[Cerpen] Tentang Sahabat Semasa Kecilku, Hafiz.


Disini, di batu besar dipinggir sawah ini, batu yang menjadi saksi bisu kebahagian kami dimasa kecil. Dan juga tempat untuk mengenang tentang kisah tragis yang dialami sahabatku, Hafiz.

Persahabatan kami berawal dari 28 tahun yang lalu, saat kami baru saja dilahirkan, karena kami lahir di tahun yang sama, dibesarkan di lingkungan yang sama, dan tumbuh penuh kebersamaan, bahkan orang tua Hafiz sering menitipkan Hafiz pada ibuku dan dari situlah Hafiz sudah seperti saudaraku sendiri.

Kami tumbuh menikmati masa anak-anak yang penuh kebahagiaan sebagaimana anak-anak kecil yang lain. Main kelereng, main perang-perangan dari pelepah pisang, main layang-layang dan tentunya keseruan-keseruan permainan lain bersama anak-anak sekampungku.

Tapi dari semua teman-temanku, Hafiz paling menonjol, setiap ada perkelahian Hafiz yang bisa memisahkan, bahkan Hafiz sering menjadi tempat curhat karena dia punya segudang solusi dan jalan keluar dari masalah kami semua. Hafiz adalah sosok yang supel, baik, pintar, ramah dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang tinggi. Di sekolah Hafiz juga termasuk anak yang pandai dan berprestasi.

Hafiz adalah seorang anak yatim, karena sudah ditinggal ayahnya sejak kelas 3 SD, waktu itu kami sedang menikuti pelajaran dikelas, tiba-tiba Hafiz dipanggil ke ruang kepala sekolah dan mendapat kabar bahwa ayahnya tiba-tiba sakit keras, Hafiz diizinkan pulang, aku mendengar kabar itu juga langsung bolos lari mengejar Hafiz, sampai dirumahnya aku melihat Hafiz menangis memeluk ayahnya yang sudah berlumuran darah yang keluar dari mulutnya, aku tak tau ayah Hafiz sakit apa, tapi kata orang-orang beliau tiba-tiba mengeluarkan darah dari mulutnya dan tak lama kemudian menghembuskan nafas terakhir.

Tapi aku melihat Hafiz sosok yang tegar, dia tetap mampu menghadapi kenyataan yang menimpa hidupnya. Dan aku tetap mendampingi hari-harinya.

Persahabatan kami terus terjalin tanpa kata renggang, karena persahabatan kami didasari ketulusan untuk saling mengerti.

Dan setiap pulang sekolah, kami sering duduk di batu besar ini,  sembari menatap ke pematang sawah. Bercerita tentang masa depan,
"Hafiz ntar kalo udah gede kamu pingin jadi apa...???" Tanyaku.

"Aku cuma pingin punya pekerjaan yang mapan, apapun itu profesinya... Lha kamu sendiri pingin jadi apa Man...???" Jawab Hafiz sembari balik bertanya.

"Aku juga sama pingin jadi orang sukses entah itu apa profesinya, hehehe..." jawabku menyontek.

"Oh iya Lukman, kalo kita udah punya istri dan berkeluarga nanti, kira-kira kita masih bisa bermain bareng lagi gak yaa...???" Tanya Hafiz.

"Tetep dunk, biarpun udah punya anak istri gak ada salahnya dunk kita tetep sahabatan, bahkan ntar kita piknik bareng anak istri kita..." jawabku.

"Wah ide yang bagus tuh,,," Hafiz mengiyakan.

"Oia, ntar tipe cewek idamanmu seperti apa Fiz...???" Tanyaku.

"Aah kita kan masih kecil ngapain mikirin cewek...???" Ujar Hafiz.

"kita kan udah SMP banyak kok temen-temen kita yg udah naksir-naksiran di kelas..." akupun ngeles.

"Aaah aku gak mau mikirin cewek ah, mau rajin belajar aja dulu, maunya nyari istri langsung aja ntar kalo udah gede, hehehe..." jawabnya nyengir.

"Lha istri idamanmu yang gimana Fiz...???" Tanyaku mencoba mengintrogasi.

"Aah yang penting dia orangnya baik, sholehah, dan lemah lembut..." jawabnya sembari matanya memerawang ke langit.

"Waah sama dunk, hahaha..." celotehku mengejek dia.

"Huuh asem kamu Man, ngledek mulu..." jawabnya kesal sambil mendorong tubuhku.

Dan kebetulan dari kejauhan nampak teman-teman yang lain datang mengajak bermain mandi di sungai, kamipun langsung berlarian riang.
Yaaah, usia kami memang menginjak remaja, disaat anak-anak kota seusia kami senang bermain playstation dan mulai bersolek, kami disini bersama anak-anak kampung lain masih asyik bermain di sawah dan di sungai. Inilah cara kami menjelajahi kebahagiaan, masa-masa bahagia yang tak kan terlupakan.

Persahabatanku dengan bersama teman-temanku tidak pernah terputus, bahkan saat aku dan keluargaku pindah di kampung sebelah yang lumayan jauh (sekitar 3km) Hafiz dan teman-teman yang lain sering datang ke rumah dengan bersepeda,
"Luuukmaaan... luuukkmaaann..." panggilnya dengan nada mendayu-dayu.

Akupun langsung lari membuka pintu dan ikut bermain bersama mereka.
Setelah aku pindah rumah memang kami tidak bisa berangkat sekolah bareng, tapi Hafiz selalu menungguku didepan gerbang sekolah karena dia berangkat dari arah timur sementara aku sekarang dari arah barat.

***

Saat kami masuk SMA pun kami masih selalu bersama dan pulang pergi bersama, karena kami sekolah di kota sejauh 12km dari kampung kami.
Dari sinilah sosok Hafiz mulai bersinar, dia tumbuh menjadi remaja yg populer di sekolah karena perawakannya yang tinggi dan kulitnya yg putih, (mungkin mirip Nicholas Saputra) serta ketampanannya yang membuat cewek-cewek di sekolah selalu mengejar-ngejarnya, dia juga juara kelas.
Kadang aku merasa iri padanya, tapi dia tetep bisa menjadi sahabat terbaikku, hingga iripun hilang yang ada hanya bangga padanya.

Disuatu siang saat kami pulang sekolah, di halte kami sedang menunggu bus.

"Hafiz, tuh banyak cewek-cewek yang pada ngliatin kamu..." godaku.

"Aah liatin kamu tuh, bukan aku..." diapun mengeles.

"Fiz kenap siih sampe sekarang kamu belum punya pacar, padahal kan banyak cewek-cewek yang suka sama kamu..." tanyaku.

"Belum ada yang cocok Man, aku juga masih serius belajar dulu..." jelasnya.

"Masih belum ada yang masuk kriteriamu yaa...??? Yang kaya' apa siih kriterianya...???" Tanyaku lagi.

"Lukmaan,,, Lukmaannn... kamu tuh kaya' baru kenal aku aja... aku ingin menikah itu sekali untuk selamanya, jadi gadis yang aku cintai nanti bener-bener yang bisa ngertiin aku, yang tulus mencintai aku apa adanya, lemah lembut penuh keanggunan, yang setiap aku pandang wajahnya dia selalu mampu membuat hatiku damai, bukan seorang gadis yang mencintaiku hanya karena kelebihanku saja, karena tanpa cinta yang tulus dan apa adanya kelak pasti mudah bosan..." jelasnya panjang lebar.

Akupun hanya bisa manggut-manggut memahami.
"Iya Fiz sama, aku juga ingin mendapatkan gadis yang bener-bener bisa memahami aku..." akupun menjelaskan.

"Iyaa Man, aku takut jika menikah dengan orang yang salah, aku gak mau jika istriku nanti gak bisa patuh padaku dan sikapnya kasar dan arogan, jadi aku bener-bener pemilih..." lanjut Hafiz.

"Iyaa Fiz berarti keinginan kita sama..." terangku.

"Oiyaa, tuh busnya sudah dateng, yuuk naik..." ajak Hafiz sembari bergegas masuk ke bus.

***

Hafiz adalah sosok sahabat yang sempurna, kami bisa saling memahami hingga persahabatan kami bisa bertahan begitu lamanya.

Tapi persahabatan kami harus terhalang jarak, saat kami lulus SMA, Hafiz mendapat bea siswa kuliah di salah satu kampus negeri di Jakarta sementara aku hanya kuliah di kampus swasta di kotaku sendiri.

Kami hanya bisa kirim kabar lewat telpon, kadang sesekali dia pulang saat liburan semester dan tidak jarang Hafiz mengajak naik gunung. Karena di kampusnya dia ikut organisasi pecinta alam.
Sejak kami kuliah kami sering mendaki gunung, karena mendaki mengingatkan masa kecil kami yang memang hidup dengan gaya hidup yang selaras dengan alam, dan di gununglah kami bisa menenangkan diri dari kesibukan kuliah dan juga di gunung kami bisa cerita tentang keseharian masing-masing.

Suatu ketika saat kami pulang dari gunung Lawu, dia tidak langsung balik ke Jakarta tapi mampir dulu ke rumahku dan saat kami lewat jalan dikampungku tiba-tiba ada yang memanggil,
"Lukman..."
Seketika aku berhenti dan menengok, Hafiz pun bertanya,
"Siapa tuh Man...???" Tanya Hafiz penuh heran.

"Oh dia tetanggaku, namanya Wati'..." jelasku.
"Lukman sini dunk..." ajak Wati.

Akupun mendekat,
"Ada apa ti'...???" Tanyaku.

"Ssstt,,, eh temenmu namanya siapa...??? Boleh juga..." bisik Wati' penasaran pada Hafiz.

"Ooh dia sahabatku sedari kecil, namanya Hafiz, dia dulunya sering kesini, cuma kamu masih di Jakarta..." jelasku.

"Ajak kesini dunk Hafiznya, aku pingin kenalan..." pinta Wati'.

"Huuzztt,,, dia cowok baik-baik..." kataku.

"Kan aku pingin kenalan aja..." pintanya lagi sambil memelas.

Setelah aku ajak Hafiz kedepan rumahnya, akhirnya merekapun berkenalan. Nampak Hafiz grogi dan tersipu malu, padahal biasanya dia cuek, tapi baru kali ini aku merasa Hafiz berbeda.

Setelah sampai dirumahku,
"Hey Fiz, tadi waktu di depan rumah Wati' kok tingkahmu berbeda gitu, kamu kenapa... jangan-jangan kamu suka...???" Ledekku.

"Eehh siapa sih Wati' itu, kok dulu aku sering main ke rumahmu gak pernah kliatan...???" Tanya Hafiz antusias.

"Iya dari kecil dia ikut orang tuanya merantau di Jakarta, setelah usaha orang tuanya hancur akhirnya mereka kembali ke kampung ini lagi. Dan mereka merintis bisnis kecil-kecilan disini..." jelasku pada Hafiz.

"Oohh terus terus..." tanya Hafiz penuh penasaran tentang Wati'.

Akhirnya waktu di rumahku, obrolan hanya seputar Wati'. Kadang aku ingin bilang kalo Wati' itu bukan cewek baik-baik, bukan tipe yang diharapkan Hafiz tapi entah kenapa Hafiz begitu menggebu-gebunya pada Wati' dan aku gak tega kalo mau jujur bahwa Wati' itu gak seperti yang dia bayangkan.

Saat aku hendak mengantar Hafiz pulang, pas lewat di depan rumah Wati, tiba-tiba Wati' memanggil lagi,
"Lukman,,, ajak Hafiz kesini dunk..!!!" Teriak Wati' cukup keras..

"Yukk kita kesana,,," ajak Hafiz lirih.
Akhirnya kami ngobrol di depan rumah Wati' lagi dan merekapun semakin akrab dan saling tukar nomor hape.

***

Tak terasa waktu berputar begitu cepatnya, hingga akhirnya kami wisuda dan Hafiz memutuskan pulang ke kampung halaman untuk mencri kerja di kota kelahiran.
Tak butuh waktu lama Hafiz untuk mencari pekerjaan, dia diterima di salah satu bank negeri, dan aku masih terus melamar pekerjaan. Sampai-sampai beberapa bulan aku menganggur.
Hingga akhirnya aku direkomendasikan masuk di kantornya.
Dia sangat berjasa dalam kehidupanku dan persahabatan kami makin dekat lagi karena bekerja satu kantor.

Lagi-lagi karena kecerdasannya karir Hafiz cepat meningkat hingga dia dianggat sebagai manager, sementara aku masih tetap sebagai kasir bank.

"Selamat yaa pak bos..." ucapku dengan gaya hormat bak upacara bendera.

"Hahahaaa... bisa aja kamu Man..." tawanya sembari menepuk pundakku.

"Fiz, aku salut sama kamu, usia belum genap 26 tahun tapi karirmu sangat luar biasaaah..." pujiku pada Hafiz lebay.

"Alhamdulillah,,, Amiinn... ini semua karena Allah Man, dan juga berkat dukunganmu selama ini sob... makasih yaa..." dengan nada kalem dia berucap.

"Oh iyaa Man, insya'Allah dlm waktu dekat aku mau nikah Man..." lanjutnya lagi.

"Lhoo dengan siapa...??? Perasaan kamu gak pernah cerita-cerita sebelumnya tentang calon permaisurimu itu...???" Tanyaku heran.

"Aku mau nikahi Wati' Man..." jelasnya.

"Apaa...!!!???" Seketika aku kaget.

"Kenapa siih kok kamu kaget gitu" tanya Hafiz heran.

"Fiz kenapa kamu gak bilang sebelumnya, kalo selama ini kalian pacaran...???" Lanjutku.

"Lhoo emangnya kenapa Man...???" Tanya Hafiz heran, tapi tetep dengan nada kalem sebagai ciri khasnya.

"Fiz, menurutku Wati' itu jauh dari apa yang kamu harapkan sebagai calon istrimu, dia gak cocok untukmu Fiz..." aku mencoba mengingatkan.

"Maksudmu apa Man...??? Aku kok gak nyambung...??? Bukannya seharusnya kamu seneng aku akan jadi tetanggamu dan kita bisa lebih deket lagi...???" Hafiz mencoba menjelaskan.

"Yaa memang aku seneng kamu bisa jadi tetanggaku, kita jadi bisa lebih deket lagi seperti masa kecil dulu... Tapi kenapa harus dengan Wati'...???" Jelasku.

"Laah kenapa dengan Wati'...??? Dia baik-baik saja kok...???" Jelasnya lagi.

"Tapii...???" 
"Tapii apa lagii sii Man...???" Potong Hafiz menenangkan.

"Yaaa sudah kalo emang itu pilihan hidupmu, moga itu yang terbaik buatmu..." do'a ku untuk Hafiz.

Sebenarnya aku ingin menjelaskan bahwa Wati' itu tidak sebaik yang dia kira, Wati' itu orangnya sering melawan orang tua, dia bukan orang yang penurut dan lemah lembut seperti yang Hafiz bayangkan, aku gak ingin sahabat terbaikku menikah dengan orang yang tidak punya etika dan sopan santun, bahkan aku sering melihat dia marah-marah bahkan mencaci-maki orang tuanya sendiri.
Tapi Hafiz telah terbuai cinta hingga tertutup mata dan hatinya.
Aku berharap semoga Hafiz mampu merubah sikapnya dan mereka menjadi keluarga Sakinah, Mawadah, Warohmah. Aminn...

Sabtu 18 maret 2013 hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, pernikahan yang megah digelar penuh tamu undangan, di depan nampak rangkaian bunga-bunga ucapan selamat menghiasi depan rumahnya.
Nampak kedua mempelai penuh senyum yang merekah, menggambarkan keduanya dipenuhi kabahagiaan.

Setelah menikah Hafiz tinggal di rumah Wati' sehingga aku jadi sering bertemu dengan Hafiz.

Tak terasa satu tahun telah berlalu, aku mulai melihat guratan-guratan kesedihan yang nampak diwajah Hafiz,
"Sebenarnya ada apa Fiz...???" Tanyaku mencoba mencari tahu.

"Gak ada apa-apa Man...???" Jelas Hafiz menutupi.

"Tapi akhir-akhir ini sukapmu nampak berubah,,, kamu tak seceria dulu..." aku mendesak bertanya.

"Serius Man,,, aku gak papa, mungkin karena akhir-akhir ini banyak pekerjaan jadi agak kurang tidur aja..." jawabnya kalem menutupi keadaan.

Dan setiap aku lewat depan rumahnya, aku sering melihat pertengkaran diantara mereka.
Aku juga sering melihat Wati memaki-maki  Hafiz bahkan sambil membanting piring atau barang-barang rumah.
Sebenarnya aku tak tega melihat sahabatku, sahabat terbaikku harus menderita hidupnya, aku sungguh tak tega melihat Hafiz yang penuh kelembutan harus tersayat hatinya dengan ucapan-ucapan pedas istrinya. Tapi apalah daya, ini rumah tangganya yang tak mungkin aku ikut campur.

Bagaimanapun juga Hafiz tetap Hafiz, dia seorang yang penuh keikhlasan, apapun yang terjadi dia tetap setia dan sabar menghadapi istrinya.

Disuatu ketika kebetulan aku melewati rumahnya, nampak dari jendela rumahnya aku melihat dengan mata kepala sendiri,
"Plaakk" tangan Wati' tiba-tiba mendarat dimuka Hafiz.
Seketika aku terperangah, kaget seakan tak percaya. 
Lagi-lagi Wati' memaki-maki Hafiz, pertengkaran kali ini aku merasa sangat kelewatan, Tak sepantasnya seorang istri berani kasar kepada suaminya, aku tau benar siapa Hafiz, Hafiz bukan tipe suami-suami takut istri, tapi suami yang penuh kesabaran dan keikhlasan untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya.

Hafiz adalah sosok laki-laki yang sangat penyabar yang pernah aku lihat, laki-laki yang sangat setia pada istrinya, laki-laki yang sangat lemah lembut penuh pengasihan.

Saat malam telah larut tiba-tiba hapeku berbunyi,
"kriiing,,, kriiing,,, kriiing,,,"
"Hafiz...???" Ucapku lirih.

"Ada apa malam-malam begini Hafiz menelpon aku...??? Tumben..." ucapku dalam hati.
Saat aku angkat telponnya.

"Lukman,, Lukman yaa...???"
Seketika aku kaget, kok bukan suara Hafiz yang berkata di telpon itu.

"Haloo,,, Lukman yaa,,, ini aku Wati' istrinya Hafiz..." ucapnya sembari terburu-buru nampak panik.

"Iyaa ada apa Ti'...???" Akupun menjawab penuh heran.

"Tolong Man, kamu kesini, Hafiz Man Hafiz..." kata Wati' penuh kepanikan.

"Baik,, baik,, Ti' aku kesana..."
Aku berjalan dengan cepat, tergesah-gesah penuh tanda tanya.

"Ada apa ini, ada apa dengan Hafiz. Apakah dia pergi dari rumah setelah pertengkaran dengan istrinya sore tadi...??? Ataukah dia melawan memukul istrinya saat dia sudah tidak tahan lagi atas perlakuan istrinya...??? Atau ada tragedi apa dirumah Wati'...???" Kata hatiku sembari berjalan ke rumah Wati'.

Setibanya aku di rumah Wati' tanpa ketuk pintu apalagi permisi aku langsung masuk karena pintupun masih terbuka.
Aku melihat Keluarga Wati' berkumpul di ruangan depan dan alangkah terkejutnya aku melihat Hafiz telah berbaring dipangkuan Wati' dengan mulut yang mengeluarkan darah.
"Ada apa ini, ada apa dengan Hafiz...???" Tanyaku sembari mendekat lantas memeluk Hafiz.

"Hafiz kenapa Ti'....???" Tanyaku setengah membentak.

"Aku tidak tau Man... sungguh aku tidak tau...??? Tiba-tiba Hafiz pingsan dan mulutnya mengeluarkan darah..." jawab Wati' menyangkal sembari menangis juga.

"Hafiz,,, Hafizz,,, Hafizzz,,, bertahan sobat bertahan, ayoo kita bawa kedokter...!!!" Teriakku.

Tiba-tiba tangan Hafiz memegang tanganku yang seolah berkata,
"jangan Man, mungkin ini saatnya aku harus pergi..."
Aku langsung memeluk Hafiz yang ada di pangkuan Wati' aku mengusap wajahnya, aku mencoba membersihkan darahnya yang telah membanjiri dagu dan lehernya.

"Hafiz bertahan Hafizz..." mulutku terus ngoceh sembari menangis tersedu.

Aku melihat Hafiz ingin berucap sesuatu tapi tak bisa, mulutnya mangap sembari nafasnya tersengal-sengal berat, kadang batuk berlumur darah.
Tangan Hafiz memegang pipiku lantas memegang pipi Wati' tapi bibirnya tak mampu lagi berbicara apapun.
Aku tak kuasa melihat keadaan ini, sungguh aku tak sanggup melihat dia kesakitan. Dan tak berapa lama aku mendengar bibir Hafiz berucap lirih,
"AshaduAllah illah ha Illallah, Wa
Ashaduanna Muhammadarrasullullah."
Hafiz menghembuskan nafas terakhirnya, tubuhnya terasa lemas dan dingin.

"Tidaaaakkk....!!!!" aku berteriak sekeras-kerasnya, kaca-kaca jendela bergetar dengan fibrasi tinggi, suaraku melengking memecah kesunyian malam. Orang-orang yang ada disinipun semua serentak menangis tanpa komando, menderu-deru bagai paduan suara tanpa tangga nada. Dunia seakan hujan air mata.

Hafiz telah pergi persis seperti ayahnya 19 tahun yang lalu, dengan darah mengalir dari mulutnya, selamat jalan sobat, selamat menggapai surga menyusul ayahandamu.
Kini aku benar-benar merasa sendiri, sahabat yang selama ini menemaniku harus melepaskan pelukannya menjemput damai yang diimpikannya.

Pagi berkabut, di kampung dimana kami dulu dilahirkan, tepat jam 7 pagi jenazah Alm. Hafiz akan segera dimakamkan, dingin masih merangkul kesunyian menebar keheningan, harus terbelah oleh suara ayat-ayat suci Al-Qur'an yang mengiringi sebuah prosesi pemakaman yang sakral dan hikmat.
Ditanah ini Hafiz harus membaringkan tubuhnya menuju penyempurnaan.
Nampak para pelayat membanjiri pesarean dengan memanjatkan do'a-do'a kemuliaan.
Bahkan setelah pesarean kembali hening aku tetap ada disini, untuk sesaat menemani sahabatku dipembaringan abadinya.

"Sobat, aku yakin perjalananmu kesana penuh senyuman seperti perjalanan hidupmu selama ini...
Dan semua ini telah menyadarkanku, betapa singkat hidup ini, rasanya baru kemaren kita terlahir di dunia ini, rasanya baru kemaren kita belajar merangkak bersama, belajar berjalan barsama untuk melalui hari-hari yang istimewa...
Rasanya baru kemaren kita masih bermain lumpur di sawah dan mandi di sungai...
Rasanya baru kemaren kita bercita-cita untuk mengapai impian-impian kita...
Tapi sekarang kamu harus kembali, meninggalkan aku dan semua yang ada di dunia ini...
Yaa Allah, berikanlah sahabatku tempat terindah di sisiMU..
Sebagaimana dia pernah memperindah hidupku...
Berikan kebahagian yang hakiki untuk sahabatku, sebagaimana dia pernah membahagiakan hidupku... Amin..."

Dengan langkah gontai aku meninggalkan pesarean, entah kenapa saat ini aku merasa benar-benar berjalan sendiri. Aku benar-benar merasa kehilangan.

Aku pulang melewati Rumah Wati', nampak suasana duka masih menyelimuti rumah itu.

Hari-hariku di kantor terasa sepi, tak seperti biasanya, kini aku harus tegar menghadapinya sendiri, karena saat ini tak ada lagi teman untuk kuajak bermain, tak ada lagi tempat untuk mencurahkan isi hati dan meminta pendapat-pendapatnya.
"Yaaahh aku harus berusaha mandiri, semua ini pasti ada hikmahnya..."

***

Dua tahun telah berlalu sejak kepergian Hafiz, dan Wati' telah menikah lagi sekitar 4 bulan yang lalu, tapi dalam ingatanku tetap aku masih merasa bahwa suami Wati' adalah Hafiz.

Disuatu sore saat aku lewat di depan rumah Wati' 
"Praang..." suara piring yang dibanting.
Seketika aku ingat Hafiz saat bertengkar dengan Wati'.
"Hafiz..." ucapku lirih sampil menatap jendela dirumah Wati'.

Aku melihat keributan seperti dua tahun yang lalu,
"Praak..." suara tamparan yang mendarat di pipi.
Aku mencoba mendekat, nampak Wati' bertengkar dengan suaminya yang baru, dia menampar dan memaki-maki suaminya penuh emosi, semua penghuni kebun binatang keluar dari mulut Wati' tak terkendali.

Yaah,,, aku teringat pada Hafiz sahabatku, bagai mana perihnya saat hatinya tersakiti saat itu. Dimana kata-kata kotor nan pedih berhamburan merobek hatinya.
Aku hanya bisa diam menatap di depan jendela yang memberikan gambar siluet pertengkaran mereka.
Tapi ada yang beda di pertengkaran kali ini.
"Praaakk...!!!" Sang suami ternyata membalas tamparan Wati', bahkan tak segan segan memukul dengan panci ke mukanya. "Braakk...!!!" Wati' dibanting ke kelantai mengenai kaki-kaki meja.
Pertengkaran dalam rumah tangga yang tak seharusnya terjadi. Aku mendengar jerit tangisan Wati dan teriakan-tetiakan suami seperti gledek yang menyambar-nyambar.

Tiba-tiba ada ibu-ibu tua mengagetkanku yang menepuk punggungku dari belakang.
"Itu mah sudah biasa..." kata ibu itu.
Aku hanya bisa diam, membayangkan kejadian aslinya di dalam sana, dari suara dan bayangan siluetnya saja aku sudah ngilu membayangkan.

Ke esok paginya saat aku hendak berangkat kerja, tiba-tiba ada yang memanggilku,
"Lukmaann,,, ajak Hafiz kesini dunk...!!!" Ucap Wati' agak teriak.

Seketika langkahku terhenti dan teringat kejadian beberapa tahun yang lalu saat-saat aku pertama kali memperkenalkan Hafiz pada Wati'.
Aku hanya bisa menunduk, meneteskan air mata dan kembali meneruskan langkahku.

"Lumaann,,, ajak Hafiz kesini dunk....!!!" Seru Wati berteriak.

Akupun terus melangkah tak menghiraukan.
"Lukmaaann, ajak Hafiz kesini dunk...!!! Huhuhuuu..." 
Aku melihat Wati berteriak histeris,  menangis penuh penyesalan, dengan wajah bengkak dan luka sobek dibibirnya bekas pertengkaran semalam.
Aku merasakan penyesalan yang ia rasakan, karena suaminya sekarang sangatlah kasar dan tak pernah perhatian, pekerjaannya hanya maklar serabutan, jarang pulang bahkan sering mabuk-mabukan.

Dan banyak yang bilang bahwa Wati' sekarang jiwanya agak terganggu, kadang sering menangis-nangis sendiri, tertawa-tawa sendiri, kadang berteriak memanggil-manggil nama Hafiz sembari menangis tersedu-sedu.

*********************************************

"Begitulah cerita tentang sahabatku yang bernama Hafiz, begitu indah dan tak mungkin terlupakan" ucapku lirih sambari menunduk mengenang Hafiz.

"Lantas itu alasanmu mengapa kamu menunda-nunda penikahan kita...???" Tanya Fitha'.

Aku hanya bisa membisu bak patung batu yang baru selesai dipahat.
"Lukman sayaang,,, kamu kan kenal aku udah lama, 2 tahun kita pacaran, dan usia kita juga udah bukan remaja lagi, kamu 28 tahun dan aku 24 tahun, tapi kenapa kamu masih trauma atas kejadian itu sayang...???" Jelas Fitha' penuh manja.

"Fit, aku takut berumah tangga Fit,,, aku takut...
Aku tak sesabar Hafiz, aku takut tak bisa menahan emosiku saat kita bertengkar...
Aku tak sepintar Hafiz, aku takut aku tak bisa membimbingmu memberi arahan....
Aku tak semapan Hafiz, aku takut tak bisa memenuhi keinginan-keinginanmu..." terangku.

"Kamu memang tak seperti Hafiz sayang, tapi aku juga bukan Wati'..." Fitha' memotong ucapanku sembari memeluk tubuhku.

"Setiap orang itu mempunyai garis tangan yang berbeda-beda sayang, begitu juga garis nasib seseorang...
Aku yakin, kita akan mampu membangun rumah tangga yang indah, seperti yang dicita-citakan Hafiz,,, 
Dan aku yakin Hafiz disana akan bahagia melihat kita bahagia..." lanjut Fitha' sembari menyandarkan kepalanya dipundakku.

Di batu ini, dulu aku dan Hafiz mencoba merangkai cita-cita tentang kebahagiaan di masa depan. Dan kini di batu ini pula kita akan mewujudkan kebahagiaan itu, mulai saat ini aku yakin bahwa Fitha adalah jodohku.

"Yuuk sayang kita pulang, udah berjam-jam sayang cerita sampai lupa kalo hari sudah sore..." ajak Fitha' penuh kelembutan.

Kamipun bergegas berdiri, berjalan menyusuri jalan tanah menuju rumahku, tapi saat lewat di depan rumah Wati' tiba-tiba,
"Lukmaaann,,, ajak Hafiz kesini dunk...!!! Hahahaa..." teriak Wati' dengan gayanya yang makin aneh saja.

Kamipun sempat berhenti sesaat, lantas melanjutkan langkah kami dengan tangan Fitha menggenggam tanganku makin erat. Seakan dia ingin menegaskan, "aku bukan Wati'.."

Akhirnya aku beranikan mengajak Fitha' menemui semua anggota keluargaku dan membicarakan pernikahan.
Dan Alhamdulillah keluarga besarku merestui hubungan kami dan menyarankan untuk segera menikah.

Aku yakin, kebahagiaan itu akan ada, dan akan selalu ada, karena kami bertekat membangun kebahagiaan itu dari hati yang penuh kelembutan.
Seperti yang diajarkan Hafiz kepada kami.

"Hafiz, semoga kau bahagia disana, bersama kebahagian yang kau harapkan yang tak pernah kau dapatkan disini... 

Semoga jiwamu mendapat kesejukan disana, bersama kelembutanmu yang akan selalu menyejukkan namamu disini...

Dariku sahabatmu, Lukman"


============ SEKIAN ============

Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah

Previous
« Prev Post

5 comments:

  1. Pesan moral yg sangat berarti dobat..terus berkarya slm sukses selslu

    ReplyDelete
  2. nasib nya hafiz tidak seberuntung lukman. padahal bnyak yg suka dengan hafiz tp knp mesti wati sie yg dipilih .... huhuhuuu sedih lha... jadi iri sama persahabatan mereka berdua , dr kecil hingga mereka menemukan jodohnya masing2

    ReplyDelete

recent posts