Kembali aku bersihkan carriel dan sepatu gunung serta alat-alat pendakian lain yang telah lama teronggok tak terpakai di gudang belakang rumahku. Ku tepuk-tepuk topi rimba dan debu-debu yang menempel pun beterbangan memenuhi ruang gudang di rumahku.
Sudah empat tahun lebih aku pensiun mendaki, bukan karena cidera otot atau tak punya waktu luang lagi, tetapi karena kecintaanku pada kekasihku, kekasih yang selalu memberiku imajinasi, hingga untuk membuatnya bahagia aku harus rela mengorbankan kecintaanku pada hobiku sendiri.
"Ini tentang cinta yang menentang kecintaan.." ucap hatiku yang susah aku ucapkan dengan bibirku. Sambil memakai topi yang entah kapan terakhir kali aku memakainya. Dengan tersenyum-senyum di depan cermin usang yang menempel di tembok yang mulai rapuh. Aku usap cermin itu dengan telapak tanganku agar bayangan wajahku terlihat lebih jelas yang menggambarkan kegantenganku dimasa lalu.
"Tapi apapun itu, demikian kecintaanku pada kekasihku, aku harus ikhlas meninggalkan kecintaanku pada hobiku..." ucap hatiku lagi. Dengan menatap atap-atap ruangan itu yang mulai lapuk tak tertata.
"Begitu cintakah aku pada dirinya hingga aku tega meninggalkan barang-barang kesayanganku ini begitu lamanya tak terurus disini. Hingga untuk menjemputnya lagi butuh kejadian yang sangat luar biasa dalam sejarah kehidupanku ini, yang mampu memporak-porandakan peradaban yang ada dalam jiwaku...???" tangisku sambil memeluk topi rimba kesayanganku dulu.
"Maafkan aku sobat, kaulah yang selama ini menemani perjalananku, melindungiku dari teriknya matahari yang menyambar dan membakar rambutku... Maafkan aku jika selama ini aku meninggalkankanmu di tempat sepengap ini..." ucapku meneteskan air mata dengan memandangi topi rimbaku, dan sesekali menatap carriel yang masih tergelantung di dinding ruangan itu.
Aku mendatangi carriel itu lalu ku gendong di punggungku, kupakai lagi topi rimba yang sedari tadi aku pegangi, dan bibirku dengan semangatnya berkata,
"Inilah aku, sang pendaki yang akan tetap mendaki... dan saat ini aku tetap menjadi aku seperti aku empat tahun yang lalu..."
Aku merasa begitu gagahnya berdiri di depan cermin, aku seperti menemukan kembali jiwaku yang telah lama hilang.
Teringat saat carriel dan topi ini aku kenakan, dengan sepatu gunung yang melapisi pijakanku, saat hendak mendaki gunung Merapi dan saat itu aku bertemu nenek tua yang sedang istirahat di batu besar di pinggir jalur, karena kelelahan setelah menggendong seikat kayu bakar yang dicarinya dari dalam hutan.
"Kamu nampak seperti tentara nak, gagah dan ganteng sekali dirimu..." ucap nenek tua yang pipinya mulai keriput mengikuti perjalanan usianya.
Aku hanya bisa mengucapkan "terimakasih" dengan bibir tersenyum dan hati yang tersanjung.
Tapi saat ini hatiku bertanya-tanya, kenapa aku yang seganteng ini harus tersakiti oleh penghianatan cinta...???
cinta yang selama ini aku perjuangankan, yang selama ini aku agung-agungkan...??? Empat tahun lamanya aku mengabdikan hidupku sepenuhnya untuk kebahagiaannya. Sejak masa-masa kuliah hingga memasuki gerbang dunia kerja.
Bahkan aku sampai tak mengerti kenapa aku bisa sebodoh itu, lebih bodoh dari sibodoh yang berpura-pura bodoh. Bagaimana tidak, sejak aku resmi menjalin cinta dengan dirinya, salah satu syarat dan yang diwanti-wanti olehnya yaitu aku harus berhenti mendaki. Bahkan untuk berkunjung ke sekretariat mapala dikampus pun harus minta izin terlebih dahulu, dan pasti aku mendapatkan jawaban dengan lemparan muka cemberutnya yang sangat kecut.
Padahal selama ini sekretariatlah yang menjadi rumah keduaku dimana saat jam kosong kuliah pasti aku sempatkan tidur dipaflon atas beralaskan sleepingbag dengan mp3 yang berteriak-teriak dikupingku yang tertutup headset.
Tapi lagi-lagi cinta telah membutakan hatiku, begitu luluhnya aku di hadapannya, jangankan untuk membantahnya, untuk tidak berkata "iya"pun bibirku tak sanggup menahannya. Jiwaku didekte oleh cinta buta yang membutakan pandangan batinku, bahkan aku malu pada laki-laki buta tukang pijit yang setiap malam lewat didepan rumahku dengan tongkat yang selalu menuntun langkahnya. Yang berbanding terbalik dengan kisahku, cinta yang seharusnya menjadi tongkat untuk menuntun langkahku, malah berbalik mencongkel kedua mataku.
"Pedih memang kisahku ini" ucap hatiku lirih.
Kalau disebut aku laki-laki beruntung, mungkin memang iya, karena dialah wanita terindah yang pernah aku miliki, wanita idaman yang selalu aku idam-idamkan. Impian yang menjadi kenyataan.
Bahkan saat pertama aku mengenalnya, tak terbayang olehku untuk memilikinya, karena begitu bersinar aura yang ada pada dirinya.
Tapi kalau dibilang aku laki-laki paling menderita, mungkin juga iya, bagaimana tidak kesetiaan dan kepercayaanku selama empat tahun lamanya harus berujung dengan penghianatan yang sangat menyakitkan. Janji setia sehidup-semati yang pernah terucap harus terkoyak oleh cinta segi tiga yang dibuat olehnya.
***
Suatu hari saat aku sedang memegang handphone-nya, ada sebuah pesan masuk yang seketika aku baca, sebuah tulisan yang tak terbayang sebelumnya, yang mampu menggoreskan luka di hati yang mendalam.
"Dia teman kantorku..." ucapnya ngeles dengan tatapan yang tak tentu arah, memencar entah kemana. Menunjukkan kebohongan yang keluar dari mulut manisnya.
Tak berapa lama handphone-nya yang masih ada di genggamanku bergetar lagi.
"Sayang kok gak dibales...???" Kata-kata dalam sms itu membuka tabir kebohongannya yang tak sanggup tertutupi oleh kebohongan berikutnya.
Rambut gondrong ku berubah memerah seperti lidah api dari neraka, semua iblis dan dedemit dari pasar bubrah pawai arak-arakan memasuki jiwaku, aku kesurupan, tubuhku menggigil dengan tangan yang bergetar, ular besar penghuni alas Roban pun datang melilit dadaku, meremukkan seisi kerongkonganku, hingga nafasku sesak tersengal-sengal. Darah pun terpompa mengalir deras ke ubun-ubunku, aku tak lagi bisa menahan emosi.
Seketika hape yang aku genggam, berubah menjadi puing-puing yang berserakan dilantai dengan suara "Praakk!!!" Pecah berantakan ke segala arah, persis menyerupai bentuk hatiku saat itu.
Handphone yang aku hadiahkan tepat di hari ulang tahunnya, yang seharusnya menjadi penghubung hubungan ini, malah menjadi belati tajam yang menikam punggungku dalam-dalam.
"Terimakasih, terimakasih atas kejutan penuh pelajaran ini...!!!" Ucap bibirku dengan tatapan tajam menatap wajahnya yang diselimuti rasa sesal yang merajam.
Lalu aku berjalan mundur dengan tetap menatap matanya yang berkaca, aku melihat bibirnya bergetar,
"Sayang maafin aku..." suaranya nampak berat penuh rasa bersalah, seraya merobohkan tubuhnya ke lantai dengan lutut sebagai penyokongnya. Tatapannya memang memilukan, menghiba memintaku untuk kembali memeluknya, tapi sayangnya luka di hatiku ini sudah teramat dalam.
Lalu aku membalikkan langkahku, berjalan kedepan meninggalkan dirinya yang tersungkur penuh sesal, dan aku angkat tangan kiriku yang melambai mengenyahkan, seakan berkata "masa bodoh dengan kehidupanmu..."
***
Sesampainya dirumah, kubuka pintu kulkas lalu kutenggak air dingin untuk mendinginkan kerongkonganku dari panasnya hati yang terbakar. Air yang mengalir dari teko plastik terus mengucur masuk ke rongga mulut serta meluber membasahi leher dan bajuku, "haaaahh... lega rasanyaa..." dengan nafas panjang serasa melegakan segala kekacauan yang ada dalam organ-organ tubuhku.
Dalam kegundahan hatiku yang mampu menguras air mataku, seketika anganku terbang melayang pada satu ruangan yang ada di belakang rumah, tempat dimana aku menyimpan semua alat-alat pendakianku.
"Yaaa... aku tidak sendiri, sahabat setiaku masih tetap setia menungguku didalam gudang itu..." ucap hatiku lirih sambil melangkah menuju ruang paling belakang rumahku.
"Welcome to my life once"
Selamat datang kehidupanku yang dulu...
Kehidupan dimana aku bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, menjadi diriku sendiri tanpa harus takut ada yang terluka...
===============SEKIAN===============
By: Ahmad Pajali Binzah