Disini, di batu besar dipinggir sawah ini, batu yang menjadi saksi bisu kebahagian kami dimasa kecil. Dan juga tempat untuk mengenang tentang kisah tragis yang dialami sahabatku, Hafiz.
Persahabatan kami berawal dari 28 tahun yang lalu, saat kami baru saja dilahirkan, karena kami lahir di tahun yang sama, dibesarkan di lingkungan yang sama, dan tumbuh penuh kebersamaan, bahkan orang tua Hafiz sering menitipkan Hafiz pada ibuku dan dari situlah Hafiz sudah seperti saudaraku sendiri.
Kami tumbuh menikmati masa anak-anak yang penuh kebahagiaan sebagaimana anak-anak kecil yang lain. Main kelereng, main perang-perangan dari pelepah pisang, main layang-layang dan tentunya keseruan-keseruan permainan lain bersama anak-anak sekampungku.
Tapi dari semua teman-temanku, Hafiz paling menonjol, setiap ada perkelahian Hafiz yang bisa memisahkan, bahkan Hafiz sering menjadi tempat curhat karena dia punya segudang solusi dan jalan keluar dari masalah kami semua. Hafiz adalah sosok yang supel, baik, pintar, ramah dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang tinggi. Di sekolah Hafiz juga termasuk anak yang pandai dan berprestasi.
Hafiz adalah seorang anak yatim, karena sudah ditinggal ayahnya sejak kelas 3 SD, waktu itu kami sedang menikuti pelajaran dikelas, tiba-tiba Hafiz dipanggil ke ruang kepala sekolah dan mendapat kabar bahwa ayahnya tiba-tiba sakit keras, Hafiz diizinkan pulang, aku mendengar kabar itu juga langsung bolos lari mengejar Hafiz, sampai dirumahnya aku melihat Hafiz menangis memeluk ayahnya yang sudah berlumuran darah yang keluar dari mulutnya, aku tak tau ayah Hafiz sakit apa, tapi kata orang-orang beliau tiba-tiba mengeluarkan darah dari mulutnya dan tak lama kemudian menghembuskan nafas terakhir.
Tapi aku melihat Hafiz sosok yang tegar, dia tetap mampu menghadapi kenyataan yang menimpa hidupnya. Dan aku tetap mendampingi hari-harinya.
Persahabatan kami terus terjalin tanpa kata renggang, karena persahabatan kami didasari ketulusan untuk saling mengerti.
Dan setiap pulang sekolah, kami sering duduk di batu besar ini, sembari menatap ke pematang sawah. Bercerita tentang masa depan,
"Hafiz ntar kalo udah gede kamu pingin jadi apa...???" Tanyaku.
"Aku cuma pingin punya pekerjaan yang mapan, apapun itu profesinya... Lha kamu sendiri pingin jadi apa Man...???" Jawab Hafiz sembari balik bertanya.
"Aku juga sama pingin jadi orang sukses entah itu apa profesinya, hehehe..." jawabku menyontek.
"Oh iya Lukman, kalo kita udah punya istri dan berkeluarga nanti, kira-kira kita masih bisa bermain bareng lagi gak yaa...???" Tanya Hafiz.
"Tetep dunk, biarpun udah punya anak istri gak ada salahnya dunk kita tetep sahabatan, bahkan ntar kita piknik bareng anak istri kita..." jawabku.
"Wah ide yang bagus tuh,,," Hafiz mengiyakan.
"Oia, ntar tipe cewek idamanmu seperti apa Fiz...???" Tanyaku.
"Aah kita kan masih kecil ngapain mikirin cewek...???" Ujar Hafiz.
"kita kan udah SMP banyak kok temen-temen kita yg udah naksir-naksiran di kelas..." akupun ngeles.
"Aaah aku gak mau mikirin cewek ah, mau rajin belajar aja dulu, maunya nyari istri langsung aja ntar kalo udah gede, hehehe..." jawabnya nyengir.
"Lha istri idamanmu yang gimana Fiz...???" Tanyaku mencoba mengintrogasi.
"Aah yang penting dia orangnya baik, sholehah, dan lemah lembut..." jawabnya sembari matanya memerawang ke langit.
"Waah sama dunk, hahaha..." celotehku mengejek dia.
"Huuh asem kamu Man, ngledek mulu..." jawabnya kesal sambil mendorong tubuhku.
Dan kebetulan dari kejauhan nampak teman-teman yang lain datang mengajak bermain mandi di sungai, kamipun langsung berlarian riang.
Yaaah, usia kami memang menginjak remaja, disaat anak-anak kota seusia kami senang bermain playstation dan mulai bersolek, kami disini bersama anak-anak kampung lain masih asyik bermain di sawah dan di sungai. Inilah cara kami menjelajahi kebahagiaan, masa-masa bahagia yang tak kan terlupakan.
Persahabatanku dengan bersama teman-temanku tidak pernah terputus, bahkan saat aku dan keluargaku pindah di kampung sebelah yang lumayan jauh (sekitar 3km) Hafiz dan teman-teman yang lain sering datang ke rumah dengan bersepeda,
"Luuukmaaan... luuukkmaaann..." panggilnya dengan nada mendayu-dayu.
Akupun langsung lari membuka pintu dan ikut bermain bersama mereka.
Setelah aku pindah rumah memang kami tidak bisa berangkat sekolah bareng, tapi Hafiz selalu menungguku didepan gerbang sekolah karena dia berangkat dari arah timur sementara aku sekarang dari arah barat.
***
Saat kami masuk SMA pun kami masih selalu bersama dan pulang pergi bersama, karena kami sekolah di kota sejauh 12km dari kampung kami.
Dari sinilah sosok Hafiz mulai bersinar, dia tumbuh menjadi remaja yg populer di sekolah karena perawakannya yang tinggi dan kulitnya yg putih, (mungkin mirip Nicholas Saputra) serta ketampanannya yang membuat cewek-cewek di sekolah selalu mengejar-ngejarnya, dia juga juara kelas.
Kadang aku merasa iri padanya, tapi dia tetep bisa menjadi sahabat terbaikku, hingga iripun hilang yang ada hanya bangga padanya.
Disuatu siang saat kami pulang sekolah, di halte kami sedang menunggu bus.
"Hafiz, tuh banyak cewek-cewek yang pada ngliatin kamu..." godaku.
"Aah liatin kamu tuh, bukan aku..." diapun mengeles.
"Fiz kenap siih sampe sekarang kamu belum punya pacar, padahal kan banyak cewek-cewek yang suka sama kamu..." tanyaku.
"Belum ada yang cocok Man, aku juga masih serius belajar dulu..." jelasnya.
"Masih belum ada yang masuk kriteriamu yaa...??? Yang kaya' apa siih kriterianya...???" Tanyaku lagi.
"Lukmaan,,, Lukmaannn... kamu tuh kaya' baru kenal aku aja... aku ingin menikah itu sekali untuk selamanya, jadi gadis yang aku cintai nanti bener-bener yang bisa ngertiin aku, yang tulus mencintai aku apa adanya, lemah lembut penuh keanggunan, yang setiap aku pandang wajahnya dia selalu mampu membuat hatiku damai, bukan seorang gadis yang mencintaiku hanya karena kelebihanku saja, karena tanpa cinta yang tulus dan apa adanya kelak pasti mudah bosan..." jelasnya panjang lebar.
Akupun hanya bisa manggut-manggut memahami.
"Iya Fiz sama, aku juga ingin mendapatkan gadis yang bener-bener bisa memahami aku..." akupun menjelaskan.
"Iyaa Man, aku takut jika menikah dengan orang yang salah, aku gak mau jika istriku nanti gak bisa patuh padaku dan sikapnya kasar dan arogan, jadi aku bener-bener pemilih..." lanjut Hafiz.
"Iyaa Fiz berarti keinginan kita sama..." terangku.
"Oiyaa, tuh busnya sudah dateng, yuuk naik..." ajak Hafiz sembari bergegas masuk ke bus.
***
Hafiz adalah sosok sahabat yang sempurna, kami bisa saling memahami hingga persahabatan kami bisa bertahan begitu lamanya.
Tapi persahabatan kami harus terhalang jarak, saat kami lulus SMA, Hafiz mendapat bea siswa kuliah di salah satu kampus negeri di Jakarta sementara aku hanya kuliah di kampus swasta di kotaku sendiri.
Kami hanya bisa kirim kabar lewat telpon, kadang sesekali dia pulang saat liburan semester dan tidak jarang Hafiz mengajak naik gunung. Karena di kampusnya dia ikut organisasi pecinta alam.
Sejak kami kuliah kami sering mendaki gunung, karena mendaki mengingatkan masa kecil kami yang memang hidup dengan gaya hidup yang selaras dengan alam, dan di gununglah kami bisa menenangkan diri dari kesibukan kuliah dan juga di gunung kami bisa cerita tentang keseharian masing-masing.
Suatu ketika saat kami pulang dari gunung Lawu, dia tidak langsung balik ke Jakarta tapi mampir dulu ke rumahku dan saat kami lewat jalan dikampungku tiba-tiba ada yang memanggil,
"Lukman..."
Seketika aku berhenti dan menengok, Hafiz pun bertanya,
"Siapa tuh Man...???" Tanya Hafiz penuh heran.
"Oh dia tetanggaku, namanya Wati'..." jelasku.
"Lukman sini dunk..." ajak Wati.
Akupun mendekat,
"Ada apa ti'...???" Tanyaku.
"Ssstt,,, eh temenmu namanya siapa...??? Boleh juga..." bisik Wati' penasaran pada Hafiz.
"Ooh dia sahabatku sedari kecil, namanya Hafiz, dia dulunya sering kesini, cuma kamu masih di Jakarta..." jelasku.
"Ajak kesini dunk Hafiznya, aku pingin kenalan..." pinta Wati'.
"Huuzztt,,, dia cowok baik-baik..." kataku.
"Kan aku pingin kenalan aja..." pintanya lagi sambil memelas.
Setelah aku ajak Hafiz kedepan rumahnya, akhirnya merekapun berkenalan. Nampak Hafiz grogi dan tersipu malu, padahal biasanya dia cuek, tapi baru kali ini aku merasa Hafiz berbeda.
Setelah sampai dirumahku,
"Hey Fiz, tadi waktu di depan rumah Wati' kok tingkahmu berbeda gitu, kamu kenapa... jangan-jangan kamu suka...???" Ledekku.
"Eehh siapa sih Wati' itu, kok dulu aku sering main ke rumahmu gak pernah kliatan...???" Tanya Hafiz antusias.
"Iya dari kecil dia ikut orang tuanya merantau di Jakarta, setelah usaha orang tuanya hancur akhirnya mereka kembali ke kampung ini lagi. Dan mereka merintis bisnis kecil-kecilan disini..." jelasku pada Hafiz.
"Oohh terus terus..." tanya Hafiz penuh penasaran tentang Wati'.
Akhirnya waktu di rumahku, obrolan hanya seputar Wati'. Kadang aku ingin bilang kalo Wati' itu bukan cewek baik-baik, bukan tipe yang diharapkan Hafiz tapi entah kenapa Hafiz begitu menggebu-gebunya pada Wati' dan aku gak tega kalo mau jujur bahwa Wati' itu gak seperti yang dia bayangkan.
Saat aku hendak mengantar Hafiz pulang, pas lewat di depan rumah Wati, tiba-tiba Wati' memanggil lagi,
"Lukman,,, ajak Hafiz kesini dunk..!!!" Teriak Wati' cukup keras..
"Yukk kita kesana,,," ajak Hafiz lirih.
Akhirnya kami ngobrol di depan rumah Wati' lagi dan merekapun semakin akrab dan saling tukar nomor hape.
***
Tak terasa waktu berputar begitu cepatnya, hingga akhirnya kami wisuda dan Hafiz memutuskan pulang ke kampung halaman untuk mencri kerja di kota kelahiran.
Tak butuh waktu lama Hafiz untuk mencari pekerjaan, dia diterima di salah satu bank negeri, dan aku masih terus melamar pekerjaan. Sampai-sampai beberapa bulan aku menganggur.
Hingga akhirnya aku direkomendasikan masuk di kantornya.
Dia sangat berjasa dalam kehidupanku dan persahabatan kami makin dekat lagi karena bekerja satu kantor.
Lagi-lagi karena kecerdasannya karir Hafiz cepat meningkat hingga dia dianggat sebagai manager, sementara aku masih tetap sebagai kasir bank.
"Selamat yaa pak bos..." ucapku dengan gaya hormat bak upacara bendera.
"Hahahaaa... bisa aja kamu Man..." tawanya sembari menepuk pundakku.
"Fiz, aku salut sama kamu, usia belum genap 26 tahun tapi karirmu sangat luar biasaaah..." pujiku pada Hafiz lebay.
"Alhamdulillah,,, Amiinn... ini semua karena Allah Man, dan juga berkat dukunganmu selama ini sob... makasih yaa..." dengan nada kalem dia berucap.
"Oh iyaa Man, insya'Allah dlm waktu dekat aku mau nikah Man..." lanjutnya lagi.
"Lhoo dengan siapa...??? Perasaan kamu gak pernah cerita-cerita sebelumnya tentang calon permaisurimu itu...???" Tanyaku heran.
"Aku mau nikahi Wati' Man..." jelasnya.
"Apaa...!!!???" Seketika aku kaget.
"Kenapa siih kok kamu kaget gitu" tanya Hafiz heran.
"Kenapa siih kok kamu kaget gitu" tanya Hafiz heran.
"Fiz kenapa kamu gak bilang sebelumnya, kalo selama ini kalian pacaran...???" Lanjutku.
"Lhoo emangnya kenapa Man...???" Tanya Hafiz heran, tapi tetep dengan nada kalem sebagai ciri khasnya.
"Fiz, menurutku Wati' itu jauh dari apa yang kamu harapkan sebagai calon istrimu, dia gak cocok untukmu Fiz..." aku mencoba mengingatkan.
"Maksudmu apa Man...??? Aku kok gak nyambung...??? Bukannya seharusnya kamu seneng aku akan jadi tetanggamu dan kita bisa lebih deket lagi...???" Hafiz mencoba menjelaskan.
"Yaa memang aku seneng kamu bisa jadi tetanggaku, kita jadi bisa lebih deket lagi seperti masa kecil dulu... Tapi kenapa harus dengan Wati'...???" Jelasku.
"Laah kenapa dengan Wati'...??? Dia baik-baik saja kok...???" Jelasnya lagi.
"Tapii...???"
"Tapii apa lagii sii Man...???" Potong Hafiz menenangkan.
"Yaaa sudah kalo emang itu pilihan hidupmu, moga itu yang terbaik buatmu..." do'a ku untuk Hafiz.
Sebenarnya aku ingin menjelaskan bahwa Wati' itu tidak sebaik yang dia kira, Wati' itu orangnya sering melawan orang tua, dia bukan orang yang penurut dan lemah lembut seperti yang Hafiz bayangkan, aku gak ingin sahabat terbaikku menikah dengan orang yang tidak punya etika dan sopan santun, bahkan aku sering melihat dia marah-marah bahkan mencaci-maki orang tuanya sendiri.
Tapi Hafiz telah terbuai cinta hingga tertutup mata dan hatinya.
Aku berharap semoga Hafiz mampu merubah sikapnya dan mereka menjadi keluarga Sakinah, Mawadah, Warohmah. Aminn...
Sabtu 18 maret 2013 hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, pernikahan yang megah digelar penuh tamu undangan, di depan nampak rangkaian bunga-bunga ucapan selamat menghiasi depan rumahnya.
Nampak kedua mempelai penuh senyum yang merekah, menggambarkan keduanya dipenuhi kabahagiaan.
Setelah menikah Hafiz tinggal di rumah Wati' sehingga aku jadi sering bertemu dengan Hafiz.
Tak terasa satu tahun telah berlalu, aku mulai melihat guratan-guratan kesedihan yang nampak diwajah Hafiz,
"Sebenarnya ada apa Fiz...???" Tanyaku mencoba mencari tahu.
"Gak ada apa-apa Man...???" Jelas Hafiz menutupi.
"Tapi akhir-akhir ini sukapmu nampak berubah,,, kamu tak seceria dulu..." aku mendesak bertanya.
"Serius Man,,, aku gak papa, mungkin karena akhir-akhir ini banyak pekerjaan jadi agak kurang tidur aja..." jawabnya kalem menutupi keadaan.
"Tapi akhir-akhir ini sukapmu nampak berubah,,, kamu tak seceria dulu..." aku mendesak bertanya.
"Serius Man,,, aku gak papa, mungkin karena akhir-akhir ini banyak pekerjaan jadi agak kurang tidur aja..." jawabnya kalem menutupi keadaan.
Dan setiap aku lewat depan rumahnya, aku sering melihat pertengkaran diantara mereka.
Aku juga sering melihat Wati memaki-maki Hafiz bahkan sambil membanting piring atau barang-barang rumah.
Sebenarnya aku tak tega melihat sahabatku, sahabat terbaikku harus menderita hidupnya, aku sungguh tak tega melihat Hafiz yang penuh kelembutan harus tersayat hatinya dengan ucapan-ucapan pedas istrinya. Tapi apalah daya, ini rumah tangganya yang tak mungkin aku ikut campur.
Bagaimanapun juga Hafiz tetap Hafiz, dia seorang yang penuh keikhlasan, apapun yang terjadi dia tetap setia dan sabar menghadapi istrinya.
Disuatu ketika kebetulan aku melewati rumahnya, nampak dari jendela rumahnya aku melihat dengan mata kepala sendiri,
"Plaakk" tangan Wati' tiba-tiba mendarat dimuka Hafiz.
Seketika aku terperangah, kaget seakan tak percaya.
Lagi-lagi Wati' memaki-maki Hafiz, pertengkaran kali ini aku merasa sangat kelewatan, Tak sepantasnya seorang istri berani kasar kepada suaminya, aku tau benar siapa Hafiz, Hafiz bukan tipe suami-suami takut istri, tapi suami yang penuh kesabaran dan keikhlasan untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya.
Hafiz adalah sosok laki-laki yang sangat penyabar yang pernah aku lihat, laki-laki yang sangat setia pada istrinya, laki-laki yang sangat lemah lembut penuh pengasihan.
Saat malam telah larut tiba-tiba hapeku berbunyi,
"kriiing,,, kriiing,,, kriiing,,,"
"Hafiz...???" Ucapku lirih.
"Ada apa malam-malam begini Hafiz menelpon aku...??? Tumben..." ucapku dalam hati.
Saat aku angkat telponnya.
"Lukman,, Lukman yaa...???"
Seketika aku kaget, kok bukan suara Hafiz yang berkata di telpon itu.
"Haloo,,, Lukman yaa,,, ini aku Wati' istrinya Hafiz..." ucapnya sembari terburu-buru nampak panik.
"Iyaa ada apa Ti'...???" Akupun menjawab penuh heran.
"Tolong Man, kamu kesini, Hafiz Man Hafiz..." kata Wati' penuh kepanikan.
"Baik,, baik,, Ti' aku kesana..."
Aku berjalan dengan cepat, tergesah-gesah penuh tanda tanya.
"Ada apa ini, ada apa dengan Hafiz. Apakah dia pergi dari rumah setelah pertengkaran dengan istrinya sore tadi...??? Ataukah dia melawan memukul istrinya saat dia sudah tidak tahan lagi atas perlakuan istrinya...??? Atau ada tragedi apa dirumah Wati'...???" Kata hatiku sembari berjalan ke rumah Wati'.
Setibanya aku di rumah Wati' tanpa ketuk pintu apalagi permisi aku langsung masuk karena pintupun masih terbuka.
Aku melihat Keluarga Wati' berkumpul di ruangan depan dan alangkah terkejutnya aku melihat Hafiz telah berbaring dipangkuan Wati' dengan mulut yang mengeluarkan darah.
"Ada apa ini, ada apa dengan Hafiz...???" Tanyaku sembari mendekat lantas memeluk Hafiz.
"Hafiz kenapa Ti'....???" Tanyaku setengah membentak.
"Aku tidak tau Man... sungguh aku tidak tau...??? Tiba-tiba Hafiz pingsan dan mulutnya mengeluarkan darah..." jawab Wati' menyangkal sembari menangis juga.
"Hafiz,,, Hafizz,,, Hafizzz,,, bertahan sobat bertahan, ayoo kita bawa kedokter...!!!" Teriakku.
Tiba-tiba tangan Hafiz memegang tanganku yang seolah berkata,
"jangan Man, mungkin ini saatnya aku harus pergi..."
"jangan Man, mungkin ini saatnya aku harus pergi..."
Aku langsung memeluk Hafiz yang ada di pangkuan Wati' aku mengusap wajahnya, aku mencoba membersihkan darahnya yang telah membanjiri dagu dan lehernya.
"Hafiz bertahan Hafizz..." mulutku terus ngoceh sembari menangis tersedu.
Aku melihat Hafiz ingin berucap sesuatu tapi tak bisa, mulutnya mangap sembari nafasnya tersengal-sengal berat, kadang batuk berlumur darah.
Tangan Hafiz memegang pipiku lantas memegang pipi Wati' tapi bibirnya tak mampu lagi berbicara apapun.
Aku tak kuasa melihat keadaan ini, sungguh aku tak sanggup melihat dia kesakitan. Dan tak berapa lama aku mendengar bibir Hafiz berucap lirih,
"AshaduAllah illah ha Illallah, Wa
Ashaduanna Muhammadarrasullullah."
Hafiz menghembuskan nafas terakhirnya, tubuhnya terasa lemas dan dingin.
"Tidaaaakkk....!!!!" aku berteriak sekeras-kerasnya, kaca-kaca jendela bergetar dengan fibrasi tinggi, suaraku melengking memecah kesunyian malam. Orang-orang yang ada disinipun semua serentak menangis tanpa komando, menderu-deru bagai paduan suara tanpa tangga nada. Dunia seakan hujan air mata.
Hafiz telah pergi persis seperti ayahnya 19 tahun yang lalu, dengan darah mengalir dari mulutnya, selamat jalan sobat, selamat menggapai surga menyusul ayahandamu.
Kini aku benar-benar merasa sendiri, sahabat yang selama ini menemaniku harus melepaskan pelukannya menjemput damai yang diimpikannya.
Pagi berkabut, di kampung dimana kami dulu dilahirkan, tepat jam 7 pagi jenazah Alm. Hafiz akan segera dimakamkan, dingin masih merangkul kesunyian menebar keheningan, harus terbelah oleh suara ayat-ayat suci Al-Qur'an yang mengiringi sebuah prosesi pemakaman yang sakral dan hikmat.
Ditanah ini Hafiz harus membaringkan tubuhnya menuju penyempurnaan.
Nampak para pelayat membanjiri pesarean dengan memanjatkan do'a-do'a kemuliaan.
Bahkan setelah pesarean kembali hening aku tetap ada disini, untuk sesaat menemani sahabatku dipembaringan abadinya.
"Sobat, aku yakin perjalananmu kesana penuh senyuman seperti perjalanan hidupmu selama ini...
Dan semua ini telah menyadarkanku, betapa singkat hidup ini, rasanya baru kemaren kita terlahir di dunia ini, rasanya baru kemaren kita belajar merangkak bersama, belajar berjalan barsama untuk melalui hari-hari yang istimewa...
Dan semua ini telah menyadarkanku, betapa singkat hidup ini, rasanya baru kemaren kita terlahir di dunia ini, rasanya baru kemaren kita belajar merangkak bersama, belajar berjalan barsama untuk melalui hari-hari yang istimewa...
Rasanya baru kemaren kita masih bermain lumpur di sawah dan mandi di sungai...
Rasanya baru kemaren kita bercita-cita untuk mengapai impian-impian kita...
Tapi sekarang kamu harus kembali, meninggalkan aku dan semua yang ada di dunia ini...
Yaa Allah, berikanlah sahabatku tempat terindah di sisiMU..
Sebagaimana dia pernah memperindah hidupku...
Berikan kebahagian yang hakiki untuk sahabatku, sebagaimana dia pernah membahagiakan hidupku... Amin..."
Dengan langkah gontai aku meninggalkan pesarean, entah kenapa saat ini aku merasa benar-benar berjalan sendiri. Aku benar-benar merasa kehilangan.
Aku pulang melewati Rumah Wati', nampak suasana duka masih menyelimuti rumah itu.
Hari-hariku di kantor terasa sepi, tak seperti biasanya, kini aku harus tegar menghadapinya sendiri, karena saat ini tak ada lagi teman untuk kuajak bermain, tak ada lagi tempat untuk mencurahkan isi hati dan meminta pendapat-pendapatnya.
"Yaaahh aku harus berusaha mandiri, semua ini pasti ada hikmahnya..."
***
Dua tahun telah berlalu sejak kepergian Hafiz, dan Wati' telah menikah lagi sekitar 4 bulan yang lalu, tapi dalam ingatanku tetap aku masih merasa bahwa suami Wati' adalah Hafiz.
Disuatu sore saat aku lewat di depan rumah Wati'
"Praang..." suara piring yang dibanting.
Seketika aku ingat Hafiz saat bertengkar dengan Wati'.
"Hafiz..." ucapku lirih sampil menatap jendela dirumah Wati'.
Aku melihat keributan seperti dua tahun yang lalu,
"Praak..." suara tamparan yang mendarat di pipi.
Aku mencoba mendekat, nampak Wati' bertengkar dengan suaminya yang baru, dia menampar dan memaki-maki suaminya penuh emosi, semua penghuni kebun binatang keluar dari mulut Wati' tak terkendali.
Yaah,,, aku teringat pada Hafiz sahabatku, bagai mana perihnya saat hatinya tersakiti saat itu. Dimana kata-kata kotor nan pedih berhamburan merobek hatinya.
Aku hanya bisa diam menatap di depan jendela yang memberikan gambar siluet pertengkaran mereka.
Tapi ada yang beda di pertengkaran kali ini.
"Praaakk...!!!" Sang suami ternyata membalas tamparan Wati', bahkan tak segan segan memukul dengan panci ke mukanya. "Braakk...!!!" Wati' dibanting ke kelantai mengenai kaki-kaki meja.
Pertengkaran dalam rumah tangga yang tak seharusnya terjadi. Aku mendengar jerit tangisan Wati dan teriakan-tetiakan suami seperti gledek yang menyambar-nyambar.
Tiba-tiba ada ibu-ibu tua mengagetkanku yang menepuk punggungku dari belakang.
"Itu mah sudah biasa..." kata ibu itu.
Aku hanya bisa diam, membayangkan kejadian aslinya di dalam sana, dari suara dan bayangan siluetnya saja aku sudah ngilu membayangkan.
Ke esok paginya saat aku hendak berangkat kerja, tiba-tiba ada yang memanggilku,
"Lukmaann,,, ajak Hafiz kesini dunk...!!!" Ucap Wati' agak teriak.
Seketika langkahku terhenti dan teringat kejadian beberapa tahun yang lalu saat-saat aku pertama kali memperkenalkan Hafiz pada Wati'.
Aku hanya bisa menunduk, meneteskan air mata dan kembali meneruskan langkahku.
"Lumaann,,, ajak Hafiz kesini dunk....!!!" Seru Wati berteriak.
Akupun terus melangkah tak menghiraukan.
"Lukmaaann, ajak Hafiz kesini dunk...!!! Huhuhuuu..."
Aku melihat Wati berteriak histeris, menangis penuh penyesalan, dengan wajah bengkak dan luka sobek dibibirnya bekas pertengkaran semalam.
Aku merasakan penyesalan yang ia rasakan, karena suaminya sekarang sangatlah kasar dan tak pernah perhatian, pekerjaannya hanya maklar serabutan, jarang pulang bahkan sering mabuk-mabukan.
Aku merasakan penyesalan yang ia rasakan, karena suaminya sekarang sangatlah kasar dan tak pernah perhatian, pekerjaannya hanya maklar serabutan, jarang pulang bahkan sering mabuk-mabukan.
Dan banyak yang bilang bahwa Wati' sekarang jiwanya agak terganggu, kadang sering menangis-nangis sendiri, tertawa-tawa sendiri, kadang berteriak memanggil-manggil nama Hafiz sembari menangis tersedu-sedu.
*********************************************
"Begitulah cerita tentang sahabatku yang bernama Hafiz, begitu indah dan tak mungkin terlupakan" ucapku lirih sambari menunduk mengenang Hafiz.
"Lantas itu alasanmu mengapa kamu menunda-nunda penikahan kita...???" Tanya Fitha'.
Aku hanya bisa membisu bak patung batu yang baru selesai dipahat.
"Lukman sayaang,,, kamu kan kenal aku udah lama, 2 tahun kita pacaran, dan usia kita juga udah bukan remaja lagi, kamu 28 tahun dan aku 24 tahun, tapi kenapa kamu masih trauma atas kejadian itu sayang...???" Jelas Fitha' penuh manja.
"Fit, aku takut berumah tangga Fit,,, aku takut...
Aku tak sesabar Hafiz, aku takut tak bisa menahan emosiku saat kita bertengkar...
Aku tak sepintar Hafiz, aku takut aku tak bisa membimbingmu memberi arahan....
Aku tak semapan Hafiz, aku takut tak bisa memenuhi keinginan-keinginanmu..." terangku.
"Kamu memang tak seperti Hafiz sayang, tapi aku juga bukan Wati'..." Fitha' memotong ucapanku sembari memeluk tubuhku.
"Setiap orang itu mempunyai garis tangan yang berbeda-beda sayang, begitu juga garis nasib seseorang...
Aku yakin, kita akan mampu membangun rumah tangga yang indah, seperti yang dicita-citakan Hafiz,,,
Dan aku yakin Hafiz disana akan bahagia melihat kita bahagia..." lanjut Fitha' sembari menyandarkan kepalanya dipundakku.
Dan aku yakin Hafiz disana akan bahagia melihat kita bahagia..." lanjut Fitha' sembari menyandarkan kepalanya dipundakku.
Di batu ini, dulu aku dan Hafiz mencoba merangkai cita-cita tentang kebahagiaan di masa depan. Dan kini di batu ini pula kita akan mewujudkan kebahagiaan itu, mulai saat ini aku yakin bahwa Fitha adalah jodohku.
"Yuuk sayang kita pulang, udah berjam-jam sayang cerita sampai lupa kalo hari sudah sore..." ajak Fitha' penuh kelembutan.
Kamipun bergegas berdiri, berjalan menyusuri jalan tanah menuju rumahku, tapi saat lewat di depan rumah Wati' tiba-tiba,
"Lukmaaann,,, ajak Hafiz kesini dunk...!!! Hahahaa..." teriak Wati' dengan gayanya yang makin aneh saja.
Kamipun sempat berhenti sesaat, lantas melanjutkan langkah kami dengan tangan Fitha menggenggam tanganku makin erat. Seakan dia ingin menegaskan, "aku bukan Wati'.."
Akhirnya aku beranikan mengajak Fitha' menemui semua anggota keluargaku dan membicarakan pernikahan.
Dan Alhamdulillah keluarga besarku merestui hubungan kami dan menyarankan untuk segera menikah.
Dan Alhamdulillah keluarga besarku merestui hubungan kami dan menyarankan untuk segera menikah.
Aku yakin, kebahagiaan itu akan ada, dan akan selalu ada, karena kami bertekat membangun kebahagiaan itu dari hati yang penuh kelembutan.
Seperti yang diajarkan Hafiz kepada kami.
"Hafiz, semoga kau bahagia disana, bersama kebahagian yang kau harapkan yang tak pernah kau dapatkan disini...
Semoga jiwamu mendapat kesejukan disana, bersama kelembutanmu yang akan selalu menyejukkan namamu disini...
Dariku sahabatmu, Lukman"
============ SEKIAN ============
Semoga jiwamu mendapat kesejukan disana, bersama kelembutanmu yang akan selalu menyejukkan namamu disini...
Dariku sahabatmu, Lukman"
============ SEKIAN ============
NB: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada nama atau peristiwa kejadian yang sama, itu hanya kebetulan belaka.
By: Ahmad Pajali Binzah
===============================
===============================
Baca juga cerpen tentang petualangan:
[Cerpen] Istri Muda
[Cerpen] Aku Benci Ibu
[Cerpen] Pohon Terakhir
[Cerpen] Aku Pendaki Kartini
[Cerpen] Istri Muda
[Cerpen] Aku Benci Ibu
[Cerpen] Pohon Terakhir
[Cerpen] Aku Pendaki Kartini
Tema: Cinta Dalam Kasta
Oleh: Ahmad Pajali Binzah
"Hei, perkenalkan namaku Irawan" kenalku.
"Namaku Esti..." ia menyebut namanya dengan senyum manis menghiasi wajahnya.
Perkenalan disuatu kantin sekolah 12 tahun yang lalu, waktu aku kelas 2 SMP dan dia termasuk murid baru.
Moment perkenalan yang sungguh singkat, tetapi teramat berarti dalam sejarah kehidupan cintaku, bahkan sampai saat ini masih dapat kuingat jelas detail-detail tentang perkenalan itu.
Dan setelah itu hari-hariku diliputi rasa penasaran tentang Esti, aku sungguh ingin mengenal lebih dekat dengannya, aku sering titip salam jika ketemu temannya, aku selalu mencari tahu tentangnya dan semua informasi yang aku dapat bagaikan oasis di padang gurun.
"Kamu suka sama Esti Wan...??? Emang kamu gak tau kalo Esti itu udah punya pacar, ketua osis lagi..." jelas temenku.
Aku tak bisa berucap apa-apa lagi, setelah mendengar penjelasan temanku Adit.
"Pantesan selama ini dia menjauh jika aku dekati..." kata hatiku lirih.
"Oiya Wan, lagian Esti itu anaknya gitu sii, seleranya tinggi, dia juga masuk dikelas favorit, temen-temen cowoknya banyak, jadi mending kamu cari yang lain aja deh" jelasnya lagi.
"Iya Dit, aku ngerti kok, tapi kalo soal hati kan susah..." jawabku.
"Aah kata siapa, ntar kalo udah kenal yang lain juga lupa tuh sama yang namanya Esti..." celetuk Adit sambil senyum bercanda.
Hari-hari aku lalui penuh perjuangan meraih cintanya Esti, berbagai cara aku coba, tetap Esti menjauh bak bintang yang tinggi disana.
Dan yang paling menyakitkan, setiap aku curhat sama temen, lagi-lagi jawabnya sama, "lupakan Esti, dia tak mungkin menjadi milikmu..."
Seakan semua temenku mengiangatkanku agar aku tahu diri, gak mungkin aku bisa meraih Esti.
Perih, hancur, putus asa semua menjadi satu munghujam hidupku, laki-laki cupu dengan khayalannya yang tinggi. Memiliki gadis secantik Esti. Tapi apapun itu, aku tetep yakin dengan kata hatiku, cinta itu harus diperjuangkan, karena cinta bukan hanya milik orang-orang keren yang punya segalanya, karena aku tetap yakin cinta adalah hak asasi setiap manusia.
Tapi bagaimana pun juga dunia tetap dunia, kasta tetap ada, sampai detik ini pun Esti tak dapat ku raih, sementara saat ini aku sudah lulus dan harus angkat kaki dari sekolah ini, dan yang paling sedihnya aku harus meninggalkan gadis pujaanku, Esti.
Dan setelah lulus sekolah, aku harus melanjutkan SMA di Magelang karena pekerjaan ayahku yang memaksa kami sekeluarga harus hijrah ke kota yang sebelumnya belum pernah ku datangi.
Di kota Magelang inilah, aku makin mengerti arti dari sebuah kerinduan, kerinduan yang besar kepada seseorang yang tak pernah merindukan aku.
***
Di sekolahku yang baru aku menemukan teman baru, namanya Tedi tapi sering dipanggil Tohak, dia adalah teman yang baik yang bisa mengerti aku, mungkin karena kami sama-sama cupu dan mempunyai jiwa yang sama.
Dan darinya lah aku belajar banyak tentang cinta, karena dia termasuk cowok playboy walau aku tau semua pacar dan mantannya selevel pembantu komplek-komplek sebelah, alias playboy cap kampung hahahaa.. "Astaghfirullah, lagi-lagi aku kastaisme padahal aku sendiri orang yang selalu menentang pengkastaan dalam cinta, karena cinta adalah hak asasi..." celotehku dalam hati.
"Lagian bagaimanapun juga dia tetap lebih hebat dariku karena dia sudah sering merasakan mencintai dan dicintai dari pada aku ini yang tetap bertahan dengan cinta pertamanya walaupun tak pernah terbalas..." lanjutku lagi dalam hati.
Banyak strategi-strategi menggait cinta yang diajarkan Tohak, kadang dia menyarankan untuk menemuinya lagi. "Wan, untuk meraih cinta pujaan hati, kita kudu bisa buktikan perjuangan kita, walau harus jauh-jauh mendatanginya setidaknya agar dia tau pengorbananmu, dan mungkin saja dia bisa terkesima atas perjuanganmu..." ujarnya sok menjadi pujangga cinta.
"Iyaa juga yaa...???" Jawabku lirih sambil memanggut-manggutkan kepala.
"Iyaa juga yaa...???" Jawabku lirih sambil memanggut-manggutkan kepala.
Untuk mengikuti saran Tohak, sesekali aku mencoba datang jauh-jauh menemui Esti, dan setiap aku menghubunginya dia tetep saja selalu menghindar, "maaf Wan, aku gak bisa nemui kamu, aku banyak tugas..." itu jawabannya setiap aku menelpon nya. Padahal aku sudah ada di depan sekolahannya, tapi lagi-lagi aku melihat cewek idamanku itu pulang sekolah diantar cowok lain yang kebih keren dan tentunya anak orang kaya.
"Wan Wan, gimana kamu bisa boncengin dia, wong motormu aja butut gitu..." gerutu ku dalam hati.
Untuk kesekian kalinya aku kecewa.
Dan strategi dari Tohak tetap gak mempan.
"Yah gak papalah, setidaknya kamu sudah mencoba Wan..." ujar Tohak menenangkan.
"Tapi jangan putus asa, aku yakin suatu saat pasti ada kesempatan..." tambahnya lagi...
Yaa dari Tohak lah aku mengenal arti persahabatan, arti perjuangan bahkan arti keikhlasan dalam menjalani hidup. Dan darinyalah aku mengenal naik gunung, karena dia sering mengajak naik gunung.
"Wan, mulai sekarang kita harus coba realistis, kalo memang kamu enggan membuka hatimu untuk cewek lain, coba deh untuk menghibur hati dengan menyibukan diri..." nasehatnya sok bijak sana.
"Iya Hak, aku ngerti,,, mulai sekarang aku berusaha melupakan Esti, tapi aku belum ingin mengenal cewek lain, aku ingin bertahan dengan cinta pertamaku, entah sampai kapan..." curhatku.
"Oke, untuk itu gak ada salahnya kita naik gunung... karena di puncaknya kamu bisa teriak sekenceng-kencengnya, mungin itu bisa membuat hatimu terasa lebih plong..." rayunya menggebu-gebu.
Dari sinilah aku mulai tertarik dengan mendaki gunung, karena dengan mendaki gunung, aku menemukan kepuasan hati, menemukan arti persahabatan dan kekompakan, aku juga menemukan ketenangan jiwa, bahkan menemukan cinta yang baru yaitu cinta kepada alam negeriku, Indonesia raya.
Tapi apapun itu alasan utama aku mendaki adalah Esti, karena dia lah aku semangat menggapai puncak, ejaan namanya lah yang selalu aku ukir di pasir-pasir ketinggian, lafat namanya lah yang selalu aku teriakkan setelah aku lafatkan Allahu Akbar, karena namanyalah yang selalu aku ucapkan untuk membangkitkan semangatku disaat fisik mulai ngedrop, dan bayangan wajahnya yang selalu aku lamunkan saat-saat malam di lereng pegunungan. Esti, Esti, Esti... nama yang gak mungkin bisa aku lupakan.
***
Akhirnya 3 tahun telah berlalu, aku harus meninggalkan Tohak teman sejatiku, karena aku mendapat bea siswa untuk meneruskan kuliah di Bandung, sedih memang tapi inilah yang harus aku jalani untuk meraih masa depanku.
"Aku bangga pernah mengenalmu sob, jangan pernah lupain aku, karena aku juga gak akan nglupain kamu..." ujarku disaat detik-detik perpisahan.
"Gak mungkin Wan, kamu satu-satunya teman terbaikku..." ucapnya sambil memelukku.
Tak lama berselang tiba-tiba bus yang pesan tiketnya sudah datang, "oke Hak, bus nya sudah datang, aku masuk dulu yaa, jangan lupa selalu ngasih kabar...." ucapku.
"Pasti, hati-hati dijalan yaa..." ucapan sembari melambaikan tangan.
Hari-hariku di Bandung aku lalui dengan kesepian, aku tetap merindukan sosok Tohak yang selalu mengerti aku.
Untuk mengisi kegiatan dan menyalurkan hobi lamaku, aku masuk di organisasi pecinta alam di kampusku, akupun masih sering mendaki gunung, yang sesungguhnya hanya satu alasan mengapa aku tetap mendaki, melupakan Esti. Yaah lagi-lagi Esti, nama itu selalu aku bawa-bawa kemanapun aku pergi.
***
Satu tahun telah berlalu, dan disuatu hari aku terkejut luar biasa, "Esti...???" Ucap bibirku lirih sambil memandang sosok gadis yang sudah tak asing lagi.
"Esti...!!!" aku mencoba memanggil.
Dan alangkah senangnya aku, ternyata gadis itu menengok.
"Irawan...???" Jawabnya penuh heran.
"Kamu kuliah disini Wan...???" Tambahnya lagi.
"iii iiyaa... Est..." jawabku grogi
"Aku udah semester 2, udah setahun lebih disini..." tambahku.
"Iyaa aku baru 2 bulan disini... enak yaa disini..." Diapun mulai mengajak ngobrol.
Kamipun nampak akrab asyik mengobrol, aku sangat bahagia saat ini, ini bagai mimpi disiang bolong. Rasanya masih tak percaya bisa bertemu dengannya lagi setelah sekian lama aku mencoba melupakan.
Tapi saat kami asyik mengobrol tiba-tiba "sayang..." panggil seseorang sambil melambaikan tangannya keraah Esti.
Setelah mendekat Esti langsung menggandengnya "perkenalkan Wan, ini pacarku yang baru..." Esti mencoba memperkenalkan dengan wajah senyumnya yang khas.
"dueerrr...!!!" lagi-lagi hatiku harus hancur setelah berbunga-bunga sebentar, seakan air mataku mau menetes tapi aku berusaha membuat tembok bendungan sekokoh-kokohnya, rasanya aku mau pingsan tapi aku berusaha membuat penyangga sekuat-kuatnya, rasanya aku mau teriak sekeras-kerasnya tapi aku langsung menjahit bibirku serapat-rapatnya. Hatiku bener-bener hancur berantakan.
Yaa inilah kehidupan, kasta tetap ada, tidak mungkin gadis secantik dia bersanding denganku yang hina ini. Dan aku mulai sadar akan semua ini, aku tidak mungkin mempertahankan kekosongan dalam hatiku lebih lama, aku harus membuka pintu hatiku untuk cinta yang baru, seseorang yang bisa dengan tulus mencintai aku.
Irma, gadis sederhana yang selama ini menghiburku, menemani hari-hariku, membantuku dari tugas-tugas kuliah, tak kusadari diialah yang bisa mengisi hatiku, aku harus mencoba mencintainya.
Terkadang pengalaman hidup mengajarkan kita menjadi lebih dewasa, menyadarkan kita akan satu hal,
Mungkin saking eratnya kita mengejar seseorang, hingga kita lupa ada seseorang dibelakang kita yang selalu memeluk erat dengan cintanya.
***
Mungkin saking eratnya kita mengejar seseorang, hingga kita lupa ada seseorang dibelakang kita yang selalu memeluk erat dengan cintanya.
***
"Paah bangun paah, udah siang nih, kan papah harus kekantor lebih pagi, hari ini kan hari pertama papah duduk di jabatan baru..." ucap Irma membangunkan aku dari tidur pulasku.
Yaa, tak terasa sudah 3 tahun kami menjalani mahligai pernikahan, hidupku lebih berarti dan aku merasa semakin sempurna semenjak kehadiran simungil Dava yang baru berusia 1 tahun.
Hari ini hari pertamaku memasuki ruangan kantor yang baru, setelah 3 tahun mengabdi pada perusahaan ini, aku naik jabatan diposisi strategis, ini adalah peningkatan karir yang luar biasa untukku.
Disuatu hari saat aku sedang berada di kantin kantor untuk makan siang, tiba-tiba ada yang memanggilku
"Irawan...???" Ucap seseorang sambil menepuk punggungku dari belakang dengan nada heran.
"Irawan...???" Ucap seseorang sambil menepuk punggungku dari belakang dengan nada heran.
"Waaahh sekarang kamu beda sekalii,,, nampak rapih dan keren..." ujarnya lagi sambil senyum lebar dengan mata berbinar-binar.
Akupun kaget bukan kepalang, sosok yang selama ini aku puja-puja hadir kembali di hadapanku untuk ketiga kalinya.
Yaa, aku ingat betul masa-masa perkenalan di sekolah 12 tahun yang lalu, bahkan rasanya baru kamaren aku bertemu dengannya di kampus dan kini dipertemukan lagi untuk ketiga kalinya di ruang dan waktu yang berbeda, dunia kerja.
12 tahun telah berlalu tapi kecantikannya tetap tak berubah sedikit pun, bahkan ia nampak lebih mempesona, matanya bersinar bak permata yang terkena cahaya, silau rasanya aku tak kuat menatap matanya, grogi pun masih sama seperti saat aku pertama kali berkenalan dengannya.
Tapi yang membuat aku makin bahagia, sikapnya sekarang lebih hangat, seakan aku menemukan sosoknya yang baru.
"Hei, kok kamu ada disini...???" Tanyaku heran.
"Iyaa,,, kan aku kerja di daerah sini juga, tuh gedung itu kantorku..." jawabnya sambil menunjuk gedung yang ada diseberang dari gedung kantorku.
"Waahh,,, kantor kita berdekatan dunk...??? gak nyangka yaa kita bisa ketemu lagi..." ungkapnya lagi dengan nada akrab.
Obrolan hari ini sungguh berkesan, dan obrolan ini terus berulang hingga aku dengannya sangat dekat, aku merasakan kebahagiaan yang selama ini aku cari-cari, aku menemukan belahan jiwaku yang selama ini hilang, aku sungguh bahagia dengan kelembutan sikapnya kepadaku.
"Mungkin inilah akhir dari do'a ku yang selama ini aku panjatkan, belasan tahun dengan do'a yang sama, inilah jawaban dari do'aku selama ini..." kata hatiku lirih dengan penuh syukur.
Semakin hari hubungan aku dengan Esti makin dekat diapun sering curhat apa yang sebenarnya dia alami selama ini.
"Aku baru saja cerai Wan, selama ini aku tak pernah menemukan laki-laki yang benar-benar mencintaiku..." curhatnya penuh kesedihan.
"Kamu yang sabar yaaa,,, gak semua laki-laki seperti itu, masih banyak kok diluar sana laki-laki baik yang siap menerima mu apa adanya. Mencintaimu penuh dengan ketulusan..." jawabku sembari mengusap air matanya.
"Ternyata kamu tidak berubah Wan, kamu masih seperti yang dulu saat kita masih SMP..." dia pun memeluk erat tubuhku.
"Aku menyesal Wan udah sering membuatnu kecewa, seandainya waktu bisa diulang, aku ingin kembali ke masa-masa kita masih sekolah, dan aku akan memilihmu sebagai pendampingku untuk selamanya, karena sekarang aku sadar bahwa laki-laki yang mencintaiku dengan tulus itu adalah kamu..." dia makin erat memeluk tubuhku.
"Aku sayang padamu Wan, aku bener-bener sayang, aku udah nyari kamu kemana-mana dan sekarang kita dipertemukan lagi..." ungkapnya dengan air mata berliang.
"Ta'ta' tapi aku sudah berkeluarga Est..." jawabku sambil terbata-bata.
Lantas dia melepaskan pelukannya dan menatap mataku dalam-dalam. Sesaat dia memelukku lagi.
"Tapi aku menyayangimu Wan.. " pelukannya makin erat.
"Aku gak ingin kehilanganmu lagi... waktu telah menyadarkanku bahwa kamulah yang mampu bertahan mencintaiku selama ini..." Esti mengangis makin kencang.
Untuk menenangkan akupun membalas pelukannya. Dan dengan nada pelan aku mencoba menjelaskan.
"Esti, jujur aku sangat menyayangimu, bahkan sampai detik ini pun aku tetap sayang, bahkan makin besar sayang ini padamu...
Perlu kamu tau, aku memelukmu saat ini adalah hal paling indah yang pernah aku rasakan, kamulah alasan mengapa aku bertahan sampai sekarang,
Perlu kamu tau, aku memelukmu saat ini adalah hal paling indah yang pernah aku rasakan, kamulah alasan mengapa aku bertahan sampai sekarang,
Kamulah alasan mengapa mendaki gunung-gunung yang tinggi...
Kamulah alasan mengapa aku belajar begitu semangatnya...
Dan bahkan kamulah alasan mengapa aku masih ada disini, masih tetap mencintaimu...
Karena kamu adalah segalanya bagiku...
Tapi keadaanku saat ini, yang memaksaku harus mencoba lepas dari bayang-bayangmu, aku sudah menikah Es, ku harap kamu mengerti..." jelasku sembari memeluknya.
Karena kamu adalah segalanya bagiku...
Tapi keadaanku saat ini, yang memaksaku harus mencoba lepas dari bayang-bayangmu, aku sudah menikah Es, ku harap kamu mengerti..." jelasku sembari memeluknya.
"Tapi aku mulai menyayangimu Wan..." bisiknya lirih.
"Iya aku ngerti, tapi inilah kenyataan Est... mungkin benar kata orang-orang, bahwa cinta itu memang tak harus memiliki... kadang ada sesuatu yang gak bisa dipaksakan, buka keinginan kita tapi takdir yang berbicara..." jawabku berbisik.
Hari ini adalah hari yang membuatku sangat bimbang, disatu sisi aku sangat mencintai Esti disisi yang lain ada seseorang yang selama ini menemani hidupku.
Memang Irma tak secantik Esti, tapi dialah yang mampu membuatku selalu bergairah menjalani hari-hariku.
Memang Irma tak sepintar Esti, tapi dialah yang mampu memberi arah saat aku merasa bimbang.
Memang Irma bukan wanita karir, tapi dengan do'a-do'anya yang mampu membuat karirku sebaik ini.
Tak ada alasan bagiku untuk meninggalkan Irma, Dialah yang telah menghadiahi aku jagoan kecil, Dava.
Yang membuatku merasa menjadi laki-laki seutuhnya.
Yang membuatku merasa menjadi laki-laki seutuhnya.
Usiaku saat ini sudah tak muda lagi, bukan saatnya berbicara tentang cinta, tapi tentang tanggung jawab.
Karena cinta yang sesungguhnya adalah cinta dalam rumah tangga.
Biarlah bintang tetap bersinar dilangit, bintang bukan untuk dipetik, tapi bintang untuk dipandang sebagai pedoman. Karena inilah pengkastaan yang sesungguhnya. Kasta dalam cinta.
"Untuk Esti, tetaplah menjadi bintang di langit, karena cahayamu yang selalu aku rindu, aku tak akan menyentuhmu biarlah aku tetap memujamu..." bisikku lirih sembari memandangi langit.
Lamunanku dimalam penuh bimbang.
***
Lamunanku dimalam penuh bimbang.
***
Disuatu pagi,
"Paaah,,, yuuk sarapan..." ajak Irma penuh kelembutan.
Pagi ini sarapan terasa nikmat sekali, mungkin inilah yang disebut surga dalam rumah tangga.
"Baik, aku pergi dulu yaaa,,, daaa..." pamitku pada Irma.
Lantas aku melaju dengan mobil sederhana meninggalkan rumah mungil nan indah hasil keringatku sendiri.
Di kantorpun aku bekerja dengan semangatnya hingga tak terasa waktu istirahat tiba.
Sesampainya di kantin aku merasa ada yang kurang, yaa Esti satu-satunya nama yang tetap melekat di hatiku hingga kini, kini tak biasanya ia tak ada di kantin ini. Aku merasakan ada yang kurang tanpa kehadiran Esti, seketika hatiku teringat lagi padanya.
Tiba-tiba ibu-ibu pemilik kantin datang, "pak Irawan, ini ada surat dari bu Esti..." ucap ibu itu sembari memberiku secarik surat.
Setibanya di kantor aku duduk di kursi kerjaku, sebelum memulai kerja aku mencoba membuka surat dari Esti.
Untuk Irawan sang pelita hatiku,
Tak ada kata yang pantas terucap selain kata maaf dan terima kasih....
Maaf telah membuatmu kecewa berulang kali, dan terimakasih telah bertahan selama ini...
Maaf telah membuatmu kecewa berulang kali, dan terimakasih telah bertahan selama ini...
Karena kamulah yang mampu menyadarkan aku akan arti cinta sejati...
Kamulah laki-laki sejati yang pernah aku temukan...
Laki-laki dengan cinta sejati yang mampu bertahan...
Kini baru aku menyadari betapa perihnya merindu tanpa bertemu, mencintai tanpa memiliki...
Seperti yang pernah kau rasakan selama ini...
Seperti yang pernah kau rasakan selama ini...
Tapi ini adalah kenyataan, bahwa kamu telah memilih jalan hidupmu, teramat berdosa jika aku ingin selalu berada dipelukanmu...
Aku tak ingin merebutmu dari istrimu...
Aku tak ingin merebutmu dari istrimu...
Kini aku harus pergi, mencoba memahami hidup yang aku jalani...
Terima kasih telah memberi arti pada hidupku ini...
Mulai saat ini kamulah alasan mengapa aku harus untuk melanjutkan hari-hariku...
Karena aku ingin selalu melihatmu dari kejauhan, tanpa harus mengganggu kehidupanmu...
Karena kaulah pelita hatiku...
Bintang kehidupanku...
Mulai saat ini kamulah alasan mengapa aku harus untuk melanjutkan hari-hariku...
Karena aku ingin selalu melihatmu dari kejauhan, tanpa harus mengganggu kehidupanmu...
Karena kaulah pelita hatiku...
Bintang kehidupanku...
-Esti-
==============SEKIAN=============
Episode (2/10)
Menjadi prajurit Majapahit
Untuk awal cerita klik disini
Saat aku memasuki gerbang kota Trowulan dan tiba-tiba aku ditangkap oleh beberapa prajurit penjaga, aku tak kuasa untuk melawannya.
Akupun meronta-ronta, berteriak sekuat-kuatnya, tapi para prajurit itu tetap tak menghiraukan, mereka membawaku kerumah seorang senopati.
"Ayo kita laporkan pada tuan senopati" kata salah satu prajurit.
Salah satu dari mereka masuk kedalam dan melaporkan kepada atasanya. Dan tak lama kemudian datang seseorang dengan perawakan gagah berkumis tebal, dengan muka berwibawa dan seram, mingkin inilah senopati itu.
"Ada apa ini, ada kegaduhan apa lagi...???" Tanya laki-laki itu dengan tegas.
"Apa dia maling...???" Lanjutnya lagi.
"Bukan tuan, dia bukan maling..." jawab salah satu prajurit.
"Lantas kenapa kalian menangkapnya...???" Jawabnya penuh heran.
"Anak muda ini sangat mencurigakan tuan, dari gerak-geriknya dan pakaiannya, kami curiga kalo pemuda ini mata-mata dari negeri seberang..." terang salah satu prajurit.
"Hmmm..." sang Senopati pun tenang menganggut-anggutkan kepalanya sambil mendekat kearahku.
"Apa benar hai anak muda...???" Tanya senopati.
"Bu'bu'bukan tuan..." jawabku terbata-bata.
"Tapi jika dilihat dari pakaianmu, aku yakin kamu bukan penduduk sini, lantas apa maksud dan tujuanmu kesini...???" Tanya nya lagi dengan tegas dan tenang.
"Ini salah paham tuan, ceritanya panjang, aku tidak sengaja kesini, aku tersesat tuan, aku tidak bohong tuan..." jelasku sembari ketakutan.
"Hmmm,,, jawaban kamu tidak masuk akal hei anak manja...!!!" Gertak senopati itu sembari mendekatkan mukanya ke hadapanku.
Aku sungguh makin ketakutan, nampak wajahnya yang garang penuh seperti wajah harimau kumbang.
"Sungguh tuan, aku bukan mata-mata, aku pemuda biasa yang tersesat disini tuan, tolong lepaskan aku tuan...!!!" Aku berusaha menjelaskan dan memohon.
"Lancang sekali pemuda ini tuan, apa perlu kita masukan ke penjara...???" Usul salah satu prajurit.
"Tunggu....." tiba-tiba kakek mpu Sasora datang, sungguh kedatangannya sangat menentramkan panikku.
"Dia Jaka Sasena, anak muridku... dia bukan mata-mata seperti yang kalian tuduhkan, aku menjamin atas dirinya, jadi lepaskan dia..." jelas mpu Sasora.
"Jika Mpu yang menjamin, aku percaya, maaf Mpu atas kejadian ini, maafkan juga kelancangan prajurit-prajuritku" kata senopati penuh hormat.
Akupun diajak ke kediaman Mpu Sasora. Aku makin yakin, kakek mpu Sasora bukan orang sembarangan. Dalam perjalanan, kakek banyak cerita tentang keadaan di negeri Majapahit.
"Jadi kamu taukan maksudku selama ini...???" Ujar kakek mpu Sasora.
"Iya kek, aku sekarang memahami semua" jawabku sambil menganggukkan kepala.
"Aku sengaja menjemputmu dari jamanmu, sejak kau injakan kaki di batu itu sesungguhnya kamu telah membuka gerbang dimensi waktu yang jauh...
Aku menjemputmu mengajak kesini bukan tanpa tujaun, aku ingin memperkenalkan padamu tentang sejarah kehidupan para nenek moyangmu yang sebenarnya...
Agar kamu bisa memahami dan makin mencintai negerimu..." jelas Mpu Sasora penuh ketenangan.
"Iya kek, aku mengerti..." akupun menganggukkan kepala.
Akhirnya sampai juga kami di rumah mpu Sasora, Rumah dengan halaman yang luas, dikelilingi pagar dengan tembok bata berbentuk menyerupai candi-candi, lahan yang luas ini dipenuhi berbagai tanaman dengan berbagai macam jenis, suasananya pun sangat tenang.
Bener-bener rumah yang sempurna menurutku.
"Wow,,, ini benar rumah kakek...???" Tanyaku penuh kekaguman.
"Iya nak Sena, disini aku habiskan hidupku... berkarya untuk negeriku..." jelas Mpu Sasora sembil mengajakku masuk ke halaman belakang rumahnya.
Dan ternyata dibelakang rumahnya banyak peralatan-peralatan untuk menempa besi, banyak juga orang-orang yang sedang bekerja sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
"Kakek ini seorang mpu pembuat keris...???" Tanyaku.
"Orang-orang disini menyebutku tukang besi nak...???" Jawab kakek penuh kerendahan hati.
"Jika kamu berkenan, silahkan tinggal disini untuk membantu kakek menempa besi..." ajak mpu Sasora.
"Baik kek, aku mau, dengan senang hati kek..." jawabku dengan wajah senang.
"Baiklah kalau begitu, gantilah bajumu agar penampilanmu lebih bersahaja..." ujar kakek Mpu Sasora sembari memberiku pakaian ala penduduk Majapahit.
Hari-hari aku lalui disini dengan senang hati, disini aku bisa nenimba ilmu dari Mpu Sasora, sekarang aku tau bagaimana cara membuat keris terbaik, menenpa baja hingga menjadi senjata bertuah.
Disuatu sore aku melihat kakek sedang menghaluskan keris yang dibuatnya, sesekali beliau menyelupkan sebilah keris yang sudah hampir jadi kedalam suatu cairan dan merendamnya dengan mulutnya fasih membaca mantra, akupun datang mendekat,
"sedang apa kek...??? Apa yang kakek lakukan dengan keris itu...???" Tanyaku penuh heran.
"Aku sedang membuat keris ini menjadi sakti nak..." jelas kakek Mpu Sora.
"Dengan diapakan kek...???" Tanyaku lagi.
"Dengan di sepuh nak... Mungkin orang-orang belum banyak yang tau, kalau keris itu sakti sesungguhnya bukan semata-mata keris itu bertuah, tapi aku sengaja merendamnya kedalam cairan racun ular...
Jadi saat racun itu meresap kedalam, saat keris itu melukai tubuh musuh, walau dengan goresan sedikit saja itu bisa mematikan, sehingga semua orang mengganggap keris itu sakti mematikan" jelasnya sembari mengusap-usap keris kesayangannya
Dan dari sini aku mulai belajar tentang senjata-senjata mematikan, belajar tentang budaya, belajar ilmu kanuragan, ilmu asli beladiri Majapahit.
Ternyata kakek mpu Sasora bener-bener bukan orang sembarangan, beliau tokoh paling intelektual pada jamannya. Beliau juga termasuk sesepuh kerajaan, bahkan saat-saat tertentu beliau seringkali memenuhi undangan baginda raja untuk terjun langsung mengatur strategi-strategi pemerintaan jika diperlukan.
Banyak hal yang aku pelajari dari beliau.
Disuatu pagi seusai para murid latihan ilmu kanuragan, seperti biasa kami berkumpul di halaman padepokan, kakek mpu Sasora banyak memberi wejangan, bahkan bercerita tentang awal sejarah Majapahit, diceritakan dengan jelas dan detail dari raja pertama Prabu Wijaya hingga sekarang ini.
Akupun penasaran tentang sosok yang paling disegani saat ini, yaitu patih Gajah Mada.
"Kek, kalo patih Gajah Mada bagaimana ceritanya...???" Tanyaku penasaran.
"Ini adalah perjalananku, ini adalah jalan hidupku...
Karena aku yakin, perjalanan ini akan terus berjalan..."
Ahmad Pajali Binzah
January 14, 2015
New Google SEO
Bandung, IndonesiaMenjadi prajurit Majapahit
Untuk awal cerita klik disini
Saat aku memasuki gerbang kota Trowulan dan tiba-tiba aku ditangkap oleh beberapa prajurit penjaga, aku tak kuasa untuk melawannya.
Akupun meronta-ronta, berteriak sekuat-kuatnya, tapi para prajurit itu tetap tak menghiraukan, mereka membawaku kerumah seorang senopati.
"Ayo kita laporkan pada tuan senopati" kata salah satu prajurit.
Salah satu dari mereka masuk kedalam dan melaporkan kepada atasanya. Dan tak lama kemudian datang seseorang dengan perawakan gagah berkumis tebal, dengan muka berwibawa dan seram, mingkin inilah senopati itu.
"Ada apa ini, ada kegaduhan apa lagi...???" Tanya laki-laki itu dengan tegas.
"Apa dia maling...???" Lanjutnya lagi.
"Bukan tuan, dia bukan maling..." jawab salah satu prajurit.
"Lantas kenapa kalian menangkapnya...???" Jawabnya penuh heran.
"Anak muda ini sangat mencurigakan tuan, dari gerak-geriknya dan pakaiannya, kami curiga kalo pemuda ini mata-mata dari negeri seberang..." terang salah satu prajurit.
"Hmmm..." sang Senopati pun tenang menganggut-anggutkan kepalanya sambil mendekat kearahku.
"Apa benar hai anak muda...???" Tanya senopati.
"Bu'bu'bukan tuan..." jawabku terbata-bata.
"Tapi jika dilihat dari pakaianmu, aku yakin kamu bukan penduduk sini, lantas apa maksud dan tujuanmu kesini...???" Tanya nya lagi dengan tegas dan tenang.
"Ini salah paham tuan, ceritanya panjang, aku tidak sengaja kesini, aku tersesat tuan, aku tidak bohong tuan..." jelasku sembari ketakutan.
"Hmmm,,, jawaban kamu tidak masuk akal hei anak manja...!!!" Gertak senopati itu sembari mendekatkan mukanya ke hadapanku.
Aku sungguh makin ketakutan, nampak wajahnya yang garang penuh seperti wajah harimau kumbang.
"Sungguh tuan, aku bukan mata-mata, aku pemuda biasa yang tersesat disini tuan, tolong lepaskan aku tuan...!!!" Aku berusaha menjelaskan dan memohon.
"Lancang sekali pemuda ini tuan, apa perlu kita masukan ke penjara...???" Usul salah satu prajurit.
"Tunggu....." tiba-tiba kakek mpu Sasora datang, sungguh kedatangannya sangat menentramkan panikku.
"Dia Jaka Sasena, anak muridku... dia bukan mata-mata seperti yang kalian tuduhkan, aku menjamin atas dirinya, jadi lepaskan dia..." jelas mpu Sasora.
"Jika Mpu yang menjamin, aku percaya, maaf Mpu atas kejadian ini, maafkan juga kelancangan prajurit-prajuritku" kata senopati penuh hormat.
Akupun diajak ke kediaman Mpu Sasora. Aku makin yakin, kakek mpu Sasora bukan orang sembarangan. Dalam perjalanan, kakek banyak cerita tentang keadaan di negeri Majapahit.
"Jadi kamu taukan maksudku selama ini...???" Ujar kakek mpu Sasora.
"Iya kek, aku sekarang memahami semua" jawabku sambil menganggukkan kepala.
"Aku sengaja menjemputmu dari jamanmu, sejak kau injakan kaki di batu itu sesungguhnya kamu telah membuka gerbang dimensi waktu yang jauh...
Aku menjemputmu mengajak kesini bukan tanpa tujaun, aku ingin memperkenalkan padamu tentang sejarah kehidupan para nenek moyangmu yang sebenarnya...
Agar kamu bisa memahami dan makin mencintai negerimu..." jelas Mpu Sasora penuh ketenangan.
"Iya kek, aku mengerti..." akupun menganggukkan kepala.
Akhirnya sampai juga kami di rumah mpu Sasora, Rumah dengan halaman yang luas, dikelilingi pagar dengan tembok bata berbentuk menyerupai candi-candi, lahan yang luas ini dipenuhi berbagai tanaman dengan berbagai macam jenis, suasananya pun sangat tenang.
Bener-bener rumah yang sempurna menurutku.
"Wow,,, ini benar rumah kakek...???" Tanyaku penuh kekaguman.
"Iya nak Sena, disini aku habiskan hidupku... berkarya untuk negeriku..." jelas Mpu Sasora sembil mengajakku masuk ke halaman belakang rumahnya.
Dan ternyata dibelakang rumahnya banyak peralatan-peralatan untuk menempa besi, banyak juga orang-orang yang sedang bekerja sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
"Kakek ini seorang mpu pembuat keris...???" Tanyaku.
"Orang-orang disini menyebutku tukang besi nak...???" Jawab kakek penuh kerendahan hati.
"Jika kamu berkenan, silahkan tinggal disini untuk membantu kakek menempa besi..." ajak mpu Sasora.
"Baik kek, aku mau, dengan senang hati kek..." jawabku dengan wajah senang.
"Baiklah kalau begitu, gantilah bajumu agar penampilanmu lebih bersahaja..." ujar kakek Mpu Sasora sembari memberiku pakaian ala penduduk Majapahit.
Hari-hari aku lalui disini dengan senang hati, disini aku bisa nenimba ilmu dari Mpu Sasora, sekarang aku tau bagaimana cara membuat keris terbaik, menenpa baja hingga menjadi senjata bertuah.
Disuatu sore aku melihat kakek sedang menghaluskan keris yang dibuatnya, sesekali beliau menyelupkan sebilah keris yang sudah hampir jadi kedalam suatu cairan dan merendamnya dengan mulutnya fasih membaca mantra, akupun datang mendekat,
"sedang apa kek...??? Apa yang kakek lakukan dengan keris itu...???" Tanyaku penuh heran.
"Aku sedang membuat keris ini menjadi sakti nak..." jelas kakek Mpu Sora.
"Dengan diapakan kek...???" Tanyaku lagi.
"Dengan di sepuh nak... Mungkin orang-orang belum banyak yang tau, kalau keris itu sakti sesungguhnya bukan semata-mata keris itu bertuah, tapi aku sengaja merendamnya kedalam cairan racun ular...
Jadi saat racun itu meresap kedalam, saat keris itu melukai tubuh musuh, walau dengan goresan sedikit saja itu bisa mematikan, sehingga semua orang mengganggap keris itu sakti mematikan" jelasnya sembari mengusap-usap keris kesayangannya
Dan dari sini aku mulai belajar tentang senjata-senjata mematikan, belajar tentang budaya, belajar ilmu kanuragan, ilmu asli beladiri Majapahit.
Ternyata kakek mpu Sasora bener-bener bukan orang sembarangan, beliau tokoh paling intelektual pada jamannya. Beliau juga termasuk sesepuh kerajaan, bahkan saat-saat tertentu beliau seringkali memenuhi undangan baginda raja untuk terjun langsung mengatur strategi-strategi pemerintaan jika diperlukan.
Banyak hal yang aku pelajari dari beliau.
Disuatu pagi seusai para murid latihan ilmu kanuragan, seperti biasa kami berkumpul di halaman padepokan, kakek mpu Sasora banyak memberi wejangan, bahkan bercerita tentang awal sejarah Majapahit, diceritakan dengan jelas dan detail dari raja pertama Prabu Wijaya hingga sekarang ini.
Akupun penasaran tentang sosok yang paling disegani saat ini, yaitu patih Gajah Mada.
"Kek, kalo patih Gajah Mada bagaimana ceritanya...???" Tanyaku penasaran.
"Begini nak...." kakek Mpu Sora mencoba menceritakan.
"Aku kenal betul siapa Gajah Mada, dulu beliau hanya seorang pemuda biasa yang kemudian menjadi prajurit, tapi dengan karakternya yang kuat karirnya terus meningkat" lanjut Mpu Sasora.
"Setelah Gajah Mada diangkat sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara dan berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309 - 1328) putra Raden Wijaya dari Dara Petak....
Selanjutnya pada tahun 1319 beliau diangkat sebagai Patih Kahuripan , dan dua tahun kemudian beliau diangkat sebagai Patih Kediri ...
Selanjutnya pada tahun 1319 beliau diangkat sebagai Patih Kahuripan , dan dua tahun kemudian beliau diangkat sebagai Patih Kediri ...
Dan pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Arya Tadah atau sering disebut Mpu Krewes ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Dan akhirnya maha Raja menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya...
Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit...
Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan...
Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit...
Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan...
Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328- 1351) yang waktu itu telah memerintah Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara..." jelas Mpu Sasora yang masih ingat betul kejadian demi kejadian di Majapahit, karena beliau termasuk sesepuh Majapahit.
Dan Mpu Sasora pun melanjutkan ceritanya:
"Pagi itu aku hadir dalam upacara pengangkatan patih baru, nampak sosok Gajah Mada yang masih cukup muda saat itu, dengan perawakan tinggi besar dan gagah dilantik oleh baginda Raja sendiri...
Sesaat dilantik, suasana hening, sangat hening, hening sekali, ketika itu tiba-tiba Gajah Mada menyita ruang...
Beliau lakukan itu di pasewakan yang dihadiri oleh banyak orang...
Apa yang ia ucapkan dengan tangan kiri bersandar gagang gada yang ujungnya menyentuh lantai, dengan tangan kanan teracung mengepal keras tak ubahnya menantang langit, pandang matanya tajam menyapu ke segala penjuru dengan rahang yang terkatup erat, pada saat itulah sumpahnya diucapkan dengan suara lantang menggelegar...
Sesaat dilantik, suasana hening, sangat hening, hening sekali, ketika itu tiba-tiba Gajah Mada menyita ruang...
Beliau lakukan itu di pasewakan yang dihadiri oleh banyak orang...
Apa yang ia ucapkan dengan tangan kiri bersandar gagang gada yang ujungnya menyentuh lantai, dengan tangan kanan teracung mengepal keras tak ubahnya menantang langit, pandang matanya tajam menyapu ke segala penjuru dengan rahang yang terkatup erat, pada saat itulah sumpahnya diucapkan dengan suara lantang menggelegar...
Di hadapan Sri Gitarja Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardani dan suaminya, pun juga Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa dan suaminya menyimak ucapannya dengan penuh perhatian...
Dyah Wiyat bahkan terbelalak, sejalan Cakradara dan Kudamerta yang terperangah, tak kurang Sang Hamangkunbumi Arya Tadah terkejut yang nyaris membuatnya terpental dari tempat duduknya...
Ada banyak orang yang menyaksikan dan menjadi saksi sumpah itu, segenap prajurit, para tandha, para emban perempuan, termasuk juga Prabu Putri dalam keadaan yang sama, terkesima oleh aksi yang dilakukan Gajah Mada itu..." jelasnya panjang, sembari matanya menatap kearah masalalu.
Dyah Wiyat bahkan terbelalak, sejalan Cakradara dan Kudamerta yang terperangah, tak kurang Sang Hamangkunbumi Arya Tadah terkejut yang nyaris membuatnya terpental dari tempat duduknya...
Ada banyak orang yang menyaksikan dan menjadi saksi sumpah itu, segenap prajurit, para tandha, para emban perempuan, termasuk juga Prabu Putri dalam keadaan yang sama, terkesima oleh aksi yang dilakukan Gajah Mada itu..." jelasnya panjang, sembari matanya menatap kearah masalalu.
Dan sumpah itu bunyinya:
"Sira Gajah Madapatih Amangkubhu mi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada:
"Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Terjemahannya,
Aku Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melemaskan puasa...
Aku Gajah Mada, jika telah mengalahkan Nusantara, aku (baru akan) melepaskan puasa...
Jika sudah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa...".
Mendengar cerita Mpu Sasora kami semua terdiam hikmat seakan terbawa hikayat pada masa itu.
"Sira Gajah Madapatih Amangkubhu mi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada:
"Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Terjemahannya,
Aku Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melemaskan puasa...
Aku Gajah Mada, jika telah mengalahkan Nusantara, aku (baru akan) melepaskan puasa...
Jika sudah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa...".
Mendengar cerita Mpu Sasora kami semua terdiam hikmat seakan terbawa hikayat pada masa itu.
Tak lama Mpu Sasora selesai bercerita tentang keagungan sumpah Palapa, tiba-tiba ada rombongan dari istana dan setelah rombongan ditemui Mpu Sasora dan berbincang-bincang didepan padepokan...
Tak lama setelah rombongan itu pergi, Mpu Sasora memberitahukan kepada semua muridnya jika saat ini kerajaan Majapahit butuh prajurit-prajurit baru, karena saat ini patih Gajah Mada ingin meningkatkan invasinya ke negeri-negeri seberang agar cita-citanya menyatukan bumi Nusantara segera terwujud.
Dan Mpu Sasora menyarankan kepada kami untuk mendaftar sebagai prajurit.
Dan Mpu Sasora menyarankan kepada kami untuk mendaftar sebagai prajurit.
"Aku yakin kemampuan yang aku ajarkan kepada kalian, cukup untuk bekal kalian menjadi seorang prajurit,,, ditangan kalianlah masa depan negeri ini bertumpu, mengabdilah untuk negerimu agar tercipta cita-cita luhur itu...!!!" ujar Mpu Sasora penuh bijaksana.
Dengan masih terbayang-bayang tentang kisah Gajah Mada, kami langsung mengiyakan.
"Sapa tau nasibku seberuntung patih Gajah Mada, menjadi pembesar di negeri ini... hahahaaa..." kata hatiku mengkhayal tinggi.
Setelah latihan demi latihan aku lewati, akhirnya aku diangkat sebagai prajurit Majapahit dibawah kepemimpinan komando patih Gajah Mada.
Dan kini hari pertamaku masuk dalam jajaran prajurit yang disegani dibumi Nusantara.
"Selamat Sena, sekarang kita telah resmi menjadi prajurit" kata Wingsanggeni temanku sesama murid Mpu Sasora.
"Selamat juga sob, mulai hari ini ada tugas berat yang kita emban dipundak kita, menjaga keutuhan dan kedaulatan Majapahit..." kataku sok bijak.
"Betul Sena, kita gak sia-sia mengabdi pada Mpu Sasora, dari sanalah pondasi ilmu kanoragan kita diisi..." tegas Wingsanggeni.
Setelah menjadi prajurit, hari-hariku diisi dengan berkeliling Trowulan, menjaga keamanan kota.
Dan belum genap seminggu, tiba-tiba ada woro-woro bahwa patih Gajah Mada berencana menyerang kerajaan Banggai disisi timur nan jauh disana.
Karena kerajaan Banggai enggan tunduk pada Majapahit, dan ingin melakukan pemberontakan. Patih Gajah Mada tersinggung dan siap mengirim pasukan perang kesana.
Karena kerajaan Banggai enggan tunduk pada Majapahit, dan ingin melakukan pemberontakan. Patih Gajah Mada tersinggung dan siap mengirim pasukan perang kesana.
Kami sebagai prajurit harus siap siaga kapanpun dan dimanapun kami ditugaskan.
Setelah perjalanan berlayar yang cukup lama, menyebrangi lautan yang luas, kini tibalah kami di negeri yang tuju, kerajaan Banggai.
Baru saja kami sampai, ternyata telah nampak di kejauhan pasukan musuh sudah menghadang.
Baru saja kami sampai, ternyata telah nampak di kejauhan pasukan musuh sudah menghadang.
10.000 prajurit telah berkumpul lapangan, dibawah komando langsung oleh patih Gajah Mada, terik matahari membakar semangat yang makin berkobar, angin berhembus kencang mengibarkan panji-panji kebesaran, gemuruh badai mencabik-cabik kehawatiran, genderang perang menyemarakan gairah kemenangan.
Nampak patih Gajah Mada berdiri diatas mimbar dengan gagahnya.
Dengan suara lantangnya berkoar memecah kebuntuan, menyeruan yel-yel kemenangan,
"Wahai prajurit-prajuritku, kita saat ini berada ditempat yang jauh dari rumah kita...
Dan saat ini akan kita putuskan, tanah ini akan menjadi rumah kita atau kuburan kita...!!!
Kita harus siap menumpahkan darah demi kesatuan Nusantara...!!!
Ayoo raih kemenangan kitaa...!!!" Gajah Mada berorasi membakar semangat juang pasukannya.
"Wahai prajurit-prajuritku, kita saat ini berada ditempat yang jauh dari rumah kita...
Dan saat ini akan kita putuskan, tanah ini akan menjadi rumah kita atau kuburan kita...!!!
Kita harus siap menumpahkan darah demi kesatuan Nusantara...!!!
Ayoo raih kemenangan kitaa...!!!" Gajah Mada berorasi membakar semangat juang pasukannya.
Dan disambut gemuruh riuh oleh semua prajurit.
"hidup Majapahit,,, hidup Majapahit,,," Suasanya makin panas dengan genderang perang yang menderu-deru.
"hidup Majapahit,,, hidup Majapahit,,," Suasanya makin panas dengan genderang perang yang menderu-deru.
"SERBUUUU...!!!" Seru Gajah Mada dengan sebilah keris ditangan kanannya, mengacungkan kearah ke lawan sebagai komando untuk menyerang.
Seketika genderang perang bergemuruh menderu-deru bak halilintar yang menyambar-nyambar, Panah langsung berhamburan memenuhi langit yang hitam, tombak beterbangan meninggalkan tuannya menusuk dada menembus jantung-jantung segar, riuh teriakan semangat dan jerit histeris kesakitan berbaur membengkakkan telinga, Malaikat pencabut nyawa sibuk memungut roh-roh yang lepas tanpa tuan, api membakar semangat dengan mengepulkan asap kepanikan, darah tak ubahnya menjadi lautan yang bergelombang, mayat-mayat membumbung menggunung. Suasana sangat kacau tak terkendali.
Inilah perang pertama yang aku lalui, aku hanya bisa panik, ilmu kanoragan yang aku punya seakan menghilang terkalahkan rasa takut yang mencengkeram.
Rasanya aku ingin lari atau pura-pura mati, agar aku bisa lolos dari kekacauan ini, tapi rasa patriotisme ku tak bisa aku sembunyikan.
Rasanya aku ingin lari atau pura-pura mati, agar aku bisa lolos dari kekacauan ini, tapi rasa patriotisme ku tak bisa aku sembunyikan.
"Ini perang, aku yang akan membunuh atau aku yang akan terbunuh...!!!" Kata hatiku lantang sambil membusungkan dada. Aku merasa gagah sekali.
Walau sebenarnya aku tidak punya nyali untuk membunuh, jangankan membunuh sesama manusia, membunuh semut pun aku tak bisa.
"Tapi sekali lagi ini adalah perang, aku harus tunjukan jiwa ksatriaku, membunuh atau dibunuh...!!!" perang batin berkecamuk dihatiku.
"Tapi sekali lagi ini adalah perang, aku harus tunjukan jiwa ksatriaku, membunuh atau dibunuh...!!!" perang batin berkecamuk dihatiku.
Akhirnya aku beranikan berdiri tegak tanpa gentar, ku cabut pedangku dan kuangkat tinggi-tinggi sembari berteriak,
"Hiaaaattt" aku ayunkan pedang menuju sasaran lawan, seakan rasa takut hilang seketika, tapi sebelum pedangku mendarat pada tubuhnya tiba-tiba,
"bruug" "aaaahhh" sang musuh sudah terkapar terlebih dahulu dengan panah yang menancap dipunggungnya sebelum aku melukainya dengan pedangku. Entah siapa yang memanahnya.
"Hiaaaattt" aku ayunkan pedang menuju sasaran lawan, seakan rasa takut hilang seketika, tapi sebelum pedangku mendarat pada tubuhnya tiba-tiba,
"bruug" "aaaahhh" sang musuh sudah terkapar terlebih dahulu dengan panah yang menancap dipunggungnya sebelum aku melukainya dengan pedangku. Entah siapa yang memanahnya.
"Huuuh syukurlah, walau dia mati tapi aku bukan pembunuhnya, dan sampai detik ini aku bukan seorang pembunuh..." celetuk hatiku dengan badan bergetar semua karena ketakutan.
"Yaa Tuhan, sebenernya aku takuuuttt.... Aku takut terbunuh tapi aku juga takut membunuh,,,," do'a ku dalam hati.
Seketika aku ingat rumah, aku ingin kembali dikehidupanku yang dulu.
Dalam kepanikan yang menguasai jiwaku, aku hanya bisa menunduk sujud ditengah-tengah peperangan. Ku benamkan wajahku di tanah karena aku sama sekali tidak sanggup melihat darah yang mengalir dimana-mana. Mataku terus terpejam dengan tubuh yang menggigil sambil bibirku berkata melantur ketakutan.
"aku rindu ayah ibuku, aku tidak cocok menjadi prajurit tolong maaakk... tolooong paaak.... toloooong ya Tuhaan...!!! Aku ingin pulang.... aku tidak mau mati hari ini..." Aku berteriak memohon do'a, menangis tak karuan.
"Tolong... aku takut darah,,, aku takut matiii,,, aku takut membunuh,,, aku takuuutt...!!!" Teriakku kencang-kencang dengan tubuh gemetar menggigil tak karuan.
Seketika suasana menjadi hening, riuh peperangan padam bagai ditelan bumi.
Dan saat aku tersadar dan terbangun dari lelap kepanikanku, ternyata aku sudah berada diantara tumpukan mayat yang berserakan, aku menghela nafas panjang-panjang.
Ooh, ternyata perang telah usai, Aku melihat prajurit-prajurit Majapahit mengelilingiku, dengan muka menahan tawa setelah melihat kekonyolanku.
Tapi aku masih tak pedulikan mereka, dengan muka yang masih pucat pasi, tak berapa lama datang sahabatku Wingsanggeni dan menyodorkan tangannya untuk membantuku bangkit. Kuraih tangannya dan aku kuatkan untuk berdiri dan diapun langsung memelukku sembari berkata:
"Jangan takut sob, perang telah usai kemenangan ada dipihak kita dan disini kita mengukir sejarah baru untuk negeri kita Majapahit..." jelasnya sembari memeluk erat tubuhku.
Lega rasanya mendengar perkataan Wingsanggeni, air mataku terhenti seketika seperti mata air yang terbendung, rasa menggigil ketakutanku seakan sirna entah kemana.
Inilah pengalaman pertamaku menjadi seorang prajurit yang terjun dimedan perang. Konyol memang, tapi aku bangga telah ikut dalam bagian perjuangan kejayaan Majapahit.
"Ini adalah perjalananku, ini adalah jalan hidupku...
Karena aku yakin, perjalanan ini akan terus berjalan..."
Setelah perjananan semalaman menempuh dari kota Pekalongan menuju kota Malang, akhirnya ku langkahkan kaki turun dari kereta api, ini langkah pertamaku menginjakkan kaki di kota Malang. Dan buat teman-temanku yang lain ini juga kali pertamanya menginjakan kaki di kota yang terkenal apelnya ini, kecuali Heru yang sudah terbiasa bertualang ke Jawa Timur dan dia juga termasuk petualang senior.
Kami berempat, Antok, Adit, Heru dan saya sendiri Ferdi. Berencana melakukan pendakian gunung Penanggungan.
Setelah sampai di kota Malang, tujuan pertama kami adalah wisata kulinner, akhirnya kami bergegas mencari penjual bakso di sekitar stasiun.
Semangkok bakso pun siap masuk ke pencernaanku, memberi suasana riuh pada cacing-cacing yang kelaparan.
Setelah dari setasiun Malang dan menikmati wisata kuliner, kamipun bergegas menuju terminal bus untuk tujuan Pandaan. Setelah sampai di Pandaan dilanjutkan naik angkot ke basecamp gunung Penanggungan.
Setelah sampai di pos penanggungan kami istirahat sejenak dan mengurus perizinan mendaki, sementara mereka mengurus aku sendiri lebih memilih santai-santai menikmati pemandangan sekitar.
"Urus-urus gituan itu tugasnya si Heru, aku maah sante-sante aja nikmati pemandangan yang indah ini,,, hmmm..." celetukku dalam hati sambil menghirup nafas dalam-dalam. Di samping basecamp ada batu besar dan di sebelahnya lagi ladang penduduk karena basecamp ini adalah rumah paling ujung dikampung ini, dan dari batu inilah pemandangan lereng Penanggungan dan perkampungan dibawahnya terlihat jelas.
"ya Tuhan,,, bener-bener luar biasa indah pemandangan ini" ujarku dalam hati.
Setelah perizinan selesai, kamipun bergegas mendaki menyusuri jalan setapak yang cukup lebar.
Pendakian ke puncak dibutuhkan waktu yang tidak begitu lama, sekitar 5 jam pendakian santai.
Setapak demi setapak kakiku melangkah, banyak candi-candi peninggalan masa lampau berserakan disepanjang jalur pendakian.
"Wah, berarti disini dulu termasuk tempat suci untuk pemujaan nih, jadi kebayang kalau aku hidup di jaman itu, seru kali yaa..." celotehku pada teman-teman.
"Huuussstt...!!! Hati2 kalo ngomong lu Fer...!!!" Saut si Antok ketakutan, karena disini Antok personel paling muda dan paling penakut.
Beberapa kali kami istirahat ditanah lapang dan kembali meneruskan perjalanan jika lelah mulai hilang.
Dan setapak demi setak kami lalui hingga akhirnya sampailah kami di tempat yang dinanti-nanti, puncak gunung Penanggungan.
Saat ini pukul 04.55 kami sampai juga dipuncak gunung Penanggungan, tepat sunrise tiba, saat fajar menyalakan lampu jingganya.
"huuhh,,, beautyfull,,, indah luar biasa" ujarku lirih penuh ketakjuban.
Sementara aku meliat teman-teman yang lain sedang sibuk memotret sana-sini, ada yang meloncat-loncat girang, semua mengekpresikan kegembiraannya.
Kami pun segera menyalakan kompor mini untuk merebus air teh serta membuat kopi.
Ditengah rasa dingin yg menusuk tulang, kami tetap asyik mengobrol bersama.
Tak terasa sudah hampir 2 jam kami asyik menikmati pagi di puncak ini.
Mentari makin belo membuka matanya, teriknya semakin terasa, kamipun bergegas merapikan kembali barang-barang kami,
"woy lama amat kalian pada bebenahnya, pade lelet lu... hahahaaa" ejekku.
"Ternyata kalo agak siangan gini pemandanganya makin keren ya bro...???" ujar Antok.
"Iya dunk, konon dulu raja Majapahit sebelum menentukan ibu kota kerajaan sebagai pusat pemerintahannya, mereka mendaki gunung ini, konon disini mereka memetakan wilayah-wiilayah kekuasaannya" jelas Heru sok sejarawan.
"Ah apa iya Her...???" Tanyaku.
"Waow,,, pantesan, dari sini bener-bener jelas pemandangan dibawahnya" celoteh si Antok.
"Wah apa iya? Jangan-jangan diatas batu ini mereka berdiri...???" Kataku sambil mendekati sebuah batu besar.
"Iya nih ada kaya' bekas telapak kakinya juga..." Adit mengiyakan sambil memegang batu.
"Hah, perasaan tadi pas pertama sampai sini gak ada batu ini...???" Ujar Heru penuh ketakutan.
"Deeerrr deeerr...!!!" Sontak suasana menjadi tegang, aura mistis makin pekat.
"Ah apa iya Her, tadi kan waktu pertama kita sampai sini kan masih gelap jadi gak keliatan batu ini..." ujarku sambil menenangkan.
"Liat nih, aku naik kesini..." ujarku lagi sembari menaiki batu itu dan berdiri diatasnya.
"Jangaaaannn...!!!!" Teriak si Heri sembari melarang ketakutan.
"Apaan sih lu Her...???" Ejekku.
"Gimana Fer, dari situ keren gak pemandangannya...???" Tanya Antok.
"Woow jelas bangeeett Tok..."
"Dueeerr....!!!" "Haaahh..." aku menjerit ketakutan, aku seperti melihat bayangan kakek-kakek tua berbaju putih, tapi tiba-tiba menghilang.
"Kamu kenapa Fer...???" Tanya Antok ketakutan.
"Haaah,,, haaah,,, haaahh...!!!" Aku menggigil bak kesurupan, sambil memegangi kepalaku.
"Ini hanya ilusi, aku yakin ini hanya ilusi....!!!" Ucapku berulang-ulang sambil lirak-lirik ketakutan.
"Kamu kenapa Fer, kamu kenapa...??? Apa jangan-jangan benar kata Heru...???" Semua ikutan panik.
"Dueeerr....!!!" Tiba-tiba petir menyambar, membuat suanana kembali tegang, langit yang semula terang tiba-tiba mendung menghitam, kabutpun berduyun-duyun datang, membuat kami semakin panik tak karuan.
"Ayoo kita turun aja...!!!" Ajak Heru.
Karena Heru yang dituakan disini, Kamipun turun mengikuti perintahnya, perjalanan turun agak tergesah-gesah, gerimis rintik-rintik mebuat jalur semakin licin dan basah, ditambah kabut menutupi jarak pandang... suasana makin mencekam saat kilat terus menyambar-nyambar disegala penjuru, membuat jantungku berdebar tak beraturan...
"Huufft... kenapa suasanya jadi serem begini sih..." gerutu Antok.
Panik tergesah-gesah dan lelahpun menghantui jalanku, aku makin tertinggal dari teman-temanku yang lain, membuat langkahku makin panik sedikit berlarian.
Tiba-tiba,,, "breeeggg...!!!"
"Aaaachh... tolooongg...!!!" aku jatuh kedalam jurang.
"Ferdi.... Ferdi...!!!" teriak teman-temanku.
"Ferdi lu baik-baik ajakan...???" Teriak Heru sambil panik.
Aku tak bisa menjawabnya, aku lemah tubuhku roboh di dasar jurang yang amat dalam, air hujan yg bercampur tanah dan darah melumuri tubuhku, aku terkapar tak berdaya.
"Baik, kalian berdua turun minta bantuan, biar aku disini menunggu pertolongan dan menjaga tempat ini" perintah Heru kepada Adit dan Antok.
Aku mendengarnya sayu-sayu dari dasar jurang, entah apa yang terjadi diatas sana, aku mulai pingsan tak sadarkan diri.
Entah sudah berapa lama aku disini, tapi tiba-tiba aku mendengar teriakan orang memanggilku,
"Ferdi... Ferdi... Ferdi..."
Aku melihat orang-orang berbaju orange,
"yaa itu pasti team SAR" kata hatiku.
Mereka mencariku, aku melihat sayu-sayu mereka bolak-balik memanggilku, padahal aku berada tidak jauh darinya.
Aku berteriak sekuat tenaga memanggil mereka, "tolooongg,,, aku disini...!!!" panggilku serak tanpa keluar suara.
Tapi mereka tidak mendengar sama sekali. Tubuhku makin lemah, nafasku seakan mau lepas.
"Duk,,,, duk,,, duk,,," detak jantungku makin lambat, telingaku berdenging keras, pandanganku mulai memutih semua, aku tidak bisa melihat apa-apa, aku merasakan rohku terbang melayang...
Aku merasakan begitu jauh rohku melayang, begitu damai jiwaku terbang, ringan serasa beban di pundakku, mungkin ini perjalananku ke alam akhirat...???
"Hey anak muda, bangunlah..!!!" Tiba-tiba sesosok bayangan putih menghertak lelapku, jangtungku kembali berdetak, bahkan sangat cepat iramanya... Nafasku kembali terhembus dengan tersengal-sengal.
"Bangunlah nak, sudah saatnya kamu bangun dari lelapmu...!!!" Suara itu makin nyata, sosok putih itu makin jelas.
"Inikah yang disebut malaikat...???" Tanyaku dalam hati.
Aku mencoba bangun dari pembaringanku, aku mencoba duduk dan bersandar pada dinding batu.
"Aaahhh,,, aku dimana ini, apa aku sudah mati...???" Dengan suara lemah aku beranikan bertanya pada kakek tua itu.
"Belum nak, kamu masih ada di dunia yang sama,,, kamu hanya pingsan sejenak untuk melepas beban-beban di pikiranmu, mulai saat ini kamu akan menemukan duniamu yang baru" ucap kakek itu dengan penuh bijaksana.
Dari kegelapan goa, beliau mendekat, nampaklah sosoknya yang tua renta, wajahnya yang keriput dan berjenggot, kumis dan rambutnya yang sudah putih sempurna, hidungnya yang mancung seakan mengisaratkan beliau dari keturunan daratan India, sikapnya yang tenang menunjukan bahwa beliau pasti seorang pertapa.
"Huuh aneh sekali nih kakek-kakek, jaman modern gini masih bertapa aja di goa yang berada dilereng gunung" bisikku dalam hati penuh keheranan.
"Bertapa adalah salah satu cara untuk nemenukan ketenangan batin yang hakiki nak" jawab kakek itu.
Seketika aku kaget,
"loh,,, kakek ini bisa mendengarkan apa kata hatiku" dengan penuh keheranan aku beranikan bertanya pada beliau.
"maaf kek, kakek ini siapa? Dari mana kakek berasal?" Tanyaku sembari terbata-bata.
"Aku adalah mpu Sasora, aku ada disini memang untuk semedi, aku sudah disini jauh sebelum kamu lahir nak,,, dan suatu saat kamu akan tau siapa aku yang sesungguhnya..." jawabnya tenang penuh kelembutan.
Aku yakin kakek ini bukan orang biasa, tidak mungkin tinggal didalam goa begitu lamanya tanpa ada persediaan makanan. "Sungguh luar biasa..." gumamku dalam hati.
"Biasa atau luar biasa itu tergantung dari diri kita sendiri nak, jika kamu melakukan segala sesuatu penuh keyakinan, maka kamu akan mampu merubah yang tidak mungkin menjadi mungkin..." jelas mpu Sasora penuh makna dengan bijaksana.
Aneh sekali memang, beliau tau semua tentang kata-kata dalam hatiku, seakan beliau tau semua tentang diriku.
"Nak Ferdi, sekarang saatnya kamu turun gunung, untuk menjalani hari-harimu yang baru...!!!" Seru mpu Sasora.
"Kek, bagaimana kakek tau namaku Ferdi...???" Tanyaku lagi.
"Aku tau semua tentang yang kamu tau, bahkan semua yang belum kamu ketauhi...!!! Dan mulai sekarang namamu aku ganti Jaka Sasena, nama itu sangat baik untukmu nak" tegas kakek mpu Sasora.
"Baik kek aku mengerti, makasih atas nama barunya" akupun mengiyakan.
"Jadi tunggu apa lagi nak, segeralah turun, melangkahlah diduniamu yang baru" perintah mpu Sasora.
"Baik kek, aku akan pergi,,, terimakasih atas semuannya, aku pamit kek" jawabku sembari berkemas meninggalkan goa.
"Alhamdulillah... akhirnya aku bisa menghirup udara segar lagi, udara pegunungan yang dingin menyejukan jiwaku..." aku melangkah dengan semangatnya menyusuri jalan turun.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri, entah berapa lama aku berbaring tak berdaya, tapi yang pasti aku tak merasakan apapun sakit setelah jatuh dari jurang, tak ada bekas luka sekalipun, ini semua seperti mimpi.
Ini memang janggal tapi inilah yang aku rasakan sekarang.
"Ah aku tak peduli, yang penting aku bisa pulang dengan selamat" Ujarku dalam hati sambil berjalan menyusuri jalan setapak penuh suka cita.
Tapi makin jauh aku melangkah makin aneh jalan yang aku lewati, tidak seperti apa yang aku lewati kemaren pas mendaki ke puncak.
Hutan nampak lebih lebat, bahkan sepanjang jalur tak ada sampah plastik sekalipun, karena biasanya sampah plastik mengindikasikan jalur itu sering dilewati orang, karena banyak pendaki yang tidak peduli lingkungan.
Dengan hati penuh tanda tanya aku tetap berjalan nenyusuri jalan setapak, tapi setelah aku sampai di kaki gunung tak ada ladang penduduk seperti waktu mendaki, semua hamparan hanyalah hutan misterius.
"Kenapa ini...??? Bukannya kemaren disini adalah ladang penduduk...??? Kok sekarang hutan...???" Hatiku terus bertanya-tanya sambil terus melangkah.
Dari tadi aku juga gak pernah berpapasan dengan pendaki lain, biasanya jika naik atau turun pasti banyak berpapasan dengan pendaki-pendaki lainnya.
Keanehan makin makin nyata saat aku sampai di sebuah batu besar,
"Looohh,,, bukannya disamping batu besar ini seharusnya rumah pak kades, sekaligus sebagai basecamp para pendaki...??? Kok ini cuma pepohonan semua, bahkan disekitar sini gak ada rumah satupun...??? Aku ingat betul kemarin aku duduk di batu ini... Tapi kok...???" Ujarku dalam hati, penuh keheranan sembari tengak-tengok sekeliling.
Dan aku pun berdiri di batu itu, nampak pemandangan yang sebelumnya kampung dan kota-kota dibawah kejauhan sana nampak berubah hutan semua, aku masih tak habis pikir ini bisa terjadi.
"Deerr" seperti ada petir menyambar-nyambar, suasana mistis menebar disekitarku lagi. Segera tubuhku menggigil bulu kuduku berdiri seketika.
"Ada apa ini...??? Apa yang telah terjadi disini...???"
Dengan tergesah-gesah aku terus berjalan mengikuti jalan setapak meninggalkan tempat ini, aku panik harus kemana menuju jalan pulang, aku tak tau aku sedang ada dimana...???
"Yaaa Allah,,, aku kangen ayah ibuku, aku kangen rumah, aku kangen semuanya tentang duniaku yang dulu..." tangis batinku sembari terus berjalan dengan tergesah-gesah, sesekali berlari dengan muka pucat pasi.
Sampailah aku dipersimpangan jalan yang agak besar, "Tidaaakkk...!!!" Aku berteriak sekencang-kencangnya.
"Aku ingat betul, seharusnya ini pertigaan besar, jalan penghubung menuju kota Surabaya, tapi kenapa sekarang berubah menjadi jalan berbatu seperti ini...???" Hatiku terus bertanya-tanya.
Tanpa daya aku rebahkan tubuhku disebuah batu dipinggir jalan, aku tak bisa berfikir apa-apa lagi. Bajuku sudah basah bermandi keringat.
Tak lama berselang, sebuah pedati dengan sapi sebagai penariknya nampak dari kejauhan melewati jalan ini, saat mulai mendekat aku pun langsung menyetop dan gerobak itupun berhenti.
"nyuwun sewu, njenengan niku bade ten pundi dek..???" Tanya bapak-bapak yang menunggang pedati.
Walaupun aku orang asli jawa, tapi bahasa itu teramat asing bagiku. (seterusnya ditranslit ke bahasa Indonesia)
"Maaf pak saya mau ke kota Malang" jawabku.
"Ooo sampean mau ke Malangkucecwara thoo... Sejak Kerajaan Singosari runtuh keramaian kota sekarang pindah ke kota Trowulan nak... disana berdiri sebuah kerajaan yang maha besar yang kekuasaannya sampai ke negeri seberang, bahkan mencakup kesatuan dari kepulauan nusantara" jawab kakek itu menjelaskan tentang keadaan sekarang, dimana dengan bangganya penduduk sini atas kejayaan Majapahit.
Dan baru aku sadari kalau dijaman ini kota Malang dengan nama Malangkucecwara. Dan Trowulan adalah ibu kota paling ramai sekarang.
"Baik pak tolong antar aku ke Trowulan, aku ingin kesana" jawabku dengan pasrah, karena aku penasaran dengan kota paling ramai di tanah Jawa ini.
Makin yakinlah aku, bahwa aku telah tersesat ke dimensi waktu yang jauh sebelumnya, yakni dimensi jaman kerajaan Majapahit.
Rasa sedih, gundah, kangen pulang itulah yang aku rasakan saat ini, tapi inilah yang terjadi, aku hanya bisa pasrah mengikuti pedati yang berjalan pelan tapi pasti...
Aku melihat kiri kanan jalan yang dipenuhi pepohonan hutan yang sesekali persawahan, bahkan kadang rumah-rumah penduduk yang masih jarang, bahkan nampak candi-candi sebagai tempat persembahan. Aku juga melihat patung seseorang dengan perawakan tinggi besar, akupun bertanya, "pak itu patung apa....????" Tanyaku.
"Itu patung Patih Gajah Mada nak, seorang patih yang disegani dibumi Nusantara ini..." jelas pak Suroso.
Aku merasa aku sedang dinegeri yang asing, yang benar-benar tak pernah terbayangkan sebelumnya. Perjalanan ini sungguh menyiksa batinku, air mataku tak terasa menetes, bersama tubuhku yg lemah tergoyang pedati yang melewati jalan bebatuan.
Pikiranku melayang entah kemana, aku takut, aku ingin pulang ketemu ayah ibuku, aku benar-benar sedih tiada terkira, bahkan aku belum percaya kalau saat ini aku berada di jaman yang sudah lama berlalu. Jaman dimana nenek moyangku berasal, kejayaan Majapahit.
Entah berapa lama perjalanan ini, bahkan aku sampai tertidur walau pedati terus berjalan. Sering kali Pak Suroso bapak si pemilik pedati ini memberiku makanan, aku merasakan kebaikannya sungguh besar.
Tiba-tiba saat aku tertidur pulas, aku dibangunkan oleh pak Suroso.
"Bagun nak, kita sudah sampai di gerbang kota Trowulan" jelas pa Suroso membangunkanku dengan tangannya yg menepuk-nepuk punggungku.
"Aaahh,,, rasanya masih mengantuk sekali..." gumamku dalam hati sembari menguap dan meregangkan badanku.
Mata masih terasa berat untuk ku buka, mungkin karena lelah perjalanan kemaren, atau mungkin karena perjalanan pedati ini yang lamban dan bergoyang membuat makin pulas tidurku.
Tapi saat ku buka mata,
"cliiing..." "waow,,, indah sekali pagi ini..."
Mataku sekeketika terbelalak, melihat keindahan bumi Majapahit.
"Waaahh,,, apa benar ini Trowulan ibu kota Majapahit pak Suroso...???" Tanyaku pada pak suroso dengan hati berbunga-bunga.
"Iya benar nak, ini kota Majapahit..." jawab pak Suroso menjelaskan.
"Setelah nanti berjalan masuk lewat gapuro itu, disana ada istana kerajaan yang sungguh megah" lanjutnya.
"Baik pak Suroso, makasih banyak atas tumpangannya dan penjelasannya selama ini, maaf ini ada sedikit uang dan barang-barang yang aku punya alakadarnya sebagai imbalan buat bapak yang sudah menolong aku sampai disini" jawabku sembari memberi uang dan beberapa barang yang aku miliki.
"Waah uang mana nih Nak, kok saya baru melihatnya? Kisanak ini dari negeri mana...???" Tanya pak Suroso penuh keheranan.
"Aku dari jauh dinegeri seberang sana, uang itu jika ditukar akan mahal sekali dan barang-barang itu juga mungkin akan berguna buat pak Suroso dirumah" jawabku penuh antusias.
"Baik nak, makasih banyak semoga hidupmu penuh keberkahan" kata pak Suroso dengan penuh do'a.
"Amin,,, sama-sama pak makasih, senang bertemu dengan bapak..." jawabku sembali melangkah menuju gapuro yg megah itu.
Langkahku penuh semangat memasuki gapuro besar yang terbuat dari batu bata, ini membuktikan seni arsitektur saat ini telah mengenal bangunan bata, jika dibanding dengan kerajaan-kerajaan terdahulu yang masih menggunakan batu untuk candi-candi atau gapuro.
Sembari jalan kepalaku tak henti-henti tengok kanan tengok kiri, jiwa petualanganku kembali tergugah, sekejap lupa akan jalan pulang.
"Ini lah maksud Tuhan mengirimku ke jaman ini, dimana aku bisa memuaskan hasrat petialanganku" celetukku dalam hati seakan lupa rasa ingin pulang.
Banyak disini lalu-lalang penduduk pribumi maupun pedagang dari luar daerah, ramai memang disini.
Aku berjalan dengan senangnya seakan aku orang yang paling keren disini, dan semua orangpun memandangiku penuh heran, mungkin pakaianku yang sangat berbeda dengan mereka, mungkin karena tas rangsel yang ada di punggungku ini, mungkin juga wajahku yang ganteng dan perawakanku yg putih tinggi atletis, entah apapun alasan mereka yang penting aku merasa bahagia bisa berpetualang sejauh ini.
"berhenti...!!!" Gertak salah satu prajurit.
"Siapa kamu dan darimana asalmu...!!!"
Tiba-tiba prajurit yang lain mengkerangkeng tanganku dengan tali dan tanpa bertanya lagi aku diseret masuk, entah aku mau dibawa kemana aku tidak tahu.
Aku hanya bisa berteriak-teriak minta tolong untuk dilepaskan.
"Tolooong...!!! Lepaskan aku...!!! Aku bisa jelaskan ini...!!!" Teriakku meronta.
Tapi entah aku mau dibawa kemana aku hanya bisa pasrah, semua orang memandangiku penuh keheranan.
Akupun makin panik, pikiranku melayang entah kemana penuh tanda tanya. Aku terus teriak meronta,
"Tolooongg...!!! Lepaskan aku...!!! Tolooong...!!! Tidaaakk...!!! Ini pasti salah paham...!!!"
============ BERSAMBUNG ============
Untuk episode berikutnya klik disini