Sesaat setelah aku pijakkan kaki turun dari minibus yang mengantarkan aku sampai di depan stasiun kereta di kota Solo ini, mataku langsung tertuju pada pemandangan yang menarik perhatianku. Pemandangan yang tak lazim dan mampu membuat hatiku bertanya-tanya, siapakah dia? Ada apa dengan dirinya?
Ku angkat tanganku untuk melihat arloji yang melingkar di lenganku.
"Aaahh masih lama ini keretanya, masih ada sekitar dua jam lagi..." gumamku dalam hati.
Lalu aku melangkah menuju warung kopi yang tak jauh dari stasiun. Ku lepaskan ransel besar yang selalu mencekik rongga dadaku agar semua sendi dan tulang punggungku terasa lega hingga aku bisa bernafas lepas.
Lalu aku memesan segelas es kopi capucino untuk mendinginkan seluruh kerongkonganku sembari mengamati seseorang yang membuat hatiku penasaran.
"Merhatiin apa mas...???" Tanya ibu pemilik warung sembari mengaduk gelas lalu menyuguhkan es capucino pesananku.
"Aahh gak kok bu..." jawabku singkat sembari menerima gelas besar yang berisi es capucino dan aku pun tak sabar untuk meminumnya.
Sesekali aku menengok ke arah pertigaan jalan sembari memperhatikannya. Lalu aku ambil gorengan hangat dan cabe rawit, langsung ku kunyah untuk sekedar mengganjal perut untuk mengusir rasa lapar.
"Iri... iri... iri... anan... anan... maju maju..." begitulah ucapannya untuk mengatur lalu lintas di pertigaan itu yang sedari tadi aku perhatikan.
Dengan tangan yang selalu tertekuk, pipi dan bibirnya tebal, mata sipit dan giginya gupis tak rata, postur tubuhnya yang gembul, Sorot matanya polos dan mimik wajahnya yang selalu datar.
Yaa, dialah anak keterbelakangan mental yang sedari tadi aku perhatikan, walau dengan kekurangannya ia sangat aktif mengatur lalu lintas untuk mengurai kemacetan jalan.
Dalam hati selalu bertanya-tanya, "dimanakah orang tuanya, bukankah anak seperti dirinya butuh perhatian dan pendidikan khusus?" Ucap hatiku penuh heran. Hingga aku lupa kalau aku sedang mengunyah gorengan.
Lalu anak yang sedari tadi aku perhatikan itu, berjalan terseok menuju warung dimana aku berada.
"Buk, es teh atuk yaa, dibung'us..." katanya dengan nada polos. Sembari mengusap keringatnya dengan haduk kecil yang mengalungi lehernya.
Setelah es teh pesanan jadi, dia pun merogoh kantong celananya dan memberikan uang receh tiga ribu rupiah dan langsung berjalan meninggalkan warung kopi ini.
"Dia anak idiot, orang-orang sini memanggilnya Situmbal..." celetuk pemilik warung.
Aku langsung terperanjat mendengar ucapan ibu pemilik warung dengan bahasa blak-blakan.
"Kenapa dipanggilnya Situbal bu...???" Aku kembali bertanya karena tak kuasa menahan rasa penasaran di pikiran ini.
"Sebenarnya dia bukan anak orang sembarangan..." jawab ibu itu sembari membersihkan meja lalu mengambil gelas dan piring bekas pembeli yang baru saja pergi untuk dicuci di ruang belakang.
Rasa penasaran yang kian menjadi, akhirnya aku beranikan diri untuk mengikuti anak itu. Tak lupa ku rogoh kantong celanaku lalu ku ambil uang lima puluh ribuan dan ku berikan ke ibu pemilik warung.
"Ini bu, aku ambil gorengan tiga sama es capucino... kembaliannya ntar yaa bu, sekalian aku titip tas ranselku dulu..." lalu aku segera berjalan mengejar anak tadi.
Ibu pemilik warung hanya bisa mengiyakan sembari menatapku penuh heran.
*****
Keluar dari warung aku sudah tak melihatnya lagi, tengak-tengok ke segala penjuru pun nihil ku dapati, tapi yang jelas dia berjalan ke arah timur dan tanpa pikir panjang aku langsung mengejar kearah anak itu pergi. Setelah beberapa lama aku berjalan sembari sesekali berlari kecil, dari jauh mulai terlihat seorang anak dengan kaos oblong biru yang berjalan terseok, tak lain itu pasti anak yang aku maksud.
Setelah mulai dekat, dan ingin aku dekati untuk aku ajak ngobrol agar aku lebih dekat mengenal dirinya. Namun anak itu malah menghindar dan belok ke gedung perkantoran yang megah, aku pun mengejarnya ke dalam hingga aku dihadang oleh security di gerbang.
"Maaf ada keperluan apa mas...???" Tanya security itu seakan tak mengizinkan aku masuk. Mungkin penampilanku yang lusuh dan kumel karena baru turun dari mendaki gunung hingga security itu seakan menganggapku tak layak masuk ke gedung perkantoran itu. Tapi bukankah anak tadi juga berpenampilan kumal bahkan lebih kumal dari aku?
"Ooh maaf pak, saya cuma ingin mencari teman saya yang barusan masuk kesana pak..." jawabku pada pak security itu.
"Ooh dia dek Apie steveanus...??? Dia kalau jam segini memang waktunya pulang..." jawab security itu menjelaskan, namun membuatku makin penasaran.
"Tapi bukankah dia baru saja jadi tukang parkir di pertigaan sana pak...???" Tanyaku dengan mimik wajah heran.
"Iyaa, tapi kalo sudah jam segini dia akan menemui ibunya untuk diantar pulang...
Dia anak bu Meilin pemilik perusahaan ini..." jawabnya security itu yang mampu mebuat hatiku terperanjat tak percaya.
Lalu aku mengurungkan niatku untuk masuk mengikuti anak itu, membalikkan badan berjalan meninggalkan gedung yang berdiri menjulang. Namun dari jauh aku melihat anak itu sedang ngobrol dengan seorang ibu.
Tapi alangkah terkejutnya aku, melihat bahwa ibu itu adalah ibu yang pernah ku temui di jalur pendakian gunung Lawu kemarin.
"Yaa, aku ingat betul ibu itu yang kemarin ketemu di sebuah petilasan di dalam kawasan Cemoro Sewu tepat sekitar 300m setelah memasuki gerbang pendakian..." ucap hatiku yakin, hingga tanpa sadar aku kembali mendekat.
Aku ingat betul ibu itu, dimana saat itu aku hendak mendaki, dan ibu itu baru saja keluar dari area bangunan pemujaan bersama asistennya.
"Habis ini kita mau kemana lagi bu...???" Ucap asistennya, wanita paruh baya yang selalu setia mendampingi tuannya.
"Habis ini kita ke gunung Kawi Jawa Timur, kita lanjut lagi ritual disana..." jawab ibu itu tenang sembari berjalan turun, menuju parkiran.
Aku yang berpapasan dan mendengar ucapan mereka serasa aneh, masih saja ada di kehidupan saat ini orang-orang menjadikan gunung sebagai tempat untuk sesembahan dan ritual hal-hal yang berbau mistik. Tapi saat itu aku tak terlalu peduli, karena bagiku gunung adalah suatu tempat yang indah untuk mendekatkan diri pada alam semesta beserta Sang Penciptanya.
*****
Lamunanku kembali terjaga lalu aku kembali memperhatikan percakapan Steve dengan ibunya.
Lalu aku mencoba melangkah lebih dekat lagi, mencoba mendengarkan percakapan mereka, walau tak terdengar jelas namun setidaknya aku tau apa yang mereka bicarakan dari mimik wajahnya.
"Ayo mama kita pulang..." ajak anak itu dengan suara besar agak cedal khas anak keterbelakangan mental, sembari merengek menarik-narik tangan ibunya.
"Steve, mama masih banyak pekerjaan, kamu pulang dulu saja biar diantar pak Karso..." jawab ibunya merayu Stave agar mau pulang diantar sopir.
Namun anak itu tetap ingin pulang bersama ibunya, terus menarik-narik tangannya. Lalu anak itu berlari meninggalkan ibunya yang sontak dikejar security gerbang.
"Jangan pak, biarkan dia pulang sendiri...
Sudah biasa seperti itu..." ucap ibu Meilin dengan nada judes, melarang security mengejarnya.
Bagiku ini pemandangan yang sangat kontras dimana anak yang berpakaian lusuh merengek minta diantar pulang oleh ibunya yang berpenampilan sangat rapi. Namun ibunya seakan tak peduli sama sekali.
"Dia tumbal pesugihan orang tuanya, bahkan ayahnya telah meninggal sesaat dia dilahirkan..." ucap kakek tua yang tiba-tiba datang sembari menepuk pundakku yang sedang khusu' memperhatikan perbincangan antara ibu dan anak yang sangat janggal itu.
Belum sempat aku bertanya lagi tentang Stave, kakek itu segera pergi dengan tongkat kayu dengan jalannya yang mulai membungkuk. Lalu hilang setelah menyeberang jalan tertutup lalu-lalang lalu-lintas jalan.
Dan kembali ku alihkan perhatianku pada Stave yang lari meninggalkan ibunya.
Melihat anaknya pergi seakan ibunya tak menghiraukan, ibu itu malah kembali masuk ke gedung, seakan tak mengkhawatirkan tentang kepergian anaknya.
Dari kejadian ini aku mulai bisa menyimpulkan bahwa keberadaan Stave baginya seakan sudah tak dianggap lagi. Pantas saja semua orang menyebutnya Situmbal. Tumbal keserakahan seorang ibu yang tak punya hati.
Jika memang cerita yang aku dengar ini benar adanya, atau hanya sebatas isu dan mitos belaka, namun apapun itu menelantarkan anak demi karirnya adalah sebuah tindakan yang tak pantas dilakukan oleh seorang ibu. Anak yang memiliki keterbelakangan mental bukanlah suatu aib atau beban bagi keluarga, namun sebagai orang tua justru seharusnya memberi perhatian lebih pada anaknya.
Di dalam lamunanku aku kembali tersadar bahwa aku sedang berada di kota orang, kembali ku angkat tanganku untuk melihat arloji yang melingkar di lenganku.
"Waduh 15 menit lagi keretanya datang..." ucapku dalam hati penuh kepanikan.
Dan akupun langsung lari menuju warung kopi untuk mengambil tas rangselku lalu segera menuju stasiun untuk melanjutkan perjalananku.
*****
Namun setelah aku sampai di warung kopi aku melihat banyak orang berkerumun tak biasa. Aku juga melihat ada bercak darah diaspal tapat di pertigaan yang menandakan ada bekas kecelakaan.
Lalu aku masuk ke warung kopi itu untuk mengambil tas ranselku, aku mencoba bertanya pada ibu pemilik warung.
"Ada apa bu, kok ramai di depan sana...???" Tanyaku sembari mengangkat tas ransel untuk ku gendong di punggungku.
"Itu mas, Situmbal kecelakaan..." jawab ibu itu singkat dengan raut wajah yang terlihat cemas.
Aku langsung terperanjat mendengar kabar itu, seakan tak percaya semua yang terjadi ini. Walaupun aku baru saja mengenal sosoknya, namun seakan aku ikut merasakan kehilangan.
Namun jam arloji yang melingkar di lenganku menunjukkan bahwa 5 menit lagi kereta akan datang. Dan tak ada waktu lagi selain harus bergegas pergi. Aku berlari menuju stasiun yang tak jauh dari warung itu, sembari sesekali menengok ke belakang melihat dimana orang-orang masih berkerumun di bekas kecelakaan.
"Apapun yang terjadi padamu, semoga semua ini yang terbaik Stave..." ucap hatiku sembari melangkah memasuki stasiun kereta api.
Sesaat setelah sampai di dalam stasiun, kereta pun datang tepat waktu, dengan nafas yang masih tersengal-sengal aku langsung naik dan mencari tempat duduk yang sesuai di tiket keretaku.
Dan aku pun duduk di samping jendela agar pandanganku lebih luas menikmati perjalanan.
Lalu kembali ku angkat tanganku untuk melihat arloji yang melingkar di lenganku.
Waktu menunjukkan pukul 13.35wib dan kereta pun berjalan sesuai jadwal keberangkatan.
Sesaat setelah sampai di dalam stasiun, kereta pun datang tepat waktu, dengan nafas yang masih tersengal-sengal aku langsung naik dan mencari tempat duduk yang sesuai di tiket keretaku.
Dan aku pun duduk di samping jendela agar pandanganku lebih luas menikmati perjalanan.
Lalu kembali ku angkat tanganku untuk melihat arloji yang melingkar di lenganku.
Waktu menunjukkan pukul 13.35wib dan kereta pun berjalan sesuai jadwal keberangkatan.
"Selamat tinggal kota Solo, selamat tinggal Stave...
Sebuah nama, sebuah kota yang tak mungkin ku lupa..."
Sebuah nama, sebuah kota yang tak mungkin ku lupa..."
Semoga perjalanan kisah ini mampu menginspirasi kita semua... Semoga...
============SEKIAN============