Home » , , , , , » [Cerpen] Tersesat di jaman Majapahit #3

[Cerpen] Tersesat di jaman Majapahit #3

Episode (3/10) 
Tragedi Perang Bubat
(Untuk awal cerita KLIK DISINI)


Setelah pertempuran di kerajaan Banggai dan berhasil menyatukan Banggai dibawah panji Majapahit, akhirnya sebagian prajurit ditarik kembali ke Trowulan dan sebagian lagi masih bertahan untuk membangun kembali kerajaan Banggai yang telah hacur luluh lantak.
Dan aku termasuk prajurit yang ditugaskan kembali ke Trowulan menjaga ibu kota Majapahit.

Sesampainya di Trowulan aku dan rombongan disambut dengan upacara adat yang begitu megah, sebagai sambutan bagi prajurit yang pulang dengan kemenangan perang.
Tari-tarian dan sorak sorai penduduk menggambarkan kegembiraan, tak lupa berbagai sajian makanan menghiasi arak-arakan disepanjang jalan.

Yaa inilah kemenangan terbesar untuk Majapahit, karena setelah ditaklukkannya Banggai secara otomatis seluruh wilayah Nusantara telah disatukan dalam naungan panji Majapahit.
Hanya wilayah kerajaan Sunda galuh yang tidak masuk kekuasaan Majapahit karena memang ada hubungan kekerabatan, karena raja pertama Majapahit raden Wijaya adalah masih keturunan raja Sunda dan pesan dari Tribuanatunggadewi sendiri yang mewanti-wanti pada Gajah Mada agar tidak menyerang kerajaan Sunda Galuh.
Inilah sebab kerajaan Sunda Galuh tidak ditaklukan dalam pewujudan pemersatu wilayah Nusantara dibawah panji Majapahit.

Akhirnya Gajah Mada menemukan ide atau cara lain untuk menyatukan wilayah Sunda menjadi bagian dari Majapahit, yaitu perkawinan politik.

Dan Hayam Wuruk sendiri memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.
Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.


Setelah rombongan pengantin tiba, raja Hayam Wuruk memerintahkan utusan agar rombongan dipersilahkan istirahat di pesanggrahan lapangan Bubat.
Sementara rombongan dari negeri Sunda sedang menurunkan perbekalan dan mempersiapkan upacara pernikahan, tiba-tiba timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.
Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai permaisuri, melainkan sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.
Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu. Belum sempat sang Prabu mengambil keputusan, Gajah Mada mohon undur diri menuju Bubat.


Tak berapa lama nampak Gajah Mada keluar dari istana lantas memanggilku dan pemimpin-pemimpin prajurit lain dan aku pun menghadap,

"Ada apa gerangan tuan memanggil kami..." tanya kami.

"Kalian semua, kumpulkan semua prajurit, kita akan menuju lapangan Bubat...!!!" Perintah Gajah Mada dengan tegasnya.

Tanpa tanya-tanya lagi kami langsung mengikuti perintah sang jendral.

Setelah semua pasukan terkumpul, kami langsung berangkat ke Bubat.
Sampai disana nampak para rombongan orang-orang Sunda sedang sibuk menurunkan dan merapikan barang bawaannya.

"Jaka Sasena...!!!" Panggil Gajah Mada.
"Siap Tuan...!!!" Sahutku.
"Kamu dan semua pasukan siap dibelakangku, tunggu komando dariku...!!!" Perintahnya.
"Baik Tuan...!!!" Sahutku lagi.

Tak berapa lama datang raja Lingga Buana menemui Patih Gajah Mada, "maaf jendral besar yang kami hormati, ada apakah gerangan maksud kedatangan jendral ke camp kami dengan membawa pasukan begitu banyaknya...???" Tanya raja Sunda penuh wibawa dan keanggunan.

"Maksud kami datang kesini hanya untuk mempertegas bahwa pernikahan putri Dyah Pitaloka dengan raja kami Raden Hayam Wuruk tidak perlu acara resmi dan mewah, karena ini hanya simbolis bahwa kerajaan Sunda Galuh mengakui tunduk kepada kami dan putri Dyah Pitaloka sebagai upeti kepada raja kami...!!!" Tegas Gajah Mada lantang tanpa basa-basi.

Seketika raja Linggabuana terkejut, matanya membelalak kaget bukan kepalang. Tak menyangka Mahapatih Gajah Mada yang terkenal sangat ksatria mempunyai kelicikan bak ular kadut. Raja Linggabuana marah,

“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami...???
Kami ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti sama seperti dari Nusantara...
Kami lain, kami orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan...
Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang
Jipang...
Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur...
Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati...
Pasukanmu bubar dan melarikan diri...
Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri...
Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan...
Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup...
Sekarang, besar juga kata-katamu...
Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing...
Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat...
Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk...
Menipu orang berbudi syahdu...
Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!” ucap prabu Linggabuana penuh amarah.
Serta merta memberikan penolakan terhadap Gajah Mada,

“Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri...
Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, kami tiada akan ‘silau'.....!!!!" Lanjut prabu Linggabuana penuh keberanian.

"Kami siap menumpahkan darah demi harga diri kerajaan Sunda, hidup Sunda Galuh... hiduuupp...!!!"
Dengan sorak-sorai rombongan orang-orang Sunda mendukung rajanya.

Aku merinding mendengarnya, kata-kata penuh kiasan namun tajam, yang menggambarkan keberanian rakyat Sunda Galuh dalam membela harga diri negerinya.

Sang Tuan Patih Gajah Mada seketika marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan kata-kata pedas raja Sunda dan rakyatnya.

Tak berpikir panjang patih Gajah Mada, tak bisa menahan amarahnya dan langsung memberi komando,
"Rawe-rawe rantas malang-malang putung....!!!! Seraaang...!!!" Seketika terjadi keos, perang tak terhindarkan.


Aku yang berdiri tepat di belakang patih Gajah Mada dengan jelas menyaksikan tragedi ini, dimana perang tak seimbang, rombongan pengantin dari Sunda yang hanya berjumlah kurang lebih 90 orang harus berhadapan dengan kami pasukan Majapahit dengan ribuan pasukan.

Aku hanya bisa terdiam menyaksikan ini semua, menurutku ini tidak cocok disebut perang, ini lebih tepat disebut pembantaian, dimana semua rombongan Sunda dibantai habis-habisan tanpa tersisa, tak terkecuali maha Prabu Linggabuana sang raja Sunda juga ikut gugur dalam peperangan ini. Tapi dengan perlawanan yang pantang menyerah tak sedikit pasukan Majapahit yang gugur di medan perang.

Tapi dari sini aku melihat bagaimana sikap patriotisme dijunjung tinggi, demi membela tanah airnya, bahkan rela nyawa harus melayang.


Aku hanya berdiri tegak ditengah peperangan, bukan untuk membunuh atau dibunuh, tapi aku ingin menyaksikan detik demi detik pertempuran yang telah tercatat dalam sejarah, dimana darah berhamburan mengucur membasahi bumi pertiwi, suara dentingan pedang nyaring melengking.

***

Setelah perang usai, aku dan pasukan lain ditugaskan menjaga keamanan disekitar lapangan Bubat, dan yang lain mengubur mayat-mayat yang gugur dimedan perang.

Dan tak lama kemudian Gajah Mada maju ketengah-tengah lapangan dan berorasi,
"Dengan berakhirnya perang ini, dan terbunuhnya raja Sunda Galuh, berarti tanah Sunda adalah menjadi bagian dari kerajaan Majapahit, dan akhirnya terpenuhilah sumpahku untuk mempersatukan bumi Nusantara dibawah kibaran panji Majapahit..." teriak Gajah Mada dengan mengangkat kerisnya tinggi-tinggi seakan ingin membelah langit.

Dan disambut riuh semua prajuritnya, "Horeee... hidup Majapahit... hidup Majapahit..." semua sorak sorai penuh kebanggaan.

Tapi dalam hati kecilku berkata,
"ini bukan peperangan ala ksatria,
ini adalah pembantaian dengan strategi penuh kelicikan...
Walau aku terlahir sebagai orang Jawa, tapi aku sama sekali tidak bangga atas kemenangan ini...
Aku lebih menghargai sikap raja Sunda yang rela mati terhormat demi kehormatan kerajaannya...
Jika memang sejarah ini benar adanya, aku sungguh kecewa..." gumamku dalam hati.

Tiba-tiba lamunanku terpecah oleh suara yang memanggilku bak halilintar, "Hei Jaka Sasena...!!! kenapa kau dari tadi hanya diam bak patung batu...??? Apa kau tidak bangga pada kemenangan ini...???" Tegur Gajah Mada tegas tapi seram.

Seketika aku terperanggah kaget bukan kepalang,
"Maaf tuan aku gak tau lagi harus berbuat apa tuan..." jawabku panik.

"Baik, sekarang kau aku tugaskan menjaga para rombongan putri Sunda, jangan sampai mereka melarikan diri, mereka akan aku jadikan tawanan agar kerajaan Sunda Galuh benar-benar tunduk dan takluk mengakui kekalahannya..." ujar Gajah Mada lagi.


Akhirnya aku dan rombongan segera menuju ke sisi timur lapangan Bubat, di pesanggrahan sebelah timur Bubat telah nampak putri-putri dari kerajaan sunda, banyak anggota keluarga kerajaan yang ikut, banyak anak-anak dan orang-orang tua, mereka nampak sedih mendengar semua laki-laki dalam rombongan telah gugur di medan perang.

Mereka duduk bersila dan berbaris rapi di halaman pesanggrahan, semua menggenakan pakaian putih, bersila dengan pisau belati di tangan masing-masing ada yang hanya memegang tusuk konde ada juga yang memegang bambu runcing.

Nampak putri Dyah Pitaloka duduk bersila dibarisan paling depan, tak berapa lama matanya menatap padaku dan dengan anggukan kepalanya yang memberi isyarat memanggilku.

Akupun mendekat padanya dengan penuh keraguan, mungkinkah dia akan membunuhku atau akan menyanderaku,
"Jangan Sena...!!! Lihat tangan mereka, meraka membawa senjata tajam, kau bisa dibunuhnya..." ucap Wingsanggeni mengingatkanku sembari ketakutan.
Tetapi aku tetap mendekat kearah mereka. Aku yakin mereka tidak akan melukaiku.

Setelah aku sampai didepannya, putri Dyah Pitaloka membisikan sesuatu di telingaku,
"aku yakin kau bukan bagian dari mereka, aku yakin kau mampu mengemban tugas ini, tolong sampaikan ini ke negeri Sunda, sampaikan kabar kami yang sesungguhnya pada istana...!!!" Bisik Dyah Pitaloka sembari memberi sepucuk surat agar disampaikan ke istana dan sebuah liontin sebagai tanda bukti bahwa aku utusannya.

Setelah aku mundur beberapa langkah, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, rombongan putri melakukan bela pati (bunuh diri), putri Dyah Pitaloka menusuk jantungnya sendiri menggunakan tusuk kondenya dan diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi.

Angin berhembus dengan semilirnya mengantar jiwa-jiwa suci menuju nirwana, suasana seketika hening, cuaca mendung mendamaikan suasana, bersama darah yang mengalir pelan keluar dari singgasananya, raga-raga yang tak bernyawa terbaring tenang penuh keanggunan, harum wangi semerbak memancar kesegala penjuru mengharumkan namanya ke pelosok negeri.

"Inilah tradisi  para leluhur kita dalam menjaga kehormatannya, mempertahankan semboyan hidup mulia atau mati terhormat..." gumamku dalam hati sembari melangkah pelan meninggalkan pesanggrahan.

***

Dalam tragedi ini seluruh rombongan dari negeri Pasundan gugur dalam medan perang dan sejarah akan mencatatnya sebagai Perang Bubat, yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M.
Dan tragedi ini kelak akan merusak hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian hingga era modern, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.
Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.
Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri tiluaran , yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit.
Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya.
Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga sampai zaman modern.
Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung , ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.

***


Sejak kejadian itu, beberapa hari ini kota Majapahit tak seperti biasanya, istana nampak sepi, tidak ada aktifitas kenegaraan, bahkan para prajurit sebagian diperbolehkan kembali kerumah masing-masing untuk istirahat, hiruk-pikuk pasar juga tak seramai biasanya, bahkan kalangan keluarga istana seakan menutup diri.

Aku dan Wingsanggeni serta beberapa prajurit yang berasal dari padepokan Mpu Sasora memilih pulang untuk beberapa hari.


Setelah kami sampai di padepokan Mpu Sasora dan menceritakan kejadian dihari kemaren, Mpu Sasora nampak bingung dan tak menyangka sama sekali,

"Hmmm... jadi begitu kejadiannya...???" Jawab Mpu Sasora menanggapi laporan kami.

"Aku tak menyangka Gajah Mada yang begitu ksatria bertindak ceroboh seperti itu dan sangat tidak terpuji..." lanjutnya lagi.

"Iyaa guru, bahkan kabarnya prabu Hayam Wuruk saat ini dirundung kesedihan yang mendalam atas gugurnya calon permaisurinya beserta rombongan keluarga dari pasundan... Dan saat ini beliau hanya mengurung diri di istana dan kabarnya hubungan prabu Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada saat ini sedang merenggang..." Wingsanggeni mencoba menjelaskan keadaan istana.

"Iya guru, istana saat ini seakan tak ada aktifitas kenegaraan, bahkan kami diizinkan pulang untuk sementara waktu..." jawab murid yang lain.

"Baiklah kalau begitu, kalian silahkan istirahat dulu, agar pikiran dan batin kalian tenang..." perintah Mpu Sasora.

"Baik guru..." jawab serentak para murid.

Saat mereka pergi meninggalkan Mpu Sasora, aku tetap diam dan tetap menghadap Mpu Sasora.
"Sasena, kenapa kamu masih disitu... apakah kamu tidak mau istirahat nak...???" Tanya Mpu dengan nada pelan.

"Guru, ada yang ingin aku ceritakan guru..." jawabku dengan nada rendah.

"Ada apa Sena, ceritalah padaku..." bujuk Mpu Sasora.

"Begini guru....." akupun menceritakan panjang lebar tentang kejadian di Bubat, detail demi detail aku ceritakan juga kejadian di pesanggrahan putri, di sebelah timur Bubat dan tentang titipan surat dari kanjeng Dyah Pitaloka untuk istana Kawali di Sunda Galuh.

"Hmmm,,,, jadi begitu ceritanya... aku pribadi turut prihatin dan berduka cita atas kejadian itu, dan turut bangga atas bela pati kaum putri dari pasundan dalam membela kehormatannya..." kata Mpu Sasena penuh kesedihan.

"Jadi apa yang harus aku lakukan dengan surat ini guru...???" Tanyaku penuh kebimbangan.

"Sebaiknya kamu antarkan surat itu ke negeri sunda, laksanakan mandat yang diberikan putri Dyah Pitaloka kepadamu yaitu untuk menceritakan kabar ini kepada istana Kawali di kerajaan Sunda Galuh... Dan kamu sendiri yang harus kesana..." ucap Mpu Sasora memberi penjelasan.

"Baik guru, aku sendiri yang akan kesana, untuk membuktikan aku laki-laki sejati yang selalu menjalankan tugas dengan baik..." jawabku dengan gagah berani.

"Tapi aku tak tau jalan menuju kesana guru..." lanjutku lagi dengan nada nyengir.

"hahahaaa.... jangan kuatir nak, nanti aku beri petunjuk arah kesana... jadi sebaiknya kamu istirahat dulu, besok aku persiapkan semua bekal untukmu..." jelas Mpu Sasora penuh bijaksana.

"Baik guru, aku pamit dulu mau istirahat..." akupun mengundurkan diri menuju gubuk yang biasa kami tinggali bersama-sama murid Mpu Sarora yang lain, dan mungkin ini bisa dibilang asrama padepokan.



***

Pagi ini, udara terasa dingin membuat tidurku makin pulas seakan malas bangun, tapi setelah tengok kanan-kiri sudah tak ada orang, ternyata pagi ini aku bangun paling siang, setelah aku buka pintu ternyata hari sudah terang, matahari telah memancarkan sinarnya walau belum terlalu terik.


Setelah aku melangkah keluar untuk menjemur tubuhku untuk menghangatkan otot-ototku, nampak pemandangan yang sangat indah di sekitar padepokan ini, nampak pepohonan yang tumbuh rimbun, kabut tipis yang selalu hadir setiap pagi, nampak juga sebagian murid-murid Mpu Sasora berlatih beladiri, sebagian lagi nampak sedang memulai aktifitas melebur dan menempa baja, ada juga yang sedang menyapu membersihkan halaman dari dedaunan yang jatuh, sungguh pemandangan yang sering aku lihat sebelum aku menjadi prajurit bayangkara.

"Hmmm,,, sudah lama sekali aku tak merasakan pagi di tempat ini... aku merasa damai ditempat ini..." gumamku dalam hati sambil meregangkan otot-ototku dengan senam sederhana didepan asrama.
Tiba-tiba dari kejauhan ada yang memanggilku.

"Jaka Sasena... kesinilah...!!!" Panggil Mpu Sasora dari kejauhan.

"Baik guru..." akupun berlari mendekat.

Disana telah menunggu Mpu Sasora dan temanku Wingsanggeni sambil merapikan barang-barang dan dua ekor kuda.

"Hee Sena, bangunmu siang sekali kawan...??? Dari tadi guru sudah menunggumu disini...???" Ujar Wingsanggeni.

"Heheheeee... Iyaa nih tidurku pulas banget Wing..." jawabku pada Wingsanggeni.

"Maaf guru, aku kesiangan..." jawabku menghadap Mpu.

"Gak apa-apa,,, kamu memang kecape'an... Dan ini, perbekalanmu sudah aku siapkan berikut kuda kesayanganku ini untuk menemani perjalananku, aku jamin kuda ini paling cepat larinya dibanding kuda-kuda lain yang ada di tanah Majapahit ini hehee..." jelas Mpu Sasora sambil menepuk-nepuk leher kuda dengan perawakan gagah ini.

"Baiklah, sebaiknya kamu mandi dulu, sesudah itu kamu kesini lagi..." lanjut Mpu lagi.

"Baik guru..." jawabku menuju kamar mandi dengan semangatnya.

***

Setelah selesai semua aku kembali menuju kediaman Mpu Sasora lagi, dan didalam kediamannya Mpu Sasora dan temenku Wingsanggeni telah menungguku.
"Kulonuwun..." ucapku sembari mengetuk pintu.

"Monggoo... silahkan masuk nak..." jawab Mpu halus.

"Ini semua perbekalanmu sudah aku siapkan untukmu, jadi selama diperjalanan kamu jangan kuatir lagi, peta dan segala macamnya sudah aku siapkan...." ucap Mpu Sasora.

"Terimakasih guru..." jawabku sambil menganggukkan kepala.

"Dan ini temanmu Wingsanggeni biar mendampingimu selama perjalanan, aku yakin Wingsanggeni bisa menjagamu, karena ilmu kanuragannya sudah lumayam pandai untuk menghadapi segala sesuatunya nanti..." Mpu sasora memberi wejangan.

"Baik guru Terimakasih..." jawabku lagi.

"Baiklah, mari kita sarapan dulu..." Mpu Sasora mempersilahkan kami untuk dijamu makanan yang spesial.

Setelah selesai sarapan dan mendengarkan wejangan dari Mpu Sasora, akhirnya kamu keluar dengan dua kuda yang sudah menunggu.
Nampak semua murid Mpu Sasora sudah berkumpul mengelilingu kami, setelah pamit pada Mpu dan semua murid yang ada disini, aku dan Wingsanggeni lalu segera naik ke punggung kuda siap melakukan perjalanan.

"Baik Mpu aku pamit... do'akan semoga kami selamat dalam menunaikan tugas ini..." ucapku pada Mpu dan teman-teman semua.

"Tunggu dulu nak, ini untukmu semoga kalian berdua baik-baik saja..." ujar Mpu Sasora sembari memberiku sebilah keris.


Aku yakin keris ini bukan keris sembarangan dari bentuk dan pamornya sangat artistik dan aku yakin keris ini adalah keris kesayangan Mpu Sasora karena aku sering melihat beliau merawat keris ini dengan sangat hati-hati.
Dan apapun itu, semoga keris ini bermanfaat dalam perjalananku ini seperti apa yang diucapkan Mpu Sasora.

"Amin.... makasih guru..." sahutku sembari senyum.

"Hati-hati nak, sampaikan salamku pada orang-orang Sunda Galuh..." ucap Mpu sembari melambaikan tangan.

"Baik guru..." jawabku sembari menunggang kuda meninggalkan padepokan Mpu Sasora.

"Hiaa hiaaa hiaaa..." akupun berteriak memacu kuda semakin cepat.


Saat sampai di gapura kota Trowulan tiba-tiba aku dihadang beberapa penjaga,
"Berhenti...!!!" Teriak seorang penjaga. Dan sontak kami menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada disekitar gapura.

Akupun menghentikan kudaku, tanpa turun dari pelana kuda, nampak Wingsanggeni agak emosi "Apa-apaan ini berani mengganggu perjalananku...!!!" Ujar Winsanggeni.

"Sabar Wing, mungkin mereka belum kenal siapa kita..." ucapku menenangkan.

Setelah penjaga itu mendekat dan melihat wajah kami ternyata mereka prajurit seperjuanganku.
"Oh ternyata kalian, mau kemana kok nampak terburu...???" Ucap penjaga sembari nyengir.

"Kami disuruh Mpu Sasora untuk mencari sesuatu dihutan..." ucapku sambil tetap diatas kuda.

"Maaf Wingsang, Sena sudah mengganggu perjalanannya, kami kira siapa karena semenjak tragedi di Bubat kami disuruh memperketat penjagaan... 
Baiklah kalau begitu sekarang silahkan lanjutkan perjalananmu..." penjaga itu mempersilahkan.

"Baik teman, terimakasih..." ucapku sembari melambaikan tangan.

"Hiaa hiaa hiaaa..." kami pun kembali memacu kuda begitu cepatnya meninggalkan kota Trowulan, ibukota Majapahit.

***

"Dari sinilah petualanganku yang sesungguhnya akan segera dimulai, penjelajahan seorang petualang, menjelajahi sejengkal demi sejengkal tanah Jawa dari timur hingga menuju ujung barat, negeri Sunda Galuh...
Dan disetiap jengkalnya akan aku lalui penuh dengan cerita menarik...
Karena aku yakin, perjalanan ini akan terus berjalan..."


============ BERSAMBUNG ============

Untuk kelanjutannya silahkan KLIK DISINI


Episode 4 sampai 7 menceritakan tentang sejarah berdirinya kota-kota di Jawa,
Jika ingin melewati sejarah dan kisah perjalanannya silahkan klik langsung inti cerita di episode 8 KLIK DISINI

Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah

Previous
« Prev Post

4 comments:

  1. sudah satu tahun lebih, sambungan [Cerpen] Tersesat di jaman Majapahit #3 belum ada. kapan nih..? ditunggu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini sudah saya selesaikan sampai ending mas...
      Monggo disimak kelanjutannya, semoga menambah wawasan dan menghibur... hehhee... :D

      Delete
  2. mantap bener, baru tahu hari ini. Kalau difilmkan bagus .... tapi biarlah, jangan difilmkan. Biarkan saja bentuk tulisan, karena kalau difilmkan pasti ada yang beda, dipotonglah..., ditambahlah.... Lebih enak dalam tulisan, jadi fantasinya lebih indah. GOOD....GOOD....GOOD....

    ReplyDelete
  3. Luar biasa cerita nya.keren abis....

    ReplyDelete

recent posts