kontrakan inilah satu-satunya harapan kami..." jawab pak Sabto lirih dalam hatinya yang hanya aku yang sanggup mendengarnya.

Sesaat pak Sabto pergi meninggalkan sepetak lahan kosong yang akan dibangun kontrakan 14 pintu.

Tiba-tiba,
"Cetok... Cetok... Cetok..."
Kapak besi dengan ujung mengkilap tajam dan bogol hitam khas baja, dengan gagang kayu bulat yang dipegang penebang pohon anak buah pak Kusen, terus mengayun melukai tubuhku dengan dengan bertubi-tubi.

Sesekali berhenti karena kelelahan dan istirahat minum teh hangat dan menyulut rokok yang telah terjepit di kedua bibirnya.
Mulut itu terus mengeluarkan asap tebal seperti asap kereta yang keluar dari cerobongnya.
Saat penebang pohon itu sedang santai melamun, aku mencoba berbicara memohon padanya, dari hati ke hati.

"Tolong pak, jangan tumbangkan aku...
Aku masih ingin mengabdi pada manusia...
Aku ingin menyelesaikan tugasku untuk mendinginkan dunia, hingga saatnya nanti aku menua dengan sendirinya..." aku terus memohon memasuki pikiran penebang kayu yang sedang asyik melamun dengan rokok yang masih mengebul dari mulutnya.

"Maaf, aku hanya buruh kasar...
Aku hanya menjalankan tugas agar kami dibayar, sekedar untuk makan keluarga kami yang lapar..." jawab penebang pohon dengan wajah lesu karena lelah hendak menebang aku.

Saat perdebatanku dengan penebang pohon, datanglah pak Kusen dengan wajah yang sangar.

"Cepat lanjutkan menebangnya, jangan terlalu lama istirahat tanpa guna..." perintah pak Kusen dengan wajah makin legam.

Sebelum para penebang pohon itu mulai merobohkanku aku kembali mencoba berbicara dengan mandor itu.

"Tuan, tolong jangan tumbangkan aku...
Aku masih ingin mengabdi pada manusia...
Aku ingin menyelesaikan tugasku untuk mendinginkan dunia, hingga saatnya nanti aku menua dengan sendirinya..." pintaku dengan nada memelas padanya.

"Maaf, sebagai mandor bangunan tugasku hanya memberikan bangunan terbaik untuk sang pemesan..." ucap mandor dengan nada tegas lalu pergi menghilang.

Sesaat aku melihat pak camat dengan mobil mewahnya datang melintas dengan santainya.

"Stop pak camat, stop...!!!
Tolong hentikan semua ini, jangan tumbangkan aku...
Aku masih ingin mengabdi pada manusia...
Aku ingin menyelesaikan tugasku untuk mendinginkan dunia, hingga saatnya nanti aku menua dengan sendirinya..." aku menghiba pada pak camat yang seketika menghentikan mobilnya, namun hanya membuka kaca jendela mobilnya saja.

Lalu pak camat itu berbicara dalam hatinya,
"Maaf, sebagai pejabat pemerintahan kami tidak punya hak untuk melarang warganya untuk membangun rumah di lahannya sendiri selagi warga itu mempunyai izin IMB...
Dan sekali lagi, maaf kami tidak punya wewenang menghentikan ini"
Jawab pak Camat yang kemudian pergi melenggang dengan mobil mewahnya.

***

"Cetok... cetok... cetok..."
Penebang pohon itu terus mengayunkan kapaknya ditubuhku, rasa sakit ini tak seberapa jika dibandingkan kekhawatiranku akan efek yang akan ditimbulkan nanti...

"Bruuukkk...!!!"
Aku tumbang, roboh tak berdaya ditangan para penebang pohon yang terus menghujamiku dengan ayunan kapak saktinya.

Seketika rohku melayang, terbang pelan meninggalkan jazadku yang tumbang tersungkur, roboh ke tanah.
Saat rohku terbang, dari atas aku melihat semuanya, baru kali ini aku menyadari bahwa sekarang hijaunya bumi telah terganti oleh hutan beton yang meninggi, berjajar angkuh mencengkeram bumi.

***

Mungkinkah mereka lupa, atas apa yang kami berikan pada dunia, mungkinkah mereka juga lupa, bahwa banjir dan kekeringan adalah imbas dari sikap rakus mereka.

Wahai manusia, sadarkah kalian bahwa AC pendingin ruangan yang kalian pasang itu hanya mendinginkan kamarmu saja, namun akan memanaskan seisi dunia...

Wahai manusia, sadarkah kalian sumur resapan dan gorong-gorong yang kalian ciptakan tak akan mampu menampung limpahan air yang turun dari langit saat hujan menghujam, jika seluruh kulit bumi kau tutup dengan beton dan aspal...

Karena hakekatnya Tuhan telah menciptakan kami sebagai penyeimbang kehidupan di bumi...
Kamilah penyeimbang itu yang tak bisa tergantikan oleh apapun, tak terkecuali...

Dan pahamilah wahai manusia, kamilah para hijaunya pohon, yang hakekatnya penyelamat kalian di bumi ini...
Dari sengat panasnya matahari dan deru derasnya hujan...

Karena jika tampa kami,
Sinar matahari yang semula menyegarkan akan berubah menjadi ganas mematikan...
Rintik hujan yang semula menyejukkan akan berubah beringas menjadi limpahan air bah yang meluluh-lantakkan..
Maka lestarikanlah kami...!!!


===============SEKIAN===============


[Cerpen] Aku Hanya Pendaki Gunung Lawu

Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah

Previous
« Prev Post

3 comments:

  1. Sederhana tapi penuh makna...
    Mantep bang... inspiratif...

    ReplyDelete
  2. Bagus,, harusnya lebih bnyk di publikasikan cerita seperti ini

    ReplyDelete

recent posts