[Cerpen] Aku Benci Ibu

By: Ahmad Pajali Binzah



Jam empat dini hari tepat menjelang subuh, tidur mbok Darmi terusik oleh tangis jerit dari seorang bayi di depan rumahnya.

"Suara apa itu...??? apa mungkin sundel bolong nongol disaat menjelang subuh gini..." hati mboh Darmi bertanya-tanya sambil mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Mbok Darmi berjalan tertatih menuju depan rumahnya. Makin dekat suara tangisan itu semakin jelas terdengar. Dak dik duk jantung mbok Darmi makin keras, karena sebagai orang tua yang tinggal sendirian ditepi sawah, sudah biasa mbok Darmi mendengar suara-suara aneh, dan sudah berkali-kali juga mbak Darmi diganggu oleh mahluk-mahluk astral yang tak jelas juntrungannya. Tapi kali ini suaranya sungguh berbeda, suara bayi itu jelas dan makin kencang tangisannya.

Mbok Darmi mencoba memberanikan diri membuka pintu rumahnya untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

"Astaghfirullah..." bibirnya mbok Darmi reflek berucap.

Alangkah kagetnya mbok Darmi melihat sesosok bayi mungil yang hanya terbungkus kain jarit tergeletak didepan pintu rumahnya. Dengan tertulis surat "tolong rawat anak ini, dan berilah dia nama Tarsono..."

Mbok Darmi seketika langsung mengambil anak itu, dipeluknya erat-erat dan dibawanya masuk ke dalam rumahnya yang sederhana.

***

Yaa, hari itu 21 tahun yang lalu tepat ditengah malam tangis bayi yang baru dilahirkan pecah menyobek kesunyian malam, bayi yang kelak akan tumbuh dewasa menjadi seorang yang membenci sosok ibu dalam hidupnya.

Bagaimana tidak bayi yang baru terlahir ke dunia itu tak pernah mendapatkan kasih sayang dan air susu dari ibunya. Ditengah pekat kegelapan malam, bayi itu dibungkus kain batik dan dibuang didepan rumah tua ditepi perkampungan yang berbatasan dengan sawah.

Yaa, rumah itu milik mbok Darmi, janda tua yang tak memiliki anak ataupun cucu, anak semata wayangnya tiga tahun yang lalu telah meninggal saat melahirkan bersama anak yang dilahirkannya, sementara menantunya pergi ke negeri jiran untuk menjadi buruh di perkebunan karet yang sampai sekarang tak pernah pulang atau memberi kabar.

***

Dua belas tahun kemudian, anak itu tumbuh menjadi anak yang nakal dan arogan. Teman-teman sebayanya sering menangis karena kenakalannya.
Berantem dengan teman sekolah sudah menjadi kebiasaan, bahkan tak jarang guru pun ia lawan.
Hingga dipertengahan kelas enam sekolah dasar dia harus dikeluarkan dari sekolahnya karena berani memukul dan melawan kepala sekolahnya.

"Bener-bener keterlaluan..."
ucap guru yang ada disana.

Mbok Darmi hanya bisa tertunduk malu saat dirinya dipanggil pihak sekolah atas surat keputusan tersebut.
Namun walaupun begitu mbok Darmi tetap sayang pada Tarsono yang telah dianggap seperti cucu kandungnya sendiri.

Tapi lagi-lagi Tarsono tetap tumbuh menjadi anak yang super nakal, tak pernah menghiraukan kasih sayang dari mbok Darmi.

***

Disuatu hari pernah Tarsono sedang berjalan di kampungnya, lewatlah dia di depan ibu-ibu yang sedang menggunjingkan sikapnya yang nakalnya luar biasa.

"Itu cucunya mbok Darmi, nakalnya amit-amit... beda jauh sama neneknya yang baik hati..." ujar salah satu ibu.

"Pantes saja beda sama mbok Darmi, itu kan anak nemu, entah siapa ibu dan bapaknya, bisa dipastikan itu anak haram... pasti hasil hubungan gelap..." ucap ibu yang satunya.

"Bisa jadi bapaknya juga penjahat, kemaren saja hampir dihajar orang sekampung karena mabuk dan ngamuk-ngamuk didepan rumah orang, untung saja mbok Darmi yang datang dan memohon agar cucunya dimaafkan..." ucap ibu-ibu yang lain.

"Kok bisa yaa ada anak seperti itu... masih kecil sudah suka mabuk dan judi, sudah gak sekolah lagi... amit-amit jabang bayi deh..." ucap yang lain lagi.

Seketika kuping Tarsono panas, diambilnya sebatang bambu yang ada disekitarnya dan dipukulkannya bambu itu pada ibu-ibu yang ada disana.

"Aku benci seorang ibu, aku benci ibu-ibu seperti kalian..." teriak Tarsono sambil memukul-mukul dengan bambu yang ada ditangannya.

Sontak suasana jadi riuh dan mendadak menjadi tragedi yang mengerikan, Tarsono yang mengamuk berbalik dia yang menjadi sasaran amuk warga.

"Pukul...!!! Pukul...!!! Pukul...!!! pukul anak durhaka itu...!!! Habisi nyawanya...!!!" teriak warga.

Hari itu tarsono menjadi bulan-bulanan warga yang kesal atas ulah Tarsono selama ini.

Untung mbok Darmi datang tepat pada waktunya. Lagi-lagi nyawanya diselamatkan oleh mbok Darmi.

"Tolong hentikan, jangan sakiti cucuku...!!! dia cucuku..." teriak mbok Darmi sambil memeluk Tarsono.

Warga akhirnya merasa iba dengan mbok Darmi, ditinggalkannya Tarsono yang sudah babak belur dengan darah yang melumuri tubuhnya, nampak disampingnya mbok Darmi yang selalu setia melindunginya. Memeluknya sambil membersihkan wajahnya yang sudah memerah karena darah.

***

Kini 21 tahun telah berlalu, Tarsono yang nakal diusianya yang remaja kini mulai beranjak dewasa.

Akulah Tarsono itu...!!!
Orang yang selalu membenci perempuan terutama sosok seorang ibu, karena bagiku ibu tak ubahnya seperti iblis yang hidup di dunia ini. Yang entah seperti apa bentuk ibu kandungku itu.

Akulah Tarsono itu...!!!
Anak yang terbuang, yang tersia-siakan hidup didunia ini, andai bisa memilih lebih baik aku mati saat dilahirkan dulu.

Yaa, akulah Tarsono itu, kini aku sudah menjadi laki-laki dewasa...

***

"Tarsono, darimana kamu nak, simbok menghawatirkanmu..." ucap mbok Darmi yang tubuhnya mulai rapuh dimakan usia.

"Dari jalan mbok, bosen dirumah terus..." jawabku singkat.

"Kamu jangan nakal terus No, kasihan simbok, simbok sudah gak bisa melindungimu kalau kamu ada apa-apa nanti..." ucap simbok dengan nada lemah.

"Jangan kuatir mbok, aku bisa menjaga diriku sendiri, jika ada yang menghajarku, akan aku hajar balik dia... sekarang tubuhku sudah kuat mbok..." jawabku sambil masuk ke kamar meninggalkan simbok yang sendiri dikursi depan.

***

Yaa, aku sadar betapa sayangnya simbok kepadaku, hingga harta benda dan jiwa raganya dipersembahkan untukku, tapi entah kenapa aku tetap tak bisa menghargai pengorbanannya, bagiku perempuan yang ada di dunia ini sama saja, mereka hanya memenuhi isi dunia. Bikin dunia ini penuh sesak berisi manusia.

Andai saja di dunia ini gak ada perempuan, mungkin aku tak akan pernah terlahir di dunia ini, dan bagiku itu lebih baik.

***

Akulah Tarsono itu, sosok pemuda yang tak mengenal siapa ibunya.
Aku terlahir dari perut bumi dan dibesarkan diatas bumi.
Aku tak pernah tau dan gak mau tau siapa itu ibu, bagiku itu tak penting dan tak perlu dicari tau.

Akulah Tarsono itu, laki-laki yang bisa hidup mandiri tanpa ibu.

***

Tapi saat aku sedang duduk di pangkalan ojeg tempatku mangkal, tiba-tiba ada yang memanggilku.

"Tarsono..." seorang wanita muda memanggilku begitu pelannya.

Aku menengok, aku tatap wajahnya yang tak asing bagiku, dia wanita yang selama ini sering mengikutiku bahkan sering menjadi pelanggan ojegku.
Aku hanya bisa diam sambil terus memandanginya penuh heran.

"Sekarang kamu sudah besar nak..." ucap wanita itu sembari mendekat.

Aku tetap diam penuh heran, tak mengerti apa yang dimaksud wanita itu.

"Aku ibu kandungmu nak..." jelas wanita itu dengan wajah nemelas penuh haru.

Mendengar kata pengakuan itu seketika emosiku meledak,

"Ooohhh ternyata kau orang yang selama ini aku cari...
Orang yang selama ini aku benci...
Berani-beraninya kau datang menghampiriku, setelah membuangku waktu bayi...!!!" ucapku tak mampu meredam amarah.

"Tapi nak, maafkan ibumu ini nak..." ucapnya sambil mencoba memelukku.

Aku langsung berontak, kudorong tubuhnya kuat-kuat, terasa jijik aku dipeluknya. Saking kuatnya hingga aku sendiri yang terpental roboh jatuh ke tanah. Bokong dan pinggulku terasa patah terhantam tanah, sementara ibu itu hanya tergoyah tak sampai jatuh sepertiku.
Mencoba ibu itu mendekatiku lagi, aku berusaha menghindar, dengan posisi yang masih terlentang aku mencoba mundur dengan kaki, bokong dan tangan sebagai tumpuan, persis seperti laba-laba yang sedang berjalan mencari sarangnya.

"Maafkan aku nak, maafkan ibumu ini..." ibu itu menangis menghiba. Bersimpuh dihadapanku yang masih terkapar dihadapannya.

Lantas aku mencoba berdiri, dengan emosi aku tunjuk-tunjuk wajah ibuku.

"Persetan dengan ibu, persetan dengan wanita-wanita di dunia ini...
Aku bukan anak dari seorang wanita, aku anak yang terlahir dari perut bumi...
Kau tidak pantas dipanggil seorang ibu, kau tak ubahnya seekor binatang yang membuang anak kandungnya sendiri, kau tak pantas disebut manusia...!!!
Kau benar-benar bukan manusia...!!!"
Ucapku penuh emosi yang membara.

"Tidak nak, tidak... aku ibumu, aku menyayangimu nak..." ibu itu terus menangis dengan tangan yang ditekuk ke dada.

"Tidak, aku tidak pernah punya ibu...!!! Aku anak bumi yang lahir dan besar dibumi...!!!" emosiku tetap tak terkendali.

Lantas aku ambil sebuah batu yang ada di sekitarku, ku angkat tinggi-tinggi batu itu, akan segera aku hujamkan batu itu ke kepala ibu itu...

"Ayoo pukul aku...!!! Bunuh ibumu ini agar kamu bisa bebas dari derita hidupmu...!!! Biar kamu puas melepas kebencianmu pada seorang ibu...!!!" ucap ibu itu dengan air mata yang terus membanjiri pipi dan wajahnya.

Aku yang semula terkenal sangat kejam kini hanya bisa diam bak patung batu.
Aku yang semula sangat arogan kini hatiku seakan luluh.

Aku melihat matanya seperti melihat diriku sendiri.
Aku melihat wajahnya persis seperti wajahku.
Dirinya persis seperti diriku.

Aku mulai sadar, bahwa darahnya adalah yang mengalir didarahku.
Tulang dan dagingku ini adalah bagian dari dirinya.

Sesaat aku terdiam, termenung dengan sosok ibu yang ada dihadapanku.

Tapi lagi-lagi kebencian terus membakar hati, seketika aku angkat tinggi-tinggi batu itu lantas dengan cepat aku hujamkan batu itu.

"Hiaaaa!!!!" teriakku sambil menghujamkan batu.

Batu itu menghantam dengan kerasnya, sangatlah keras. Hingga tanah yang menjadi landasan batu itu ringsek membentuk lubang bengikuti bentuk batu itu.

Yaa, batu itu sengaja aku banting tak mengenai ibu itu. Tapi bukan berarti aku memaafkan ibu.

"Pergi...!!! Pergi...!!! Pergi dari hadapanku...!!!" teriakku mengusirnya.

"Maafkan ibu nak... ibu menyesal..." ibu itu terus menjelaskan.

"Tidak, tidak ada ibu yang sepertimu... pergiii...!!!!
Kau tak pantas dipanggil ibu..." aku tetap mengusirnya.

"Baik, baik, jika itu yang kamu mau nak... aku akan pergi dan gak akan menemuimu lagi, tapi suatu saat kamu akan tau alasan mengapa ibu melakukan semua ini..."ucap ibu itu sembari mengusap air matanya dan bergegas pergi.

***

Tanpa sadar dari tadi aku menjadi tontonan orang-orang yang ada disekitarku.
Mereka hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat apa yang aku lakukan, mereka pasti menganggapku anak yang durhaka dan sangat kejam terhadap ibunya sendiri, tanpa mau tau alasan apa yang sesungguhnya terjadi.

***

Benar, sudah hampir satu bulan aku tak pernah melihat ibu itu lagi, yang biasanya sekedar memperhatikanku dari jauh bahkan kadang menumpang ojeg untuk diantar ke tempat yang tak menentu.

Kadang aku merasa merindukan sosoknya, tapi emosi dan dendam tetap ada dan membara di dada.

"Aaahh,,, buat apa aku peduli pada ibu yang tak pantas disebut ibu..." ucap batinku mengenyahkan.

***

Akulah Tarsono itu, laki-laki yang hidup di dunia dengan penuh gagahnya, dan bagiku perempuan hanya penghias dunia tanpa pengaruh apa-apa.

Dan akulah Tarsono itu, laki-laki penguasa wanita.

***

Hingga disuatu hari saat aku sedang menunggu penumpang di pangkalan ojeg.

"MasNo kemana aja kamu mas, kok gak pernah kasih kabar...???" ucap seorang gadis yang sudah lama aku kenal.

"Emang kenapa Rom, bukankah kita sudah putus...???" jawabku ketus.

Yaa, dia Romlah gadis yang sudah satu tahun ini aku pacari. Tapi kini aku sudah mulai bosan dengannya, dan seperti biasa aku nemilih meninggalkannya dan mencari pengganti yang baru lagi.

"Apa mas...??? Semudah itu kamu bilang putus...???" ucap Romlah kecewa.

"Iyaa... karena aku telah muak denganmu..." jawabku.

"Kamu tega mas... aku kini sedang mengandung anakmu mas..." jawab Romlah sedih.

"Haahh emang aku peduli apa...??? Bagiku kamu tak berarti apa-apa dalam hidupku..." jawabku enteng.

"Mass... pliss mas, aku ingin kita segera menikah..." ucap Romlah.

"Apa...??? Bukankah kamu tau, kita gak mungkin menikah, bukankah orang tuamu gak setuju dengan hubungan kita..???" jawabku sewot.

"Aku siap ikut denganmu mas... aku ingin menikah walau orang tuaku tak setuju, aku ingin menemanimu kemana pun kamu pergi mas..." ucapannya makin menghiba.

"Tidak, aku telah bosan denganmu... aku tak peduli keadaanmu..." aku tetap tak memperdulikannya.

"Baik, baiklah kalo kamu tak peduli lagi, aku akan pergi jauh dari kehidupanmu...
Aku akan melahirkan bayi ini dan akan aku buang bayinya...
Lalu aku akan bunuh diri...
Karena aku yakin, jika bayi ini besar nanti, pasti dia tak akan bisa memaafkan aku..." kata terakhir dari Romlah dengan nada mengancam.

Lalu dalam sekejap dia pergi dari hadapanku sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya. Langkahnya sangat cepat, lebih cepat dari langkah hatinya meninggalkan ikatan cintanya.

Dan kata-kata terakhir Romlah seakan bagai tombak yang melayang menusuk dadaku. Menyesakkan sekali, hingga aku tak bisa berucap apa-apa lagi, bahkan untuk sekedar menahan dia pergi.

Seketika anganku terbang melayang pada lamunan yang teramat dalam, teringat aku pada sosok ibuku, seseorang yang telah aku usir karena aku tak bisa memaafkannya.

Hingga terfikir olehku,
Inikah yang ibu alami dulu, ditinggal kekasihnya dalam keadaan mengandung aku. Inikah yang dirasakan ibu.

"Ibu..." bibirku berucap lirih menyesali.

Yaa ibu dalam kondisi yang tidak memungkinkan harus pergi meninggalkan rumah agar aib keluarganya terjaga. Ibu yang harus berkorban nyawa melahirkanku, walau akhirnya harus membuang aku karena aku tau diusianya yang masih belia ibu tak mungkin bisa berfikir lebih dewasa.

Dan aku mulai teringat saat simbok sering bercerita, saat beras di dapur habis, tak lama kemudian pasti di depan rumah ada beras beserta sayuran dan lauknya, bahkan saat simbok kehabisan uang, pasti ada ibu-ibu muda yang datang memberikan uang sekedarnya. Dan aku yakin sosok itu adalah ibuku, ibuku yang selalu memperhatikanku dari kejauhan. Itu pasti ibu.

"Lantas dimana ibu sekarang, apakan beliau sudah pergi mengakhiri hidupnya sendiri seperti yang dikatakan Romlah karena anaknya tak pernah memaafkannya...???" ucap batinku.

Pikiranku mulai kacau, terbayang semua kesalahan-kesalahanku dimasa lalu. Dimana kekesalan dalam hidupku, aku lampiaskan pada perempuan-perempuan yang sebenarnya tak pernah bersalah.

Karena sesungguhnya laki-laki lah yang bersalah. Yaa laki-laki lah yang seharusnya bertanggung jawab atas itu semua.

Dan aku, aku bukan ayahku. Laki-laki yang tega meninggalkan ibu saat mengandung aku.
Aku adalah laki-laki yang pantas disebut laki-laki.

"Ibu maafkan aku... ibuu..." jerit batinku makin keras hingga air mataku tak tetasa menetes.

Tapi tiba-tiba aku juga teringat pada Romlah, calon ibu dari bayiku, aku tak ingin anakku bernasib sama seperti aku.

"Romlah dimana kamu...???" teriakku dengan mata yang menyapu pandangan, namun tak kutemui Romlah dalam penglihatanku.

"Yaa Romlah sudah pergi jauh, aku harus mencarinya, aku harus menemukannya, aku tak ingin kehilangannya..." ucapku gugup sambil menyalakan motor bebek tungganganku.

Saat aku mulai menyalakan motor tiba-tiba ada yang memanggilku,

"Bang, ojeg bang..." ucap ibu-ibu langgananku.

"Maaf hari ini gak narik..." jawabku singkat sambil mengegas motor kesayanganku.

Motor aku tancap cepat seperti Rossi yang melibas lawan-lawannya di sirkuit ternama.
Tempat yang aku tuju adalah rumah Romlah. Aku ingin menjemputnya dan akan menikahinya.

***

"Maaf Romlah sudah dua hari ini gak pulang, bapak sudah mencari kemana-mana tapi belum membuahkan hasil..." jawaban orang tua Romlah yang membuat hatiku hancur dan merasa putus asa.

Seketika aku sadar, berarti tadi saat Romlah menemui aku, dia telah pergi dari rumah untuk siap hidup denganku.
Dan saat ini aku benar-benar takut kehilangannya, aku tak ingin tragedi 21 tahun yang lalu terulang kembali, cukup aku saja yang menjadi korbannya.

Dalam tangis batinku, terbesit dalam pikiranku bahwa Romlah pasti pergi ke kota untuk membesarkan kandungannya dan melahirkan disana.

"Yaa,,, aku harus mencarinya ke kota, aku akan minta izin mbok Darmi dulu untuk pamit mencari ibu kandungku sekaligus mencari calon ibu dari anakku..."

Aku kembali tancap gas, mengendarai motor kencang untuk pulang menemui simbokku.

Aku benar-benar panik, aku tak pernah segugup ini. Dengan kecepatan tinggi ku geber motor melewati jalan sempit di perkampunganku sendiri.

Setelah sampai di depan rumahku, alangkah terkejutnya aku.
Aku melihat rumahku ramai tak seperti biasanya, banyak orang yang mendatangi rumah bambu sederhana milik simbokku.

Aku standarkan motorku lalu mulai melangkah menuju rumah tua itu.

Suasana sangat berbeda dari biasanya, banyak tetangga-tetanggaku tak biasanya berkumpul seperti itu.

Aku melangkah pelan mendekati kerumunan itu.

Nampak tetua desa datang menghampiriku sebelum aku sampai kedalam rumah itu. Menepuk pundakku pelan sembari berkata.

"Yang sabar nak, simbokmu telah..." ucap tetua desa yang tak sanggup meneruskan kata-katanya.

"Jleebb..." serasa tombak besar kembali menusuk jantungku.

Setelah aku kehilangan ibu dan calon ibu dari anakku, kini aku harus kehilangan satu lagi sosok ibu yang selama ini merawatku.

Tubuhku bergetar kencang, kencang sekali seperti mesin pemadat aspal yang biasa aku lihat di jalan.
Seakan aku tak kuasa menahan beban hidup ini.

"Simbooookkkkk...!!!" aku berteriak sekencang-kencangnya.

"Simbooookkk...!!! aku sayang simboookk...!!!
Maafin aku mbookkk...!!!" aku terus berteriak.

Aku sangat menyesal belum sempat mengucap sayang pada simbok, aku menyesal tidak pernah memperhatikan simbok. Kini simbok telah pergi meninggalkan aku disini sendiri.

Seketika tubuhku mulai lunglai, lalu kesadaranku mulai menghilang, pandanganku putih memudar, dalam remang-remang aku melihat banyak orang dengan sigap menangkap tubuhku dan memapahku menuju rumah itu.

***

Akulah Tarsono itu, sosok laki-laki yang selalu merindukan sosok ibu.

"Dan akulah Tarsono itu...

Yaa akulah Tarsono itu..."


Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah

Previous
« Prev Post

7 comments:

  1. wih terimakasih nih, sangat bagus cerpennya nih...

    ReplyDelete
  2. Yang biasanya males baca jadi suka baca karena bahasanya mudah dipahami...
    Apalagi judulnya yang mengundang tanya... mantepp deh kang cerpennya...

    ReplyDelete
  3. Biasanya setiap cerpenis punya ciri khas dan gaya tertentu dalam menyampaikan pikirannya, dan ane ngeliat kang ahmad ini mencoba mengexplore beragam kreativitas, dan ane salut kang ahmad bisa bkin cerpen yg berkarakter! Namun kang, ane baru ketemu benang merah ciri khas cerpen akang itu dari sudut pandangnya, top deh kang lanjutkan! Oia kang saran ame tetap jaga jgn smpai ada cerita yg memancing syahwat ya kang, keep neutrality and go success ! :)

    ReplyDelete

recent posts