Home » , , , , » [Cerpen] Aku Pendaki Kartini

[Cerpen] Aku Pendaki Kartini


"Sudah bapak bilang, kamu itu di rumah saja, bantuin ibumu jualan...!!!
Tapi kenapa kamu selalu ngeyel, nglawan orang tua terus...???
Siapa yang nyuruh kamu kuliah...???
Sekarang kamu minta izin mau mendaki gunung...???
Ingat Resty, kamu itu anak perempuan, ujung-ujungnya tugas kamu nanti hanya di dapur, di sumur, dan di kasur...
Ngapain kamu sekolah tinggi-tinggi...!!!???"
Resti dimarahi ayahnya, lalu dia lari menangis, pergi ke kamarnya.

"Braakkk...!!!" Resty membanting pintu kamar.

Di kamarnya dia langsung membantingkan tubuhnya di kasur tempat dia biasa tidur. Lalu memeluk bantal guling dengan mata yang mengalirkan air mata kesedihan.
Resti tak berani melawan ayahnya, dia hanya bisa diam dan meratapi nasibnya, namun hatinya tetap ingin melawan untuk mencoba menjelaskan bahwa perempuan juga punya hak yang sama dalam pendidikan dan dalam kegiatan yang positif.

Tak lama kemudian, ibunya mengetuk pelan pintu kamarnya.
"Tok... tok... tok..." "Resty..." ibunya memanggilnya pelan, mencoba mendinginkan keadaan. Karena hanya ibunya yang mengerti perasaan Resty.

"Kreeettt..." Resty membuka pintu kamarnya, tanpa kata lalu Resty kembali membanting tubuhnya lagi ke kasur menandakan hatinya sedang gundah gulana.

"Aku ngerti perasaanmu nak..." ibunya mencoba membujuk.

"Tapi, ada benarnya kata bapakmu, kita ini kaum perempuan, harus tepo seliro, atau menghormati kedudukan laki-laki, terutama kepada suami atau bapak kita...
Karena bagaimanapun juga, laki-laki itu diciptakan untuk memimpin kita, kaum perempuan..." ibunya mencoba menjelaskan.

"Tapi bu, sekarang jamannya sudah berubah, kita harus emansipasi, kedudukan kita sama, selagi tidak melewati batas kewajaran, kita punya hak yang sama dengan laki-laki bu...
Lagian selama ini aku kuliah kan dari hasil keringatku sendiri bu, walaupun ibu juga kadang sering membantuku, tapi aku cuma ingin mempunyai pendidikan yang tinggi dan pengalaman yang luas bu, walaupun suatu saat jika aku sudah menikah, tugasku hanya seorang ibu rumah tangga, tapi setidaknya aku punya bekal pendidikan dan pengalaman yang luas untuk mendidik anak-anakku kelak bu..." Resty menjelaskan pada ibunya sambil menangis.

"Iyaa nak ibu ngerti...
Yaa sudah, nanti ibu coba ngomong lagi sama bapakmu, semoga saja bapak mau berubah pikiran, mengizinkanmu untuk mendaki gunung...
Kalau ibu yang ngomong, insya'Allah bapak mau ngerti..." ibu memberi solusi.

"Baik bu... makasih yaa..." Resty memeluk ibunya, lalu sang ibu juga mengusap-usap rambut Resty.

"Ibu yakin, kamu bisa jaga diri kamu baik-baik...
Jaga kepercayaan ibumu ini nak..." ibu memberi pesan pada Resty.

Lalu Resty mengangguk mengerti.

"Yasudah, sekarang kamu tidur dulu... biar ibu yang ngomong sama bapakmu..." ibu lalu pergi keluar dari kamar Resty.

***

Pagi nya saat Resty baru keluar dari kamarnya, dan hendak menyapu dan menyiram tanaman di halaman rumah, sang ayah telah berada di kursi di depan teras rumahnya. Sambil menikmati gorengan dan secangkir kopi.

"Resty..." tiba-tiba sang ayah memanggilnya. Lalu Resty pun mendekat.

"Iyaa ada apa pak...???" ucap Resty menunduk wujud tepo sliro pada orang tuanya, karena dalam adat ketimuran seorang anak tidak boleh menatap mata ayahnya saat berbicara.

"Duduklah disini nak..." ayahnya berucap lagi sambil menepuk kursi menandakan agar Resty duduk disampingnya.

"Iyaa pak..." Resty duduk dengan pelan tepat di kursi samping ayahnya.

"Tadi subuh sehabis sholat, ibumu ngomong tentang kamu...
Setelah aku pikir-pikir lagi, bapak ingin izinkan kamu mendaki gunung, dan kamu boleh meneruskan kuliahmu...
Asal kamu tetap bisa menjaga diri kamu baik-baik...
Asal kamu tetap membantu ibumu jualan di pasar saat sela-sela waktu kuliah....
Dan satu lagi, asal jika kamu bersuami nanti, kamu akan menjadi istri yang baik dan mau tunduk pada suamimu kelak..." sang ayahanda memberi wejangan pada Resty.

"Bener pak...???
Makasih yaa pak..." Resty langsung mencium tangan ayahnya sembari menebar senyum indahnya.

"Berterimakasihlah pada ibumu Resty..." ayahnya tersenyum lalu membelai rambut anak semata wayangnya.

***

Hari ini, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, setelah persiapan yang matang,  Resty mengemas barang-barangnya kedalam tas keril yang baru saja dibelinya, lalu pamit kepada kedua orang tua.

"Ingat Resty, jaga diri kamu baik-baik...!!!
Bapak gak mungkin jaga kamu 24 jam, kamu sekarang sudah dewasa, kamu kudu bisa menjaga diri kamu sendiri... jaga nama baik keluarga kita...!!!" ucap sang ayah yang diikuti anggukan oleh Resty yang menandakan Resty tau maksud ayahnya.

Lalu Resty berjalan menuju ke depan rumah, karena Somat tetangga yang diminta tolong untuk mengantar Resty sudah menunggu dengan motor bebek butut yang siap mengantarnya ke titik pertemuan para pendaki lainnya.

Yaa, Resty kali ini tidak mendaki sendiri, melainkan bersama 100 pendaki perempuan lainnya yang siap melakukan pendakian kartini.
Dalam rangka memperingati hari kartini dan sekaligus pendakian bersih gunung.

Setelah semuanya siap, 100 peserta dan 20an dari pihak panitia masuk ke dalam bus yang telah disediakan oleh panitia, tiga bus ukuran sedang siap mengangkut mereka menuju titik awal pendakian di basecamp gunung Merbabu, via Selo.


"Wow... indah sekali yaa...???" ucap Resty pada sahabatnya Nita.

"Iyaa indah bangett... baru kali ini aku merasakan pengangalaman ini..." ucap Nita sembari memandangi ke arah puncak Merbabu.

"Iyaa sama Nit, ini juga pengalaman pertamaku..." jawab Resty singkat yang juga sambari menatap puncak Merbabu.


Setelah istirahat sejenak dan berdo'a, perjalanan dimulai dengan melewati pintu gerbang awal pendakian. Dengan iring-iringan peserta yang berjumlah 100, dibagi beberapa kelompok dengan jumlah 10 yang dibimbing satu mentor. Membuat iring-iringan ini berbentuk seperti ular yang meliuk-liuk mengikuti jalur pendakian.

Dengan nafas yang tersengal-sengal, dan jantung yang berdegup lebih kencang membuat para pendaki Kartini ini mengucurkan lebih banyak keringat. Tapi tekat dan semangat juang yang tinggi membuat mereka tetap semangat untuk terus melangkah mendaki.

Tapi bagi Resty, ini adalah pengalaman pertamanya, ini adalah perjalanannya yang paling melelahkan.

"Uuuhh... rasanya tak kuat lagi, beban di punggungku semakin berat, langkah yang menanjak semakin memberat, dan keringat yang bercucuran ini semakin mencekik kerongkonganku..." batin Resty berucap dalam hati.

"Keringatmu tak akan menetes sia-sia kawan..." tiba-tiba Ichsan berucap tepat di hadapnnya.

"Kok kamu tau ucapan hati ku sii...???" batin Resty berucap lagi dalam hati.

"Jelas tau donk, kita kan sehati..." Ichsan menimpali lagi.

Sementara Resty hanya bisa bengong sesekali mengusap keringat di keningnya.

"Lihatlah di belakangmu, hamparan awan yang luas dan gugusan gunung Merapi yang gagah serta dihiasi sinar jingga dari ufuk barat, membuat pandangan ini sangat eklusif bagi sebagian orang, hanya orang-orang seperti kita yang yang mau berjuang mendaki Resty, yang bisa menikmati pemandangan yang maha megah ini..." ucap Ichsan sembari menatap hamparan keindahan alam dihadapannya.

Sementara Resty tetap bengong, kagum setelah tau ternyata di belakangnya terdapat pemandangan yang luar biasa indah.

"Subhanallah..." bibir Resty berdecak kagum dengan matanya yang berbinar-binar.

"Selamat datang di pos 5, hamparan sabana yang indah dan sangat strategis untuk kita mendirikan tenda..." Ichsan berucap lagi sembari merentangkan kedua tangannya yang menandakan mereka telah sampai di pos 5.

Ichsan adalah mentor kelompok dimana Resty dan kesembilan lainnya ada di kelompok tersebut, Ichsan adalah panitia atau orang yang lebih senior dalam kegiatan di alam bebas, dia adalah sosok yang gemar bertualang menjelajahi hutan rimba dan pegunungan.

Sementara kelompok yang lain sudah bebenah mendirikan tenda, kini kelompok yang dipimpin Ichsan baru saja sampai di pos 5.


"Waahh ternyata kita kloter terakhir yaa...??? Hehhee..." ucap Nita sahabat Resty.

"Yaa makanya ayoo kita lekas mendirikan tenda, sebelum hari mulai gelap..." perintah Ichsan sembari membuka kerilnya untuk mengambil tenda.

Di pos 5 ini nampak hamparan rerumputan yang menghijau nan luas, karena di bulan april ini masih musim penghujan yang membuat rumput di sabana ini tumbuh subur.
Di bentangan sabana ini nampak warna-warni tenda para pendaki yang berdiri sebagai tempat berlindung dan istirahat setelah lelah perjalanan mendaki.


"Oke, setelah tenda kita dirikan, dilanjut kita sholat dulu, lalu kita masak-masak...
Setelah itu kita breafing, dilanjut acara santai, lalu kita tidur gasik...
Karena besok sekitar jam 3 kita harus bangun untuk melanjutkan perjalanan ke puncak, agar kita bisa nenikmati sunrise tepat di puncak Kenteng Songo, puncak tertinggi gunung Merbabu ini...
Disana kita nanti mengadakan upacara peringatan hari Kartini...
Dan turunnya dilanjut acara bersih gunung, dengan memungut sampah di sepanjang jalur pendakian dari puncak sampai di basecamp Selo... okee...???" Ichsan menjelaskan skadule yang ditetapkan panitia. Yang diiringi anggukan dari semua peserta di kelompoknya, yang menandakan semua paham atas penjelasannya.

****

Malam harinya, saat selesai breafing dan makan malam, saat semua asyik santai bercanda tawa bersama dan saling mengenal satu sama lain, Resty lebih memilih duduk sendiri diatas matras tepat di tepi lereng, sambil menikmati segelas kopi dan menyaksikan pemandangan hamparan lampu kelap-kelip kota boyolali dan Magelang. Yang di tengah-tengahnya terdapat deretan jalan raya Selo yang menghubungkan kedua kota tersebut dengan lampu kerlipan pengendara kendaraan bermotor yang lalu lalang. Dan tepat di hadapannya nampak gugusan gunung Merapi yang samar terlihat hitam ditelan kegelapan, hanya sekerlip cahaya senter dari para pendaki yang sedang berjuang meniti ketinggian di malam hari.


"Sudaahh jangan dipikirin teruuss..." ucap Ichsan menggoda yang tiba-tiba duduk disamping Resty.

"Iiiihh... apaan sii mas Ichsan..." jawab Resty singkat lalu kembali memandangi gugusan Merapi yang menghitam ditelan kegelapan.

"Kok gak gabung sama yang lain Res...???" tanya Ichsan basa yang basi.

"Kan tadi udah, sekarang lagi pingin sendiri aja...
Lagian kan mas Ichsan juga gak gabung sama yang lain, malah ikut Resty disini..." jawabnya Resty sesekali memandangi wajah Ichsan yang tertutup rapat oleh kupluk dan syal untuk menangkal dingin.

"Aaahh, aku kan mentor jadi aku punya tugas memantau semua anggota kelompokku, memastikan semua baik-baik saja...
Makanya aku cek keadaan kamu baik atau tidak, kok menyendiri disini..." jawabnya sok bijak sembari menggenggam gelas hangat yang berisi kopi hitam untuk mengusir dingin.

"Aku baik-baik aja kok, aku cuma lebih senang menikmati keindahan malam ini, apalagi saat-saat di ketinggian seperti ini, rasanya damai banget..." ucap Resty sedikit curhat.

"Yaa begitulah, hal-hal seperti inilah yang selalu membuatku rindu untuk terus mendaki..." jelas Ichsan sembari menatap jauh keatas.

Malam itu obrolan mereka semakin hangat saat mereka saling mengenal. Apalagi sosok Ichsan yang selalu ramah dan humoris yang membuatnya semakin mudah dekat dengan siapa saja. Berbeda dengan Resty yang cenderung lebih pendiam dan tertutup. Walau karakter mereka jauh berbeda namun dingin udara pegunungan ini mampu menyatukan obrolan mereka tentang keindahan alam.

"Yaudah yuukk, udah jam 9 malem, udah waktunya kita istirahat...
Jangan lupa nanti jam 3 dini hari kita bangun untuk mempersiapkan pendakian ke puncak..." ucap Ichsan menutup obrolan.
Lalu mereka bergegas menuju tenda masing-masing.

***

Saat suasana sunyi berselimut dingin beku khas ketinggian, tiba-tiba alarm handphone berbunyi mengacaukan jiwa-jiwa yang sedang lelap dalam mimpi.

Yaa, tepat 03.30wib mereka harus bangun mempersiapkan untuk segera bergegas bangun dari tidur.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, tepat pukul 04.00wib. Mereka bergegas siap membelah kegelapan, tanpa banyak obrolan, pendakian malam cenderung membekukan bibir-bibir mereka, yang terdengar hanya deru langkah para penjajak ketinggian dan hembusan nafas manusia yang menyerupai angsa-angsa yang hendak memadu kasih, dan juga hanya sorotan lampu-lampu yang menyala dari headlamp yang terpasang melingkar di kepala mereka.

Ternyata perjalanan dini hari jauh lebih merepotkan, kita harus melawan dingin beku udara pegunungan, menatap tajam menembus gelap mengikuti laju gerak sinar headlamp, bahkan nafas makin mencekik karena oksigen yang makin paceklik efek dari ketinggian, belum lagi harus memantapkan pijakan karena jalur semakin licin berlumpur setelah diguyur hujan semalam dan digempur ribuan bekas pijakan.

"Aaahhh... tubuhku semakin kaku dan membeku, kepalaku berat dan hidung tak henti-hentinya mengucurkan air seperti pancuran di pincuran tujuh Baturaden...." hati Resty mulai mengeluh.

"Tak pernah terpikirkan sebelumnya, pendakian dini hari terasa semakin berat memberatkan beban di tubuhku, padahal punggungku tak lagi diberatkan oleh keril seperti tadi siang karena semua perlengkapan ditinggal dalam tenda yang terbawa hanya logistik dan air secukupnya, namun beratnya punggungku melebihi kemampuanku membawa beban tubuhku... otot-otot di tubuhku seakan beku ingin diam tak ingin digerakkan..." hati Resty terus berucap tanpa henti.

Tiba-tiba "BRUUUKKK" tubuh Resty terpeleset jatuh tersungkur.

Seketika pikiran Resty dipenuhi kekacauan seperti kekacauan dalam tubuhnya.

Tiba-tiba datang sosok ayahnya menghampirinya.
"Sudah bapak bilang, kamu itu anak perempuan Resty, jangan melawan kodratmu...!!!
Jangan samakan tubuhmu dengan tubuh laki-laki...!!!
Jangan samakan pemikiranmu dengan pemikiran laki-laki...!!!
Jangan samakan kemampuanmu dengan kemampuan laki-laki...!!!
Allah menciptakan tubuhmu berbeda dari tubuh kaum adam Resty, semua ada maksudnya,
pahami kodratmu Resty...!!!
Bapak tidak ingin terjadi apa-apa pada dirimu Resty...!!!" suara ayahnya jelas memecah gendang telinga Resty.

"Maafin aku pak... maafin aku...
Bapak maafin aku..." bibir Resty ngeromet bak kesurupan.

Ichsan dengan sigam langsung memangku tubuh Resty yang pingsan ditengah jalur.

"Panggil team medis, panggil mbak Ulfa...!!!" Ichsan berteriak memerintahkan agar Resty segera diberi pertolongan.

"Resty kesurupan, iya Resty kesurupan..." banyak diantara yang ada disitu langsung berkerumun mendekati Resty.

"Minggir, minggir, minggir... biar aku liat keadaannya...!!!" mbak Ulfa dan rekan sebagai team medis yang ditunjuk panitia segera datang memberi pertolongan.

"Dia bukan kesurupan, dia hanya kecape'an dan gejala hipothermia...
Tolong jangan mengerumini kami, silahkan yang lain meneruskan perjalanan, biar kami menolong Resty, " mbak Ulfa menjelaskan dan dengan sigap memberi pertolongan.

"Lepaskan kaos kakinya, beri tekanan di ujung jarinya...!!!
Oiya siapkan juga tabung oksigen" mbak Ulfa memeberi perintah. Sembari memasukan kantong air hangat kedalam perutnya untuk menghangatkan kondisi tubuhnya.

"Resty, Resty, bangun Resty...!!!" mbak Ulfa menepuk-nepuk pipi Resty.

Namun bibir Resty tetap ngeromet terus berbicara ngelantur.

"Pak maafin aku pak... maafin aku..." bibir Resty terus berucap lirih tanpa henti.

"Ayoo usap-usap telapak tangan dan telapak kakinya biar tubuhnya menghantar panas...!!!" mbak Ulfa tetap memberi pertolongan medis.
Akhirnya setelah mendapat pertolongan medis, tak berapa lama kemudian Resty kembali tersadar. Namun tubuh Resty masih lemah.

"Resty, kamu baik-baik saja kan...???" ucap mbak Ulfa memastikan kondisi Resty. Lalu Resty pun menganggukan kepala menandakan dia sudah bisa diajak berkomunikasi.

"Ini minum teh hangatnya Resti agar kamu lebih baikan..." ucap mbak Ulfa sembari menuangkan teh hangat dari tremos kecil lalu menyuapkan ke mulut Resty.

"Oiya, ayo hirup oksigennya lagii..." Nita yang sedari tadi disampingnya menyodorkan tabung oksigen padanya.

Lalu "ceeesss" semprotan oksigen dari tabung kecil itu mampu membuat tubuh Resty kembali makin membaik.

"Yaudah sementara kelompok lain melanjutkan perjalanan, biar kelompok kita istirahat disini..." perintah Ichsan kepada peserta lain.

"Oke kalau semua sudah baik-baik saja, aku tinggal yaa..." ucap mbak Ulfa sembari berdiri lalu melangkah pergi.

"Tunggu mbak...!!!" Resty memanggil mbak Ulfa. Lalu mbak Ulfa pun melangkah mendekat.

"Ada apa Resty...???" tanya mbak Ulfa dengan wajah heran.

"Aku mau kembali ke camp aja mbak, aku gak mau nerusin pendakian ke puncak, aku gak mau nerusin pendakian ini mbak..." ucap Resty dengan wajah panik.

"Kamu kenapa Resty, kamu baik-baik aja kan...???" mbak Ulfa kembali bertanya.

"Iya mbak aku baik-baik saja, tapi aku takut sama bapak mbak, tadi pas aku pingsan aku melihat sosok bapak, bapak marahin aku kalau aku itu anak perempuan, gak pantes mendaki gunung mbak..." jelas Resty dengan wajah murung menunduk.

"Baik, aku mau tanya sama Resty, apa tadi Resty sudah minta izin bapak untuk ikut pendakian ini...???" tanya mbak Ulfa menginterogasi.

Resty pun mengangguk.

"Lalu kenapa kamu takut sama bapakmu...???" tanya mbak Ulfa lagi.

"Sebenernya bapak gak ngizinin, tapi setelah dibujuk ibu, akhirnya bapak terpaksa ngizinin..." jelas Resty terpatah-patah.

"Yang tadi kamu alami itu namanya halusinasi Resty, itu karena dalam pikiran Resty, Resty merasa bersalah sama bapak. Tapi ketahuilah, selagi bapak memberikan izin itu artinya Resty sudah mendapat restu dari bapak, Insya'Allah Resty akan baik-baik saja..." jelas mbak Ulfa meneduhkan.

"Ingat Resty, keindahan alam raya ini diciptakan bukan untuk dimonopoli oleh kaum Adam saja, tetapi kita semua punya hak yang sama untuk menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan ini...
Pendakian ini tidak menentang kodrat kita, ini semua tidak dilarang dalam agama, selagi kita tau batas-batasnya..." jelas mbak Ulfa panjang lebar.

"Makasih mbak Ulfa atas penjelasannya..." ucap Resty sembari bergegas mencoba berdiri.

Mbak Ulfa pun tersenyum senang melihat Resty kembali bangkit mencoba berdiri.

"Aku udah baik-baik saja mbak, ayoo kita terusin perjalanannya sebelum matahari menampakan sinarnya..." ajak Resty.

"Oke kalau begitu ayoo kita lanjut lagii..." Icshan sebagai mentor memberi perintah pada semua peserta di kelompoknya.

Lalu mereka pun kembali meneruskan langkah-langkah yang sempat terhenti, menyusuri jalur setapak menembus pekatnya gelap berlomba dengan dengan cahaya sunrise yang mulai menampakkan garis jingga di ujung timur.

***

Setelah berjalan sekian lama,
Nafas Resty kembali tersengal-sengal, langkahnya mulai gontai dengan jantung yang berdegup lebih kencang.

"Tubuhku ternyata benar-benar lemah, benar kata bapak..." hati Resty kembali mengeluh teringat nasehat ayahnya.

"Memang benar kata bapak, tubuhku berbeda dari tubuh laki-laki, kekuatan fisikku juga beda dari laki-laki, baru kini aku sadar sehebat-hebatnya perempuan tetap butuh laki-laki sebagai pembimbing,
Mungkin karena itulah panitia menempatkan laki-laki disetiap kelompok pendakian ini...
Karena itulah diterangkan jelas dalam hadist bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan...
Dan baru kini aku sadari, sekuat-kuatnya tulang tusuk, tetap butuh tulang punggung, agar bisa bersinergi menjadi satu-kesatuan yang utuh, supaya dapat hidup dan menghidupi...
Yaa, sekuat-kuatnya tulang rusuk tetap butuh tulang punggung..." hati Resty terus berkata-kata.

"Tapi aku tak boleh menyerah, bapak telah mengizinkanku mendaki, aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menjaga kepercayaan bapak, aku harus baik-baik saja... aku harus kuat..." hati Resty menyemangati diri, sembari terus melangkah untuk menambah ketinggian karena dalam pendakian setiap langkah adalah menambah ketinggian.

"Yaa, kamu harus kuat Resty..." suara yang sudah tak asing lagi tiba-tiba memotong ucapan hati Resty.

"Iiihhh kamu lagi kamu lagii...
Kenapa sii kamu selalu tau kata hatiku...???" ucap Resty sedikit sewot.

"Karena kita sehatii... hehhee..." jawab Ichsan nyengir yang sudah berdiri tepat diatas Resty sembari menyodorkan tangannya untuk membantunya naik di tanjakan yang curam.

Sesaat Resty terdiam, hanya memandangi tangan Ichsan yang menjulur siap menolongnya. Dengan jari-jari dan telapaknya yang terbungkus sarung tangan tebal berwarna abu-abu yang dibelinya di pasar Selo seharga tiga ribu rupiah.

"Ayoo berpeganglah, aku memang bukan muhrimmu, tapi setidaknya tanganku dan tanganmu telah terlapisi sarung tangan tebal...
Dan satu-satunya niatku hanya ingin menolongmu..." ucap Ichsan sok pahlawan.

Setelah Resty sampai di atas tanjakan itu, Ichsan langsung melangkah mundur dengan kedua tangan yang membentang sembari berucap:

"Selamat datang di Kenteng Songo, puncak tertinggi gunung Merbabu...
Hanya jiwa-jiwa yang tangguhlah yang mampu sampai di titik ini..." ucap Ichsan menyambut Resty sebagai pendaki paling akhir yang sampai di puncak gunung itu.

"Waaooww... indah sekali mas..." ucap Resty penuh ketakjuban.

Tak berapa lama Nita dan teman-teman sesama pendaki Kartini langsung menghampiri Resty dan langsung memeluknya.

"Aaaawww... asyiikk... horeee... yeyeyeee..." teriakan histeris khas anak muda seusianya.

"Aaahh dasar cewek..." hati Ichsan berucap sembari melangkah pergi karena merasa diabaikan.

"Yaa, ini adalah pengalaman terhebat kami, menggapai puncak gunung yang tinggi, dengan tekat dan kegigihan yang kuat, akhirnya kami kaum hawa mampu membuktikan pada dunia, bahwa keindahan alam ini diciptakan bukan untuk dimonopoli oleh kaum Adam saja...
Tetapi, kita semua punya hak yang sama untuk menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan ini...
Terimakasih Tuhan atas limpahan anugerahMu ini..." hati Resty berkata-kata penuh ketakjuban.

Sunrise pagi itu sungguh indah luar biasa, dengan hamparan awan putih luas tanpa ujung, dengan cahaya jingga yang melukis langit dengan busur emasnya. Nampak gunung Lawu terlihat kecil karena efek jarak yang membentang. Disebelah kanan nampak gugusan megah gunung Merapi berwarna keemasan karena efek cahaya yang memaparnya.
Begitulahah pemandangan khas puncak Gunung Merbabu.


Setelah selesai menikmati sunrise dan berfoto-foto ria, semua peserta berkumpul melakukan upacara dalam rangka memperingati hari Kartini. Dan upacara pun berlangsung sangat hikmat.

Setelah upacara selesai, semua peserta menikmati sarapan, roti beserta teh hangat yang disediakan oleh panitia.

Seperti biasa, Resty lebih suka menyendiri menikmati pemandangan yang indah itu sendiri di bibir lereng yang curam.

"Ini benar-benar indah Tuhan, terimakasih atas anugerahMU ini, biarkan kami tetap menjaga keindahan alam ini tanpa harus ternoda oleh tangan jail yang tak bertanggung jawab..." batin Resty berucap lirih.

"Andai saja Tuhan mengizinkan, aku ingin tetap mendaki hingga aku menikah nanti, bahkan jika suamiku kelak mengizinkan, aku ingin terus mendaki... 
Karena dengan mendaki aku dapat menemukan jati diri, merasakan kemegahan alam yang luar biasa ini..." batin Resty terus berucap tanpa henti.

"Aku yakin do'a kamu akan terkabul kok, suami kamu gak cuma mengizinkan, tapi dia akan terus mendampingimu menggapai puncak-puncak tertinggi itu..." lagi-lagi Ichsan memotong pembicaraan kata hati Resty.

"Iiihhh apaan siihh kamu... gangguin aku muluu..." ucap Resty sembari mendorong-dorong tubuh Ichsan yang duduk tepat disampingnya. Dan Ichsanpun hanya bisa tertawa.
"Hahahaaa....."

****

Yaa, ini adalah pengalaman terindahku dalam mendaki, banyak hal dan banyak pelajaran yang bisa aku petik dari perjalanan ini.
Dan semoga saja perjalananku ini bisa menginspirasi para perempuan-perempuan Indonesia untuk dapat melepaskan belenggu yang memasung kebebasan dalam menjelajahi Nusantara, untuk menikmati keindahan alam negeri kita...
Oleh karena itu, marilah kita mendaki...!!!!


====================================
====================================

Batik Binzah bersama Kartini Gunung @puncak Merbabu

====================================
====================================


Kini tujuh tahun telah berlalu, sejak pendakian Kartini itu, kedekatanku dengan Ichsan terus terjalin. Bahkan Ichsan sering mengajakku mendaki gunung-gunung yang belum pernah digapainya.
Setelah aku wisuda, Ichsan memberanikan diri menemui kedua orang tua ku untuk melamarku. Dan tak lama kemudian kami menikah. Setelah menikah kami tetap rajin mendaki bersama, bahkan bulan madu kami, kami adakan di puncak gunung Rinjani. (keren bukan...???)

Hingga aku dinyatakan Hamil oleh dokter yang membuat Ichsan menvonisku untuk tidak lagi mendaki, kecuali jika anak kami telah berumur 4 tahun.

***

Dan kini Anjani anak pertama kami genap 4 tahun, sudah waktunya vonis itu berakhir, untuk merayakan kebebasanku aku putuskan untuk mendaki bersama keluarga kecilku.

****

Hari ini, 21 april 2016 tepat 7 tahun sejak pendakian Kartini itu...
Disini, basecamp merbabu ini, aku berdiri dengan percaya diri, menggendong keril besar yang menempel di punggungku, menatap ke puncak tertinggi itu...
Tapi kali ini aku tidak lagi berjalan sendiri,
Ada enam kaki yang akan berpijak seirama...
Ada tangan-tangan yang saling menggandeng untuk saling menguatkan sesama...
Ada mata yang saling memandang dengan bibir yang senyum mengembang untuk saling memotivasi satu sama lain...

Yaa, kali ini aku bersama Anjani putri kecilku dan Ichsan suamiku,
Bersiap dalam pendakian perdana setelah 4 tahun berhenti mendaki demi keluarga tercinta...

Di jalur pendakian Merbabu ini telah mengajarkan banyak hal dalam kehidupanku, tentang kebersamaan, tentang kepedulian, dan tentang kecintaan...
Bukan hanya terhadap alam maupun sesama, tetapi juga terhadap Tuhan Sang Maha Pencipta.
Dan hari ini akan kembali aku ajarkan pada buah hati kami tentang nilai-nilai itu agar dia lebih peduli dan bersahaja.

Cepatlah besar Anjaniku...!!!
Jadilah Kartini yang tangguh...!!!
Keindahan Nusantara menantimu...
Dan ajarkan pada dunia, tentang nilai-nilai kebersamaan, kepedulian dan kecintaan...
Agar bumi ini makin damai dan lestari...

*Merbabu - 21 April 2016*


====================================
===============SEKIAN===============
====================================





Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah

Previous
« Prev Post

7 comments:

  1. Idenya menarik, tentang nikmatnya mendaki gunung bagi perempuan muda.

    Untuk judul, saya kurang enak membacanya. Tentu maksudnya untuk menunjukkan "kekartinian" kan. Tapi biarlah itu ada dalam isinya. Judul Aku Pendaki Kartini; pembaca langsung mudah menebak isinya.

    Hal yang perlu keberanian dalama menulis cerita adalah melakukan edit. Memangkas paragraf, memotong kalimat bahkan membuang kata, agar efisien atau tidak bertele-tele dalam bertutur.

    Terimaksih ya............ Salam hangat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanx'yu brother atas masukannya...
      Sangat bermanfaat...
      Kalau untuk judul, memang saya sering menggunakan istilah2 pendakian, karena pembaca saya rata2 dari komunitas Pendaki Gunung...
      Pernah nulis cerita pendakian dengan judul yang lain biar penasaran, tp malah pengunjungnya berkurang..
      Sementara kalau diberi judul sesuai isi tentang pendakian, malah banyak yg tertarik membaca...
      Karena tema tulisan saya rata2 memang di pendakian gunung...

      Sekali lagi makasih atas masukannya, nanti saya coba edit paragraf2 yg berkesan bertele2... :)

      Delete
  2. Nice share..
    bagus cerpennya.. terus berkarya gan :)

    ReplyDelete
  3. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    ReplyDelete
  4. mantap gan untuk cerpennya, sukses untuk artikel lainnya.. Ditunggu untuk cerpen lainnya

    ReplyDelete
  5. nama ichsan loh.. Dede Ichsan Maulana .. wah ternyata istriku resti namanya .. jadi terharu :') jomblo 8tahun terbayar sudah meskipun dalam cerpen :')

    ReplyDelete

recent posts